BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN
4.2. Karakteristik Umum Mahasiswa
4.2.2. Karakteristik Mahasiswa Berdasarkan Usia
Tabel 6. Jumlah dan Persentase Mahasiswa Berdasarkan Jenis Kelamin, Bogor
2010
Jenis Kelamin Jumlah (n) Persentase (%)
Perempuan 16 53,3
Laki-Laki 14 46,7
Total 30 100,0
4.2.2 Karakteristik Mahasiswa Berdasarkan Usia
Mahasiswa yang menjadi responden dalam penelitian memiliki usia yang berda-beda. Sebagian besar mahasiswa berusia 18 tahun. Mahasiswa yang berusia 18 tahun berjumlah 13 orang (43,3%), berusia 19 tahun berjumlah 12 orang (40,0%), berusia 20 tahun berjumlah 3 orang (10%), berusia 21 tahun berjumlah 1 orang (3,3%) dan berusia 22 tahun berjumlah 1 orang (3,3%).
Tabel 7. Jumlah dan Persentase Mahasiswa Berdasarkan Usia, Bogor 2010 Usia Jumlah (n) Persentase (%)
18 13 43,3 19 12 40,0 20 3 10,0 21 1 3,3 22 1 3,3 Total 30 100,0
4.2.3 Karakteristik Mahasiswa Berdasarkan Asal Daerah
Mahasiswa yang menjadi responden berasal dari daerah yang berbeda-beda sehingga digolongkan menjadi 7 daerah besar yaitu Sumatra, Jawa, Sulawesi, Sunda, Jakarta, Nusa Tenggara, dan Kalimantan. Sebagian besar mahasiswa berasal dari daerah Jawa dan Sumatra. Mahasiswa yang berasal dari Sumatra berjumlah 8 orang (26,7%), Jawa 8 orang (26,7%), Sunda 7 orang (23,3%), Nusa Tenggara 3 orang (10,0%), Jakarta 2 orang (6,7%), Sulawesi 1 orang (3,3%), dan Kalimantan 1 orang (3,3%).
Tabel 8. Jumlah dan Persentase Mahasiswa Berdasarkan Asal Daerah, Bogor 2010
Asal Daerah Jumlah (n) Persentase (%)
Sumatra 8 26,7
Jawa 8 26,7
Sunda 7 23,3
Nusa Tenggara 3 10,0
Jakarta 2 6,7
Sulawesi 1 3,3
Kalimantan 1 3,3
Total 30 100,0
4.2.4 Karakteristik Mahasiswa Berdasarkan Asal Sekolah
Setiap mahasiswa berasal dari sekolah yang berbeda-beda sebelum mereka bersekolah di STIE TAZKIA. Sebagian besar mahasiswa bersekolah di SMA yaitu sebanyak 13 orang (43,3%), selain itu ada juga yang bersekolah di MA Boarding School sebanyak 8 orang (26,7%), Pesantren sebanyak 5 orang (16,7%) dan SMA IT (Islam Terpadu) Boarding School sebanyak 4 orang (13,3%).
Mahasiswa yang bersekolah di SMA tidak tinggal di asrama sedangkan yang bersekolah di MA Boarding School pada umumnya tinggal di asrama tetapi ada juga yang tidak tinggal di asrama dan mahasiswa yang bersekolah di pesantren serta SMA IT Boarding School mereka diharuskan untuk tinggal di asrama.
Dampaknya adalah bagi mahasiswa yang bersekolah di pesantren, SMA IT Boarding School, dan sebagian di MA Boarding School mereka tidak bisa bertemu dengan keluarga mereka terutama ibu mereka sehingga mereka lebih banyak menerima pengasuhan dari guru mereka di sekolah dibandingkan dengan ibu mereka sendiri. Bagi mahasiswa yang bersekolah di SMA, dan sebagian MA Boarding School dapat tinggal dengan orang tua mereka namun mereka tetap memiliki waktu yang sedikit untuk bertemu dengan ibu mereka karena banyaknya kegiatan yang mereka ikuti di sekolah sehingga waktu mereka lebih banyak di sekolah daripada di rumah.
