Rasional
Lahan rawa pasang surut merupakan lahan yang dipengaruhi oleh gerakan
pasang dan surutnya air laut, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Adanya perbedaan topografi dan desakan air hujan dari daerah hulu,
menyebabkan terjadinya perbedaan kemampuan air pasang memasuki suatu
kawasan, hal ini dapat berpengaruh kepada kualitas tanah dan air suatu lokasi,
dan dapat mempengaruhi produksi suatu tanaman. Karena itu, karakteristik
suatu lokasi penelitian sangat penting diketahui terutama aspek tanah, air dan
iklim, karena ketiga aspek tersebut akan mempengaruhi masalah yang berkaitan
dengan tanah, air dan tanaman.
Bahan dan Metode Bahan
Bahan dan alat yang diperlukan untuk pengamatan tanah lokasi penelitian
berupa bor gambut, pisau survey, meteran, munsell color chart, pH meter, H2O2
30%, tissue, kantong plastik, gelas piala, dan pengaduk kaca. Untuk
mempelajari pola tinggi dan kualitas air diperlukan meteran kayu dengan
panjang 1 dan 3 m, serta botol plastik 350 cc, sedangkan untuk mempelajari
curah hujan diperlukan ombrometer.
Metode
Tanah Lokasi Penelitian. Lokasi penelitian merupakan salah satu kebun
percobaan Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa dan telah dilakukan
bulan Maret-April 2003, berupa cek kembali profil tanah, dengan melakukan
pemboran beberapa titik pada areal yang akan dijadikan sebagai lokasi
penelitian, dibuat sebuah lubang profil pewakil untuk diidentifikasi sebagai recek
hasil karakterisasi yang telah dilakukan. Recek dilakukan terhadap kedalaman
lapisan dan sifat kimia tanah.
Hidrologi. Untuk mengetahui ketinggian puncak pasang dan surut
maksimal air pasang surut, dilakukan pengukuran ketinggian muka air setiap hari
pada musim kemarau (MK) 2003 dan musim hujan (MH) 2003/2004. Titik
puncak pasang besar (pasang tunggal/ pasang purnama/ spring tide) atau surut
maksimal ditentukan saat air saluran sekunder stagnan (tidak bergerak).
Ketinggian muka air diukur dari dasar saluran sekunder. Hasil tersebut dikoreksi
dengan hasil pengukuran yang dilakukan oleh Dinas Kimpraswil bidang
pengairan setempat. Kualitas air pasang diukur dengan melakukan pengambilan
contoh air saat pasang besar untuk dilakukan pengukuran p H. Kemasaman air
(pH) dijadikan parameter kualitas kimia air, karena pH umumnya ber korelasi
dengan kelarutan ion-ion toksik.
Curah Hujan. Curah hujan, diukur menggunakan ombrometer yang
dipasang ditengah areal penelitian. Pengukuran dilakukan setiap hari.
Hasil dan Pembahasan
Tanah Lokasi Penelitian
Hasil cek ulang menunjukkan bahwa kedalaman lapisan dan sifat kimia
utama tidak berbeda dengan hasil karakteristik yang dilakukan oleh Suharta et al.
termasuk ke dalam famili tanah Typic Sulfaquepts, sangat halus, campuran,
masam, isohipertermik. Bila dilihat dari analisis penampang tanah hasil cek
ulang tersebut, lokasi penelitian mempunyai lapisan organik setebal 7 cm,
lapisan bawahnya hingga kedalaman 120 cm mempunyai tekstur liat, dengan pH
tanah pada berbagai kedalaman berada dibawah 3,7. Pada lapisan 0-50 cm dari
permukaan tanah mineral terdapat lapisan setebal > 15 cm (pada kedalaman 29-
57 cm atau 22-50 cm dari permukaan tanah mineral) yang mempunyai lapisan
dengan pH = 3,5. Menurut Soil Survey Staff (1998), lapisan tersebut termasuk
kategori horison sulfurik. Horison sulfurik merupakan lapisan yang mengandung
pirit yang telah teroksidasi menghasilkan ion H+ dan SO42- sehingga pH turun =
3,5. Ion SO42- tercuci, sehingga kandungannya pada lapisan tersebut menjadi
lebih rendah dibanding lapisan dibawahnya, yaitu 0,18-0,43 % S. Hal ini
didukung adanya bahan sulfidik pada bagian bawah lapisan oksidasi. Bahan
sulfidik berada pada kedalaman 69-120 cm dengan kandungan S-total 1, 23%.
