PADA TANAH SULFAT MASAM
KHAIRIL ANWAR
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Peningkatan Kualitas Tanah Sawah dan Air Buangan di Saluran Drainase pada Tanah Sulfat Masam” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber infor masi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Mei 2006
ABSTRAK
KHAIRIL ANWAR. Peningkatan Kualitas Tanah Sawah dan Air Buangan di
Saluran Drainase pada Tanah Sulfat Masam. (Dibimbing oleh Supiandi Sabiham sebagai ketua; dan Basuki Sumawinata, Asep Sapei, dan Trip Alihamsyah sebagai anggo ta).
Oksidasi pirit pada tanah sulfat masam menurunkan kualitas tanah dan air buangan dari sawah. Peningkatan kualitas tanah pada pertanaman padi dapat dilakukan dengan pemberian bahan organik disertai dengan pengaturan air agar selalu dalam keadaan reduktif. Perbaikan kualitas air petakan dilakukan dengan pemberian air berkualitas baik (pH = 5,0) melalui pemanfaatan pasang besar dimusim kemarau dan air hujan pada musim hujan, sedangkan untuk memperbaiki kualitas air buangan dikembangkan sebuah sistem saluran drainase.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui: (1) kemampuan kompos jerami padi dalam meningkatkan kualitas tanah dan produksi padi; dan (2) kemampuan biofilter dalam memperbaiki kualitas air buangan di saluran drainase; serta (3) periode waktu drainase air petakan sawah yang tepat.
Penelitian dilakukan pada tanah sulfat masam (Typic Sulfaquept), terluapi pasang besar (tipe B), di Kebun Percobaan Belandean, Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (BALITTRA), Kalimantan Selatan, pada musim kemarau 2003 dan musim hujan 2003/2004. Perlakuan untuk peningkatan kualitas tanah berupa takaran pemberian kompos jerami padi, sedangkan perlakuan untuk peningkatan kualitas air buangan berupa biofilter purun tikus (Eleocharis dulcis), bulubabi (Eleocharis retroflaxa), dan kombinasinya dengan batu kapur kalsit atau zeolit. Media filter tersebut ditempatkan pada saluran drainase.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian kompos jerami mampu memperbaiki kualitas tanah pada fase vegetatif, berupa peningkatan pH dan bahan organik tanah serta penurunan Al-dd. pH tanah pada fase tersebut merupakan indikator produksi padi pada musim kemarau dan hujan. Pemberian kompos jerami sebesar 2,7 t/ha (setara berat kering) mampu meningkatkan hasil gabah sebesar 48% pada musim kemarau dan 132% pada musim hujan. Kualitas air buangan sangat ditentukan oleh kualitas air petakan sawah yang akan dibuang. Kualitas air buangan dapat ditingkatkan setelah dialirkan melalui biofilter purun tikus dan bulubabi seluas 6,25% dari luas tanam padi, dilanjutkan melalui batu kapur kalsit (diameter 0,5-1,0 cm) seberat 78,125 kg/ha.
ABSTRACT
KHAIRIL ANWAR. Quality Improvement of Paddy Soil and Discharged Water in Drainage Channel at Acid Sulphate Soil. (Under academic advisory of Supiandi Sabiham as chairman, and Basuki Sumawinata, Asep Sapei, and Trip Alihamsyah as members of advisory committee).
Oxidation of pyrite in acid sulphate soil reduced the quality of soil and discharged water from paddy field. Improvement of soil quality in paddy cultivation could be managed by addition of organic matter together with regulating water to maintain its reductive condition. Water quality improvement in the paddy field was conducted by addition of good quality water (pH= 5,0) through utilization of high tide water in dry season and rain water during rainy season while for improvement of discharged water, a system of drainage channel was developed.
The objective of this research was to obtain information on: (1) the ability of rice straw compost in improving soil quality and rice production; (2) the ability of biofilter in improving the quality of discharged water in drainage channel; and (3) the appropriate period for water drainage in rice field plot.
The research was conducted in acid sulphate soil (Typic Sulfaquept), with flooding during high tide (B type) at experimental field Belandean, Research Institute for Swamp Land Agriculture (BALITTRA), South Kalimantan, during dry season of 2003 and rainy season of 2003/2004. Treatment for improving soil quality was in the form of the rate of application of rice straw compost whereas treatment for improving discharged water quality was in the form of biofilters using purun tikus (Eleocharis dulcis), bulubabi (Eleocharis retroflaxa), and their combination with calcite limestone and zeolite. Those media filters were placed in drainage channel.
Research results indicated that the application of rice straw compost was capable of improving soil quality during vegetative phase substantiated by increasing soil pH and organic matter content, and decreasing exchangeable Al. Soil pH in that phase constituted an indicator of rice production during dry and rainy seasons. Application of rice straw compost as much as 2.7 t/ha (dry weight equivalent) was capable of increasing the yield of rice by 48% in dry season and 132% in rainy season.
Quality of discharged water was determined mostly by quality of water in the plot of paddy field which would be discharged. Quality of discharged water could be improved after being flowed through biofilter of purun tikus and bulubabi as wide as 6.25% of the rice planting area and continued by flowing through calcite limestone (diameter 0.5 -1.0 cm) of as much as 78.125 kg/ha.
ABSTRACT
KHAIRIL ANWAR. Quality Improvement of Paddy Soil and Drained Water at Acid Sulphate Soil. (Under academic advisory of Supiandi Sabiham as chairman, and Basuki Sumawinata, Asep Sapei, and Trip Alihamsyah as members of advisory committee).
Oxidation of pyrite in acid sulphate soil reduced the quality of soil and drained water from paddy field. Improvement of soil quality in paddy cultivation could be managed by addition of organic matter together with regulating of water to maintain its reductive condition. Water quality improvement in the paddy field was conducted by addition of good quality water (pH= 5,0) through utilization of high tide water in dry season and rain water during rainy season while for improvement of drained water, a system of drainage canal was developed. The objective of this research was to obtain information on: (1) the ability of rice straw compost in improving soil quality and rice production; (2) the ability of biofilter in improving the quality of drained water, and (3) the appropriate period for drained water in rice field plot.
This research was conducted in acid sulphate soil (Typic Sulfaquept), with flooding during high tide (B type) at experimental field Belandean, Research Institute fo r Swamp Land Agriculture (BALITTRA), South Kalimantan, during dry season of 2003 and rainy season of 2003/2004. Treatment for improving soil quality was in the form of the rate of application of rice straw compost whereas treatment for improving drained water quality was in the form of biofilters using
purun tikus (Eleocharis dulcis), bulubabi (Eleocharis retroflaxa), and their combination with calcite limestone and zeolite. Those media filters were placed in drainage canal.
Research results indicated that the application of rice straw compost was capable of improving soil quality during vegetative phase substantiated by increasing soil pH and organic matter content, and decreasing exchangeable Al. Soil pH in that phase constituted an indicator of rice production during dry and rainy seasons. Application of rice straw compost as much as 2.7 t/ha (dry weight equivalent) was capable of increasing the yield of rice by 48% in dry season and 132% in rainy season.
Quality of drained water was determined mostly by quality of water in the plot of paddy field, which would be drained. Quality of drained water could be improved after being flowed through biofilter of purun tikus and bulubabi as wide as 6.25% of the rice planting area and continued by flowing through calcite limestone (diameter 0.5 -1.0 cm) of as much as 78.125 kg/ha.
PENINGKATAN KUALITAS TANAH SAWAH DAN
AIR BUANGAN DI SALURAN DRAINASE
PADA TANAH SULFAT MASAM
KHAIRIL ANWAR
Disertasi
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Doktor pa da
Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Disertasi : Peningkatan Kualitas Tanah Sawah dan Air Buangan di Saluran Drainase pada Tanah Sulfat Masam
Nama : Khairil Anwar NRP : A226010031 Program Studi : Ilmu Tanah
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr. Dr. Ir. Basuki Sumawinata, M.Agr. Ketua Anggota
Prof.Dr. Ir. Asep Sapei, M.S. Dr.Ir. Trip Alihamsyah, M.Sc. Anggota Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Tanah Dekan Sekolah Pasca Sarjana
Dr, Ir. Komaruddin Idris, M.S. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MSc.
PRAKATA
Penelitian yang berjudul “Peningkatan Kualitas Tanah Sawah dan Air Buangan di Saluran Drainase pada Tanah Sulfat Masam” dipersiapkan dan dilaksanakan di KP. Belandean, dan Laboratorium tanah, air dan tanaman Balai Penelitian Pertani an Lahan Rawa (Balittra), Banjarbaru, Kalimantan Selatan, sejak Maret 2003 hingga April 2004.
Pada kesempatan ini, dengan segala ketulusan hati, penulis mengucapkan terima kasih atas segala bimbingan, nasehat, dorongan dan fasilitas, kepada Bapak Prof. Dr. Supiandi Sabiham, M.Agr. selaku Ketua Komisi Pembimbing; dan Bapak Dr. Ir. Basuki Sumawinata, M.Agr.; Bapak Prof. Dr. Ir. Asep Sapei, M.S; dan Bapak Dr. Ir. Trip Alihamsyah M.Sc. sebagai anggota komisi pembimbing.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr.Ir. Achmadi Jumberi M.S. dan kepala Balittra (Dr. Ir. Trip Alihamsyah M.Sc.) yang telah memberikan fasilitas penelitian, saran-saran dan dorongan dalam penelitian dan penyelesaian disertasi ini. Kepada staf laboratorium tanah dan staf KP. Belandean, yang telah membantu penelitian di lapangan dan laboratorium diucapkan terima kasih. Kepada teman-teman peneliti Balittra dan rekan-rekan mahasiswa Pasca Sarjana Program Studi Ilmu Tanah IPB yang senantiasa memberi bantuan dan doa, serta dorongan dalam penyelesaian disertasi diucapkan terima kasih.