Tabel 9. Jumlah dan Persentase Mahasiswa Berdasarkan Asal Sekolah, Bogor
2010
Asal Sekolah Jumlah (n) Persentase (%)
SMA 13 43,3
MA Boarding School 8 26,7
Pesantren 5 16, 7
SMA IT Boarding School 4 13,3
Total 30 100,0
4.2.5 Karakteristik Mahasiswa Berdasarkan Pendidikan Akhir Ibu
Tingkat pendidikan ibu mahasiswa berbeda-beda. Pendidikan orang tua mahasiswa digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu mahasiswa yang ibunya berpendidikan S1 (tinggi) sebanyak 14 orang (46,7%), Diploma (sedang) 6 orang (20%), dan SLTA (rendah) 10 orang (33,3%). Jadi pada umumnya ibu mahasiswa telah mengenyam pendidikan tinggi yaitu S1.
Tabel 10. Jumlah dan Persentase Mahasiswa Berdasarkan Pendidikan Akhir Ibu, Bogor 2010
Pendidikan Ibu
Jenis Kelamin
Total Laki-laki Perempuan
n % n % n %
S1 7 23,3 7 23,3 14 46,7
Diploma 2 6,7 4 13,3 6 20,0
SLTA 5 16,7 5 16,7 10 33,3
Total 14 46,7 16 53,3 30 100,0
4.2.6 Karakteristik Mahasiswa Berdasarkan Pekerjaan Ibu
Orang tua mahasiswa khususnya ibu mahasiswa memiliki jenis pekerjaan yang berbeda-beda, tetapi pekerjaan yang paling dominan yang digeluti oleh ibu mahasiswa adalah guru yaitu sebanyak 9 orang (30,0%) kemudian diikuti oleh PNS (Pegawai Negeri Sipil) sebanyak 8 orang (26,7%), wiraswasta 6 orang (20,0%), wirausaha 6 orang (20,0%) dan petani 1 orang (3,3%).
Tabel 11. Jumlah dan Persentase Mahasiswa Berdasarkan Pekerjaan Ibu, Bogor
2010
Pekerjaan Ibu
Jenis Kelamin Total
Laki-laki Perempuan
4.2.7 Karaktristik Mahasiswa Berdasarkan Asal Daerah Ibu
Budaya yang dimiliki oleh ibu mahasiswa diukur melalui asal daerah ibu.
Asal daerah ibu digolongkan menjadi 7 golongan daerah besar yaitu Jawa, Sumatra, Sunda, Kalimantan, Sulawesi, Jakarta, dan Nusa Tenggara. Sebagian besar ibu mahasiswa STEI TAZKIA berasal dari daerah Jawa sehingga dalam memberikan pengasuhan pun tidak menutup kemungkinan budaya Jawa juga akan masuk. Ibu mahasiswa yang berasal dari daerah Jawa sebanyak 12 orang (40,0%), Sumatra 9 orang (30,0%), Sunda 4 orang (13,3%), Kalimantan 2 orang (6,7%), Sulawesi 1 orang (3,3%), Jakarta 1 orang (3,3%), dan Nusa Tenggara 1 orang (3,3%).
Tabel 12. Jumlah dan Persentase Mahasiswa Berdasarkan Asal Daerah Ibu, Bogor 2010
Suku Bangsa Ibu Jenis Kelamin Total
Laki-laki Perempuan
BAB V
PENGARUH LINGKUNGAN KELUARGA, SEKOLAH, DAN MASYARAKAT TERHADAP PERSEPSI GENDER MAHASISWA
LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
5.1 Lingkungan Keluarga
Keluarga adalah unit kesatuan sosial terkecil yang mempunyai peranan sangat penting dalam membina anggota-anggota keluarganya (Rahayu, 2009).
Secara prinsip keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas dua orang atau lebih berdasarkan pada ikatan perkawinan dan pertalian darah, hidup dalam satu rumah tangga di bawah asuhan seorang kepala rumah tangga, berinteraksi diantara anggota keluarga, setiap anggota keluarga memiliki perannya masing-masing dalam menciptakan dan mempertahankan budaya keluarga.
Keluarga, khususnya orang tua adalah tempat sosialisasi utama bagi mahasiswa terutama sosialisasi gender. Di lingkungan keluarga mahasiswa mendapatkan pendidikan gender melalui pendidikan orang tua terutama ibu karena ibu yang paling dekat dengan anak dari semenjak ia lahir dan dari proses pengasuhan dari ibu karena dari proses pengasuhanlah pendidikan gender diberikan. Di lingkungan keluarga juga tidak hanya diajarkan pendidikan gender tentang kehidupan keluarga tetapi juga tentang gender tentang kehidupan sekolah dan masyarakat. Besar kecilnya nilai gender yang diberikan di lingkungan keluarga bergantung dari kebersamaan antara ibu dengan mahasiswa. Semakin banyak kebersamaan mahasiswa dengan ibunya maka semakin banyak pula pendidikan gender yang mahasiswa terima dari ibunya yang berpendidikan tinggi.
