• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH. Oleh REHASTI DYA I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENGARUH. Oleh REHASTI DYA I"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

(Kasus M

Depa

Mahasiswa S

artemen Sa

LAKI-LA

Sekolah Tin

REHA

ains Komu Fakul

Insti

AKI DAN

nggi Ekonom

Oleh ASTI DYA I340603

unikasi da ltas Ekolo tut Pertan

2010

PEREMP

mi Islam TA

h

A RAHAY 396

an Pengem gi Manusi nian Bogor 0

PUAN

AZKIA Tahu

YU

mbangan M ia

r

un Masuk 20

Masyaraka

009)

at

(2)

society area that influence of student gender perception and then to know the different influence factors from family area, school area and society area about student gender perception. Mother education and parenting are represent family area, choice about study major, books, teacher education are represent school area, culture and peer group are represent society area, and three of them have different factors that influence of student gender perception that have to know.

This research has done in STEI TAZKIA where place the sample come from with the condition their mother have passed the high education.

Generally, even though have the high education but the gender perception is still low. This reality has different with what happened in STEI TAZKIA. STEI TAZKIA students have the high gender perception. Those facts are the good reason to do research in STEI TAZKIA.

The results of this research are generally student gender perceptions do not come from the family area, but student gender perception come from school area and society area. Books, teacher education (school area) and peer group (society area) more influence student gender perception than mother education, parenting and culture. But there are different results from boy and girl students’ gender perception. The results of this research proofed that the influence boy students gender perception come from school area (from their teacher) and society area (from their friends) because the boy students have much spend them time in school area with them teachers and in society area with them friends, different with the girl students that the influence gender perception come from family area (from their mother), because the girl students much spend them time in family area with them mother so the girl students accept much gender education from their mother.

Keywords: Education, parenting, family area, school area, and society area.

(3)

SEKOLAH DAN MASYARAKAT TERHADAP PERSEPSI GENDER MAHASISWA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN. (Kasus Mahasiswa Sekolah Tinggi Ekonomi Islam TAZKIA Tahun Masuk 2009). (Di bawah bimbingan DRA. WINATI WIGNA, MDS)

Pendidikan adalah proses pengendalian secara sadar dimana perubahan- perubahan di dalam tingkah laku dihasilkan di dalam diri seseorang. Pendidikan mempunyai tugas pokok yaitu untuk menciptakan, mentransfer dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin luas pengetahuan dan pemahamannya tentang keadaan dan kondisi di lingkungannya. Pendidikan bisa didapatkan baik di dalam lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat.

Mahasiswa adalah seseorang yang sedang dalam proses menimba ilmu ataupun belajar dan terdaftar sedang menjalani pendidikan pada salah satu bentuk perguruan tinggi, yang terdiri dari akademik, politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas. Sosok mahasiswa sangat kental dengan nuansa kedinamisan dan sikap keilmuannya dalam melihat sesuatu secara berdasarkan objektif, sistematis, dan rasional. Mahasiswa merupakan agen penggerak ilmu pengetahuan dan diharapkan ilmu tersebut dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari mereka untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Gender adalah perbedaan fungsi dan peran sosial laki-laki dan perempuan, yang terbentuk oleh lingkungan. Gender tercipta melalui suatu proses sosial budaya yang panjang dalam suatu lingkup masyarakat. Ketimpangan gender biasanya tercipta dari pendidikan masyarakat yang rendah, hal ini disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat tentang apa itu gender, pendidikan gender yang diterima dari lingkungan keluarga rendah karena orang tua berpendidikan rendah, kurangnya pendidikan yang didapatkan di sekolah, dan kuatnya budaya patrilinial atau matrilinial yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari.

Namun saat ini tidak sedikit orang yang telah mengenyam pendidikan tinggi

khususnya para orang tua sehingga ada suatu harapan bahwa pendidikan dapat

(4)

pandangan, pengamatan, atau tanggapan seseorang terhadap benda, kejadian, tingkah laku manusia atau hal-hal yang diterimanya sehari-hari.

Pendidikan tinggi orang tua khususnya ibu dapat memberikan pendidikan gender yang baik di lingkungan keluarga, begitu pula pendidikan yang didapatkan mahasiswa di sekolah melalui buku-buku yang mereka baca dan pengajaran dari guru serta budaya parental yang lebih mendominasi dalam mempengaruhi mahasiswa dan hubungan yang baik antara mahasiswa dengan peer group dapat menciptakan pemahaman gender yang baik pada mahasiswa. Oleh karena itu untuk membuktikannya diperlukan suatu penelitian yang dapat melihat bahwa pendidikan gender yang baik yang didapatkan mahasiswa, baik di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat dapat memberikan pemahaman gender yang baik pula sehingga mahasiswa dapat menciptakan persepsi yang positif tentang gender.

Tujuan penelitian ini adalah : 1) Menganalisis pengaruh lingkungan keluarga terhadap persepsi gender mahasiswa, 2) Menganalisis pengaruh lingkungan sekolah terhadap persepsi gender mahasiswa, 3) Menganalisis pengaruh lingkungan masyarakat terhadap persepsi gender mahasiswa dan 4) Mengetahui perbedaan faktor pengaruh dari lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat terhadap persepsi gender mahasiswa. Penelitian ini dilakukan di Sekolah Tinggi Ekonomi Islam TAZKIA (STEI TAZKIA) di Jalan Raya Darmaga KM 7 Bogor, Jawa Barat. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif yang didukung oleh data kualitatif. Responden dalam penelitian adalah 30 orang mahasiswa STIE TAZKIA tahun masuk 2009 dengan syarat memiliki ibu yang berpendidikan tinggi ( ≥ SMA ), ibu yang bekerja dan pernah diasuh oleh orang lain.

Hasil penelitian membuktikan bahwa secara umum persepsi gender

mahasiswa tidak dipengaruhi oleh lingkungan keluarga karena mahasiswa ketika

mulai beranjak dewasa tidak bersama orang tuanya khususnya ibu yang biasanya

selalu mengasuh dan mendidik mahasiswa sedari kecil. Di lingkungan keluarga

juga diketahui bahwa tingginya pendidikan ibu ternyata tidak berhubungan

(5)

tinggi tidak berpengaruh banyak terhadap persepsi gender mahasiswa. Begitu juga dengan budaya yang ada di lingkungan masyarakat baik itu sistem patrilinial maupun sistem matrilinial tidak berpengaruh pada persepsi gender mahasiswa karena mahasiswa pada umumnya berasal dari keluarga yang orang tuanya merupakan hasil dari perkawinan campuran antara dua daerah yang berbeda sehingga sistem parental dimana garis keturunan berasal dari ayah dan ibu yang lebih dominan dalam lingkungan keluarga mahasiswa.

Persepsi gender mahasiswa ternyata lebih banyak dipengaruhi oleh pergaulan mereka dengan teman sebayanya (peer group) saat berada di lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Selain itu buku-buku pelajaran yang mereka baca dan ajaran dari guru mereka yang lebih banyak mempengaruhi persepsi gender mahasiswa dan pada umumnya buku yang mereka baca dan ajaran dari guru mereka lebih banyak ajaran yang mengajarkan keseimbangan.

Hasil penelitian ini juga membuktikan terdapat faktor yang berbeda yang

mempengaruhi persepsi gender mahasiswa antara mahasiswa laki-laki dengan

mahasiswa perempuan. Persepsi gender mahasiswa laki-laki ternyata lebih banyak

dipengaruhi oleh lingkungan sekolahnya yaitu guru dan lingkungan masyarakat

yaitu teman-temannya. Hal ini disebabkan oleh mahasiswa laki-laki kurang

berinteraksi dengan ibunya di rumah ( tidak banyak mendapatkan pengasuhan dari

ibunya), mahasiswa laki-laki lebih banyak menghabiskan waktu mereka di

lingkungan sekolah dengan berbagai kegiatan dan apabila tidak ada kegiatan

sekolah pun mereka juga lebih senang pergi dengan teman-temannya

dibandingkan berada di rumah sehingga pendidikan gender yang seharusnya

didapatkan oleh mahasiswa laki-laki dari proses pengasuhan lebih banyak

didapatkannya dari lingkungan sekolah dan masyarakat. Berbeda dengan

mahasiswa perempuan yang lebih suka berada di rumah dibandingkan pergi

dengan teman-teman mereka sehingga mahasiswa perempuan lebih banyak

mendapatkan pendidikan gender dari ibu mereka dibandingkan dengan mahasiswa

laki-laki.