Tanah yang mempunyai horison sulfuri k menunjukkan bahwa tanah tersebut
telah mengalami perkembangan akibat adanya oksidasi-reduksi. Tanah yang
telah mengalami perkembangan awal termasuk ordo Inceptisol, karena itu tanah
tersebut termasuk kedalam grup Sulfaqu ept, dengan famili tanah Typic
Sulfaque pts, sangat halus, campuran, masam, isohipertermik
Hidrologi
Lokasi penelitian berjarak sekitar 3,1 km dari sungai Barito. Pada musim
hujan, pasang tunggal dari sungai Barito mampu meluapi permukaan lahan,
sedangkan pasang kecil (pasang ganda/ neap tide) umumnya tidak mampu
meluapi lahan. Menurut kriteria yang diungkapkan oleh Widjaja-Adhi et al.
(1992), lahan tersebut termasuk tipe luapan B, yaitu lahan yang hanya terluapi
Pola Ketinggian Air. Pola ketinggian muka air pasang dan surut pada
saluran sekunder (dari dasar saluran) di lokasi penelitian berbeda antara musim
kemarau dan hujan (Gambar 1). Pada musim kemarau, tinggi muka air puncak
pasang besar bersifat dinamik. Pada curah hujan dengan pola normal, pasang
besar masih mampu meluapi permukaan lahan hingga akhir bulan Juli atau 6-8
minggu setelah tanam (MST). Selama musim kemarau, tinggi muka air menurun
dengan waktu, umumnya pada bulan Agustus (8-12 MST) pasang besar tidak
mampu meluapi permukaan lahan, dan ini digunakan para petani untuk kegiatan
panen. Dalam satu periode pasang surut (14 hari), terdapat 3-9 hari lahan
terluapi pasang tunggal, dan bila curah hujan berada dibawah pola normal, maka
puncak pasang besar tidak mampu meluapi permukaan lahan. Selain itu, potensi
pasokan air untuk petakan relatif kecil, tinggi rata-rata diatas permukaan lahan
berkisar 2-9 cm. Selama musim kemarau, puncak pasang kecil tidak mampu
meluapi permukaa n lahan (rata-rata 10 –20 cm dibawah permukaan lahan),
sehingga lahan akan mengalami kekeringan bila tidak dilakukan konservasi air,
yaitu dengan memberi pasokan air saat pasang besar disertai usaha
menahannya dipetakan dengan sistem tabat. Pada Gambar 1, terlihat bahwa
pada minggu ke 0-2 (awal Juni) tinggi rata-rata muka air pasang besar 70 cm,
sedangkan lahan akan terluapi bila tinggi muka air pasang lebih dari 75 cm,
karena itu, pada periode tersebut terjadi kekurangan air.
Dari Gambar 1 terlihat bahwa sejak minggu ke 2 bulan Juli (4-6 MST), surut
maksimal terus menurun. Ini menunjukkan bahwa muka air tanah semakin turun
selama air surut pada musim kemarau. Penurunan tersebut seiring dengan
menurunnya curah hujan (Tabel 2). Meningkatnya penurunan muka air saat
surut dapat berpengaruh pada kemampuan air petakan untuk bergerak kebawah
0 25 50 75 100 125 0 s/d 2 2 s/d 4 4 s/d 6 6 s/d 8 8 s/d 10 10 s/d 12 12 s/d 14 14 s/d 16 Minggu Setelah Tanam (MST)
Kedalaman Air di Saluran
Tersier (cm)
Surut MK Pasang MK Surut MH Pasang MH
Gambar 1 Dinamika kedalaman air saluran tersier pada saat pasang besar dan surut pada MK 2003 dan MH 2003/2004.
Tinggi muka lahan adalah 75 cm tinggi dari dasar saluran.
Pada musim hujan, sejak awal Nopember (0-2 MST), air pasang besar
mampu meluapi permukaan lahan. Ketinggian muka air pasang besar terus
meningkat hingga bulan Pebruari (14-16 MST), demikian pula ketinggian muka
air surut maksimal terus meningkat mengikuti pola pasang besar. Peningkatan
tersebut seiring dengan meningkatnya curah hujan (Tabel 2). Dari data tersebut
dapat disimpulkan bahwa ditinjau dari aspek volume air, maka air pasang besar
selama musim hujan dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan tanaman.
Pola tinggi muka air lokasi penelitian dapat berbeda dengan lokasi lainnya,
karena kemampuan dorongan pasang air laut ke arah hulu dipengaruhi oleh jarak
lokasi dengan laut. Dari hasil olah data penelitian Agency for Agricultural
Research and Development (AARD) dan Land and Water Research Group
(LAWOO) (1992) diketahui bahwa ketinggian pasang besar di sungai Barito
kecil menurun relatif kecil yaitu rata-rata 0,02-0,60 cm per km. Peningkatan
tinggi muka air sungai Barito akibat pasang besar berkisar 1,40-3,0 m,
sedangkan pasang kecil berkisar 0,50-0,70 m dari muka laut (dpl). Dari hasil
pengamatan di lokasi penelitian dan hasil olah data penelitian AARD dan
LAWOO (1992) tersebut dapat disimpulkan bahwa pasang kecil tidak dapat
dijadikan sebagai sumber pasokan air petakan sawah pada semua lahan tipe
luapan B.
