• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Laboratoris Ibu Hamil Yang Terinfeksi COVID-19 di RSUD

BAB III METODE PENELITIAN

4.2. Pembahasan

4.2.2. Karakteristik Laboratoris Ibu Hamil Yang Terinfeksi COVID-19 di RSUD

Penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas (85,6%) subjek penelitian ini memiliki kadar hemoglobin yang termasuk dalam kategori rendah, mayoritas (56,7%) memiliki kadar leukosit yang termasuk dalam kategori tinggi, dan mayoritas (82,2%) memiliki nilai D-dimer yang termasuk dalam kategori normal. Karakteristik hemoglobin ini sejalan dengan sebuah penelitian yang dilakukan oleh Usul (2020) di Turki. Penelitian dengan desain cross sectional yang melibatkan 282 orang pasien tersebut bertujuan untuk

mengetahui gambaran hasil pemeriksaan laboratorium darah rutin pada pasien 19. Hasil penelitian tersebut mendapati bahwa pasien positif 19 memiliki kadar leukosit yang lebih rendah daripada pasien negatif COVID-19 (p < 0,05). Kadar limfosit pasien COVID-COVID-19 yang didapatkan juga lebih tinggi, tetapi tidak signifikan. Kadar trombosit dan neutrophil pasien COVID-19 lebih rendah, sedangkan kadar hemoglobin lebih tinggi (p < 0,05) 39.

Pada tahap awal penyakit COVID-19, ketika pasien tidak memiliki gejala, jumlah leukosit dan limfosit darah tepi akan normal atau sedikit menurun, tetapi indikator ini dapat berubah seiring dengan perkembangan penyakit. Mirip dengan infeksi virus lainnya, ciri umum pasien COVID-19 adalah limfopenia. Pada pasien ini, jumlah total limfosit, TCD4+, TCD8+, sel B, dan sel Natural killer (sel NK) menurun, sehingga pengurangan sel T CD8+

lebih signifikan. Hemoglobin sebagai mediator patologis terjadinya ARDS telah diketahui berperan dalam pembentukan stres oksidatif dan kerusakan endotel. Pada pasien COVID-19, terjadi peningkatan kadar sitokin penghambat seperti interleukin 4 (IL-4) dan IL-10, sehingga terjadi penghambatan eritropoiesis yang menimbulkan berbagai kondisi di atas 40.

Pada penelitian prospektif Benoit (2021), anemia merupakan temuan umum yang ditemukan pada sepertiga pasien dengan COVID-19. Meskipun demikian, penelitian tersebut menduga bahwa anemia yang didapatkan merupakan anemia penyakit kronis karena komorbiditas yang mendasari dan tidak terkait dengan patogenesis COVID-19 41. Berbeda dengan hasil tersebut, penelitian Bellman-Weiler (2020) melaporkan bahwa anemia dapat digunakan sebagai prediktor keparahan COVID-19 42. Sebelumnya telah dilaporkan bahwa hyperferritinemia sangat terkait dengan perkembangan COVID-19 yang buruk dan peningkatan mortalitas 43, sehingga gangguan homeostasis besi yang dimediasi oleh imun pada pasien yang berkembang menjadi penyakit parah tampaknya merupakan kemungkinan yang kuat. Namun kami menduga bahwa anemia pada kasus COVID-19 sedang dan berat tidak didorong oleh peradangan

saja, tetapi juga kombinasi faktor termasuk cedera sitopatik langsung akibat infeksi eritrosit yang bersirkulasi atau prekursor sumsum tulangnya, kerusakan eritrosit tidak langsung akibat anemia hemolitik, dan/atau mikroangiopati trombotik 44.

Temuan karakteristik leukosit pada penelitian ini relatif sejalan dengan penelitian Chen et al. (2020) juga melaporkan bahwa pada perempuan hamil dengan pneumonia COVID-19, sebanyak 77% pasien kadar leukosit yang termasuk dalam kategori normal 45. Perempuan hamil lebih rentan terhadap COVID-19 dan pneumonia berat karena mereka berada pada perubahan adaptif fisiologis dan keadaan imunosupresif selama kehamilan 45. Meskipun demikian, gejala klinis dan temuan laboratorium dari perempuan hamil yang terinfeksi COVID-19 tidak khas dibandingkan dengan orang dewasa yang tidak hamil.

Penelitian systematic review yang dilakukan oleh Allotey et al. (2020) melaporkan bahwa peningkatan jumlah leukosit merupakan temuan laboratoris yang umum ditemukan pada perempuan hamil yang mengalami COVID-19.

Dilaporkan sebanyak 26% pasien mengalami leukositosis 46. Penelitian Liu et al. Leukositosis dan peningkatan rasio neutrofil juga dilaporkan lebih sering

didapatkan pada perempuan hamil yang terinfeksi COVID-19, tetapi tidak ada perbedaan yang signifikan mengenai limfopenia antara kelompok hamil dan tidak hamil. Penelitian lain juga menyimpulkan bahwa leukositosis merupakan salah satu temuan laboratorium utama pada perempuan hamil 47.

Karakteristik D-dimer pada penelitian ini relatif sejalan dengan sebuah penelitian yang dilakukan oleh Naymagon (2020) di Amerika Serikat.