Kepada orang tua yang selalu mendoakan, dan ibu mertua, saudara ipar dan keluarga besar isteri yang membantu tenaga dan materi kepada anak dan isteri penulis yang ditinggalkan di Banjarmasin, diucapkan banyak terima kasih. Mudah-mudahan semua amal baik yang telah diberikan kepada penulis tersebut mendapat balasan dari Allah SWT. Semoga hasil penelitian ini dapat dijadikan informasi dan bermanfaat bagi peningkatan produktivitas tanah sulfat masam.
Bogor, Mei 2006
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Negara, sebuah kota kecil yang berdiri diatas lahan rawa lebak, di Kalimantan Selatan, pada 4 Juni 1960 sebagai anak ketiga dari enam bersaudara dari Ibu Bastiah (alm.) dan ayah Mursid.
Pendidikan sarjana pertanian bidang keahlian ilmu tanah ditempuh di Institut Pertanian Bogor (IPB), dan lulus pada tahun 1983. Pada tahun 1986 mendapat kesempatan sekolah S2 di Universitas Padjadjaran Bandung dengan bidang kajian utama kesuburan tanah dan gizi tanaman, lulus tahun 1989.
Penulis adalah Peneliti Madya bidang peningkatan produktivitas lahan pada Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (Balittra) yang berkedudukan di Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Ia bekerja di Balai tersebut sejak Januari 1984. Kegiatan berkaitan dengan keilmuan yang telah dilakukan, antara lain sebagai kepala Laboratorium tanah, air dan tanaman (1984-1986 dan 1995-2001), melakukan penelitian pemupukan dan tata air, serta penelitian pengembangan teknologi tata air skala hamparan tersier untuk tanaman pangan di lahan sulfat masam, sebagai asisten surveyor pada survei lahan rawa Delta P ulau Petak (kerjasama Belanda-Indonesia) dan survei lahan kering di Pulau Laut, Kalimantan Selatan. Dalam periode tahun 1994-2005 telah melakukan survei kesesuaian lahan rawa pasang surut, rawa lebak dan lahan kering untuk Rencana Tata Ruang Satuan Pemukiman (RTSP) Transmigrasi Kalimantan Selatan sebanyak 28 lokasi UPT (Unit Pemukiman Transmigrasi).
Pada tahun 2001 ia ditugaskan oleh Badan Litbang Pertanian dengan biaya PAATP untuk mengikuti Program Doktor di IPB, mengambil bidang kajian ilmu tanah. Penelitian pada S1, S2 dan S3 semuanya mengenai tanah sulfat masam.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xiii
PENDAHULUAN ... 1
Proses Kimia Tanah Sulfat Masam pada Suasana Oksidasi Reduksi .... 6
Dampak Oksidasi – Reduksi pada Tanah Sulfat Masam. ... 12
Upaya Penanggulangan Dampak Oksidasi Pirit ... 15
Peranan Bahan Organik sebagai Bahan Ameliorasi Tanah ... 17
Khemofilter ... 19
Biofilter... 21
KARAKTERISTIK LOKASI PENELITIAN ... 23
Rasional ... 23
Bahan dan Metode... 23
Hasil dan Pembahasan... 24
KEMAMPUAN BIOFILTER TERHADAP AKUMULASI Fe DAN S, DAN KHEMOFILTER TERHADAP PENINGKATAN pH AIR... 33
Rasional ... 33
Bahan dan Metode ... 34
Hasil dan Pembahasan ... 35
PENGARUH KOMPOS JERAMI TERHADAP KUALITAS TANAH, KELARUTAN Fe2+ , SO42-, DAN PRODUKSI PADI ... 44
Rasional ... 44
Bahan dan Metode ... 45
Hasil dan Pembahasan ... 48
PERBAIKAN KUALITAS AIR BUANGAN DARI PETAKAN SAWAH YANG DIALIRKAN MELALUI BIOFILTER... 75
Rasional ... 75
Bahan dan Metode ... 75
Hasil dan Pembahasan ... 77
PEMBAHASAN UMUM ... 87
KESIMPULAN DAN SARAN... 93
Kesimpulan ... 93
Saran . ... …... .94
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Kisaran pH air saat pasang besar pada musim kemarau 2003 dan
musim hujan 2003/2004 ………... 28
2. Curah hujan selama masa tanam musim kemarau 2003 dan musim
hujan 2003/2004 ………. 32
3. Kandungan Fe dan S gulma rawa yang tumbuh pada saluran tersier
(kondisi tergenang) di KP Belandean, pada MK 2003 ... 36
4. Kandungan Fe dan S gulma rawa yang tumbuh pada kondisi kering di KP Belandean, dan yang tumbuh pada lingkungan kurang
masam (pH>4,0) pada MK 2003 ………... 37
5. Kandungan Fe batang purun tikus yang tumbuh pada saluran
tersier dengan drainase lancar pada dua kondisi pembersihan ……… 38
6. Debit, pH dan volume jenuh air terfilter melalui media filter ………..…….. 42
7. Pengaruh pemberian kompos jerami terhadap pertumbuhan, komponen hasil dan hasil padi musim kemarau 2003 ...………. 62
8. Pengaruh pemberian kompos jerami terhadap pertumbuhan, komponen hasil dan hasil padi musim hujan 2003/2004...………. 74
9. pH air buangan setelah melalui media filter ……… 78
10. Kandungan Fe2+ air buangan setelah melalui media filter ……… 80
11. Perubahan berat dan kandungan Fe biofilter awal tanam dan saat panen pada musim hujan 2003/2004 ..……….. 81
12. Kandungan SO42- air buangan setelah melalui media filter .……….. 84
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Dinamika kedalaman air saluran tersier pada saat pasang besar
pada MK 2003 dan MH 2003/2004 ...…27
2. Fluktuasi kualitas air pasang besar di saluran sekunder lokasi penelitian selama 24 jam pada 12 Desember 2003 ……..………... 30
3. Akumulasi karat Fe pada purun tikus, bulubabi, teratai, dan ganggang di saluran tersier dengan drainase terhambat dan berlangsung lama,
pada musim hujan 2004……… 39
4. Hubungan pH air terfilter dengan ukuran butir khemofilter ………. 40
5. Hubungan debit air terfilter dengan ukuran butir khemofilter ……….. ..41
6. pH tanah dengan berbagai takaran kompos jerami dan waktu
pengukuran pada musim kemarau 2003 ……….……….. 48
7. Al-dd tanah dengan berbagai takaran kompos jerami dan waktu
pengukuran pada musim kemarau 2003 ………..……… 51
8. Bahan organik tanah (BOT) dengan berbagai takaran kompos jerami
dan waktu pengukuran pada pertanaman musim kemarau 2003 …….……. 54
9. Fe2+-larut pada tanah dengan berbagai takaran kompos jerami dan
waktu pengukuran pada musim kemarau 2003 ……… 56
10. SO42- -larut pada tanah dengan berbagai takaran kompos jerami dan
waktu pengukuran pada musim kemarau 2003 .……….. 58
11. Penampilan produksi padi pada penelitian musim kemarau 2003………… 63
12. pH tanah dengan berbagai takaran kompos jerami dan waktu
pengukuran pada musim hujan 2003/2004 ……… 64
13. Al-dd pada tanah dengan berbagai takaran kompos jerami dan waktu
pengukuran pada musim hujan 2003/2004 ………….……… 66
14. Bahan organik tanah (BOT) dengan berbagai takaran kompos jerami
dan waktu pengukuran pada musim hujan 2003/2004 ………. 67
15. Fe2+-larut pada tanah dengan berbagai takaran kompos jerami dan
waktu pengukuran pada pertanaman musim hujan 2003/2004 ……… 68
16. SO42- -larut pada tanah dengan berbagai takaran kompos jerami dan
Halaman
17. Penampilan tanaman padi dengan berbagai takaran kompos jerami
pada minggu ke 3 pertanaman musim hujan 2003/2004 ……… 72
18. Purun tikus dan bulubabi di saluran drainase pada musim hujan,
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Nilai sifat kimia-fisik tanah lokasi penelitian ……… 103
2. Cara pembuatan dan hasil analisis jerami, pupuk kandang dan kompos 103
3. Teknik sampling tanah dalam satu petak perlakuan..……… 104
4. Pengaruh pemberian kompos jerami terhadap pH tanah pada
Pertanaman padi musim kemarau 2003. ……….. 105
5. Pengaruh pemberian kompos jerami terhadap Al-dd tanah pada
pertanaman padi musim kemarau 2003 ……… 105
6. Pengaruh pemberian kompos jerami terhadap bahan organik tanah
pada pertanaman padi musim kemarau 2003……… 105
7. Pengaruh pemberian kompos jerami terhadap Fe2+-larut tanah pada
pertanaman padi musim kemarau 2003 ……… 106
8. Pengaruh pemberian kompos jerami terhadap SO42- -larut tanah pada
pertanaman padi musim kemarau 2003 ……….… 106
9. Pengaruh pemberian kompos jerami terhadap pH tanah pada
pertanaman padi musim hujan 2003/2004 ……….… 106
10. Pengaruh pemberian kompos jerami terhadap Al-dd tanah pada
pertanaman padi musim hujan 2003/2004 ……….. 107
11. Pengaruh pemberian kompos jerami terhadap bahan organik tanah
pada musim hujan 2003/2004 ……….. ……….. 107
12. Pengaruh pemberian kompos jerami terhadap Fe2+-larut tanah pada
pertanaman padi musim hujan 2003/2004 ………….…. ……… 107
13. Pengaruh pemberian kompos jerami terhadap SO42--larut tanah
pada pertanaman padi musim hujan 2003/2004 ………. …… 108
14. Skor keracunan Fe pada padi ……… …… 109
15. Nilai K-larut pada tanah dengan beberapa takaran pemberian kompos jerami pada pertanaman padi musim hujan 2003/2004 ………. 109
16. Rata-rata kualitas air petakan pada berbagai takaran kompos jerami
pada pertanaman padi musim hujan 2003/2004……….. 109
17. Tata letak perlakuan pada penelitian perbaikan kualitas air buangan dari petakan sawah yang dialirkan melalui biofilter ……… 110
Halaman
19. Rata-rata tinggi muka air petakan dan kecepatan penurunanya melalui media filter ……….……… 112
20. Rata-rata besar penurunan muka air petakan untuk mencapai titik
jenuh media filter pada perlakuan pewakil (2,7 t/ha) ……… 112
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanah yang mengandung mineral pirit (FeS2) banyak dijumpai pada rawa
pasang surut, dan sering disebut sebagai tanah sulfat masam. Nugroho et al.