Kualitas Air. Kualitas air pada musim kemarau berbeda dengan musim
hujan. Pada musim kemarau, curah hujan dari daerah hulu relatif kecil sehingga
air pasang sungai Barito yang membawa air dengan kualitas baik mampu masu k
lebih jauh ke hulu saluran sekunder dan tersier. Dari Tabel 1 terlihat bahwa
kualitas air pasang besar selama musim kemarau mempunyai kualitas yang
cukup baik dengan pH rata-rata diatas 5,0. Selama musim hujan, kualitas air
pasang besar dari sungai Barito tidak sampai ke lokasi penelitian. Air pada
Tabel 1 Kisaran pH air saluran saat pasang besar pada musim kemarau 2003 dan musim hujan 2003/2004
Periode Musim Tanam MST pH 0 - 2 5,72 - 6,29 2 - 4 5,19 - 5,85 4 - 6 5,08 - 5,91 6 - 8 5,01 - 6,95 8 -10 5,09 - 6,92 Musim Kemarau 10 -12 5,09 - 7,09 0 - 2 2,67 - 4,12 2 - 4 2,62 - 4,26 4 - 6 3,07 - 4,45 6 - 8 2,62 - 4,45 8 -10 3,01 - 3,99 Musim Hujan 10 -12 3,02 - 3,94
Minggu pertama tanam musim kemarau pada minggu pertama bulan Juni 2003 Minggu pertama tanam musim hujan pada minggu pertama bulan Nopember 2003 MST = minggu setelah tanam
saluran sekunder saat pasang besar sangat jelek, rata-rata mempunyai pH
antara 2,62-4,45. Hal ini terjadi karena curah hujan yang tinggi akan mencuci
ion-ion sumber kemasaman dari areal persawahan dan larut ke badan perairan
Adanya dorongan air yang besar dari daerah hulu saluran sekunder membuat
kemampuan air pasang sungai Barito yang masuk ke saluran sekunder menjadi
rendah, tidak mencapai lokasi penelitian, akibatnya air yang terdorong masuk
sampai ke lokasi penelitian selama musim hujan merupakan air masam yang
mengalir keluar sewaktu surut.
Kualitas air di saluran sekunder lokasi penelitian pada musim hujan
sangat rendah. Dari Gambar 2 terlihat bahwa pH pada saat puncak pasang 4,0,
sedangkan pH air pada saat surut 2,9. Konsentrasi ion Al3+ dan SO42-
mempunyai pola berlawanan dengan pH air. Semakin tinggi pH air, ke larutan
Al3+ dan SO42- serta nilai DHL semakin rendah. Hasil ini menunjukkan bahwa
kualitas air tersebut berasal dari hasil pencucian lahan sawah sulfat masam.
Dari data tersebut menunjukkan bahwa air pasang sungai Barito pada musim
hujan tidak sampai ke lokasi penelitian, air yang ada di saluran sekunder
merupakan air hasil cucian lahan sulfat masam yang terdorong kembali oleh air
pasang sungai Barito. Kualitas air yang jelek tersebut tidak dapat dijadikan
sebagai sumber pasokan air petakan sawah karena dapat menurunkan kualitas
air buangan, karena itu air hujan dapat dijadikan alternatif sebagai sumber utama
untuk kebutuhan air tanaman. Hasil pengukuran pH air hujan setempat berkisar
4,99 sampai 6,48 dan tersedia dengan jumlah yang cukup.
Hasi l tersebut mendukung hasil pengukuran Anwar et al (1994) pada
musim hujan di saluran sekunder UPT Tarantang (sejajar lokasi penelitian), air
pasang besar dengan pH 5,0 hanya mampu masuk sejauh 2,8 km dari sungai
Barito, semakin jauh dari sungai Barito, pH air semakin rendah, dimana sifat
0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 Jam Pengamatan
Nilai Sifat Kimia Air
pH DHL (x100; uS/cm) Al (ppm) SO4 (x50; ppm)
Gambar 2 Fluktuasi kualitas air pasang besar di saluran sekunder lokasi penelitian selama 24 jam pada tanggal 12 Desember 2003. Puncak pasang pada jam 02, sedangkan surut maksimal pada jam 15.
berkorelasi negatif dengan pH air, juga hasil penelitian Klepper et al. (1993) pada
saluran sekunder UPT Barambai dan UPT Belawang (Kalimantan Selatan), serta
KP Unit Tatas, Kapuas (Kalimantan Tengah), dimana semakin jauh jarak dari
sungai utama (Sei. Barito untuk UPT Barambai dan Sei. Kapuas Murung untuk
KP Unit Tatas), semakin rendah pH air yang terukur, perkecualian terjadi pada
kawasan saluran sekunder, dimana permukaan tanahnya masih didominasi oleh
lapisan gambut.