5.1.1 Hubungan Antara Pendidikan Akhir Ibu dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa tentang Kehidupan Keluarga.
Pendidikan merupakan suatu proses penerusan nilai secara sadar dari pendidik yang berupa bimbingan, pengajaran, dan atau latihan kepada anak didik (mahasiswa) yang akan diterapkan di masa yang akan datang sehingga akan terjadi perubahan-perubahan di dalam diri anak didik. Hipotesis dalam penelitian ini menduga bahwa pendidikan berperan penting dalam mempengaruhi persepsi
seseorang karena melalui ilmu yang didapat dari pendidikanlah seseorang dapat membuat suatu keputusan dengan benar. Semakin tinggi pendidikan maka akan semakin baik persepsi yang dikeluarkan karena hal tersebut berdasarkan ilmu pengetahuan yang telah didapatkan.
Berdasarkan Tabel 13, menunjukan bahwa pendidikan akhir ibu tidak berhubungan dengan tingginya persepsi gender mahasiswa dan jenis kelamin.
Tinggi rendahnya pendidikan akhir ibu tetap membuat persepsi gender mahasiswa tinggi baik untuk mahasiswa laki-laki maupun perempuan. Hal ini terlihat dari apapun tingkat pendidikan ibu baik tingkat SMA (100,0%) dengan nilai untuk mahasiswa laki-laki 50 persen dan perempuan 50 persen, Diploma (100,0%) dengan nilai untuk mahasiswa laki-laki 33,3 persen dan perempuan 66,7 persen, maupun S1 (100,0%) dengan nilai mahasiswa laki-laki 50 persen dan perempuan 50 persen persepsi gender mahasiswa tetap tinggi. Hal ini terbukti berdasarkan dari data yang diperoleh di lapangan bahwa tingginya persepsi gender mahasiswa laki-laki dan perempuan ternyata tidak hanya berasal dari pendidikan gender ibu yang kemudian menjadi dasar ibu dalam memberikan pendidikan gender kepada mahasiswa sedari ia kecil. Tingginya persepsi gender mahasiswa dipengaruhi oleh pendidikan gender yang diterima mahasiswa dari lingkungan sekolah dan masyarakat. Jadi walaupun ibu mahasiswa baik laki-laki maupun perempuan memiliki pendidikan tinggi tetapi yang paling mempengaruhi persepsi gender mahasiswa berasal dari lingkungan sekolah dan masyarakat.
Tabel 13. Jumlah dan Persentase Pendidikan Akhir Ibu dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa tentang Kehidupan Keluarga, Bogor 2010
Persepsi Gender Mahasiswa
Pendidikan Ibu
Total SLTA Diploma S1
n % n % n % n %
Tinggi L 5 50,0 2 33,3 7 50,0 14 46,7
P 5 50,0 4 66,7 7 50,0 16 53,3
Rendah L 0 0 0 0 0 0 0 0
P 0 0 0 0 0 0 0 0
Total 10 100,0 6 100,0 14 100,0 30 100,0
5.1.2 Hubungan Antara Pendidikan Akhir Ibu dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa tentang Kehidupan Sekolah.