(1992) memperkirakan terdapat sekitar 6,7 juta hektar di seluruh Indonesia.
Adanya oksidasi pirit pada tanah tersebut akan menghasilkan H+ dan SO42-,
akibatnya kelarutan ion Al, Fe, dan Mn meningkat sehingga dapat mendesak
kation-kation basa dari kompleks jerapan tanah (Dent 1986). Hasil penelitian
skala laboratorium dan lapangan menunjukkan bahwa adanya pencucian pada
tanah tersebut akan melarutkan sejumlah ion toksik seperti H+ dan Al3+, dan
ion-ion yang diperlukan tanaman seperti Ca2+, Mg2+, dan K+ (Anwar et al. 1994 dan
Murtilaksono et al. 2001). Meningkatnya ion toksik tersebut pada badan
perairan dapat menyebabkan terjadinya pergeseran dominasi dan penurunan
biota perairan, dapat membunuh dan menimbulkan penyakit bintik merah pada
ikan (Callinan et al. 1993 dan Willet et al. 1993). Kondisi ini menunjukkan bahwa
oksidasi pirit menyebabkan terjadinya penurunan kualitas tanah dan air buangan
sehingga pertumbuhan tanaman terhambat dan produksi rendah, serta
mengganggu kehidupan biota perairan.
Berbagai upaya perbai kan telah dilakukan, antara lain dengan pemberian
kapur, pencucian, dan penggunaan varietas adaptif, akan tetapi kurang berhasil
dengan baik. Umumnya belum memperbaiki kualitas air buangan yang keluar
dari petak sawah, sehingga hanya akan memunculkan masalah baru berupa
penurunan kualitas air drainase , karena itu perlu dicari alternatif upaya perbaikan
yang bersifat holistik (terpadu) sehingga lahan tetap produktif, kualitas tanah dan
Upaya tersebut harus memanfaatkan segala potensi in situ (setempat) agar
petani dapat melaksanakannya. Salah satu alternatif pemecahan masalah diatas
adalah dengan menanam padi varietas adaptif disertai dengan pengaturan air
agar selalu tergenang dengan memberi pasokan air berkualitas baik, serta
melakukan filterisasi air buangan dari petak sawah dengan biofilter setempat.
Hasil jerami padi dikembalikan ke tanah untuk memperbaiki kualitas tanah.
Pemberian jerami padi (kompos) pada penanaman padi disertai pengaturan
air agar selalu tergenang dapat memicu terjadinya proses reduksi Fe. Menurut
Dent (1986), adanya reduksi Fe pada tanah tersebut dapat meningkatkan pH
tanah. Peningkatan pH tersebut dapat meningkatkan produksi padi (Moore dan
Patrick 1993). Selain itu, pemberian jerami padi dapat meningkatkan kandungan
bahan organik tanah, hal ini berarti akan memperlambat proses penurunan
kualitas tanah (Ponnamperuma 1984). Pendekatan tersebut didukung oleh hasil
penelitian Rachim et al. (2000) dan Yuliana (1998).
Pengembalian jerami padi ke tanah asalnya secara tidak langsung turut
serta menciptakan pertanian organik. Menurut Oh (1984), sebaiknya jerami
diberikan dalam bentuk kompos. Pemberian jerami dalam bentuk kompos (C/N
rendah) dapat mengurangi efek reduksinya, karena itu kompos yang diberi kan
merupakan kompos setengah matang.
Agar air buangan mempunyai kualitas yang baik maka perlu dilakukan
filterisasi dengan biofilter setempat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa purun
tikus/kudung (Eleocharis dulcis) mampu mengakumulasi Fe dan S dalam jumlah
cukup besar (Mulyanto et al. 1999), dan dapat dijadikan tanaman perangkap
untuk hama penggerek batang putih (Asikin dan Thamrin 2001). Selain biofilter,
ada beberapa khemofilter sudah dikenal dapat memperbaiki kualitas air, yaitu
arang, arang aktif, zeolit dan kapur (Pari 1996 dan 2002; Ming dan Mumpton
Dari uraian diatas maka perlu dilakukan penelitian mengenai: (1)
kemampuan kompos jerami dalam meningkatkan kualitas tanah dan hasil padi
pada musim kemarau maupun musim hujan; (2) kemampuan biofilter dalam
memperbaiki kualitas air buangan; dan (3) waktu yang tepat melakukan drainase
air petakan sawah sesuai dinamika sifat kimia tanah.
Penelitian diatas dibagi menjadi beberapa topik, yaitu (1) karakteristik lokasi
penelitian; (2) kemampuan biofilter terhadap akumulasi Fe dan S, serta
khemofilter terhadap peningkatan pH air; (3) pengaruh kompos jerami terhadap
kualitas tanah, kelarutan Fe2+ dan SO42-, serta produksi padi; dan (4) perbaikan
kualitas air buangan dari petakan sawah yang dialirkan melalui biofilter.
Tujuan Penelitian
Penelitian bertujuan untuk mendapatkan: (1) takaran kompos jerami yang
mampu memperbaiki kualitas tanah dan meningkatkan produksi padi, (2) media
filter yang mampu meningkatkan kualitas air buangan di saluran drainase, dan
(3) untuk mengetahui periode waktu drainase air petakan yang tepat sesuai
dinamika kimia tanah dan air, dan hubungannya dengan produksi padi.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat sebagai sumber informasi bagi pengelolaan
sawah pada tanah sulfat masam tipe luapan B secara holistik, berdasarkan
potensi dan masalah utama pada tanah, air dan tanaman.
Hipotesis
1. Pemberian kompos jerami mampu memperbaiki kualitas tanah dan mening-
2. Biofilter mampu meningkatkan kualitas air buangan di saluran drainase.
3. Fase vegetatif merupakan periode waktu yang tepat melakukan drainase
intensif air petakan.
TINJAUAN PUSTAKA
Tanah Sulfat Masam
Tanah sulfat masam di dunia terdapat sekitar 24 juta ha (Bosh et al. 1998),
sedangkan yang masih tertutup lapisan gambut terdapat sekitar 20 juta ha
(Breemen 1980), yang tersebar di beberapa negara. Terdapat 1,6 juta ha di
delta Mekong Vietnam (Sterk 1993), 1,6 juta ha di Thailand (Cho et al. 2002); 6,6
juta ha di Afrika (Khouma dan Toure 1982), 200.000 ha diantaranya di Afrika
Barat (Agyem-Sampong et al. 1988). Di Cina diperkirakan terdapat 67 ribu ha
(Qifan 1981), sedangkan di Australia sekitar 40.000 km2 (Hick et al. 2002). Di
Indonesia, tanah yang berpirit tersebut ada sekitar 6,7 juta ha (Nugroho et al.
1992), yang tersebar di dataran pantai Sumatera, Kalimantan, Irian Barat,
Sulawesi, dan sedikit di pulau-pulau lainnya. Sebagian tanah tersebut telah
dibuka untuk usaha pertanian, baik oleh petani lokal maupun untuk program
transmigrasi. Sebagian besar tanah tersebut diusahakan untuk tanaman
pangan, terutama tanaman padi dengan hasil yang bervariasi. Proses
pembentukan tanah sulfat masam atau pirit tersebut telah banyak diuraikan,
antara lain oleh Dent (1986), Wada dan Seisuwan (1988).
Tanah tersebut pada kondisi aktual bervariasi baik antar tempat maupun
kedalaman, tergantung proses pembentukan tanah yang terjadi. Tanah-tanah
sulfat masam dicirikan oleh adanya lapisan sulfidik atau horison sulfurik.
Menurut Soil Survey Staff (1998), bahan sulfidik merupakan bahan yang
mengandung senyawa belerang dan dapat teroksidasi. Bahan tersebut dapat
berupa bahan tanah mineral atau bahan tanah organik yang mempunyai nilai pH
> 3,5, dan apabila suatu lapisan setebal 1 cm diinkubasi dalam kondisi aerobik
dan lembab (pada kapasitas lapang) pada suhu kamar, selama 8 minggu,
(diukur dalam rasio air dan tanah 1:1, atau menggunakan jumlah air lebih sedikit
yang memungkinkan pengukuran), sedangkan horison sulfurik merupakan
horison yang mempunyai ketebalan ≥ 15 cm, dan tersusun dari bahan mineral atau bahan tanah organik, yang mempunyai nilai pH ≤ 3,5, serta menunjukkan tanda-tanda bahwa rendahnya nilai pH disebabkan oleh asam sulfat, yaitu
dengan menunjukkan salah satu/lebih ciri berikut: (1) konsentrasi jarosit, (2)
secara langsung berada diatas bahan sulfidik, dan atau (3) mengandung sulfat
larut air ≥ 0,05 %.
