• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

B. Kerangka Teori

2. Karakteristik Marketing Syariah

Menurut Hermawan Kartajaya dan Muhammad Syakir Sula mengatakan bahwa karakteristik marketing syariah yang menjadi pedoman bagi para pemasar adalah sebagai berikut:

a. Teistis (rabbaniyah)

Teistis merupakan salah satu ciri khas marketing syariah yang tidak dimiliki oleh marketing konvensional dimana selama ini dikenal dengan sifatnya yang religius. Kondisi ini tercipta tidak karena keterpaksaan melainkan dari kesadaran diri akan nilai-nilai religius yang dirasa penting dalam mewarnai aktivitas pemasaran agar tidak terperosok dalam perbuatan yang dapat merugikan orang lain. Jiwa seorang pemasar syariah meyakini bahwa hukum Islam yang teistis atau bersifat ketuhanan ini adalah hukum yang paling adil, dan yang paling sempurna, paling selaras dengan segala

bentuk kebaikan, paling dapat mencegah segala bentuk kerusakan, paling mampu mewujudkan kebenaran, memusnahkan kebatilan, dan menyebarluaskan kemaslahatan. Karena dirasa sudah cukup akan segala kesempurnaan dan kebaikan, dia rela melaksanakannya (Kartajaya dan Sula, 2006: 28).

Implementasi dari teistis adalah marketer syariah, dimana dia akan segera mematuhi hukum-hukum syariah dalam segala aktifitasnya sebagai seorang pemasar. Mulai dari melakukan berbagai strategi pemasaran, memilah-milah pasar (segmentasi), memilih pasar yang menjadi fokusnya, hingga menetapkan identitas perusahaan yang harus senantiasa tertanam dalam benak pelanggannya. Maka hal yang dapat dijadikan sebagai indikator dalam menilai sifat teistis yaitu senantiasa berkata jujur atau tidak ada penipuan dalam memasarkan produk pada nasabahnya dan tidak mengingkari janji yang telah diberikan pada nasabah (Kartajaya dan Sula, 2006: 29).

Marketer syariah harus membentengi diri dengan nilai-nilai spiritual karena marketing memang akrab dengan penipuan, sumpah palsu, riswah (suap), korupsi, kolusi, dan wanita (Hasan, 2010: 17). Seperti yang disampaikan oleh Hermawan Kartajaya dan Muhammad Syakir Sula bahwa dalam menyusun taktik pemasaran, apa yang menjadi keunikan dari perusahaannya dibandingkan dengan perusahaan lain, begitu juga dengan

marketing mix-nya, dalam melakukan promosi, senantiasa dijiwai oleh nilai-

segala-galanya. Apalagi dalam melakukan proses penjualan yang sering menjadi tempat seribu satu macam kesempatan untuk melakukan kecurangan dan penipuan (Kartajaya dan Muhammad Syakir Sula, 2006: 29-30).

Marketer syariah akan senantiasa merasa diawasi oleh Allah SWT. Seperti yang dijelaskan Jusmaliani, bahwa Luth telah mengklasifikasikan landasan moral kerja di mana salah satunya adalah merasa dipantau (Jusmaliani dalam Hasanah, 2016: 32). Hal tersebut sejalan dalam firman Allah SWT sebagai berikut: (Ali, 2004: 1682)

Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya

Dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya

pula.” (QS. Al-Zalzalah; 7-8)

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa seorang Marketer syariah selain tunduk kepada hukum-hukum syariah, juga senantiasa menjauhi segala larangannya dengan sukarela, pasrah, dan nyaman, dari dalam hati, bukan paksaan dari pihak luar. Apabila suatu saat hawa nafsu menguasai dirinya dan melakukan pelanggaran terhadap perintah dan larangan syariah, misalkan mengambil uang yang bukan haknya, memberi keterangan palsu, ingkar janji, dan sebagainya, maka ia akan merasa berdosa kemudian segera bertaubat dan menyucikan diri dari

penyimpangan yang dilakukan. Kemudian ia akan senantiasa memelihara hatinya dan memancarkan cahaya kebaikan dalam segala aktifitas bisnisnya. b. Etis (akhlaqiyyah)

Keistimewaan lain dari seorang pemasar syariah selain teistis juga mengedepankan masalah akhlak (moral, etika) dalam setiap aspek kegiatannya. Sifat etis ini merupakan turunaan dari sifat teistis. Dengan demikian marketing syariah merupakan konsep marketing yang sangat mengedepankan nilai-nilai moral dan etika, tidak peduli apapun agamanya karena nilai-nilai moral dan etika adalah nilai yang bersifat universal yang diajarkan semua agama. Untuk mencapai tujuan yang suci, Allah SWT. memberikan petunjuk melalui para Rasul-Nya. Petunjuk tersebut meliputi segala sesuatu yang diperlukan manusia, baik aqidah, akhlak (moral dan etika), maupun syariah. Akidah dan moral bersifat konstan, keduanya tidak mengalami perubahan apa pun dengan berbedanya waktu dan tempat. Sedangkan syariah senantiasa berubah sesuai dengan kebutuhan dan taraf kebutuhan manusia (Kartajaya dan Sula, 2006: 33).

Terkait dengan akhlak Rasulullah SAW. Bersabda (Almath, 2008: 259):

Diantara akhlak seorang mukmin adalah berbicara dengan baik, bila

mendengarkan pembicaraan tekun, bila berjumpa orang dia menyambut

Dari hadist di atas, dapat diketuhi bahwa marketer syariah hendaknya berbicara baik (marketer syariah akan jujur menceritakan kekurangan dan kelebihan produk yang ditawarkan) (M. Nur Riyanto dalam Hasanah, 2016: 34), bersikap ramah, dapat mendengar dengan baik (mampu menghargai pendapat orang lain), rendah hati dan dapat melayani dengan tulus (Djakfar, 2008: 238). Jadi untuk menilai sifat etis dapat menggunakan indikator:

1. Berperilaku sopan dan ramah

Dalam situasi apapun seorang karyawan harus senantiasa bersikap sopan dan ramah terhadap nasabahnya.

2. Bersikap rendah hati

Karyawan senantiasa bersikap rendah hati dengan terlebih dahulu mengucapkan salam pada nasabahnya.

c. Realistis (al-waqi’iyyah)

Realistis adalah ciri khas marketing syariah yang memiliki fleksibilitas atau kelonggaran, dimana sengaja diberikan oleh Allah agar syariah Islam senantiasa abadi dan kekal sesuai di setiap zaman, daerah, dan dalam keadaan apapun. Menjadi marketer syariah bukan berarti harus berpenampilan ala bangsa Arab dan mengharamkan dasi karena dianggap simbol masyarakat Barat, marketersyariah merupakan pemasar professional dengan penampilan yang bersih, rapi, dan bersahaja, apa pun model atau gaya berpakaian yang dikenakannya. Mereka bekerja dengan professional dan mengedepankan nilai-nilai religius, kesalehan, aspek moral, dan kejujuran. Mereka tidak kaku, tidak eksklusif, tapi sangat fleksibel dan

luwes dalam bergaul. Ia memahami bahwa dalam situasi pergaulan di lingkungan heterogen, dengan beragam suku, agama, dan ras ada ajaran yang diberikan oleh Allah SWT. dan dicontohkan oleh Nabi untuk senantiasa bersikap lebih bersahabat, santun dan bersimpatik terhadap saudara-saudara dari umat lain (Kartajaya dan Muhammad Syakir Sula, 2006: 35).

Fleksibilitas atau kelonggaran sengaja diberikan oleh Allah SWT. agar penerapan syariah senantiasa realistis dan dapat mengikuti perkembangan zaman. Sebagaimana firman Allah SWT (Ali, 2004: 280).

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada

Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu al-Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah

Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (QS Al-Maidah: 101)

Al-Qardhawi menyebut ayat tersebut sebagai ruang kelonggaran (al-

‘afw) karena terinspirasi oleh sebuah hadist marfu’ yang diriwayatkan oleh Salman yang berbunyi “Apa yang Allah halalkan dalam kitab-Nya adalah halal. Apa yang Dia haramkan adalah haram. Apa yang Dia diamkan adalah kelonggaran (al-‘afw). Terimalah kelonggaran dari Allah ini karena Dia tidak mungkin melupakan sesuatu.” Semua ini menunjukkan bahwa sedikitnya beban dan luasnya kelonggaran bukanlah suatu kebetulan,

melainkan kehendak Allah agar syariah Islam senantiasa abadi dan kekal sehingga sesuai bagai setiap zaman, daerah, dan keadaa apa pun (Kartajaya dan Sula, 2006: 37).

Jadi berdasarkan pemaparan Kartajaya dan Sula, sifat relitis dapat dinilai dari indikator sebagai berikut:

1. Berpakaian rapi

Marketer syariah senantiasa berpenampilan yang bersih, rapi, dan bersahaja, apa pun model atau gaya berpakaian yang dikenakannya asalkn menutup aurat.

2. Profesional dan menguasai produk atau jasa yang ditawarkan d. Humanistis (al-insaniyah)

Humanistis adalah hukum atau syariah yang diciptakan untuk manusia agar derajatnya terangkat, sifat kemanusiaannya terjaga dan terpelihara, serta sifat-sifat kehewanannya terkekang dengan panduan syariah. Dengan demikian, harapan dari nilai humanistis yaitu menjadikan manusia lebih terkontrol dan seimbang. Bukan manusia yang serakah dan menghalalkan segala cara untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya. Syariah Islam diciptakan untuk manusia sesuai dengan kapasitasnya tanpa menghiraukan ras, warna kulit, kebangsaan, dan status. Hal inilah yang membuat syariah memiliki sifat universal sehingga menjadi syariat humanistis universal (Kartajaya dan Sula, 2006: 37).

Sifat humanistis dan universal syariat Islam dapat dikatakan sebagai prinsip ukhuwah insaniyyah (persaudaraan antar manusia). Islam tidak

membeda-bedakan manusia, baik asal daerah, warna kulit, maupun status sosial. Islam mengarahkan seluruh seruannya kepada seluruh manusia, bukan hanya kepada sekelompok golongan tertentu, atas dasar ikatan persaudaraan antarsesama manusia. Mengingat bahwasanya seluruh manusia itu adalah hamba Allah SWT. dan anak Adam sehingga mereka seluruh manusia terikat dengan tali persaudaraan diantara mereka (Kartajaya dan Sula, 2006: 39-40). Allah SWT berfirman: (Ali, 2004: 183).

“Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu

dari diri yang satu. Dan dari padanya Allah menggembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamuu saling meminta satu sama lain. Dan peliharalah hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi

kamu.” (QS. An-Nisa: 1)

Indahnya kata kasih sayang (al-arham) dalam ayat yang ditunjukkan kepada seluruh manusia. Kata itu mengingatkan kepada kita semua tentang satu jiwa yang darinya tersebar keturunannya. Alangkah indah persaudaraan seluruh manusia yang ditunjukkan oleh ayat tersebut (Kartajaya dan Sula, 2006: 40).

Berdasarkan pemaparan Kartajaya dan Sula, maka dalam menilai sifat humanistis dapat mengunakan indikator sebagaiberikut:

1. Tidak menghiraukan status

Dalam melayani nasabah tidak melihhat bagaimana status sosial, agama, dan ras, dengan kata lain semua diperlakukan sama atau adil.

2. Bersedia membantu kesulitan nasabah

Untuk menerakpan ukhwah insaniah, karyawan senantiasa bersedia membanu apa yang menjadi kesulitan nasabahnya terkait urusan perbankan.

Dokumen terkait