Tidak berbeda dengan Tabel 13, Tabel 14 juga menunjukan bahwa pendidikan akhir ibu tidak berhubungan dengan tingginya persepsi gender mahasiswa dan jenis kelamin. Tinggi rendahnya pendidikan akhir ibu tetap membuat persepsi gender mahasiswa tinggi baik untuk mahasiswa laki-laki atau perempuan. Hal ini terlihat dari apapun tingkat pendidikan ibu baik tingkat SMA (100,0%) dengan nilai untuk mahasiswa laki-laki 50 persen dan perempuan 50 persen, Diploma (100,0%) dengan nilai untuk mahasiswa laki-laki 33,3 persen dan perempuan 66,7 persen, maupun S1 (100,0%) dengan nilai mahasiswa laki-laki 50 persen dan perempuan 50 persen persepsi gender mahasiswa tetap tinggi. Hal ini disebabkan oleh pendidikan gender yang diterima mahasiswa sedari ia kecil dari ibu tidak begitu berpengaruh terhadap persepsi gender mahasiswa laki-laki dan perempuan. Tingginya persepsi gender mahasiswa ternyata lebih banyak dipengaruhi oleh pendidikan gender yang diterima mahasiswa dari lingkungan sekolah dan masyarakat. Jadi walaupun ibu mahasiswa telah mengenyam pendidikan tinggi tetapi tidak menjadi jaminan persepsi gender mahasiswa baik laki-laki maupun perempuan juga tinggi, dan ternyata lingkungan sekolah dan masyarakatlah yang paling berpengaruh terhadap persepsi gender mahasiswa.
Tabel 14. Jumlah dan Persentase Pendidikan Akhir Ibu dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa tentang Kehidupan Sekolah, Bogor 2010
Persepsi Gender
5.1.3 Hubungan Antara Pendidikan Ibu dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa tentang Lingkungan Masyarakat.
Sama dengan Tabel 13 dan Tabel 14, Tabel 15 menunjukan bahwa pendidikan akhir ibu tidak berhubungan sama sekali dengan jenis kelamin dan
tingginya persepsi gender mahasiswa. Tinggi atau rendahnya pendidikan akhir ibu tetap membuat persepsi gender mahasiswa laki-laki dan perempuan tinggi. Hal ini terlihat dari apapun tingkat pendidikan ibu baik tingkat SMA (100,0%) dengan nilai untuk mahasiswa laki-laki 50 persen dan perempuan 50 persen, Diploma (100,0%) dengan nilai untuk mahasiswa laki-laki 33,3 persen dan perempuan 66,7 persen, maupun S1 (100,0%) dengan nilai mahasiswa laki-laki 50 persen dan perempuan 50 persen persepsi gender mahasiswa tetap tinggi. Tingginya persepsi gender mahasiswa laki-laki dan perempuan disebabkan oleh sebagian besar pengaruh pendidikan gender yang diterima oleh mahasiswa berasal dari lingkungan sekolah dan masyarakat. Jadi pendidikan gender yang diterima mahasiswa di lingkungan keluarga sedari ia kecil dapat dikalahkan oleh pendidikan gender yang diterima mahasiswa ketika ia sudah terjun ke dalam lingkungan sekolah dan masyarakat.
Tabel 15. Jumlah dan Persentase Pendidikan Akhir Ibu dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa tentang Lingkungan Masyarakat, Bogor 2010
5.1.4 Hubungan Antara Pengasuhan Ibu dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa tentang Kehidupan Keluarga.
Pengasuhan merupakan suatu cara dalam mengasuh anak mencakup pengalaman, keahlian, kualitas, dan tanggung jawab yang dilakukan orang tua dalam mendidik dan merawat anak, sehingga anak dapat tumbuh menjadi pribadi yang diharapkan oleh keluarga dan masyarakat di mana ia berada dan tinggal (Hastuti, 2008). Tugas ini umumnya dikerjakan oleh orang tua terutama ibu yang lebih banyak menghabiskan waktu dengan anak dari semenjak ia lahir.
Pengasuhan dilakukan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan fisik anak seperti
sandang, pangan, dan papan, tetapi pengasuhan juga mencakup pemenuhan kebutuhan psikis anak dan pemberian stimulasi untuk memacu pertumbuhan dan perkembangan anak secara maksimal.
Berdasarkan Tabel 16, menunjukkan bahwa pengasuhan yang diterima mahasiswa laki-laki dan perempuan baik itu bersama atau tidak bersama ibu persepsi gender mahasiswa tetap tinggi. Pengasuhan tidak bersama dan bersama ibu bernilai tinggi pada tingginya persepsi gender mahasiswa dengan nilai sebesar 100,0 persen pada pengasuhan yang tidak bersama ibu (mahasiswa laki-laki 50%
dan perempuan 50%) dan 100 persen pada pengasuhan bersama dengan ibu (mahasiswa laki-laki 41,7% dan perempuan 58,3%). Jadi pengasuhan yang diterima mahasiswa baik itu bersama atau tidak bersama ibu tidak mempengaruhi persepsi gender mahasiswa namun dari Tabel 16 dapat juga diketahui bahwa mahasiswa perempuan lebih sering mendapatkan pengasuhan bersama ibu (58,3%) daripada mahasiswa laki-laki (41,7%).