Penelitian dengan desain retrospektif yang melibatkan 1.065 pasien tersebut bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kadar D-dimer dengan outcome pasien. Penelitian tersebut mendapati bahwa terdapat hubungan antara kadar dimer dengan outcome pasien COVI19. Setiap peningkatan 1 µg/mL D-dimer dihubungkan dengan peningkatan 1,06 kali lipat risiko kematian 48. Hasil serupa juga ditunjukkan pada penelitian yang dilakukan oleh Biamonte (2021) di Italia. Penelitian dengan desain retrospektif yang melibatkan 45 pasien tersebut bertujuan untuk mengetahui hubungan antara berbagai parameter laboratorium (salah satunya adalah D-dimer) dengan perjalanan penyakit dan outcome. Penelitian tersebut mendapati bahwa terdapat hubungan antara kadar

D-dimer dengan outcome pasien COVID-19 49.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh He (2021) di Tiongkok juga menunjukkan hasil yang mendukung penelitian ini. Penelitian dengan desain retrospektif yang melibatkan 1.114 pasien tersebut bertujuan untuk mengetahui nilai prognostik dari pemeriksaan D-dimer, serta berbagai faktor yang mempengaruhinya. Penelitian tersebut mendapati bahwa kadar D-dimer berhubungan dengan perjalanan penyakit dan outcome klinis dari pasien COVID-19. Kadar D-dimer cenderung mengalami peningkatan pada pasien dengan keparahan berat dan pasien kritis, dibandingkan dengan pasien dengan keparahan ringan. Pasien yang meninggal pun memiliki kadar D-dimer yang secara signifikan lebih tinggi. Kadar D dimer sebesar 2,025 mg/L merupakan

cutoff yang dapat digunakan untuk memprediksi prognosis kematian. Penelitian

tersebut juga mendapati bahwa pasien yang berusia lanjut, berjenis kelamin laki-laki, mengalami sesak napas, dan memiliki penyakit komorbiditas akan memiliki kadar D-dimer yang secara signifikan lebih tinggi 50.

Penelitian lain yang juga mendukung hasil penelitian ini didapatkan pada penelitian yang dilakukan oleh Huang (2020). Penelitian dengan desain systematic review yang menggunakan 5.350 pasien (dari 25 penelitian) tersebut

bertujuan untuk mengetahui hubungan antara berbagai biomarker laboratorium dengan keparahan COVID-19. Penelitian tersebut mendapati bahwa peningkatan kadar D-dimer berhubungan dengan outcome pasien yang buruk.

Pasien dengan kadar D-dimer > 0,5 mg/L memiliki risiko 2,93 kali lipat lebih tinggi untuk mengalami outcome yang buruk dan 4,15 kali lipat lebih tinggi untuk mengalami kematian. Akurasi kadar D-dimer sebagai prediktor prognosis COVID-19 relatif rendah dengan sensitivitas sebesar 58% dan spesifisitas 69%

51.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Yao (2020) di Tiongkok juga sejalan dengan penelitian ini. Penelitian dengan desain case control yang menggunakan 248 pasien tersebut bertujuan untuk menilai kemampuan kadar D-dimer sebagai prediktor perjalanan penyakit dan outcome COVID-19.

Penelitian tersebut mendapati bahwa kadar D-dimer > 2,0 mg/L saat pasien masuk rumah sakit berhubungan dengan peningkatan risiko kematian hingga 10 kali lipat lebih tinggi. Pasien yang meninggal secara signifikan memiliki kadar D-dimer yang lebih tinggi daripada pasien yang sembuh, yaitu 6,21 mg/L

banding 1,92 mg/L. Penelitian tersebut juga menyatakan bahwa kadar D-dimer

> 2,14 mg/L dapat digunakan sebagai prediktor kematian dengan sensitivitas sebesar 88,2% dan spesifisitas sebesar 71,3% 52.

Secara teori, koagulopati diketahui sebagai salah satu patofisiologi penting dalam perjalanan penyakit COVID-19. Peningkatan D-dimer merupakan kelainan koagulasi yang paling umum ditemukan pada COVID-19 dan merupakan faktor risiko independen untuk terjadinya kematian. Baik kadar awal maupun trend longitudinal, kadar D-dimer dapat digunakan untuk memprediksi keparahan penyakit dan kematian 53. Belum diketahui mekanisme pasti yang dapat menjelaskan fenomena ini, tetapi diduga aktivasi koagulasi yang tidak terkontrol disertai dengan konsumsi faktor koagulasi berkelanjutan dan trombosis mikrovaskular yang meluas merupakan penyebab utama terjadinya peningkatan D-dimer 54.

Pada fase hiperinflamasi sistemik COVID-19, terdapat peningkatan signifikan sitokin inflamasi dan biomarker, seperti interleukin (IL)-2, 6, IL-7, granulocyte-colony stimulating factor, protein inflamasi makrofag 1-α, faktor nekrosis tumor-α (TNF-α), CRP, feritin, PCT, dan D-dimer. Peningkatan berbagai sitokin inflamasi tersebut merupakan manifestasi paling parah dari badai sitokin, yaitu saat hiperinflamasi yang berlebihan dapat menyebabkan kolaps kardiopulmoner dan kegagalan multi-organ 55. Infeksi parah SARS-CoV-2 dapat menyebabkan disfungsi sistem hemostatik yang mengarah ke keadaan hiperkoagulasi, suatu kondisi yang umumnya juga ditemukan pada sepsis 56.

4.2.3. Karakteristik Radiologis Ibu Hamil Yang Terinfeksi COVID-19 di

Dokumen terkait