Tanah-tanah sulfat masam yang telah mengalami oksidasi disebut juga
sebagai tanah sulfat masam aktual, sedangkan yang belum mengalami oksidasi
disebut tanah sulfat masam potensial. Pada klasifikasi tanah PPT-P3MT tanah
berpirit tersebut dimasukan kedalam macam tanah Gleisol Tionik atau Aluvial
Tionik (Suhardjo et al. 1983). Menurut klasifikasi FAO-UNESCO (1985), tanah
berpirit tersebut dimasukan kedalam Thionic Fluvisol. Tanah berpirit tersebut
sering juga disebut dengan cat clay, mud clay atau pyritic soil .
Proses Kimia Tanah Sulfat Masam pada Suasana Oksidasi-Reduksi
Tanah sulfat masam umumnya berada pada lahan rawa. Pada lahan rawa
pasang suru t, secara alamiah terjadi perbedaan topograpi lahan dari daerah
pantai ke hulu sungai. Hal ini menyebabkan terjadinya perbedaan jangkauan air
pasang pada suatu kawasan sehingga memunculkan perbedaan tipe luapan.
Adanya variasi luapan dan perbedaan curah hujan menyebabkan perbedaan
ketinggian muka air tanah antara musim kemarau dan hujan. Hal ini dapat
menyebabkan terjadinya suasana oksidasi-reduksi atau oksidasi/reduksi saja,
pada suatu lahan dengan tingkat yang bervariasi sesuai dengan karakteristik
berbeda antara kedua suasana tersebut. Untuk mempercepat peningkatan
kualitas lahan maka proses-proses tersebut penting dipelajari.
Proses pada Kondisi Oksidasi
Lahan berada dalam kondisi tanpa genangan sering dijumpai pada saat air
laut/sungai surut pada musim kemarau atau pada lahan-lahan yang sumber
utama airnya berasal dari curah hujan. Kondisi tersebut dapat menyebabkan
terjadinya proses-proses oksidasi terhadap unsur/senyawa yang berada dalam
tanah. Diantara proses oksidasi yang sangat penting pada tanah tersebut adalah
oksidasi pirit.
Proses oksidasi pirit telah banyak diuraikan, antara lain oleh Dent (1986),
Alloway dan Ayres (1997). Mereka mengemukakan bahwa proses oksidasi pirit
pada tanah sulfat masam terjadi dalam beberapa tahap dan melibatkan proses
kimia serta biokimia. Mula-mula oksigen terlarut dalam air tanah bereaksi lambat
dengan pirit, menghasilkan besi fero (Fe2+) dan sulfat atau unsur belerang.
Reaksi tersebut adalah sebagai berikut :
FeS2 + ½ O2 + 2 H+ Fe2+ + 2 S + H2O
Oksidasi belerang oleh oksigen terjadi sangat lambat, tetapi dengan bantuan
bakteri autotrop yang berperan sebagai katalisator proses berjalan lebih cepat,
dengan reaksi sebagai berikut:
S + 3/2 O2 + H2O SO42- + 2 H+
Kemasaman yang ditimbulkan ditambahkan dengan kemasaman yang
masam. Jika pH tanah menjadi lebih rendah dari 4, Fe3+ larut dan mengoksidasi
pirit dengan kecepatan tinggi. Persamaan reaksi oksidasi pirit oleh Fe3+ sebagai
berikut :
FeS2 + 14 Fe3+ + 8 H2O 15 Fe2- + 2 SO42- + 16 H+
Dengan adanya oksigen, Fe2+ yang dihasilkan dapat berubah menjadi Fe3+.
Namun pada pH kurang dari 3,5 oksidasi melalui proses kimia berlangsung
lambat. Pada pH rendah, bakteri Thiobacillus ferrooxidans mengoksidasi Fe2+
menjadi Fe3+ dengan cepat dan selanjutnya Fe3+ yang dihasilkan terlibat lagi
dalam proses oksidasi pirit. Wako et al. (1984) dan Jaynes et al. (1984 diacu
dalam Mensvoort dan Dent 1998) menyebutkan bahwa kondisi optimum untuk
oksidasi pirit sama dengan kondisi optimum untuk oksidasi besi oleh Thiobacillus
ferrooxidans yaitu konsentrasi oksigen > 0,01 Mole fraksi (1%), temperatur
5-55oC (optimal 30oC), pH 1,5-5,0 (optimal 3,3). Reaksi oksidasi Fe2+ menjadi
Fe3+ dengan bantuan Thiobacillus ferrooxidans adalah sebagai berikut :
Fe2+ + 1/4 O
2 + H+ Fe3+ + ½ H2O
Dari persamaan diatas, terlihat bahwa sebagian besar kemasaman (H+)
yang dihasilkan dalam proses oksidasi pirit oleh Fe3+, digunakan dalam proses
oksidasi Fe2+ dengan bantuan Thiobacillus ferrooxidans. Reaksi oksidasi pirit
yang terja di dalam beberapa tahap dengan hasil akhir feri hidroksida secara
ringkas dapat dinyatakan dalam persamaan reaksi sebagai berikut :
FeS2 + 15/4 O2 + 7/2 H2O Fe(OH)3 + 2 SO42- + 4 H+
Menurut Breemen (1993), kecepatan penurunan pH akibat oksidasi pirit
ditentukan oleh jumlah pirit, kecepatan oksidasi, kecepatan perubahan hasil
oksidasi, dan kapasitas netralisasi.
Oksidasi pirit pada tanah sulfat masam akibat drainase telah banyak
dipelajari. Pada penelitian kolom tanah sulfat masam yang berasal dari
Nieuwikoop, Netherland dan Pulau Petak, Kalimantan Selatan, diketahui bahwa
potensial redoks (Eh) meningkat setelah didrainase dan mengakibatkan pirit
teroksidasi. Pada tanah dari Nieuwikoop, pirit teroksidasi 1% bobot setelah
didrainase selama 450 hari dan pH tanah relatif konstan setelah didrainase 100
hari. Sedangkan pada tanah Pulau Petak, pH terus menurun segera setelah
didrainase. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan kandungan karbonat,
dimana tanah Nieuwikoop mengandung lebih banyak karbonat yang dapat
menahan terjadinya penurunan pH (Ritsema et al. 1992).
Hasil penelitian Le Ngoc Sen (1988) pada tanah sulfat masam dari
Mijdrecht Polder, Netherland, menunjukkan bahwa kedalaman air tanah dan ada
tidaknya lapisan bahan gambut diatas permukaan tanah mempengaruhi tingkat
penurunan pH dalam penampang tanah. Adanya lapisan bahan organik
(gambut) pada permukaan tanah mineral menurunkan kecepatan pemasaman
yang diduga akibat kurangnya suplai oksigen, sedangkan kedalaman air tanah
menaikkan ketinggian lapisan yang mengalami pemasaman. Hasil penelitian
Yuliana (1998) pada tanah sulfat masam Karang Agung Ulu, Sumatera Selatan
menunjukkan bahwa semakin dalam penurunan muka air tanah dari permukaan
lapisan pirit semakin turun pH tanah.
Oksidasi pirit mengakibatkan perubahan kandungan ion-ion di dalam
larutan tanah dan kompleks jerapan. Selama proses oksidasi, SO42- dalam
larutan tanah meningkat cepat, dan sebaliknya Fe2+ menurun. Penurunan
yang sukar larut dan sebagian lagi terpresipitasi dalam bentuk jarosit. Setelah
periode oksidasi, kompleks jerapan didominasi oleh Al3+ yang menggantikan Ca2+
dan Mg2+ (Ritsema et al. 1992). Hasil penelitian Yuliana (1998) menunjukkan
bahwa drainase tanah sulfat masam meningkatkan Al-dd, dan Fe3+ serta
menurunkan Fe2+.
Proses pada Kondisi Reduksi
Lahan sulfat masam dalam kondisi reduksi umumnya terjadi pada tanah
tergenang, sering dijumpai pada lahan rawa tipe luapan A yang selalu diluapi
oleh air pasang, tipe luapan B pada saat pasang besar dimusim hujan dan tipe C
yang menggunakan sistim tabat pada musim hujan. Menurut Dent (1986), dalam
proses reduksi, pH tanah dapat meningkat karena adanya penggunaan H+ dalam
reaksi tersebut. Sebagai contoh penggunaan H+ oleh Fe(OH)
3 yang dihasilkan
dalam oksidasi pirit, dengan persamaan reaksi sebagai berikut :
Fe(OH)3 + 2 H+ + ¼ CH2O Fe2+ + 1 ¼ H2O + ¼ CO2
Reaksi reduksi tersebut berlangsung dengan bantuan bakteri anaerob dan
adanya bahan organik sebagai penyumbang elektron. Oleh sebab itu,
dibandingkan pada tanah biasa, kecepatan reduksi pada tanah sulfat masam
yang digenangi lebih lambat karena kemasaman yang tinggi, rendahnya
ketersediaan hara dan bahan organik yang mudah terdekomposisi, atau
kombinasi dari kondisi-kondisi tersebut yang mengakibatkan bakteri anaerob
kurang mampu berkembang.
Peningkatan pH tanah menurunkan tingkat aktifitas Al3+. Penurunan
reduktif tersebut dapat mengakibatkan timbulnya ion atau senyawa lain yang juga
dapat bersifat toksik (racun) bagi tanaman, yaitu Fe2+, H2S , asam organik, dan
CO2 yang larut dalam jumlah tinggi dalam larutan tana h. Hasil penelitian Moore
dan Patrick (1993) menunjukkan bahwa serapan Fe pada tanaman padi
berkorelasi dengan aktivitas Fe2+ dalam larutan tanah, sedangkan pertumbuhan
tanaman berkorelasi dengan pH tanah dan AFe (rasio aktivitas Fe3+ terhadap
jumlah aktivitas kation divalent).
Keracunan H2S tidak bersifat spesifik pada tanah sulfat masam. Mitsui
1964 (diacu dalam Breemen 1993) menyebutkan bahwa pada konsentrasi 0,1
mg/l H2S sudah dapat meracuni tanaman padi. Keracunan terjadi umumnya
pada tanah yang kaya bahan organik dan rendah besi. Keracunan H2S hanya
muncul setelah pH mencapai 5, hal ini berkaitan dengan aktivitas bakteri
pereduksi sulfat (Desulfovibrio). Timbulnya H2S tersebut menurut Dent (1986),
Konsten et al. (1990) dan Breemen (1993) karena proses reduksi SO42- dan
jumlah yang terbentuk berhubungan langsung dengan bahan organik dengan
reaksi sebagai berikut :
SO42- + 2 CH2O + H+ H2S + 2 CO2 + 2 H2O
Reaksi reduksi sulfat tersebut selain membutuhkan bahan organik sebagai
sumber elektron, juga pH yang sesuai agar berjalan cepat yaitu pH antara 4-5.
Reduksi sulfat berjalan sangat lambat pada pH dibawah angka tersebut, karena
itu pada tanah sulfat masam muda, reduksi sulfat berjalan lebih cepat dibanding
pada tanah sulfat masam tua. Tanaman padi yang mengalami keracunan H2S
sangat mudah terinfeksi penyakit dan akar kurang berkembang (Puslitbangtan
Hasil penelitian Yuliana (1998) menunjukkan bahwa perlakuan
penggenangan 3 bulan setelah tanah sulfat masam didrainase 8 minggu dengan
kedalaman air bawah tanah 40 cm dari lapisan pirit meningkatkan pH tanah dan
kandungan Fe2+, menurunkan Al-dd dan SO42-. Hasil penelitian Ritsema et al.
(1992) dengan penggenangan kembali selama 300 hari pada tanah sulfat masam
dari Pulau Petak setelah didrainase selama 450 hari mengakibatkan kandungan
Fe2+ pada tanah tersebut meningkat dengan cepat. Diduga peningkatan tersebut
disebabkan oleh adanya proses reduksi Fe3+ yang berbentuk amorf menjadi Fe2+.
Dampak Oksidasi-Reduksi pada Tanah Sulfat Masam
Permasalahan utama pada tanah sulfat masam adalah adanya
oksidasi-reduksi senyawa -senyawa yang terdapat dalam tanah tersebut, terutama
oksidasi senyawa pirit yang menghasilkan asam sulfat. Dihasilkannya asam
sulfat tersebut, membuat pH tanah menjadi sangat rendah sehingga terjadi
degradasi mineral liat oleh ion hidrogen tersebut. Gambaran reaksi degradasi
mineral liat menurut Breemen (1976) sebagai berikut:
M.Al-silicate + (3+a) H+ + b H2O <==> Ma+ + Al3+ + cH4SiO4o
Dalam suasana dengan konsentrasi ion hidrogen yang tinggi ini, sejumlah Al, Fe,
dan Mn dibebaskan oleh proses degradasi tersebut diatas, sehingga
logam-logam tersebut meningkat kelarutannya dan dapat meracuni tanaman. Hasil
penelitian Phung dan Lieu (1993) menunjukkan bahwa pH yang rendah dan
kelarutan yang tinggi dari unsur meracun tersebut menurunkan total
mikroorganisme dan membuat jumlah bahan organik tidak berkorelasi dengan
larut tergantung langsung pada pH dan aktivitas ion sulfat. Aktivitas ion Al
meningkat 10 kali tiap penurunan pH satu unit. Pada tanah sulfat masam di
Thailand, konsentrasi Al3+ pada air tanah meningkat dari 0,4 ppm pada pH 5,5
menjadi 54 ppm pada pH 2,8, sedangkan Hicks et al. (2002) menyebutkan
bahwa aktivitas Al dikontrol oleh kelarutan berbagai Alunimium-hidroksi-sulfat.
Ion Al dapat menjadi beracun pada konsentrasi rendah (1-2 ppm), tergantung
toleransi tanaman. Menurut Rorison (1973) kelarutan Al yang tinggi
menghambat perkembangan jaringan, pemanjangan akar, dan pembelahan sel
akar. Selain itu, kelarutan Al yang tinggi mengakibatkan P terfiksasi menjadi
bentuk yang lebih stabil dan sukar larut, sehingga tidak tersedia bagi tanaman.
Dent (1986) menyebutkan bahwa pada pH kurang dari 3,5, ion H+ dapat
menghambat pertumbuhan tanaman, tetapi yang sangat prinsip adalah kelarutan
ion Al.
Adanya peristiwa oksidasi-reduksi pada tanah sulfat masam berdampak
terhadap tanaman yang tumbuh diatasnya dan perairan yang dilalui air drainase
dari kawasan tersebut. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sylla et al. (1993)
menunjukan bahwa produksi padi pada tanah sulfat masam di Sierra Leone,
Senegal dipengaruhi oleh kemasaman, salinitas dan tingkat keracunan besi.
Dampak oksidasi pirit terhadap lingkungan telah menjadi perhatian banyak
peneliti. Menurut hasil pengkajian Breemen (1993), dampak proses oksidasi pirit
adalah (1) pelepasan unsur-unsur mikro Ni, Co, Cu, Zn, Pb, dan As. Menurut
Alloway dan Ayres (1997) adanya pemasaman melarutkan logam-logam berat
seperti Pb, Hg dan Cd.; (2) pelepasan Al3+, sehingga mempunyai potensi untuk
meracuni akar tanaman dan ikan, tergantung kepada varietas/spesies dan tahap
pertumbuhan; (3) pelepasan SO2, gas ini ter lepas selama oksidasi sulphide,
karena itu merupakan sumber polusi udara melalui hujan asam; (4) Oksidasi besi
organik menyebabkan munculnya karatan yang berwarna coklat pada tumbuhan
air atau pinggir-pinggir tanggul saluran air.
Hasil penelitian Callinan et al. (1993) di Australia menunjukkan bahwa
adanya pencucian lahan sulfat masam pada saat hujan lebat menyebabkan pH
air menjadi rendah dan meningkatnya konsentrasi Al terlaru t sehingga
menyebabkan banyak ikan yang mati dan terkena penyakit akibat meningkatnya
populasi jamur Aphanomyces sp. Hasil pengukuran Hick et al. (2002) selama
20 tahun menunjukkan produksi rata-rata asam sebesar 7 x 105 mole H+/ha/th,
sedangkan dampak pada proses reduksi adalah (1) reduksi besi (III) menjadi besi
II sehingga terjadi peningkatan konsentrasi besi (II), akibatnya dapat meracuni
tanaman, dan bila didrainase akan menambah kadar besi di badan perairan; (2)
reduksi sulfat menghasilkan H2S, dalam konsentrasi tinggi bersifat racun bagi
tanaman padi.
Hasil pengukuran Anda dan Siswanto (2002) menunjukkan bahwa dampak
oksidasi pirit pada lahan sawah di Kalimantan Tengah, selain menurunkan pH
dan kandungan Ca serta Mg, juga meningkatkan kelarutan dan kejenuhan Al,
serta menyebabkan berubahnya kimia saluran primer dan skunder, dimana pH
menjadi lebih rendah, dan Al3+, EC, SO42-, dan Cl- meningkat dibanding inlet.
Oksidasi tersebut berdampak terhadap tanaman dan merupakan faktor
pembatas. Cho et al. (2002) menyebutkan bahwa faktor pembatas terhadap
produksi pertanian (utamanya padi) di lahan sulfat masam Dataran Tengah
Thailand adalah kemasaman yang tinggi, defisiensi P, dan kelarutan Al, Fe, dan
Mn yang tinggi , dan menyebabkan tanaman keracunan. Tanpa perbaikan,
produksi sangat rendah berkisar 1-1,5 t/ha, dan hanya pertanian tradisional dapat
berkelanjutan. Penurunan kemasaman melalui pemberian kapur dan pencucian
Pada kondisi reduksi , besi ferro (Fe2+) yang dominan (Dent 1986).
Kelarutan Fe yang tinggi dapat meracuni tanaman padi. Kadar ion Fe2+ yang
dapat meracuni bervariasi, terjadi pada 20-40 mg/l. Mensvoort et al. (1991)
menyebutkan angka 30 mg/l sebagai awal terjadinya keracunan besi. Munculnya
gejala keracunan besi juga dipengaruhi kadar hara lain dalam tanah seperti P, K,
Ca dan Mg. Selain itu tergantung kepada toleransi varietas padi yang ditanam.
Upaya Penanggulangan Dampak Oksidasi Pirit
Adanya proses oksidasi senyawa pirit dan proses reduksi dari hasil oksidasi
tersebut membawa berbagai dampak negatif bagi pertumbuhan tanaman dan
lingkungan sekitarnya. Karena itu perlu dilakukan upaya penanggulangan agar
dampak negatif tersebut dapat ditekan seminimal mungkin tanpa banyak
mengurangi tingkat produksi padi. Menurut Breemen (1993), beberapa tindakan
yang dapat digunakan untuk menurunkan kemasaman, adalah (1) pencegahan
oksidasi pirit, dengan jalan membatasi suplai oksigen atau mempengaruhi
kecepatan satu atau lebih dari tahap oksidasi, misalnya dengan: (i) mengurangi
kecepatan oksidasi Fe2+ ke Fe3+ melalui penambahan bakteri sida atau ligand
pengkomplek Fe2+; (ii) pengkomplekan atau pengendapan Fe3+ melalui
penambahan pengkelat organik atau fosfat. Pencegahan suplai O2 dapat
dilakukan dengan penggenangan; (2) Pencucian, dilakukan sebelum pemberian
amelioran. Pencucian dengan air segar sangat efesien mencuci H2SO4 bebas,
Fe terlarut dan garam-garam Al. Pencucian dengan air payau atau garam
menyebabkan Al-dd diganti oleh Na dan Mg dari air yang ditambahkan, dan
hanya efisien dalam kondisi oksidasi, tidak pada kondisi reduksi. Pencucian
pemberian kapur untuk menetralkan kemasaman. Pemberian kapur hanya
efisien jika kemasaman terlarut telah dicuci.
Hasil penelitian Murtilaksono et al. (2001) menunjukkan bahwa pencucian
mampu meningkatkan pH dan menurunkan Al-dd, sulfat, Fe-dd dan Mn-dd,
namun produksi padi menurun. Hasil penelitian Didi Ardi et al. (1992)
menunjukkan bahwa pencucian dengan air pasang lebih efektif meningkatkan pH
dibanding air hujan, hal ini diduga berkaitan jumlah air hujan yang relatif terbatas.
Namun pencucian juga membawa dampak negatif, yaitu tercucinya basa-basa
yang berguna bagi tanaman. Hasil penelitian Subagyono et al. (1997)
menunjukkan bahwa pencucian menurunkan nilai DHL dan menaikkan Fe2+.
Mensvoort et al. (1991) melaporkan bahwa air payau atau air laut mampu
mencuci/mengendapkan Al.
Menurut Dent (1986), pencucian dengan air payau/laut tersebut
menyebabkan Al dan Fe terdesak keluar komplek jerapan dan digantikan oleh Na
dan Mg. Al tersebut kemudian dapat mengendap. Reaksi tersebut digambarkan
sebagai berikut:
clay –Al(s) + Mg2+ (aq) + Na+ (aq) clay-Mg, Na(s) + Al3+(aq)
Al3+ (aq)+ 3 H2O Al(OH)3(s) + 3H+(aq)
Pemberian kapur menurunkan kemasaman tanah. Dari hasil penelitian
Anwar (1983 dan 1989) menunjukkan bahwa pemberian kapur dapat mengurangi
aktifitas Al, Fe, Mn, S O42- dalam larutan tanah, serta meningkatkan pH tanah.
Sedangkan hasil penelitian Oborn (1993) menunjukkan bahwa pemberian kapur
sebesar 6 t/ha pada tanah sulfat masam di Swedia menaikan pH dari 4,8 menjadi
5,6, dan pemberian dolomit kurang memberi pengaruh terhadap pertumbuhan
ekonomis, karena diperlukan jumlah kapur yang tinggi, apalagi kapur relatif sulit
didapat pada lokasi tanah sulfat masam tersebut, khususnya di Indonesia.
Berdasarkan hasil pengkajian Pulford et al. (1988) diketahui bahwa 1:10
phenanthroline, fosfat, silikat, sitrat, dan EDDA (Ethylenenediamine
di-orthohydroxyphenylacetic acid) dapat digunakan sebagai agen pengkomplek/
pengendap ion besi ferro; dan panasida (2,2’ dyhydrpxy 5,5’ dichloropheny
methante) merupakan bakterisida yang dapat digunakan untuk mencegah kerja
dari bakteri pengoksidasi Thiobacillus ferooxidans
Dalam menanggulangi dampak oksidasi pirit, selain melalui aspek tanah
dan air, juga dilakukan dengan menanam varietas adaptif. Para pemulia
tanaman telah mendapatkan beberapa varietas tanaman pangan yang relatif
adaptif, baik padi maupun palawija. Varietas padi pasang surut yang dihasilkan
selama kurun waktu 1996-2001, adalah Banyuasin, Dendang, Batang Hari,
Punggur, Indra Giri, Margasari dan Martapura dengan potensi hasil 4-6 t/ha.
Varietas Martapura dan Margasari merupakan varietas yang toleran terhadap
keracunan besi, dan berumur 120-125 hari, hasil persilangan varietas lokal
dengan varietas unggul (Puslitbangtan Pangan, 2002).
Peranan Bahan Organik sebagai Bahan Ameliorasi Tanah
Bahan organik telah lama dikenal manfaatnya untuk memperbaiki sifat-sifat
tanah, bahkan telah berkembang wacana untuk menciptakan pertanian organik
untuk menjaga kelestarian lingkungan dengan mengembalikan bahan organik
yang terbentuk di atas tanah ke tanah asalnya, yang selama ini terabaikan
dengan pesatnya pengunaan pupuk anorganik.
Di pertanian lahan rawa, potensi bahan organik adalah jerami padi, gulma
dalam bentuk organik, tetapi dalam bentuk anorganik melalui abu. Hal ini berarti
telah menghilangkan kemampuan gugus fungsionalnya. Menurut Bohn et al.
(1985) bahan organik berkontribusi terhadap unsur hara, dan dapat menurunkan
reaktifitas kation-kation Al dan Fe. Penambahan bahan organik yang telah
didekomposisi akan bereaksi dengan Fe dan Al membentuk ikatan atau komplek
dengan asam organik melalui satu atau lebih mekanisme. Menurut Senesi
(1994), hal ini terjadi karena Fe dan Al mampu menggantikan kedudukan ligan O,
N maupun sulfida. Pada tanah sulfat masam yang mempunyai pH rendah, Fe
memiliki kemampuan terikat relatif lebih kuat. Hal ini terlihat dari deret jerapan
yang dikemukakan Schnitzer (1997), yaitu:
pH 4,7 : Hg= Fe= Pb=Al = Cr > Cu > Cd> Ni = Zn >Co> Mn pH 3,7 : Hg> Fe > Pb>Al > Cu > Cr > Cd = Zn=Ni=Co= Mn pH 2,4 : Hg> Fe > Pb>Al = Cu > Ni> Cr = Zn= Cd = Co = Mn
Pada tanah sulfat masam, bahan organik sangat berperan dalam proses
oksidasi dan reduksi. Pada kondisi reduksi, bahan organik berperan sebagai
sumber elektron bagi reaksi reduksi sulfat dan besi (III), dan juga sebagai
sumber energi bagi bakteri-bakteri pereduksi yang mempercepat reaksi-reaksi
reduksi. Stevenson (1982) menyebutkan bahwa asam humat mempunyai
kemampuan me reduksi Fe3+ menjadi Fe2+, karena itu tanpa adanya bahan
organik, reaksi reduksi akan terhambat.
Pemberian bahan organik dapat dilakukan dengan pengembalian jerami
padi ke tanah asalnya, secara tidak langsung turut serta menciptakan pertanian
organik dan mengembalikan siklus alaminya. Menurut Ponnamperuma (1984),
jerami banyak mengandung N, P, S, K, Si dan C, pemberian secara terus
menerus akan meningkatkan kandungan hara tersebut dalam tanah. Selain itu
organik, dan bahan-bahan yang mudah tereduksi. Pemberian dengan takaran 5
-10 t/ha tidak memunculkan efek racun bagi padi. Menurut Subba Rao (1977)
dan Oh (1984), sebaiknya jerami diberikan dalam bentuk kompos, hal ini berguna
untuk mengurangi munculnya efek rumah kaca dan defisiensi N, serta
meningkatkan populasi mikroorganisme yang bermanfaat. Selain itu, pemberian
kompos jerami meningkatkan hasil padi lebih besar (63%) dibandingkan bila
diberikan dalam bentuk jerami (8%), dan jerami efektif bila diberikan pada
pertanaman dengan kondisi kering. Menurut Inoko (1984), kompos efektif
sebagai sumber hara, 25-30% N dari kompos dapat diserap oleh padi, selain itu
juga sebagai penyumbang hara K yang cukup besar.
Agar proses pembuatan kompos berjalan cepat, perlu memperhatikan
beberapa faktor, menurut Dalzell et al. (1987), laju dekomposisi bahan organik
tergantung kepada beberapa faktor, antara lain: ukuran partikel, nisbah C/N,
suplai hara, kelembaban, aerasi, suhu, derajat kemasaman, dan ketersediaan
mikroorganisme.
Khemofilter
Penggunaan arang, kapur dan zeolit sebagai bahan penyerap/penetral ion
yang terlarut dalam suatu larutan sudah lama diketahui. Bahan-bahan tersebut
sering digunakan sebagai bahan dalam proses pengolahan air bersih dan dapat
dikatakan sebagai khemofilter. Menurut Anonim (2002), khemofilter merupakan
sebuah filter mekanik yang bekerja pada skala molekuler dengan menangkap
bahan terlarut seperti gas, bahan organik terlarut dan ion-ion tertentu.
Khemofilter dapat melakukan fungsinya dengan tiga cara, yaitu (1) serapan, (2)
Arang kayu/serbuk. Arang kayu/serbuk merupakan arang hasil
pembakaran kayu/serbuk, baik melalui sistem timbun maupun menggunakan
drum. Menurut Pari (2002), secara morfologis arang memiliki pori yang efektif
untuk mengikat atau menyimpan hara, dan dapat berfungsi untuk meningkatkan
pH tanah dan menyerap kelebihan CO2. Arang yang diberikan pada tanah yang
dijadikan sebagai campuran media tanam meningkatkan persentase tumbuh bibit
Eucalyptus urophylla, Eucalyptus citriodora dan Acacia mangium. Adanya pori
pada arang kayu tersebut diharapkan dapat berfungsi sebagai pengabsorpsi
ion-ion meracun dan gas dari air drainase.
Arang aktif. Arang aktif merupakan arang kayu dan arang lainnya yang
mengalami aktivasi. Arang aktif memiliki ruang pori sangat banyak dengan
ukuran tertentu, dengan luas permukaan 500 -1500 m2 sehingga sangat efektif
menangkap partikel halus berukuran 0,1 µ - 0,01 mm. Pori-pori ini dapat
menangkap partikel-partikel yang sangat halus (molekul) dan menjebaknya
disana, dengan berjalannya waktu, pori-pori ini pada akhirnya akan jenuh
dengan partikel-partikel yang sangat halus sehingga tidak berfungsi lagi.
Lamanya kemampuan absorpsi sangat tergantung dari metode aktivasi
sebelumnya.
Dilihat dari kemampuannya dalam mengabsorbsi molekul, maka arang aktif
mempunyai kemampuan yang sangat besar untuk mengabsropsi ion meracun air
drainase dari tanah sulfat masam, termasuk gas-gas yang ada dalam larutan.
Hasil penelitian Pari (1996) pada air sumur tercemar, arang aktif dari serbuk
gergajian sengon mampu mengabsorpsi (menarik) logam Fe, Mn, Zn, dan anion
SO42-, PO43-, dan Cl- serta menjernihkan air. Arang aktif dapat dibuat dari
berbagai bahan organik yang ada di masyarakat, antara lain dari cangkang/sabut
tahun 1986 di Kalimantan telah berdiri pabrik arang aktif dari limbah serbuk
gergajian kayu sebagai bahan baku utama.
Zeolit. Zeolit merupakan batuan yang memiliki ronga-ronga dan tahan
terhadap lingkungan asam sehingga kerusakan struktur dapat dihindari, dan
reaktifitasnya dapat ditingkatkan dengan pengasaman. Menurut Astiana (1993),
rongga zeolit merupakan permukaan aktif zeolit, terdapat basa-basa seperti K,
Na, Ca dan Mg dan dapat dipertukarkan oleh kation-kation lain. Selektivitas
pertukaran tersebut mengikuti deret berikut :
K > NH4 > Na > Fe > Al > Mg > Li
Zeolit dapat berfungsi sebagai penyaring molekuler , mampu menyaring ion
meracun seperti Al3+, Fe2+ dan SO42- yang berada dalam air drainase sehingga
konsentrasi ion tersebut dalam air yang melewati zeolit akan lebih rendah.
Menurut Ming dan Mumpton (1989), peranan zeolit ini dapat ditingkatkan melalui
dealuminasi, alkalinasi maupun dehidratasi
Kapur sudah lama dikenal mempunyai kemampuan sebagai bahan
penetral sumber kemasaman tanah dan air. Kapur dapat menaikan pH air
sehingga kelarutan ion Al3+, Fe2+ dan SO42- menurun. Menurut Dent (1986),
kapur akan bereaksi dengan SO4 membentuk garam CaSO4.
Biofilter
Biofilter merupakan tanaman/tumbuhan yang mampu mengabsorbsi atau
memfilter unsur unsur beracun, baik yang larut dalam larutan tanah maupun air.
Tanaman purun yang tumbuh dominan di lingkungan tanah sulfat masam dapat
dipilah menjadi dua, yaitu purun tikus/kudung (Eleocharis dulcis)dan purun tikar
(Eleocharis conesta). Purun tikus berkembang baik pada lahan sulfat masam
drainase atau cekungan-cekungan, dan tahan terhadap pH air yang sangat
rendah (< 3,2). Hasil pengamatan Suwardi et al. (1999) di UPT Barambai,
Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa purun kudung tumbuh bersama kelakai
(Blechnum orientale L.) mendominasi pada lahan-lahan terlantar yang pH
tanahnya turun sampai 3. Menurut Mulyanto et al. (1999), tanaman tersebut
dapat menyerap Al dan Fe dalam jumlah besar dan diakumulasi di dalam
jaringan tanaman. Selain itu, tanaman purun dapat dijadikan tanaman
perangkap bagi hama penggerek batang putih. Hasil penelitian Asikin dan
Thamrin (2001) menunjukkan bahwa hama tersebut lebih suka meletakan
telurnya pada tanaman purun daripada tanaman padi, baik musim hujan maupun
musim kemarau. Di kalangan masyarakat purun tikar dijadikan sebagai bahan
baku dalam pembuatan tikar dan topi.
Hasil penelitian Krolak (2001) pada lahan basah sub tropika di selatan
Podlasie, Polandia, menunjukkan bahwa tanaman sejenis rumput (Taraxacum
offinalle Webb) merupakan penyerap logam-logam berat dan diakumulasi dalam
jaringan tanpa menampakan efek fisiologi. Tanaman tersebut merupakan
biofilter dan dijadikan sebagai indikator terjadinya pencemaran logam berat.
Menurut Suriawiria (2003), kemampuan tanaman sebagai biofilter karena
mempunyai mikroba rhizosfera yang mampu mengurai bahan organik dan
anorganik di sekitar akar sehingga merubah pH air buangan, menurunkan
kandungan logam-logam berat, dan mereduksi beberapa jenis logam. Beberapa
biofilter yang sudah dikenal antara lain: enceng gondok (Eichornia crassipes),
kayambang (Lemna minor), ki apu (Spirodella polyrhiza), cyperus, mendong
(Fimbristylis), dan scirpus. Selain itu beberapa tumbuhan yang mempunyai
mikroba rhizosfera sehingga bersifat sebagai biofilter adalah paku air (Azolla
pinata), wawalingian (Typha domingensis), kangkung (Ipomoea aquatica), genjer
KARAKTERISTIK LOKASI PENELITIAN
Rasional
Lahan rawa pasang surut merupakan lahan yang dipengaruhi oleh gerakan
pasang dan surutnya air laut, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Adanya perbedaan topografi dan desakan air hujan dari daerah hulu,
menyebabkan terjadinya perbedaan kemampuan air pasang memasuki suatu
kawasan, hal ini dapat berpengaruh kepada kualitas tanah dan air suatu lokasi,
dan dapat mempengaruhi produksi suatu tanaman. Karena itu, karakteristik
suatu lokasi penelitian sangat penting diketahui terutama aspek tanah, air dan
iklim, karena ketiga aspek tersebut akan mempengaruhi masalah yang berkaitan
dengan tanah, air dan tanaman.
Bahan dan Metode
Bahan
Bahan dan alat yang diperlukan untuk pengamatan tanah lokasi penelitian
berupa bor gambut, pisau survey, meteran, munsell color chart, pH meter, H2O2
30%, tissue, kantong plastik, gelas piala, dan pengaduk kaca. Untuk
mempelajari pola tinggi dan kualitas air diperlukan meteran kayu dengan
panjang 1 dan 3 m, serta botol plastik 350 cc, sedangkan untuk mempelajari
curah hujan diperlukan ombrometer.
Metode
Tanah Lokasi Penelitian. Lokasi penelitian merupakan salah satu kebun
percobaan Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa dan telah dilakukan
bulan Maret-April 2003, berupa cek kembali profil tanah, dengan melakukan
pemboran beberapa titik pada areal yang akan dijadikan sebagai lokasi
penelitian, dibuat sebuah lubang profil pewakil untuk diidentifikasi sebagai recek
hasil karakterisasi yang telah dilakukan. Recek dilakukan terhadap kedalaman
lapisan dan sifat kimia tanah.
Hidrologi. Untuk mengetahui ketinggian puncak pasang dan surut
maksimal air pasang surut, dilakukan pengukuran ketinggian muka air setiap hari
pada musim kemarau (MK) 2003 dan musim hujan (MH) 2003/2004. Titik
puncak pasang besar (pasang tunggal/ pasang purnama/ spring tide) atau surut
maksimal ditentukan saat air saluran sekunder stagnan (tidak bergerak).
Ketinggian muka air diukur dari dasar saluran sekunder. Hasil tersebut dikoreksi
dengan hasil pengukuran yang dilakukan oleh Dinas Kimpraswil bidang
pengairan setempat. Kualitas air pasang diukur dengan melakukan pengambilan
contoh air saat pasang besar untuk dilakukan pengukuran p H. Kemasaman air
(pH) dijadikan parameter kualitas kimia air, karena pH umumnya ber korelasi
dengan kelarutan ion-ion toksik.
Curah Hujan. Curah hujan, diukur menggunakan ombrometer yang
dipasang ditengah areal penelitian. Pengukuran dilakukan setiap hari.
Hasil dan Pembahasan
Tanah Lokasi Penelitian
Hasil cek ulang menunjukkan bahwa kedalaman lapisan dan sifat kimia
utama tidak berbeda dengan hasil karakteristik yang dilakukan oleh Suharta et al.
termasuk ke dalam famili tanah Typic Sulfaquepts, sangat halus, campuran,
masam, isohipertermik. Bila dilihat dari analisis penampang tanah hasil cek
ulang tersebut, lokasi penelitian mempunyai lapisan organik setebal 7 cm,
lapisan bawahnya hingga kedalaman 120 cm mempunyai tekstur liat, dengan pH
tanah pada berbagai kedalaman berada dibawah 3,7. Pada lapisan 0-50 cm dari
permukaan tanah mineral terdapat lapisan setebal > 15 cm (pada kedalaman
29-57 cm atau 22-50 cm dari permukaan tanah mineral) yang mempunyai lapisan
dengan pH = 3,5. Menurut Soil Survey Staff (1998), lapisan tersebut termasuk
kategori horison sulfurik. Horison sulfurik merupakan lapisan yang mengandung
pirit yang telah teroksidasi menghasilkan ion H+ dan SO42- sehingga pH turun =
3,5. Ion SO42- tercuci, sehingga kandungannya pada lapisan tersebut menjadi
lebih rendah dibanding lapisan dibawahnya, yaitu 0,18-0,43 % S. Hal ini
didukung adanya bahan sulfidik pada bagian bawah lapisan oksidasi. Bahan
sulfidik berada pada kedalaman 69-120 cm dengan kandungan S-total 1, 23%.
Tanah yang mempunyai horison sulfuri k menunjukkan bahwa tanah tersebut
telah mengalami perkembangan akibat adanya oksidasi-reduksi. Tanah yang
telah mengalami perkembangan awal termasuk ordo Inceptisol, karena itu tanah
tersebut termasuk kedalam grup Sulfaqu ept, dengan famili tanah Typic
Sulfaque pts, sangat halus, campuran, masam, isohipertermik
Hidrologi
Lokasi penelitian berjarak sekitar 3,1 km dari sungai Barito. Pada musim
hujan, pasang tunggal dari sungai Barito mampu meluapi permukaan lahan,
sedangkan pasang kecil (pasang ganda/ neap tide) umumnya tidak mampu
meluapi lahan. Menurut kriteria yang diungkapkan oleh Widjaja-Adhi et al.
(1992), lahan tersebut termasuk tipe luapan B, yaitu lahan yang hanya terluapi
Pola Ketinggian Air. Pola ketinggian muka air pasang dan surut pada
saluran sekunder (dari dasar saluran) di lokasi penelitian berbeda antara musim
kemarau dan hujan (Gambar 1). Pada musim kemarau, tinggi muka air puncak
pasang besar bersifat dinamik. Pada curah hujan dengan pola normal, pasang
besar masih mampu meluapi permukaan lahan hingga akhir bulan Juli atau 6-8
minggu setelah tanam (MST). Selama musim kemarau, tinggi muka air menurun
dengan waktu, umumnya pada bulan Agustus (8-12 MST) pasang besar tidak
mampu meluapi permukaan lahan, dan ini digunakan para petani untuk kegiatan
panen. Dalam satu periode pasang surut (14 hari), terdapat 3-9 hari lahan
terluapi pasang tunggal, dan bila curah hujan berada dibawah pola normal, maka
puncak pasang besar tidak mampu meluapi permukaan lahan. Selain itu, potensi
pasokan air untuk petakan relatif kecil, tinggi rata-rata diatas permukaan lahan
berkisar 2-9 cm. Selama musim kemarau, puncak pasang kecil tidak mampu
meluapi permukaa n lahan (rata-rata 10 –20 cm dibawah permukaan lahan),
sehingga lahan akan mengalami kekeringan bila tidak dilakukan konservasi air,
yaitu dengan memberi pasokan air saat pasang besar disertai usaha
menahannya dipetakan dengan sistem tabat. Pada Gambar 1, terlihat bahwa
pada minggu ke 0-2 (awal Juni) tinggi rata-rata muka air pasang besar 70 cm,
sedangkan lahan akan terluapi bila tinggi muka air pasang lebih dari 75 cm,
karena itu, pada periode tersebut terjadi kekurangan air.
Dari Gambar 1 terlihat bahwa sejak minggu ke 2 bulan Juli (4-6 MST), surut
maksimal terus menurun. Ini menunjukkan bahwa muka air tanah semakin turun
selama air surut pada musim kemarau. Penurunan tersebut seiring dengan
menurunnya curah hujan (Tabel 2). Meningkatnya penurunan muka air saat
surut dapat berpengaruh pada kemampuan air petakan untuk bergerak kebawah
0 25 50 75 100 125
0 s/d 2 2 s/d 4 4 s/d 6 6 s/d 8 8 s/d 10 10 s/d 12 12 s/d 14 14 s/d 16
Minggu Setelah Tanam (MST)
Kedalaman Air di Saluran
Tersier (cm)
Surut MK Pasang MK Surut MH Pasang MH
Gambar 1 Dinamika kedalaman air saluran tersier pada saat pasang besar dan surut pada MK 2003 dan MH 2003/2004.
Tinggi muka lahan adalah 75 cm tinggi dari dasar saluran.
Pada musim hujan, sejak awal Nopember (0-2 MST), air pasang besar
mampu meluapi permukaan lahan. Ketinggian muka air pasang besar terus
meningkat hingga bulan Pebruari (14-16 MST), demikian pula ketinggian muka
air surut maksimal terus meningkat mengikuti pola pasang besar. Peningkatan
tersebut seiring dengan meningkatnya curah hujan (Tabel 2). Dari data tersebut
dapat disimpulkan bahwa ditinjau dari aspek volume air, maka air pasang besar
selama musim hujan dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan tanaman.
Pola tinggi muka air lokasi penelitian dapat berbeda dengan lokasi lainnya,
karena kemampuan dorongan pasang air laut ke arah hulu dipengaruhi oleh jarak
lokasi dengan laut. Dari hasil olah data penelitian Agency for Agricultural
Research and Development (AARD) dan Land and Water Research Group
(LAWOO) (1992) diketahui bahwa ketinggian pasang besar di sungai Barito
kecil menurun relatif kecil yaitu rata-rata 0,02-0,60 cm per km. Peningkatan
tinggi muka air sungai Barito akibat pasang besar berkisar 1,40-3,0 m,
sedangkan pasang kecil berkisar 0,50-0,70 m dari muka laut (dpl). Dari hasil
pengamatan di lokasi penelitian dan hasil olah data penelitian AARD dan
LAWOO (1992) tersebut dapat disimpulkan bahwa pasang kecil tidak dapat
dijadikan sebagai sumber pasokan air petakan sawah pada semua lahan tipe
luapan B.
Kualitas Air. Kualitas air pada musim kemarau berbeda dengan musim
hujan. Pada musim kemarau, curah hujan dari daerah hulu relatif kecil sehingga
air pasang sungai Barito yang membawa air dengan kualitas baik mampu masu k
lebih jauh ke hulu saluran sekunder dan tersier. Dari Tabel 1 terlihat bahwa
kualitas air pasang besar selama musim kemarau mempunyai kualitas yang
cukup baik dengan pH rata-rata diatas 5,0. Selama musim hujan, kualitas air
pasang besar dari sungai Barito tidak sampai ke lokasi penelitian. Air pada
Tabel 1 Kisaran pH air saluran saat pasang besar pada musim kemarau 2003 dan musim hujan 2003/2004
saluran sekunder saat pasang besar sangat jelek, rata-rata mempunyai pH
antara 2,62-4,45. Hal ini terjadi karena curah hujan yang tinggi akan mencuci
ion-ion sumber kemasaman dari areal persawahan dan larut ke badan perairan
Adanya dorongan air yang besar dari daerah hulu saluran sekunder membuat
kemampuan air pasang sungai Barito yang masuk ke saluran sekunder menjadi
rendah, tidak mencapai lokasi penelitian, akibatnya air yang terdorong masuk
sampai ke lokasi penelitian selama musim hujan merupakan air masam yang
mengalir keluar sewaktu surut.
Kualitas air di saluran sekunder lokasi penelitian pada musim hujan
sangat rendah. Dari Gambar 2 terlihat bahwa pH pada saat puncak pasang 4,0,
sedangkan pH air pada saat surut 2,9. Konsentrasi ion Al3+ dan SO4
2-mempunyai pola berlawanan dengan pH air. Semakin tinggi pH air, ke larutan
Al3+ dan SO42- serta nilai DHL semakin rendah. Hasil ini menunjukkan bahwa
kualitas air tersebut berasal dari hasil pencucian lahan sawah sulfat masam.
Dari data tersebut menunjukkan bahwa air pasang sungai Barito pada musim
hujan tidak sampai ke lokasi penelitian, air yang ada di saluran sekunder
merupakan air hasil cucian lahan sulfat masam yang terdorong kembali oleh air
pasang sungai Barito. Kualitas air yang jelek tersebut tidak dapat dijadikan
sebagai sumber pasokan air petakan sawah karena dapat menurunkan kualitas
air buangan, karena itu air hujan dapat dijadikan alternatif sebagai sumber utama
untuk kebutuhan air tanaman. Hasil pengukuran pH air hujan setempat berkisar
4,99 sampai 6,48 dan tersedia dengan jumlah yang cukup.
Hasi l tersebut mendukung hasil pengukuran Anwar et al (1994) pada
musim hujan di saluran sekunder UPT Tarantang (sejajar lokasi penelitian), air
pasang besar dengan pH 5,0 hanya mampu masuk sejauh 2,8 km dari sungai
Barito, semakin jauh dari sungai Barito, pH air semakin rendah, dimana sifat