(6)

(Kasus M

Sebag

Depa

Mahasiswa S

gai Syarat

artemen Sa

LAKI-LA

Sekolah Tin

REHA

t untuk M Pengem

Fakul Inati

ains Komu Fakul

Insti

AKI DAN

nggi Ekonom

Oleh ASTI DYA I340603

SKRIP endapat G mbangan

Pada ltas Ekolo itut Pertan

unikasi da ltas Ekolo tut Pertan

2010

PEREMP

mi Islam TA

h

A RAHAY 396

PSI

Gelar Sarja Masyarak a

gi Manusi nian Bogor

an Pengem gi Manusi nian Bogor 0

PUAN

AZKIA Tahu

YU

ana Komu kat

ia r

mbangan M ia

r

un Masuk 20

unikasi da

Masyaraka

009)

n

at

(7)

Institut Pertanian Bogor Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun : Nama : Rehasti Dya Rahayu

NRP : I34060396

Judul : Pengaruh Lingkungan Keluarga, Sekolah Dan Masyarakat Terhadap Persepsi Gender Mahasiswa Laki-laki dan Perempuan

(Kasus Mahasiswa Sekolah Tinggi Ekonomi Islam TAZKIA Tahun Masuk 2009)

dapat diterima sebagai syarat menerima gelar sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui Dosen Pembimbing

Dra. Winati Wigna, MDS NIP. 19480327 198303 2 002

Mengetahui Ketua Departemen

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP.19550630 198103 1 003

Tanggal Pengesahan :

(8)

“PENGARUH LINGKUNGAN KELUARGA, SEKOLAH DAN MASYARAKAT TERHADAP PERSEPSI GENDER MAHASISWA LAKI- LAKI DAN PEREMPUAN, (KASUS MAHASISWA SEKOLAH TINGGI EKONOMI ISLAM TAZKIA TAHUN MASUK 2009) ” BELUM DIAJUKAN PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA MANAPUN UNTUK MEMPEROLAH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR MERUPAKAN HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN- BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH. DEMIKIANLAH PERNYATAAN INI SAYA BUAT

SESUNGGUHNYA DAN SAYA BERSEDIA MEMPERTANGGUNGJAWABKAN PERNYATAAN INI.

Bogor, Oktober 2010

Rehasti Dya Rahayu

I34060396

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bengkulu 5 April 1988. Penulis adalah anak pertama dari pasangan suami istri Khairul Umuri dan Rita Sri Minarni. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di Sekolah Dasar Negeri 09 Kota Bengkulu, kemudian penulis melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 02 Kota Bengkulu dan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Akhir Negeri 02 Kota Bengkulu.

Pada tahun 2006, penulis mendapat kesempatan untuk belajar di Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru).

Penulis kemudian memilih mayor Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Selama masa kuliah, penulis pernah aktif di Lembaga Dakwah Kampus Dewan Keluarga Masjid Al-Hurriyyah pada tahun 2006-2008, Institut Pertanian Bogor, Pengurus Asisten Pendidikan Agama Islam sekaligus sebagai Asisten Pendidikan Agama Islam pada tahun 2008-2010 untuk mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (TPB) di Institut Pertanian Bogor.

(10)

memberikan nikmat dan karunia-Nya sehingga penulisan skripsi ini telah berhasil diselesaikan. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Dra. Winati Wigna MDS selaku dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya serta dengan sabar membimbing mulai dari penyusunan Studi Pustaka, proposal penelitian hingga penulisan skripsi.

Terima kasih untuk segala saran, masukan, dan waktu yang telah diberikan.

2. Dr. Ir. Sarwititi S Agung, MS selaku dosen penguji utama dan Dr. Ir. Ekawati S Wahyuni, MS selaku dosen penguji departemen dalam ujian sidang skripsi.

Terima kasih atas saran dan masukan yang telah diberikan untuk perbaikan skripsi ini.

3. Ibu, Bapak serta adik-adikku Ivan dan Nada yang telah mendukung, berdoa, dan menghibur baik secara moral maupun materiil selama proses penyusunan skripsi ini.

4. STEI TAZKIA yang telah memberikan penulis kesempatan untuk dapat melalukan penelitian di sana. Penulis sangat berterimakasih atas pelayanan dan keramahan yang diberikan selama ini dalam membantu penelitian di STEI TAZKIA.

5. Rahayu teman sekelas sekaligus teman satu bimbingan yang selalu berjuang bersama, penulis sangat berterimakasih atas bantuan dan dukungannya selama ini.

6. Sani yang telah begitu banyak membantu, mendukung, dan dengan sabar menemani penulis selama melakukan penelitian di lapangan.

7. Suci, Mita, Rani, Mesil, Ulfa, Anri, Era, Oche dan Andini yang telah bersedia

menjadi tempat curahan hati selama penyusunan skripsi serta Lingga dan

Chaca yang begitu banyak membantu dalam pengolahan data penelitian dan

teman-teman kostanku yang selalu memberikan semangat dan dukungannya

selama penyusunan skripsi ini.

(11)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena atas berkah dan rahmat-Nyalah penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul “Pengaruh Lingkungan Keluarga, Sekolah Dan Masyarakat Terhadap Persepsi Gender Mahasiswa Laki-Laki dan Perempuan (Kasus Mahasiswa Sekolah Tinggi Ekonomi Islam TAZKIA Tahun Masuk 2009)”.

Tujuan dari penyusunan skripsi ini untuk mengetahui dan menganalisis persepsi gender mahasiswa yang berasal dari keluarga yang telah mengenyam pendidikan tinggi. Pada umumnya rendahnya persepsi gender pada diri seseorang disebabkan oleh pendidikannya yang rendah, namun suatu hal yang sangat menarik untuk diteliti apabila telah mengenyam pendidikan tinggi namun persepsi gender masih rendah. Persepsi gender mahasiswa dipengaruhi oleh berbagai lingkungan tempat mereka melakukan sosialisasi. Lingkungan keluarga yang merupakan tempat pertama mahasiswa mendapatkan pendidikan, lingkungan sekolah dan masyarakat dapat mempengaruhi persepsi gender mahasiswa baik itu persepsi gender yang tinggi maupun yang rendah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ternyata secara umum tingginya persepsi gender mahasiswa dipengaruhi oleh lingkungan sekolah (guru) dan masyarakat (teman) daripada lingkungan keluarga (ibu). Hasil penelitian juga menunjukkan terdapat perbedaan faktor yang mempengaruhi persepsi gender mahasiswa laki-laki dan perempuan. Persepsi gender mahasiswa laki-laki ternyata lebih banyak dipengaruhi oleh lingkungan sekolah (guru) dan lingkungan masyarakat (teman) dibandingkan dengan lingkungan keluarga (ibu). Berbeda dengan persepsi gender mahasiswa perempuan yang lebih banyak di pengaruhi lingkungan keluarga (ibu) daripada lingkungan sekolah dan masyarakat.

Penulis menyadari bahwa dalam proses penyusunan skripsi ini masih banyak keterbatasan, kekurangan, dan kelemahan. Oleh karena itu, sangat diharapkan saran dan kritik yang membangun untuk membantu proses penyempurnaan skripsi ini.

Bogor, Oktober 2010

Penulis

(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan ... 6

1.4. Kegunaan Penulisan ... 6

BAB II PENDEKATAN TEORITIS ... 8

2.1. Tinjauan Pustaka ... 8

2.1.1. Pendidikan

 ... 8 

2.1.2. Gender

 ... 9 

2.1.3. Mahasiswa

 ... 12 

2.1.4. Pengasuhan

... 12 

2.1.5. Lingkungan

 ... 13 

2.1.5.1. Lingkungan Keluarga

 ... 13 

2.1.5.2. Lingkungan Sekolah

 ... 15 

2.1.5.3. Lingkungan Masyarakat

 ... 18 

2.2. Kerangka Pemikiran

 ... 20 

2.3. Hipotesis Pengarah ... 23

2.4. Definisi Operasional ... 23

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 28

3.1. Metode Penelitian ... 28

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 28

3.3. Teknik Penentuan Responden dan Informan ... 29

3.4. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ... 29

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN ... 30

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 30

4.1.1. Gambaran Umum STEI TAZKIA

 ... 30 

4.1.2. Sarana dan Prasarana

 ... 33 

4.2. Karakteristik Umum Mahasiswa

 ... 34 

4.2.1. Karakteristik Mahasiswa Berdasarkan Jenis Kelamin

 ... 34 

4.2.2. Karakteristik Mahasiswa Berdasarkan Usia... 35

(13)

4.2.3. Karakteristik Mahasiswa Berdasarkan Asal Daerah

 ... 35 

4.2.4. Karakteristik Mahasiswa Berdasarkan Asal Sekolah

 ... 36 

4.2.5. Karakteristik Mahasiswa Berdasarkan Pendidikan Akhir

Ibu

 ... 37

4.2.6. Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan Ibu

 ... 37 

4.2.7. Karakteristik Responden Berdasarkan Asal Daerah Ibu . 38 BAB V PENGARUH LINGKUNGAN KELUARGA, SEKOLAH, DAN

MASYARAKAT TERHADAP PERSEPSI GENDER

MAHASISWA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN ... 39 5.1. Lingkungan Keluarga ... 39

5.1.1. Hubungan Antara Pendidikan Akhir Ibu dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa tentang Kehidupan Keluarga... 39

5.1.2. Hubungan Antara Pendidikan Akhir Ibu dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa tentang

Kehidupan Sekolah ... 41 5.1.3. Hubungan Antara Pendidikan Akhir Ibu dengan Jenis

Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa tentang

Kehidupan Masyarakat ... 41 5.1.4. Hubungan Antara Pengasuhan Ibu dengan Jenis Kelamin

dan Persepsi Gender Mahasiswa tentang Kehidupan Keluarga ... 42 5.1.5. Hubungan Antara Pengasuhan Ibu dengan Jenis Kelamin

dan Persepsi Gender Mahasiswa tentang Kehidupan Sekolah ... 44 5.1.6. Hubungan Antara Pengasuhan Ibu dengan Jenis Kelamin

dan Persepsi Gender Mahasiswa tentang Kehidupan Masyarakat ... 45 5.2. Lingkungan Sekolah ... 46

5.2.1. Hubungan Antara Ajaran Pilihan Bidang Studi dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender dalam Ajaran Pilihan Bidang Studi ... 47 5.2.2. Hubungan Antara Nilai dan Peran Gender dari Buku Ajar dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender dalam Nilai dan Peran gender dari Buku Ajar pada Lingkungan Sekolah

 ... 48 

5.2.3. Hubungan Antara Nilai dan Peran Gender yang

Ditanamkan Guru dengan Jenis Kelamin dan Persepsi

Gender dalam Nilai dan Peran Gender yang Ditanamkan

Guru pada Lingkungan Sekolah

 ... 50 

5.3. Lingkungan Masyarakat

 ... 51 

(14)

5.3.1. Hubungan Antara Budaya dengan Jenis Kelamin dan

Persepsi Gender Responden terhadap Budaya

 ... 52 

5.3.2. Hubungan Antara Peer Group dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa

 ... 53

BAB VI PERBEDAAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERSEPSI GENDER MAHASISWA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN ... 56

6.1. Pengaruh Lingkungan Keluarga terhadap Persepsi Gender Mahasiswa Laki-Laki dan Perempuan ... 56

6.2. Pengaruh Lingkungan Sekolah terhadap Persepsi Gender Mahasiswa Laki-Laki dan Perempuan ... 57

6.3. Pengaruh Lingkungan Masyarakat terhadap Persepsi Gender Mahasiswa Laki-Laki dan Perempuan

 ... 58 

6.4. Perbedaan Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Gender Mahasiswa Laki-Laki dan Perempuan

 ... 60 

BAB VII PENUTUP ... 63

7.1. Kesimpulan ... 63

7.2. Saran ... 64

DAFTAR PUSTAKA ... 65

LAMPIRAN ... 67

(15)

DAFTAR TABEL

 

Tabel 1. Jumlah dan Persentase Mahasiswa STEI TAZKIA Angkatan 2009 Berdasarkan Jenis Kelamin, Bogor 2010 ... 30 Tabel 2. Jumlah dan Persentase Mahasiswa STEI TAZKIA Angkatan 2009

Berdasarkan Umur, Bogor 2010 ... 31 Tabel 3. Jumlah dan Persentase Mahasiswa STEI TAZKIA Angkatan 2009

Berdasarkan Asal Daerah, Bogor 2010 ... 31 Tabel 4. Jumlah dan Persentase Mahasiswa STEI TAZKIA Angkatan 2009

Berdasarkan Asal Sekolah, Bogor 2010 ... 32 Tabel 5. Jumlah dan Persentase Mahasiswa STEI TAZKIA Angkatan 2008

Berdasarkan Pendidikan Ibu, Bogor 2010 ... 32 Tabel 6. Jumlah dan Persentase Mahasiswa Berdasarkan Pendidikan Jenis

Kelamin, Bogor 2010

 ... 34 

Tabel 7. Jumlah dan Persentase Mahasiswa Berdasarkan Usia, Bogor 2010

 ... 34 

Tabel 8. Jumlah dan Persentase Mahasiswa Berdasarkan Asal Daerah, Bogor

2010

 ... 35 

Tabel 9. Jumlah dan Persentase Mahasiswa Berdasarkan Asal Sekolah, Bogor

2010

 ... 36 

Tabel 10. Jumlah dan Persentase Mahasiswa Berdasarkan Pendidikan Ibu, Bogor

2010

 ... 36 

Tabel 11. Jumlah dan Persentase Mahasiswa Berdasarkan Pekerjaan Ibu, Bogor

2010

 ... 37 

Tabel 12. Jumlah dan Persentase Mahasiswa Berdasarkan Asal Daerah Ibu, Bogor

2010

 ... 37 

Tabel 13. Jumlah dan Persentase Pendidikan Ibu dengan Jenis Kelamin dan

Persepsi Gender Mahasiswa tentang Kehidupan Keluarga, Bogor 2010

 ... 39 

Tabel 14. Jumlah dan Persentase Pendidikan Ibu dengan Jenis Kelamin dan

Persepsi Gender Mahasiswa tentang Kehidupan Sekolah, Bogor 2010

 40 

Tabel 15. Jumlah dan Persentase Pendidikan Ibu dengan Jenis Kelamin dan

Persepsi Gender Mahasiswa tentang Kehidupan Masyarakat, Bogor 2010 ... 41 Tabel 16. Jumlah dan Persentase Pengasuhan Ibu dengan Jenis Kelamin dan

Persepsi Gender Mahasiswa tentang Kehidupan Keluarga, Bogor 2010 ... 43 Tabel 17. Jumlah dan Persentase Pengasuhan Ibu dengan Jenis Kelamin dan

Persepsi Gender Mahasiswa tentang Kehidupan Sekolah, Bogor 2010 44 Tabel 18. Jumlah dan Persentase Pengasuhan Ibu tentang Jenis Kelamin dan

Persepsi Gender Mahasiswa tentang Kehidupan Masyarakat, Bogor 2010 ... 45 Tabel 19. Jumlah dan Persentase Ajaran Pilihan Bidang Studi dengan Jenis

Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa pada Lingkungan Sekolah,

Bogor 2010 ... 47

(16)

Tabel 20. Jumlah dan Persentase Nilai dan Peran Gender dari Buku Ajar dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa pada Lingkungan Sekolah, Bogor 2010 ... 48 Tabel 21. Jumlah dan Persentase Nilai dan Peran Gender yang Ditanamkan Guru

dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa, Bogor 2010 . 50 Tabel 22. Jumlah dan Persentase Budaya Kekerabatan dengan Jenis Kelamin dan

Persepsi Gender Mahasiswa , Bogor 2010

... 51 

Tabel 23. Jumlah dan Persentase Peer Group dengan Jenis Kelamin dan Persepsi

Gender Mahasiswa, Bogor 2010 ... 53 Tabel 24. Jumlah dan Persentase Lingkungan Sekolah dengan jenis Kelamin dan

Persepsi Gender Mahasiswa, Bogor 2010 ... 56 Tabel 25. Jumlah dan Persentase Lingkungan Sekolah dengan Jenis Kelamin dan

Persepsi Gender Mahasiswa, Bogor 2010 ... 57 Tabel 26. Jumlah dan Persentase Lingkungan Masyarkat dengan Jenis Kelamin

dan Persepsi Gender Mahasiswa , Bogor 2010

 ... 59 

Tabel 27. Jumlah dan Persentase Orang yang Mempengaruhi Persepsi Gender

Mahasiswa dengan Jenis Kelamin dan Persepsi Gender Mahasiswa, Bogor 2010

 ... 60

Tabel 28. Jumlah dan Persentase Pengaruh Guru dengan Jenis Kelamin dan

Persepsi Gender Mahasiswa, Bogor 2010

 ... 61   

 

 

(17)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka Pemikiran ... 22

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Data Responden Tahun 2009 ... 67

 

(19)

 

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang sedang berusaha untuk meningkatkan pendidikan masyarakatnya melalui berbagai cara, salah satunya yaitu dengan program wajib belajar sembilan tahun, karena untuk menyukseskan pembangunan suatu negara, diperlukan sumberdaya manusia yang berkualitas tinggi. Oleh karena itulah untuk menciptakan sumberdaya manusia yang berkualitas tinggi, diperlukan pendidikan yang tinggi pula. Dahulu bila kembali melihat ke belakang pada sejarah Indonesia, pada umumnya yang lebih banyak bersekolah adalah laki-laki. Angka partisipasi sekolah untuk anak perempuan selalu lebih rendah daripada anak laki-laki dan jenis pendidikan yang didapatkan oleh anak laki-laki dan perempuan pun berbeda. Perempuan selalu lebih sulit untuk dapat masuk ke dalam pendidikan formal. R.A Kartini adalah seorang pejuang perempuan pertama yang berupaya menegakkan emansipasi perempuan, menginginkan pendidikan formal perempuan sama dengan laki-laki. Menurut R.A. Kartini, laki-laki dan perempuan memiliki potensi yang sama. Pendidikan formal akan dapat menjadi penengah dalam mengatasi setiap perbedaan antara laki-laki dan perempuan, sehingga yang tinggal hanya perbedaan menurut biologis.

Namun perjuangan R.A Kartini membutuhkan waktu yang cukup lama untuk terwujud karena hingga tahun 1990 perempuan yang bersekolah (mengenyam pendidikan formal) lebih rendah 75 juta orang daripada laki-laki dan dari jumlah yang buta huruf ternyata dua pertiga adalah perempuan. Di Indonesia, jenjang pendidikan formal juga menunjukkan tingkat perbedaan gender yang signifikan. Tingkat pendidikan anak laki-laki ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan anak perempuan. Angka Partisipasi Sekolah (APS) di Indonesia juga mengungkapkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan formal, semakin sedikit proporsi anak perempuan bersekolah. Rendahnya tingkat pendidikan ini membuat ketimpangan gender semakin tumbuh subur dalam kehidupan masyarakat.

Pendidikan yang rendah membuat masyarakat masih tertutup pemikirannya, masih

(20)

 

banyak anggapan bahwa “untuk apa perempuan sekolah tinggi-tinggi toh nantinya ke dapur juga”. Anggapan ini dan rendahnya kesempatan bagi anak perempuan untuk mendapatkan pendidikan formal yang lebih tinggi membuat ketimpangan gender bukanlah hal yang tidak mungkin untuk terus berkembang.

Akhirnya perjuangan yang dilakukan oleh R.A Kartini lama-kelamaan semakin menunjukkan hasilnya dan juga adanya usaha pemerintah untuk meningkatkan pendidikan masyarakatnya melalui program wajib belajar 9 tahun pun mulai terlihat dari sistem pendidikan yang semakin berkembang dan peningkatan partisipasi perempuan dalam pendidikan. Hal ini terbukti pada tingkat sekolah dasar terjadi peningkatan partisipasi masyarakat dari 41 persen pada tahun 1968 menjadi 94 persen pada tahun 1996 sedangkan partisipasi sekolah tingkat SMP meningkat dari 62 persen pada tahun 1993 menjadi 80 persen pada tahun 2002 begitu pun pada tingkat SMA dan Perguruan Tinggi.

Selain itu berdasarkan Laporan Pencapaian Millenium Development Goals (MDGs)

1

Indonesia Tahun 2007, Angka Partisipasi Murni (APM) anak perempuan terhadap anak laki-laki pun cenderung meningkat. Jika pada periode sebelumnya (1992-2002), rasio APM SMA/MA perempuan rata-rata hanya 98,76 persen pertahun maka pada periode 2002-2006 rasio APM meningkat menjadi rata-rata 99,07 persen pertahun. Pada jenjang perguruan tinggi juga mengalami kecenderungan yang sama, rasio APM perguruan tinggi perempuan meningkat dari rata-rata 85,73 persen (1992-2002) menjadi 97,24 persen (2003-2006).

Peningkatan pendidikan ini diharapkan dapat menghapus adanya ketimpangan gender yang berkembang di dalam kehidupan masyarakat karena dengan adanya pendidikan, masyarakat lebih terbuka dan menghargai adanya perbedaan, khususnya yang menyangkut perbedaan jenis kelamin.

Walaupun tingkat pendidikan masyarakat baik laki-laki maupun perempuan telah meningkat namun masih menimbulkan suatu pertanyaan besar bahwa hingga saat ini ketimpangan gender tetap tumbuh subur dalam kehidupan masyarakat, contohnya yaitu pada pemilihan jurusan di sekolah lanjutan dan perguruan tinggi.

Pemilihan jurusan pada perempuan dikaitkan dengan fungsi domestiknya, misalnya dalam pemilihan jurusan di tingkat sekolah lanjutan (Sekolah Menengah

      

1 Anonim 2008, Voluntary Discrimination dalam Pendidikan Lanjutan dan Tinggi, http://web.g-help.or.id, diakses tanggal 18 Desember 2009. 

(21)

 

Kejuruan), perempuan lebih mendominasi bidang-bidang ilmu sosial seperti bisnis, manajemen, dan pariwisata, sedangkan laki-laki lebih banyak dibidang ilmu teknis. Pada tahun ajaran 2002/2003, siswa perempuan yang bersekolah di SMK program studi Teknologi Industri hanya 1 persen, studi Pertanian dan Kehutanan sekitar 12,9 persen, untuk bidang Bisnis dan Manajemen sebanyak 64,9 persen, dan bidang Pariwisata mencapai 94 persen (UNESCO/LIPI, 2005)

2

. Ketimpangan gender dapat pula diketahui di kalangan tenaga pengajar dan kepala sekolah. Sudarta (2008) mengungkapkan bahwa walaupun tidak ada data kuantitatif, secara kualitatif kenyataan menunjukkan bahwa untuk Sekolah Taman Kanak-kanak tenaga pengajar didominasi oleh perempuan. Berbeda dengan SD sampai dengan jenjang pendidikan di Perguruan Tinggi, tenaga pengajar laki-laki lebih dominan daripada tenaga pengajar perempuan. Kecenderungan yang serupa juga terlihat di kalangan kepala sekolah dan pimpinan universitas. Hal ini menunjukkan bahwa dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi dimana terdapat orang-orang yang telah berpendidikan tinggi ketimpangan gender masih tetap ada.

Perguruan tinggi merupakan tempat dimana terjadi pendidikan dan latihan akademis yang terkait dengan profesi tertentu (Semiawan, 1999). Perguruan tinggi bertugas membentuk mahasiswanya menjadi kaum intelegensia dan motor penggerak dalam penyebaran ilmu pengetahuan. Selain itu menurut Semiawan (1999) perguruan tinggi juga harus mampu menghasilkan para mahasiswa dan dosen yang dapat menghasilkan karya-karya yang berguna bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam menghadapi kompleksitas kehidupan yang penuh dengan perubahan. Mahasiswa adalah seseorang yang sedang dalam proses menimba ilmu ataupun belajar dan terdaftar sedang menjalani pendidikan pada salah satu bentuk perguruan tinggi, yang terdiri dari akademik, politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas (Hartaji, 2009). Melalui mahasiswa diharapkan permasalahan ketimpangan gender yang ada dalam masyarakat dapat berkurang, namun pendidikan yang diterima mahasiswa tidak hanya berasal dari perguruan tinggi tetapi juga berasal dari keluarga yang merupakan tempat pertama

      

2 Ibid. 

(22)

 

pendidikan diterima oleh mahasiswa dan masyarakat yang merupakan tempat mahasiswa melakukan sosialisasi serta bergaul dengan teman-teman sebayanya.

Keluarga adalah pengelompokan kekerabatan yang menyelenggarakan pemeliharaan anak dan kebutuhan manusiawi tertentu (Horton dan Hunt, 1999).

Bagi mahasiswa keluarga merupakan suatu kelompok primer yang pertama dan disanalah perkembangan kepribadian bermula. Orang tua adalah komponen keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu yang menggambarkan tentang tugas dalam pengasuhan, memberikan kasih sayang, memenuhi segala kebutuhan anak, membimbing dan mengarahkan serta melatih anak agar hidup mandiri dan memberikan sesuatu yang terbaik untuk anak agar kelak anak dapat tumbuh menjadi dewasa dan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan (Hartaji, 2009). Orang tua memiliki tanggung jawab untuk mendidik, mengasuh dan membimbing mahasiswa sedari kecil hingga dewasa agar dapat mencapai suatu tahapan tertentu yang menghantarkan mereka untuk siap masuk ke dalam kehidupan bermasyarakat dan mendapatkan kesuksesan dalam hidupnya.

Pendidikan yang diterima oleh mahasiswa dalam keluarga merupakan awal dan pusat bagi seluruh pertumbuhan dan perkembangan mereka untuk menjadi dewasa, dengan demikian menjadi hak dan kewajiban orang tua sebagai penanggung jawab yang utama dalam mendidik mereka. Oleh karena itu tingkat pendidikan orang tua pun akan mempengaruhi cara orang tua dalam memberikan pendidikan kepada mahasiswa.

Tinggi rendahnya pendidikan orang tua terutama ibu akan berpengaruh

terhadap pemberian pendidikan kepada mahasiswa selama proses pengasuhan. Ibu

yang berpendidikan tinggi akan memiliki pengetahuan yang luas terutama

pengetahuan tentang gender. Ia akan mengetahui dan memahami hal-hal yang

terkait tentang gender seperti perbedaan antara seks dan gender. Sedikit

banyaknya dari pengetahuan ini akan mempengaruhi persepsi gender dari ibu dan

penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Tidak menutup kemungkinan persepsi

gender ibu juga akan mempengaruhi pendidikan gender yang ibu berikan kepada

mahasiswa pada saat proses pengasuhan berlangsung. Pendidikan gender ini pada

akhirnya juga akan mempengaruhi persepsi gender mahasiswa. Apabila ibu

memiliki pengetahuan tentang gender maka dalam memberikan pendidikan

(23)

 

kepada mahasiswa sedari kecil hingga dewasa pendidikan gender pun akan diterima oleh mahasiswa. Kenyataannya saat ini masih banyak fenomena bias gender atau timpang gender masih tetap ada dalam kehidupan bermasyarakat, padahal di dalam keluarga, pendidikan orang tua terutama ibu telah memiliki pendidikan tinggi.

Selain mendapatkan pendidikan dan berinteraksi dengan orang-orang di dalam lingkungan keluarga, mahasiswa juga akan berinteraksi dan bersosialisasi dengan orang-orang yang ada di lingkungan sekolah dan masyarakat. Di lingkungan sekolah mahasiswa akan dipengaruhi oleh guru selaku orang yang memberikan pendidikan dan buku-buku pelajaran yang ia dapatkan dan pelajari.

Sedangkan di lingkungan masyarakat mahasiswa akan dipengaruhi oleh budaya (sistem kekerabatan dalam keluarga dan masyarakat) dan teman-teman sebayanya (peer group).

Fakta masih adanya ketimpangan gender ini berbeda dengan yang terjadi di STEI TAZKIA yang merupakan sebuah perguruan tinggi dimana mahasiswanya telah mengenyam pendidikan tinggi. Umumnya, walaupun berasal dari keluarga yang ibunya telah mengenyam pendidikan tinggi dan juga telah mengenyam pendidikan tinggi ketimpangan gender masih tetap ada. Berbeda dengan STEI TAZKIA yang ternyata mahasiswanya yang telah berpendidikan tinggi dan berasal dari ibu yang telah mengenyam pendidikan tinggi ternyata persepsi gender mahasiswanya tinggi, sehingga hal ini merupakan hal yang sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut. Apakah ketimpangan gender ini dipengaruhi oleh pendidikan yang didapatkan mahasiswa di dalam keluarga atau di dalam lingkungan sekolah tempat ia dididik oleh guru dan lingkungan masyarakat tempat ia berinteraksi dengan budaya dan teman-teman sebayanya (peer group) sehingga mahasiswa masih memiliki persepsi gender yang tinggi. Karena persepsi gender mahasiswa yang tinggi akan mempengaruhi mahasiswa dalam berpendapat atau memahami tentang peran laki-laki dan perempuan di dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu juga merupakan suatu hal yang sangat menarik untuk diteliti kemungkinan terdapat perbedaan faktor yang mempengaruhi persepsi gender antara mahasiswa laki-laki dan perempuan.

(24)

 

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, adapun permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pengaruh lingkungan keluarga terhadap persepsi gender mahasiswa?

2. Bagaimanakah pengaruh lingkungan sekolah terhadap persepsi gender mahasiswa?

3. Bagaimanakah pengaruh lingkungan masyarakat terhadap persepsi gender mahasiswa?

4. Apakah perbedaan faktor pengaruh yang terdapat di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat terhadap persepsi gender mahasiswa?

1.3 Tujuan

Berdasarkan perumusan masalah di atas, diperoleh tujuan penulisan sebagai berikut :

1. Menganalisis pengaruh lingkungan keluarga terhadap persepsi gender mahasiswa.

2. Menganalisis pengaruh lingkungan sekolah terhadap persepsi gender mahasiswa.

3. Menganalisis pengaruh lingkungan masyarakat terhadap persepsi gender mahasiswa.

4. Mengetahui perbedaan faktor pengaruh yang terdapat di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat terhadap persepsi gender mahasiswa.

1.4 Kegunaan Penulisan

Penulisan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi para pembaca maupun peminat studi untuk menambah informasi sekaligus dapat dijadikan sebagai salah satu acuan bagi penulisan ilmiah terkait dengan masalah persepsi gender yang masih tetap bertahan dalam kehidupan masyarakat yang berpendidikan tinggi, kepada :

1. Peneliti yang ingin mengkaji lebih jauh tentang persepsi gender mahasiswa

yang berasal dari keluarga yang telah memiliki pendidikan yang tinggi dan

(25)

 

pengaruh lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat terhadap persepsi gender mahasiswa.

2. Kalangan praktisi, akademisi dan pemerintah, dapat bermanfaat dalam

menambah pengetahuan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi

gender mahasiswa.

(26)

  BAB II

PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Pendidikan

Menurut Brown (1961) dalam Ahmadi (2004) pendidikan adalah proses pengendalian secara sadar dimana perubahan-perubahan di dalam tingkah laku dihasilkan di dalam diri seseorang melalui kelompok. Sudarta (2008) mengemukakan bahwa pendidikan merupakan proses penerusan nilai oleh pendidik (guru atau dosen) kepada anak didik (siswa atau mahasiswa). Begitu juga dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa: “Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi penerapannya di masa yang akan datang” (pasal 11 ayat 1). Jadi dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan suatu proses penerusan nilai secara sadar dari pendidik yang berupa bimbingan, pengajaran, dan atau latihan kepada anak didik yang akan diterapkan di masa yang akan datang sehingga akan terjadi perubahan-perubahan di dalam diri anak didik.

Menurut Jatiningsih (2008)1 pendidikan berfungsi untuk membantu dan membekali serta mengembangkan potensi anak agar bisa hidup dan menyesuaikan diri sesuai dengan tuntutan atau perubahan kehidupan. Oleh karena itu pendidikan harus berorientasi tidak hanya ke masa kini tetapi juga masa depan. Pendidikan tidak hanya berperan mengembangkan aspek intelektual semata, tetapi juga membekali dan mengembangkan kecakapan pribadi dan kecakapan sosial anak.

Van Gliken (2004) yang dikutip oleh Effendi (2005) dalam Taher (2009) menyatakan bahwa pendidikan mempunyai tugas pokok yaitu menciptakan, mentransfer dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya serta pendidikan sangat vital peranannya dalam mentransfer nilai-nilai dan jati diri bangsa. Tujuan umum pendidikan di Indonesia adalah membimbing warga negara Indonesia menjadi manusia Pancasila yang berpribadi, berkesadaran akan berke- Tuhanan, berkesadaran masyarakat dan mampu membudayakan alam sekitarnya.

      

1 Oksiana Jatiningsih, 2008, Pendidikan Gender Bagi Calon Guru Sekolah Dasar Dalam Penyiapannya Menjadi Agen Sosialisasi Gender Di Sekolah, www.puslitjaknov.org, diakses tanggal 18 Desember 2009.

 

(27)

  Melalui tujuan umum pendidikan di Indonesia dapat diketahui bahwa pendidikan merupakan suatu proses yang berlangsung sepanjang hidup sehingga nantinya akan terbentuk seseorang yang memiliki kepribadian dan berkesadaran terhadap lingkungan disekitarnya.

Pendidikan di sini lebih dititikberatkan pada pendidikan formal. Menurut Rukmina (2008)2 ada beberapa unsur yang harus ada dalam pendidikan terutama pendidikan formal antara lain :

a. Adanya usaha (kegiatan) yang dilakukan secara sadar.

b. Adanya tujuan tertentu yang ditujukan untuk pengembangan kemampuan, sikap, dan bentuk-bentuk perilaku positif dari nilai-nilai masyarakat.

c. Adanya pendidik dan pembimbing dari si terdidik.

d. Adanya usaha atau tindakan yang merupakan suatu proses yang berlangsung dalam waktu tertentu atau secara terus menerus.

e. Adanya peserta didik.

Kelima unsur tersebut merupakan ciri-ciri khas yang minimal terdapat dalam pendidikan. Kelima unsur tersebut mengandung persoalan-persoalan pendidikan, seperti siapa yang dikatakan pendidik, siapa anak didik, kapan dan dimana pendidikan itu dilaksanakan dan lain-lain. UUD 1945 dan GBHN mengamanatkan, bahwa baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam pembangunan, termasuk pembangunan di bidang pendidikan (kondisi normatif). Pada saat ini pendidikan tidak hanya suatu proses pembelajaran di dalam masyarakat, tetapi sudah berkembang menjadi pusat atau sumber dari pengetahuan. Pendidikan mempunyai fungsi utama yang selalu ada dalam perkembangan sejarah manusia yaitu untuk meningkatkan taraf pengetahuan manusia3. Pendidikan juga merupakan sarana sosialisasi dalam kehidupan masyarakat.

2.1.2 Gender

Gender menurut Handayani dan Sugiarti (2008) adalah suatu konsep sosial yang membedakan (dalam arti memilih atau memisahkan) peran antara laki-laki       

2  Rukmina Gonibalah , 2008, Fenomena Bias Gender Dalam Pendidikan Islam, www.jurnaliqro.files.wordpress.com, diakses tanggal 18 Desember 2009. 

3 Endang Widuri, 2008, Pendidikan Hukum Perempuan Sebagai Upaya Pemberdayaan Perempuan www.yinyangstain.files.wordpress.com, diakses tanggal 18 Desember 2009. 

(28)

  dan perempuan. Menurut Wiliam (2006) gender memuat perbedaan fungsi dan peran sosial laki-laki dan perempuan, yang terbentuk oleh lingkungan. Gender sama sekali berbeda dengan jenis kelamin. Gender bukan jenis kelamin. Wiliam mengungkapkan bahwa gender tercipta melalui suatu proses sosial budaya yang panjang dalam suatu lingkup masyarakat tertentu, sehingga dapat berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya. Misalnya, laki-laki yang memakai tato di badan dianggap hebat oleh masyarakat dayak, tetapi di lingkungan komunitas lain seperti Yahudi misalnya, hal tersebut merupakan hal yang tidak dapat diterima. Gender juga dapat berubah dari waktu ke waktu sehingga bisa berlainan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Contohnya, di masa lalu perempuan yang memakai celana panjang dianggap tidak pantas sedangkan saat ini dianggap hal yang baik untuk perempuan aktif.

Pengetahuan masyarakat tentang gender merupakan suatu hal yang penting untuk dibahas saat ini. Hal ini disebabkan oleh pengetahuan gender masyarakat akan mempengaruhi cara masyarakat memperlakukan orang lain baik itu laki-laki maupun perempuan. Tinggi atau rendahnya pengetahuan masyarakat tentang gender pada umumnya didapat dari hasil pendidikan yang telah dijalani.

Pengetahuan masyarakat tentang gender dikatakan tinggi apabila masyarakat tidak lagi membedakan peran dan fungsi antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. Begitu juga sebaliknya pengetahuan masyarakat tentang gender dikatakan rendah apabila masyarakat masih membedakan peran dan fungsi antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan bermasyarakat.

Persepsi masyarakat tentang gender sangat dipengaruhi oleh pengetahuan masyarakat tentang gender itu sendiri. Persepsi masyarakat tentang gender akan membuat masyarakat mengetahui, memahami, berpendapat dan berprilaku berbeda kepada seseorang, baik ia laki-laki maupun perempuan.

Menurut Baron dan Byrne (2005) persepsi merupakan proses yang digunakan untuk mencoba mengetahui dan memahami perasaan orang lain.

Menurut Young (1956) 4 persepsi merupakan aktivitas mengindera, mengintegrasikan dan memberikan penilaian pada obyek-obyek fisik maupun obyek sosial, dan penginderaan tersebut tergantung pada stimulus fisik dan       

4  Young, 1956, Persepsi, www.infoskripsi.com, diakses tanggal 17 April 2010. 

(29)

  stimulus sosial yang ada di lingkungannya. David (1998) dalam Najah (2007) mengatakan bahwa dengan persepsi, individu dapat menyadari, mengerti tentang keadaan lingkungan di sekitarnya dan juga tentang keadaan diri individu yang bersangkutan. Persepsi juga merupakan pandangan, pengamatan, atau tanggapan seseorang terhadap benda, kejadian, tingkah laku manusia atau hal-hal yang diterimanya sehari-hari.

Persepsi gender adalah proses yang digunakan untuk mencoba mengetahui, memahami dan memberikan penilaian tentang peran antara laki-laki dan perempuan dalam lingkungannya. Mengetahui, memahami dan memberikan penilaian di sini maksudnya adalah suatu proses aktivitas seseorang dalam memberikan kesan, penilaian, pendapat, merasakan dan menginterpretasikan sesuatu berdasarkan informasi yang ditampilkan dari sumber lain (yang dipersepsi)5 mengenai peran laki-laki dan perempuan dalam lingkungannya.

Persepsi gender di dalam lingkungan keluarga dipengaruhi oleh pendidikan orang tua dan proses pengasuhan yang dilakukan oleh orang tua dalam memberikan pendidikan kepada anaknya terutama ibu. Di dalam bukunya “ The Twelve Who Survive” Myers (1990) dalam Hastuti (2008) menyebutkan bahwa anak dapat tumbuh dan berkembang optimal melalui stimulasi psikososial yang diberikan ibu kepada anak, dan hal ini tergantung pula pada latar belakang pendidikan ibu, beban kerja ibu serta persepsi ibu terhadap peran domestiknya.

Pemberian pendidikan ibu terhadap anaknya terutama pendidikan gender dalam pengasuhan dapat terlihat dari jenis proses pengasuhan yang diberikan oleh ibu. Proses pengasuhan akan melibatkan hubungan dan interaksi yang terjadi antara orang tua dengan anak, keduanya akan terlibat dan berkontribusi dalam membentuk kualitas hubungan dan perkembangan dari hubungan tersebut. Hal ini berarti setiap orang tua akan membawa sejarah bagaimana mereka dahulunya berinteraksi dengan orang tua mereka dahulu dalam membentuk hubungan dengan anak (Rohner (1987) dalam Hastuti (2008)) dan pendidikan yang telah mereka jalani. Selain itu apabila ibu lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja maka proses pengasuhan dan pemberian pendidikan kepada anak tidak dapat dilakukan oleh ibu.

      

5 Ibid. 

(30)

  2.1.3 Mahasiswa

Susantoro (2003) dalam Rahmawati (2006) mengatakan bahwa mahasiswa adalah kalangan muda yang berumur 19-28 tahun yang memang dalam usia tersebut mengalami suatu peralihan dari tahap remaja ke tahap dewasa. Hartaji (2009) mengungkapkan mahasiswa adalah seseorang yang sedang dalam proses menimba ilmu ataupun belajar dan terdaftar sedang menjalani pendidikan pada salah satu bentuk perguruan tinggi, yang terdiri dari akademik, politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas. Susanto (2003) dalam Rahmawati (2006) menyatakan bahwa sosok mahasiswa juga kental dengan nuansa kedinamisan dan sikap keilmuannya dalam melihat sesuatu secara objektif, sistematis, dan rasional.

Kartono (1985) dalam Rahmawati (2006) mengungkapkan bahwa mahasiswa sebagai anggota masyarakat memiliki ciri-ciri tertentu, antara lain : 1. Mempunyai kemampuan dan kesempatan untuk belajar di perguruan tinggi,

sehingga dapat digolongkan sebagai kaum intelegensia.

2. Yang karena kesempatan di atas diharapkan nantinya dapat bertindak sebagai pemimpin yang mampu dan terampil, baik sebagai pemimpin masyarakat ataupun dalam dunia kerja.

3. Diharapkan dapat menjadi “daya penggerak yang dinamis bagi proses modernisasi”.

4. Diharapkan dapat memasuki dunia kerja sebagai tenaga yang berkualitas dan professional.

2.1.4 Pengasuhan

Pengasuhan atau disebut juga “parenting” adalah cara mengasuh anak mencakup pengalaman, keahlian, kualitas, dan tanggung jawab yang dilakukan orang tua dalam mendidik dan merawat anak, sehingga anak dapat tumbuh menjadi pribadi yang diharapkan oleh keluarga dan masyarakat di mana ia berada dan tinggal (Hastuti, 2008). Tugas ini umumnya dikerjakan oleh ibu dan ayah (orang tua biologis dari anak), namun bila orang tua biologisnya tidak mampu melakukan pengasuhan, maka tugas ini diambil oleh kerabat dekat termasuk kakek, nenek, kakak, orang tua angkat, atau oleh institusi seperti panti asuhan (alternativ care), dan baby sitter. Pengasuhan dilakukan tidak hanya untuk

(31)

  memenuhi kebutuhan fisik anak seperti sandang, pangan, dan papan, tetapi pengasuhan juga mencakup pemenuhan kebutuhan psikis anak dan pemberian stimulasi untuk memacu pertumbuhan dan perkembangan anak secara maksimal.

Brooks (2001) dalam Wulandari (2009) mengemukakan bahwa pengasuhan merupakan suatu proses panjang yang mencakup :

1. Interaksi antara anak, orang tua, dan masyarakat lingkungannya.

2. Penyesuaian kebutuhan hidup dan temperamen anak dengan orang tuanya.

3. Pemenuhan tanggung jawab untuk membesarkan anak dan memenuhi kebutuhan anak.

4. Proses mendukung atau menolak keberadaan anak dan orang tua.

5. Proses mengurangi resiko dan perlindungan terhadap individu dan lingkungan sosialnya.

Kelima proses tersebut sangat menentukan seberapa besar peran orang tua terutama ibu dan pentingnya kebersamaan ibu dalam pengasuhan untuk memberikan pendidikan kepada anaknya agar dapat beradaptasi dan bersosialisasi dengan lingkungannya. Kebersamaan ibu dalam memberikan pengasuhan kepada anaknya akan berdampak pada terbentuknya ikatan (bonding) yang kuat antara ibu dan anaknya dan pemberian pendidikan pun dapat diberikan secara optimal, sebaliknya apabila pengasuhan tidak dilakukan bersama dengan ibu akan berdampak pada lemahnya ikatan antara ibu dan anaknya serta pemberian pendidikan yang terjadi pada saat proses pengasuhan berlangsung tidak dapat diberikan oleh ibu secara optimal.

2.1.5 Lingkungan

2.1.5.1 Lingkungan Keluarga

Keluarga adalah unit kesatuan sosial terkecil yang mempunyai peranan sangat penting dalam membina anggota-anggota keluarganya (Rahayu, 2009).

Secara prinsip keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas dua orang atau lebih berdasarkan pada ikatan perkawinan dan pertalian darah, hidup dalam satu rumah tangga di bawah asuhan seorang kepala rumah tangga, berinteraksi di antara anggota keluarga, setiap anggota keluarga memiliki

(32)

  peranannya masing-masing dalam menciptakan dan mempertahankan budaya keluarga.

Di dalam keluarga setiap anggota keluarga memiliki fungsi dan perannya masing-masing. Parson dan Bales (1956) yang dikutip oleh Megawangi (1999) dalam Lestari (2008) membagi dua peran orang tua dalam keluarga yaitu peran instrumental yang diharapkan dilakukan oleh suami atau bapak, dan peran emosional atau ekspresif yang biasanya dipegang oleh figur istri atau ibu. Peran instrumental merupakan peran yang dihubungkan dengan pencarian nafkah keluarga untuk kelangsungan kehidupan seluruh anggota keluarga, sedangkan peran emosional merupakan peran dalam memberikan cinta, kelembutan dan kasih sayang.

Keluarga merupakan lingkungan pertama yang dikenal bagi seseorang begitu ia dilahirkan di dunia. William Bennet dalam Hastuti (2008) mengungkapkan bahwa keluarga adalah tempat yang paling efektif dimana seorang anak menerima kebutuhan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan bagi hidupnya, serta kondisi kondisi biologis, psikologis, dan pendidikan serta kesejahteraan seorang anak amat tergantung pada keluarga :

“The biological, psychological, and educational well being of our children depend on the well being of the family, while the family is the original and most effective department of health, education and welfare. And if it fails to teach honesty, courage, desire for excellence, and a host of basic skills, it is exceedingly difficult for any other agency to make up its failures”.

(Kesejahteraan biologis, psikologis, dan pendidikan seorang anak tergantung pada kesejahteraan keluarga, sementara keluarga sendiri adalah departemen paling orisinal dan efektif dalam pembentukan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan. Dan bila keluarga gagal dalam menciptakan kejujuran, keberanian, keinginan maju, dan serangkaian keterampilan dasar, maka akan sangat sulit bagi institusi manapun untuk memperbaiki kegagalan tersebut).

Kesimpulannya adalah untuk menciptakan kesejahteraan bagi anak maka kesejahteraan keluarga merupakan hal utama yang harus dibangun. Apabila anak

(33)

  telah sejahtera, maka akan terbentuk anak yang berkualitas, berkompeten, dan dapat mandiri.

2.1.5.2 Lingkungan Sekolah

Lingkungan sekolah adalah suatu kawasan tempat anak-anak diajarkan untuk mendapatkan, mengembangkan, dan menggunakan sumber-sumber dari keadaan sekitarnya. Sekolah yang merupakan tempat dimana pendidikan diterapkan dan diajarkan untuk memandang sesuatu secara objektif sesuai fakta- fakta yang ada, ternyata terdapat ketimpangan gender. Ada beberapa faktor di lingkungan sekolah yang menyebabkan ketimpangan gender di bidang pendidikan. Menurut Bemmelen (2003b) dalam Sudarta (2008) faktor-faktor ketimpangan gender dalam pendidikan adalah angka buta huruf, Angka Partisipasi Sekolah (APS), pilihan bidang studi, komposisi staf perngajar dan kepala sekolah.

Menurut Sudarta (2008) sendiri faktor penentu ketimpangan gender adalah masalah lama (sejarah), nilai gender yang dianut oleh masyarakat, nilai dan peran gender dalam buku ajar, nilai gender yang ditanamkan guru, dan kebijakan yang timpang gender, sehingga dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan ketimpangan gender adalah :

1. Pilihan Bidang Studi

Ketimpangan gender terlihat juga dalam pilihan bidang studi. Hal ini dapat dibuktikan pada sekolah kejuruan, seperti misalnya Sekolah Kepandaian Puteri (SKP), yakni suatu sekolah khusus untuk anak perempuan, Sekolah Teknik Menengah (STM) umumnya untuk anak laki-laki dan sebagainya. Penjurusan di tingkat SLTA, umumnya anak perempuan lebih banyak mengisi jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), sedangkan anak laki-laki lebih banyak mengisi jurusan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Hal ini rupanya tidak terlepas dari stereotipe gender, anak perempuan lebih banyak membantu di rumah dengan waktu belajar yang lebih sedikit daripada anak laki-laki. Sedangkan anak laki-laki lebih banyak dipacu belajar dan dibebaskan dari tugas yang berkaitan dengan pekerjaan urusan rumah tangga.

Berkaitan dengan pilihan fakultas dan jurusan di Perguruan Tinggi yang dinyatakan oleh Sudarta (2008) bahwa proporsi laki-laki dan perempuan di

(34)

  fakultas dan jurusan di Universitas Indonesia (pada tahun 1992/1993) menunjukkan ketimpangan gender yang signifikan. Di samping itu, Agung Ariani (2002) dalam Sudarta (2008) juga menyatakan bahwa umumnya perempuan memilih sekolah yang penyelesaian pendidikannya memerlukan waktu pendek dan cepat bisa bekerja, sebagai alasannya adalah untuk menunjang ekonomi rumah tangga dan untuk biaya melanjutkan studi saudara laki-lakinya.

2. Nilai dan Peran Gender yang Terdapat dalam Buku Ajar

Evaluasi terhadap bahan ajar pada tingkat sekolah dasar misalnya, contoh- contoh seperti ibu pergi ke pasar dan ayah pergi ke kantor sudah harus direvisi.

Demikian juga dengan Anti main masak-masakan dan Budi main layangan.

Ma’ruf (2008) dalam Eliyani (2009) telah meneliti terdapat bias gender pada soal- soal Olimpiade Sains Nasional. Mengambil sampel Daerah Istimewa Yogyakarta, ditemukan bahwa ada soal Biologi yang menguntungkan perempuan karena secara substansial lekat dengan kehidupan perempuan, namun ada juga soal yang menguntungkan laki-laki karena melibatkan tingkatan kognitif yang lebih kompleks yaitu tingkatan analisis. Contoh yang lainnya yang dikemukakan oleh Sudarta (2008) yaitu mengenai sosialisasi gender di antaranya “Ibu memasak di dapur, Bapak membaca koran”. “Ibu berbelanja ke pasar, Bapak mencangkul di sawah”. Bentuk seksisme lain adalah gambar-gambar yang lebih sering menampilkan anak laki-laki dalam kegiatan yang lebih bervariasi dibandingkan dengan anak perempuan.

Selain itu ketimpangan gender juga telah termanifestasikan dalam penampilan sosok perempuan dalam bahasa termasuk Bahasa Indonesia.

Perempuan bisa tidak tampak dalam bahasa. Eliyani (2009) mengemukakan contoh lain ketimpangan gender dalam buku ajar yaitu bentuk nominal bermakna profesi seperti peneliti, pilot, pengusaha dan presiden dianggap mengandung makna laki-laki, karena apabila penyandang profesi tersebut adalah perempuan, kata-kata itu biasanya dimaknai dengan kata perempuan agar sosok perempuan termunculkan dalam kata-kata tersebut. Dengan demikian, seorang peneliti, pilot, pengusaha dan presiden yang berjenis kelamin perempuan akan disebut sebagai peneliti perempuan, pilot perempuan, pengusaha perempuan dan presiden perempuan. Pada wilayah domestik, dalam bahasa justru hanya perempuan yang

(35)

  tampak. Contohnya istilah ibu rumah tangga tidak memiliki istilah pendamping bapak rumah tangga. Istilah pembantu lebih cenderung dikaitkan dengan pekerjaan yang hanya dilakukan oleh kaum perempuan (Sukamto (2008) dalam Eliyani (2009)).

3. Nilai Gender yang Ditanamkan Oleh Guru

Guru merupakan “role model” yang sangat penting di luar lingkungan keluarga anak. Disadari atau tidak, setiap orang termasuk guru mempunyai persepsi tentang peran gender yang pantas. Persepsi itu akan disampaikan secara langsung atau tidak langsung kepada murid (Bemmelen (2003b) dalam Sudarta (2008)).

Guru taman kanak-kanak dan sekolah dasar lebih memberikan penguatan positif pada anak perempuan dibanding dengan anak laki-laki dalam memberi instruksi dan aktivitas bermain. Memasuki sekolah menengah pertama dan menengah atas, baik oleh guru di sekolah dan orang tua di rumah, menasehati agar remaja laki-laki tidak cengeng dan remaja perempuan harus bisa memasak.

Eliyani (2009) mengatakan bahwa guru ternyata lebih banyak melakukan percakapan dengan anak laki-laki sementara lebih sedikit berinteraksi dengan anak perempuan, sehingga anak perempuan cenderung lebih banyak yang memulai duluan untuk berinteraksi dengan guru mereka daripada anak laki-laki.

Selain itu hasil penelitian, dalam dunia sains yang dipaparkan oleh Eliyani (2009) umumnya juga menunjukkan bahwa tenaga pengajar memiliki persepsi yang sama dengan masyarakat luas, yaitu sains dan teknologi adalah dunia laki-laki. Sikap ini membuat mereka merasa wajar bila dalam kelas terdapat hanya sedikit anak perempuan. Lebih jauh tenaga pengajar juga cenderung lebih memberikan perhatian pada pelajar laki-laki daripada pelajar perempuan terutama pada bidang- bidang yang “dominan laki-laki” (Voyless et al (2007) dalam Eliyani (2009)), seperti lebih banyak memanggil anak laki-laki, memberikan penghargaan dan kritik lebih banyak pada anak laki-laki atau di laboratorium memberikan ekspektasi lebih pada anak laki-laki daripada anak perempuan.

(36)

  2.1.5.3 Lingkungan Masyarakat

Lingkungan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia6 adalah daerah atau kawasan dan yg termasuk di dalamnya. Masyarakat adalah sekelompok manusia yang secara relatif mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, mendiami suatu tertentu, memiliki kebudayaan yang sama, dan melakukan sebagian besar kegiatannya dalam kelompok tersebut (Horton dan Hunt, 1999).

Jadi lingkungan masyarakat adalah suatu kawasan tempat sekelompok manusia yang secara relatif mandiri, hidup bersama-sama, memiliki kebudayaan yang sama, dan melakukan sebagian besar kegiatannya dalam kelompok tersebut.

Keluarga adalah, khususnya orang tua adalah tempat sosialisasi utama bagi anak. Selain keluarga, lingkungan masyarakat juga berperan penting bagi anak.

Lingkungan masyarakat adalah suatu kawasan tempat terjadinya interaksi dengan orang-orang disekitar, baik dengan budaya, orang dewasa maupun teman sebaya (Ahmadi, 2004). Interaksi tersebut membuat anak mendapatkan suatu informasi atau pengetahuan mengenai peran gender mereka.

Salah satu penyebab ketimpangan gender di dalam lingkungan masyarakat adalah budaya. Banyak yang menganggap bahwa kondisi demikian normal saja.

Seumur hidup, telah melihat suatu fakta bahwa perempuan bekerja di sektor domestik dan laki-laki mencari nafkah. Anak perempuan main boneka dan anak laki-laki main mobil-mobilan. Budaya yang demikian bukan hanya diterima baik oleh laki-laki tetapi juga perempuan.

Di Indonesia pada dasarnya terdapat suatu budaya kekeluargaan atau kekerabatan yang mengatur kehidupan masyarakatnya, terdiri dari tiga sistem kekerabatan yaitu :

1. Sistem kekerabatan patrilinial yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari garis laki-laki (ayah), sistem ini dianut di Tapanuli, Lampung, Bali dan lain-lain.

      

6Anonim, 2010, Lingkungan, www.pusatbahasa.diknas.go.id, diakses tanggal 17 April 2010.

 

(37)

  2. Sistem kekerabatan matrilinial yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis

keturunan dari garis perempuan (ibu), sistem ini banyak dianut oleh masyarakat Sumatra Barat.

3. Sistem kekerabatan parental yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari garis laki-laki (ayah) dan perempuan (ibu), sistem ini banyak dianut oleh masyarakat Jawa, Madura, Sumatra Selatan dan lain-lainnya

Menurut Purba (2005) ketimpangan gender selalu dihubungkan dengan perspektif ideologi patrilinial dan sosialisasi nilai dalam kehidupan rumah tangga.

Akibatnya ideologi patrilinial tersebut tetap dapat mempertahankan ketimpangan gender dalam kehidupan masyarakat. Selain patrilinial, ideolagi matrilinial juga menyebabkan ketimpangan gender karena ideologi ini lebih mengutamakan perempuan dibandingkan laki-laki.

Sudarta (2008) mengungkapkan bahwa ada dua nilai gender yang menonjol yang masih berlaku di masyarakat, terutama di masyarakat pedesaan yaitu pendapat masyarakat yang mengatakan “Untuk apa anak perempuan disekolahkan (tinggi-tinggi), nanti dia ke dapur juga” dan “Untuk apa perempuan disekolahkan (tinggi-tinggi), nanti dia akan menjadi milik orang lain juga”. Pada masyarakat yang menganut sistem kekerabatan patrilinial, nilai gender tersebut tampak lebih menonjol seperti masyarakat yang cenderung lebih mengutamakan anak laki-laki daripada anak perempuan di dalam memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan formal. Tidak berbeda dengan patrilinial, dalam sistem matrilinial perempuan merupakan ujung tombak untuk meneruskan garis keturunan keluarga dan sebagian besar hak waris diberikan kepada perempuan.

Selain budaya di dalam lingkungan masyarakat, anak juga akan dipengaruhi oleh teman sebayanya (peer group). Menurut Horton dan Hunt (1999) peer group adalah suatu kelompok dari orang-orang yang seusia dan memiliki status yang sama, dengan siapa seseorang umumnya berhubungan atau bergaul. Di mulai dari masa anak-anak hingga dewasa sebagian besar orang akan membangun pertemanan dengan teman sebaya yang memiliki minat yang sama. Secara umum, Hartup dan Stevens (1999) dalam Baron dan Byrne (2005) mengatakan bahwa memiliki teman adalah suatu hal yang positif sebab teman dapat mendorong self- esteem dan menolong dalam mengatasi stress, tetapi teman juga dapat memiliki

(38)

  efek negatif jika mereka antisosial, menarik diri, tidak suportif, argumentatif, atau tidak stabil.

Bronfenbrenner (1974) dalam Hastuti (2008), menuliskan bahwa anak adalah sebuah unsur dalam lingkungan. Pernyataannya ini didasari dari perspektif ekologi yang mengungkapkan bahwa seorang anak dipengaruhi oleh lingkungan fisik dan sosial yang langsung (immediate social and physical environment), yaitu orang tua, saudara, sekolah, kemudian lingkungan luar lain yang lebih luas, seperti tetangga, teman orang tua, dan seterusnya. Bronfenbrenner juga menjelaskan bahwa interaksi antar lingkungan dengan anak, sebagai hasil interaksi lingkungan mikro, meso, exo dan makro. Lingkungan mikro adalah lingkungan terdekat anak yang menjadi tempat anak tumbuh berkembang membentuk pola dan kebiasaan hidup sehari-hari, atau tempat dimana anak saling berinteraksi di rumah, sekolah, dan dalam kehidupan berumah tangga. Menurut Berns (1997) dalam Hastuti (2008) lingkungan mikro adalah lingkungan paling luar yang sangat mempengaruhi anak.

Peer group merupakan suatu wadah untuk bersosialisasi. Menurut Havighurst dalam Ahmadi (2004) peer group memiliki tiga fungsi, yaitu :

a. Mengajarkan kebudayaan

b. Mengajarkan mobilitas sosial atau perubahan status.

c. Memberi peranan sosial yang baru.

Jadi di dalam peer group anak akan belajar banyak hal diantaranya adalah budaya, status dan peranannya baik dalam kehidupan keluarga, sekolah maupun masyarakat.

2.2 Kerangka Pemikiran

Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi penerapannya di masa yang akan datang. Menurut Jatiningsih (2008)7 pendidikan berfungsi untuk membantu dan membekali serta mengembangkan potensi agar bisa hidup dan menyesuaikan diri sesuai dengan tuntutan atau perubahan kehidupan. Pengasuhan atau disebut juga “parenting” adalah cara mengasuh anak mencakup pengalaman, keahlian,       

7 Oksiana Jatiningsih, 2008, Pendidikan Gender Bagi Calon Guru Sekolah Dasar Dalam Penyiapannya Menjadi Agen Sosialisasi Gender Di Sekolah, www.puslitjaknov.org, diakses tanggal 18 Desember 2009. 

(39)

  kualitas, dan tanggung jawab yang dilakukan orang tua dalam mendidik dan merawat anak, sehingga anak dapat tumbuh menjadi pribadi yang diharapkan oleh keluarga dan masyarakat di mana ia berada dan tinggal (Hastuti, 2008).

Menurut banyak ahli jiwa, fase anak menjadi seorang remaja akhir berkisar pada umur 17-19 tahun atau 17-21 tahun (Kartono (1990) dalam Wulandari (2009)). Mahasiswa digolongkan ke dalam fase remaja akhir dan memasuki fase dewasa awal karena mahasiswa terdiri dari sekelompok pemuda dan pemudi yang yang berkisar pada umur 18-30 tahun dengan mayoritas kelompok umur sekitar 18-25 tahun (Ahmad dan Sholeh (2006) dalam Wulandari (2009)). Mahasiswa adalah seseorang yang sedang dalam proses menimba ilmu ataupun belajar dan terdaftar sedang menjalani pendidikan pada salah satu bentuk perguruan tinggi, yang terdiri dari akademik, politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas (Hartaji, 2009). Mahasiswa mendapatkan pendidikan bukan hanya di lingkungan sekolah (perguruan tinggi) tetapi mahasiswa juga mendapatkan pendidikan dari lingkungan keluarga semenjak ia masih kecil dan lingkungan masyarakat.

Persepsi gender adalah proses yang digunakan untuk mencoba mengetahui memahami perasaan orang lain dan memberikan penilaian tentang peran antara laki-laki dan perempuan dalam lingkungannya. Mengetahui, memahami dan memberikan penilaian di sini maksudnya adalah suatu proses aktivitas seseorang dalam memberikan kesan, penilaian, pendapat, merasakan dan menginterpretasikan sesuatu berdasarkan informasi yang ditampilkan dari sumber lain (yang dipersepsi) mengenai peran laki-laki dan perempuan dalam lingkungannya. Di lingkungan keluarga persepsi gender mahasiswa dipengaruhi oleh pendidikan ibu dan pengasuhan yang mahasiswa terima dari ibu mereka.

Semakin tinggi tingkat pendidikan ibu maka pengetahuan ibu tentang gender semakin luas. Luasnya pengetahuan ibu tentang gender akan berdampak pada pendidikan yang ibu berikan pada mahasiswa ketika proses pengasuhan berlangsung yang merupakan pendidikan yang bermuatan gender.

Pendidikan yang ibu berikan kepada mahasiswa pada waktu kecil sangat bergantung pada pengasuhan yang dilakukan ketika mahasiswa bersama dengan ibu atau pengasuhan tersebut dilakukan oleh ibu sendiri. Adanya kebersamaan mahasiswa dengan ibu ketika proses pengasuhan berlangsung maka pendidikan

Gambar

Gambar 1. Kerangka pemikiran Lingkungan Keluarga :
Tabel 3 menunjukkan mahasiswa yang berasal dari daerah Sunda sebanyak 121  orang (52,6%), daerah Sumatra sebanyak 32 orang (13,9%), daerah Nusa  Tenggara sebanyak 28 orang (12,2%), daerah Jawa sebanyak 21 orang (9,1%),  daerah Jakarta sebanyak 19 orang (8,
Tabel 4. Jumlah dan Persentase Mahasiswa STEI TAZKIA Angkatan 2009     Berdasarkan Asal Sekolah, Bogor 2010
Tabel 7. Jumlah dan Persentase Mahasiswa Berdasarkan Usia, Bogor 2010  Usia            Jumlah (n)  Persentase (%)
+4

Referensi

Dokumen terkait

Namun demikian, perilaku oportunistik seringkali terjadi pada tahap pelaksanaan yang tidak sejalan dengan yang direncanakan dan pelaporan pengelolaan keuangan desa yang

Pertentangan yang dialami subjek sebagai penganut ajaran Samin berasal dari orang syariat (pemuka agama) yang meminta subjek untuk memeluk suatu agama, akan tetapi subjek

Gambar 7 menunjukkan bahwa dari sampel pedagang pengumpul didapat bahwa tingkat pendidikan yang paling banyak terdapat di tingkat pendidikan SLTA sebanyak 4 orang (57

Aktivitas enzim esterase non spesifik melalui metode kuantitatif uji biokimia terhadap nyamuk Aedes aegypti dari wilayah perimeter dan buffer di Pelabuhan Tanjung

Etiologi dari campak adalah measles virus (MV) atau virus campak yang merupakan agen penyebab dengan proses replikasi terjadi di organ limfoid dan menyebabkan kematian pada anak

Judul Tugas Akhir : Strategi Pemasaran Untuk Meningkatkan Volume Pengunjung Pada Event Marketing Di Solo Paragon Lifestyle Mall (Studi Kasus Pada PT. Sunindo Gapura Prima)..

lembaga/instansi/organisasi tertentu. Untuk melakukan serangkaian kegiatan edukasi anti hoaks dan disinformasi, bisa dilakukan sendiri ataupun bekerjasama dengan

Imlek yang biasa identik dengan perayaan tahun baru masyarakat Cina Tionghoa, secara khas telah menjadi konsep bersama, menjadi indentitas baru komunitas Ampyang (sebutan