Data pada Tabel 16 didukung oleh pernyataan mahasiswa yang mengatakan bahwa :
“Dulu emang gak banyak menerima pendidikan gender dari ibu, karena saya harus tinggal di asrama” (Hicta).
Tinggalnya mahasiswa di asrama merupakan peraturan yang telah ditetapkan oleh sekolah mereka dahulu seperti ketika mereka sekolah di SMA IT (Islam Terpadu) Boarding School, MA Boarding School dan Pesantren yang mewajibkan mahasiswa baik laki-laki maupun perempuan untuk tinggal di asrama. Selain itu mahasiswa juga banyak mengikuti kegiatan ekstrakulikuler di sekolah sehingga waktu mereka lebih banyak berada di sekolah dari pada di rumah dengan ibu mereka, namun mahasiswa laki-laki apabila tidak ada kegiatan di sekolah mereka lebih suka pergi bersama dengan temannya dari pada tinggal di rumah sehingga pendidikan gender yang seharusnya diberikan ibu dalam proses pengasuhan tidak tersampaikan dan mahasiswa laki-laki juga kurang berinteraksi dengan ibunya, berbeda dengan mahasiswa perempuan yang apabila tidak ada kegiatan sekolah mereka lebih senang tinggal di rumah bersama dengan ibu mereka daripada keluar
bermain atau pergi dengan teman mereka sehingga mahasiswa perempuan lebih banyak melakukan interaksi dengan ibu di rumah. Jadi mahasiswa perempuan cukup banyak mendapatkan pendidikan gender dari ibu mereka dibandingkan dengan mahasiswa laki-laki.
Tabel 16. Jumlah dan Persentase Pengasuhan Ibu dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa tentang Kehidupan Keluarga, Bogor 2010
Persepsi Gender Mahasiswa
Pengasuhan
Total Tidak Bersama Ibu Bersama Ibu
n % n % n %
5.1.5 Hubungan Antara Pengasuhan Ibu dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa tentang Kehidupan Sekolah.
Tidak berbeda dengan Tabel 16, Tabel 17 juga menunjukan bahwa pengasuhan yang diterima mahasiswa baik itu bersama atau tidak bersama ibu persepsi gender mahasiswa tetap tinggi. Hal ini terlihat dari tabel bahwa persepsi gender mahasiswa tetap tinggi dengan nilai sebesar 100,0 persen pada pengasuhan yang tidak bersama ibu (mahasiswa laki-laki 50% dan perempuan 50%) dan 100 persen pada pengasuhan bersama dengan ibu (mahasiswa laki-laki 41,7% dan perempuan 58,3%). Jadi pengasuhan yang diterima mahasiswa laki-laki dan perempuan baik itu bersama atau tidak bersama ibu tidak mempengaruhi persepsi gender mahasiswa.
Data pada Tabel 17 juga didukung oleh pernyataan mahasiswa yang mengatakan bahwa sebenarnya mereka tidak banyak menerima pendidikan gender tentang kehidupan sekolah dari ibu mereka, hal ini disebabkan oleh ketika telah memasuki usia sekolah mereka lebih banyak berada di sekolah karena mengikuti ekstrakulikuler dan ada juga mahasiswa yang harus tinggal di asrama, sehingga tidak menerima pengasuhan dari ibu dan akhirnya pendidikan gender ibu tidak tersampaikan kepada mahasiswa karena dari proses pengasuhanlah pendidikan gender disampaikan.
Bagi mahasiswa laki-laki apabila mereka tidak ada kegiatan di sekolah mereka lebih suka pergi bersama dengan teman-temannya dari pada tinggal di rumah sehingga mereka kurang berinteraksi dengan ibu mereka, berbeda dengan mahasiswa perempuan yang apabila tidak ada kegiatan sekolah mereka lebih senang tinggal di rumah bersama dengan ibu mereka daripada keluar bermain atau pergi dengan teman-teman mereka sehingga mahasiswa perempuan lebih banyak melakukan interaksi dengan ibu. Jadi mahasiswa laki-laki lebih banyak menghabiskan waktunya berada di luar rumah sehingga mereka tidak banyak mendapatkan pengasuhan dari ibu dibandingkan dengan mahasiswa perempuan yang lebih banyak mendapatkan pengasuhan ibu sehingga pendidikan gender yang diterima mahasiswa perempuan cukup banyak yang mereka terima dari ibu selain yang mereka dapatkan dari sekolah dan masyarakat sedangkan mahasiswa laki-laki lebih banyak mendapatkan pendidikan gender dari sekolah dan teman mereka.
Tabel 17. Jumlah dan Persentase Pengasuhan Ibu dengan Jenis Kelamin Persepsi Gender Mahasiswa tentang Kehidupan Sekolah, Bogor 2010
Persepsi Gender Mahasiswa
Pengasuhan
Total Tidak Bersama Ibu Bersama Ibu
n % n % n %
5.1.6 Hubungan Antara Pengasuhan Ibu dengan Jenis Kelamin Persepsi Gender Mahasiswa tentang Kehidupan Masyarakat.
Sama dengan Tabel 16 dan Tabel 17, Tabel 18 juga menunjukan bahwa pengasuhan yang diterima mahasiswa laki-laki dan perempuan baik itu bersama atau tidak bersama ibu tetap membuat persepsi gender mahasiswa tinggi. Tabel 18 menunjukan persepsi gender mahasiswa tetap tinggi dengan nilai sebesar 100,0 persen pada pengasuhan yang tidak bersama ibu (mahasiswa laki-laki 50% dan perempuan 50%) dan 100 persen pada pengasuhan bersama dengan ibu (mahasiswa laki-laki 41,7% dan perempuan 58,3%). Jadi pengasuhan yang
diterima mahasiswa laki-laki dan perempuan baik itu bersama atau tidak bersama ibu tidak mempengaruhi persepsi gender mahasiswa.
Data Tabel 18 juga didukung oleh pernyataan mahasiswa yang mengatakan bahwa ternyata mahasiswa lebih banyak mendapatkan pendidikan gender dari lingkungan sekolah dan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh mahasiswa lebih banyak menghabiskan waktunya di sekolah sehingga lingkungan sekolah memiliki pengaruh lebih besar terhadap persepsi gender mahasiswa daripada ibu.
Bagi mahasiswa laki-laki apabila mereka tidak memiliki kegiatan di sekolah mereka lebih suka pergi bersama dengan teman dari pada tinggal di rumah, berbeda dengan mahasiswa perempuan yang apabila tidak memiliki kegiatan sekolah mereka lebih senang tinggal di rumah bersama dengan ibu mereka. Jadi mahasiswa laki-laki tidak banyak mendapatkan pengasuhan dari ibu karena mereka lebih sering berada di luar rumah dari pada di rumah, berbeda dengan mahasiswa perempuan yang lebih banyak mendapatkan pengasuhan ibu sehingga pendidikan gender yang diterima mahasiswa perempuan cukup banyak yang mereka terima dari ibu daripada mahasiswa laki-laki.
Tabel 18. Jumlah dan Persentase Pengasuhan Ibu dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa tentang Lingkungan Masyarakat, Bogor 2010
Persepsi Gender Mahasiswa
Pengasuhan
Total Tidak Bersama Ibu Bersama Ibu
n % n % n %
5. 2 Lingkungan Sekolah.
Lingkungan sekolah adalah suatu kawasan tempat mahasiswa diajarkan untuk mendapatkan, mengembangkan, dan menggunakan sumber-sumber dari keadaan sekitarnya. Sekolah yang merupakan tempat pendidikan diterapkan dan diajarkan untuk memandang sesuatu dengan objektif sesuai fakta-fakta yang ada, ternyata masih terdapat ketimpangan gender. Ada beberapa faktor di lingkungan
sekolah yang menyebabkan ketimpangan gender di bidang pendidikan. Faktor-faktor tersebut terdiri dari pilihan bidang studi, nilai dan peran gender yang terdapat dalam buku ajar, dan nilai dan peran gender yang ditanamkan oleh guru.
5.2.1 Hubungan Antara Ajaran Pilihan Bidang Studi dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender dalam Ajaran Pilihan Bidang Studi pada Lingkungan Sekolah.
Berdasarkan Tabel 19, dapat diketahui bahwa ajaran pilihan bidang studi yang diterima oleh mahasiswa laki-laki dan perempuan saat berada di sekolah ternyata tinggi dan hampir seluruh mahasiswa memiliki persepsi gender terhadap ajaran pilihan bidang studi juga tinggi. Artinya ajaran tentang pilihan bidang studi yang tinggi gender (tidak membedakan kedudukan laki-laki dan perempuan) yang diterima mahasiswa baik laki-laki maupun perempuan, ternyata berdampak pada tingginya persepsi gender mahasiswa laki-laki dan perempuan. Ajaran pilihan bidang studi yang diterima oleh mahasiswa laki-laki dan perempuan lebih banyak mengajarkan untuk memilih bidang studi berdasarkan keinginan sendiri bukan paksaan dari orang lain, guru atau pilihan bidang studi yang berdasarkan jenis kelamin mereka, walaupun ada juga pendidikan gender yang diterima mahasiswa rendah namun rendahnya pendidikan gender ini tidak diambil oleh mahasiswa.
Tingginya pendidikan gender yang diterima mahasiswa laki-laki dan perempuan didukunh oleh pernyatan mahasiswa yang mengatakan :
“Saya waktu pemilihan jurusan pada saat masuk perguruan tinggi atau SMA gak ada paksaan dari siapapun, kalo mampu dan suka ya masuk aja” (Hansa).
Tabel 19 juga menunjukkan bahwa nilai ajaran pilihan bidang studi yang diterima mahasiswa di sekolah tinggi berdampak pada persepsi gender mahasiswa yang juga bernilai tinggi yaitu untuk mahasiswa laki-laki sebesar 43,3 persen dan mahasiswa perempuan 53,4 persen, namun terdapat mahasiswa laki-laki yang memiliki persepsi gender yang rendah (3,3%) padahal pendidikan tentang ajaran yang diterima bernilai tinggi. Hal ini disebabkan oleh tidak semua ajaran yang mahasiswa laki-laki dapatkan adalah pendidikan yang tinggi gender. Ternyata ada beberapa buku yang dipelajari oleh mahasiswa laki-laki dan ajaran dari gurunya
yang masih mengajarkan pendidikan yang rendah gender. Bagi mahasiswa yang lain rendahnya pendidikan gender tersebut tidak mereka ambil karena menurut mereka sekarang merupakan zaman modern dimana siapapun bisa melakukan apapun yang mereka mau asalkan mereka bisa bertanggung jawab, tetapi bagi mahasiswa laki-laki tersebut ia beranggapan bahwa seorang laki-laki masih memiliki tanggung jawab penuh dalam semua aturan kehidupan. Ia beranggapan bahwa kedudukan laki-laki memang harus lebih tinggi daripada perempuan, karena laki-laki memiliki tanggung jawab penuh dalam kehidupan dibandingkan perempuan.
Tabel 19. Jumlah dan Persentase Ajaran Pilihan Bidang Studi dengan Jenis Kelamin Persepsi Gender Mahasiswa pada Lingkungan Sekolah, Bogor 2010
Persepsi Gender Mahasiswa
Ajaran Pilihan Bidang Studi
Total
5.2.2 Hubungan Antara Nilai dan Peran Gender dari Buku Ajar dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender dalam Nilai dan Peran Gender pada Buku Ajar pada Lingkungan Sekolah.
Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan nilai korelasi sebesar 0,539 dan P-value sebesar 0,002. Nilai tersebut mengungkapkan bahwa ada hubungan yang positif dan signifikan karena nilai P-value < 0,05 antara nilai dan peran gender dari buku ajar dengan jenis kelamin dan persepsi gender dalam nilai dan peran gender pada buku ajar di lingkungan sekolah. Artinya hipotesis dalam penelitian ini dapat diterima karena dari hasil uji korelasi spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara nilai dan peran gender dari buku ajar dengan jenis kelamin dan persepsi gender dalam nilai dan peran gender pada buku ajar pada lingkungan sekolah.
Hasil uji korelasi Spearman didukung oleh Tabel 20 yang menunjukkan bahwa nilai dan peran gender dari buku ajar yang diterima mahasiswa laki-laki dan perempuan tinggi maka persepsi gender mahasiswa juga tinggi yaitu dengan
Hasil uji korelasi Spearman didukung oleh Tabel 20 yang menunjukkan bahwa nilai dan peran gender dari buku ajar yang diterima mahasiswa laki-laki dan perempuan tinggi maka persepsi gender mahasiswa juga tinggi yaitu dengan