Kualitas air tersebut bersifat speksifik lokasi, sangat ditentukan oleh jarak
dari muara laut dan sungai serta daya dorong dan kualitas air daerah hulu yang
mengalir pada saluran sekunder tersebut. Saluran sekunder yang dekat dengan
laut mempunyai kualitas air mendekati kualitas air payau, dengan pH dan kadar
garam Na yang tinggi. Semakin ke daerah hulu sungai Barito, kualitas air
semakin mendekati kualitas air sungai (air tawar) sehingga kualitas air pasang
yang masuk ke saluran sekunder sesuai dengan kualitas air dimana posisi muara
Kualitas air pada saluran sekunder juga ditentukan oleh jarak dari muara
saluran sekunder, semakin dekat dengan sungai Barito kualitas airnya mendekati
kualitas sungai Barito, dan semakin jauh dari sungai Barito kualitas airnya
mendekati kualitas air cucian lahan-lahan diatasnya. Hasil ini terlihat dari
pengukuran yang dilakukan Anwar et al. (1994). Hal ini menunjukkan bahwa
kualitas air saluran sekunder sangat bervariasi dan bersifat spesifik. Beberapa
pengamatan lapangan menunjukkan bahwa volume air yang mengalir pada suatu
sungai turut menentukan kualitas air yang masuk ke saluran sekunder. Sungai
yang menampung volume air dari daerah hulu yang besar akan mendorong
dengan kekuatan yang besar pula terhadap arus pasang air laut sehingga
kualitas air sungai yang masuk ke suatu saluran sekunder ditentukan oleh
resultante dua kekuatan arus air tersebut.
Curah Hujan
Unsur cuaca yang paling penting untuk pertanian lahan rawa daerah tropika
adalah curah hujan. Menurut Fagi dan Las (1988) curah hujan sejalan dengan
unsur cuaca lainnya, terutama intensitas sinar surya, lama penyinaran, suhu, dan
kelembaban. Wilayah Indonesia yang berada dalam iklim tropika basah
isothermik, menyebabkan tidak adanya variasi tipe iklim. Pendapat tersebut
menunjukkan bahwa curah hujan dapat dijadikan indikator unsur cuaca lainnya.
Data curah hujan selama masa tanam musim kemarau dan musim hujan
disajikan pada Tabel 2. Dari data pengukuran menunjukkan bahwa curah hujan
selama tanam musim kemarau sangat rendah, berkisar antara 0-48,2 mm per 2
minggu, hal ini menunjukkan bahwa sumber air yang berasal dari curah hujan
tidak bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan air tanaman padi, karena itu
perlu pasokan air dari pasang sungai Barito. Selain itu, muka air surut maksimal
periode surut. Selama musim kemarau, pasang yang mampu meluapi lahan
hanya pasang besar, sedangkan pasang besar tidak terjadi setiap hari, karena itu
untuk kebutuhan air tanaman padi dibutuhkan konservasi air, salah satunya
dengan sistim tabat.
Tabel 2 Curah hujan selama masa tanam musim kemarau 2003 dan musim hujan 2003/2004
Curah Hujan Periode
Musim Kemarau Musim Hujan MST --- mm --- 0 - 2 2,1 7,6 2 - 4 48,2 15,5 4 - 6 9,9 70,9 6 - 8 0,0 78,5 8 -10 0,9 129,6 10 -12 0,9 218,5
MST = minggu setelah tanam
Pada masa tanam musim hujan, curah hujan pada bulan Nopember (0-4
MST) cukup rendah, berkisar 7,6-15,5 mm per 2 minggu. Pada bulan Desember
curah hujan cukup tinggi berkisar 70,9-78,5 per 2 minggu, curah hujan terus
meningkat pada bulan Januari, berkisar 129,6–218,5 mm per 2 minggu. Dari data
tersebut diketahui bahwa sebagian besar kebutuhan air tanaman padi dapat
dipenuhi dari air hujan, hal ini dibantu tingginya muka air puncak pasang dan
surut maksimal sehingga menghambat gerakan air vertikal (perkolasi) maupun
horizontal (rembesan). Hal ini menjadi penting karena selama pertanaman
musim hujan, air pasang sungai dengan kualitas air yang baik tidak sampai ke
lokasi penelitian sehingga air hujan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber