• Tidak ada hasil yang ditemukan

D. ANALISA DATA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

2. Karakteristik Nira Tebu MTG 48 Jam STTH

Menurut Dahlan (1984), adanya buih putih menunjukkan bahwa nira telah rusak akibat aktivitas mikroorganisme terhadap kandungan sukrosa nira. Penampakan fisik nira tebu MTG 48 jam yang berbuih putih dapat dilihat pada Gambar 9 dengan karakteristik seperti tersaji pada Tabel 4.

Tabel 4. Karakteristik Nira Tebu Tertunda Giling 48 Jam

Karakteristik Nilai Rendemen Nira (% b/b) 51,15 ± 6,50 Spesific grafity 1.352 TSS (obrix) (25 oC) 12,5 ± 0,5 Viskositas (cp) 1,18 ± 0,02 Total Gula (mg/ml) 144,27 ± 16.59 Gula Pereduksi (mg/ml) 15,15 ± 2,65 Kadar Sukrosa (mg/ml) 131,99 ± 14,88 Kadar Dekstran (ppm) 230-240 Suhu (oC) 25-27 pH 5,5 22

Rendemen nira dengan rata-rata 51 % dari total batang tebu dipengaruhi oleh perbedaan ukuran batang, penanganan pasca panen tebu selama MTG, kondisi lingkungan seperti cuaca panas atau hujan, waktu giling siang atau malam, dan kondisi teknis saat proses giling.

Nilai spesific grafity > 1 yang diperoleh dari refraktometer Abbe merupakan perbandingan nira mentah dengan air murni sebagai kontrol yang menunjukkan terdapatnya bahan selain air di dalam nira yang berhubungan dengan nilai TSS-nya. Padatan terlarut (TSS) dalam nira terdiri atas bahan gula dan non-gula (Purwono, 2003). Nilai TSS 12-13

o

brix sama dengan rata-rata TSS nira mentah pada stasiun gilingan PG. Jatitujuh yang dilaporkan Purnama (2006), meskipun lebih rendah dari TSS nira berkualitas sebesar 17 obrix.

Viskositas nira lebih besar dari viskositas air sebesar 1 cp. Hal ini menunjukkan adanya kandungan dekstran yang mampu meningkatkan viskositas nira akibat infeksi bakteri terhadap tebu selama tertunda giling.

Kadar dekstran pada kisaran 230-240 ppm telah mendekati titik kritis kadar dekstran yang bisa mengganggu produksi gula di pabrik gula, yaitu 250 ppm (Kim, 2004). Oleh sebab itu, nira mentah tebu dengan MTG 48 jam perlu didegradasi dekstran didalamnya sebagai Pre-Treatment terhadap kemungkinan peningkatan kadar dekstran yang jauh lebih tinggi.

Nilai total gula pereduksi yang lebih kecil dari kadar sukrosanya menunjukkan kondisi nira ini masih cukup baik. Kondisi ini dipertahankan selama MTG karena penyimpanan tebu yang utuh dari STTH. Hal ini berbeda dengan penyimpanan tebu setelah dipotong, dimana pengaruh mikroorganisme selama MTG akan lebih tinggi dengan lebih luasnya jaringan batang yang terbuka. Berhubungan dengan sifat umum hidratasi bahan, derajat pengikatan air terhadap bahan yang tinggi dari molekul air pembentuk hidrat dengan karbohidrat, menyebabkan sukar dihilangkannya bahan gula dari jaringan batang tebu.

Suhu nira sebesar 25-27 oC lebih rendah dari suhu nira mentah di pabrik gula sebesar 50 oC (Sumarno, 1994). Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan volume dan waktu giling antara penelitian dan pabrik gula.

Penelitian ini memiliki volume giling berkapasitas kecil dengan waktu giling yang cepat, sehingga suhu nira cepat menyesuaikan dengan suhu ruang. Pabrik gula memiliki volume giling yang besar dengan durasi pergesekan kontinu dua logam pada dua sisi penggilingan hingga siang dan malam yang mampu berefek meningkatkan suhu nira. Selain itu, menurut Purnama (2006) suhu nira dapat pula dipengaruhi oleh penambahan air imbibisi bersuhu 50 oC.

Nira mentah tertunda giling 48 jam ini memiliki pH sebesar 5,5 yang cukup baik bila dibandingkan dengan pH nira tebu segar 5,3-5,5 (Prihanto, 2004). Stabilnya pH selama MTG disebabkan oleh perlakuan MTG pada kondisi batang utuh dan sifat nira tebu yang mangandung bufer alami berasal dari sel hidup didalamnya, termasuk dekstransukrase dari sel L. mesenteroides yang bercampur di dalam nira mentah. Menurut Suhartono (1989), enzim yang masih tercampur dengan komponen lain dari sel tempat asalnya, medianya sudah mengandung bufer alami dari cairan di dalam sel. Diduga semakin lama MTG, maka pH nira akan semakin rendah akibat peningkatan aktivitas mikroorganisme yang hidup di dalam nira tebu.

3. Pola Pertumbuhan Bakteri dan Produksi Dekstran MTG STTH

Pabrik gula di Indonesia sering bermasalah dengan tidak terkontrolnya MTG tebu, terutama saat musim giling yang berakibat pada peningkatan produksi dekstran oleh bakteri L. mesenteroides yang menginfeksi tebu. Dengan mengetahui pola pertumbuhan bakteri dan produksi dekstran selama MTG, maka upaya-upaya untuk mengontrolnya dapat dilakukan sebelum mengalami kerugian yang jauh lebih besar pada tahap pasca giling.

Dari pengamatan yang dilakukan diperoleh data pertumbuhan bakteri L. mesenteroides seperti tersaji pada Lampiran 2. Pertumbuhan menyatakan pertambahan jumlah atau massa melebihi yang ada di dalam inokulum asalnya. Dengan memetakan logaritma jumlah sel terhadap waktu dapat diperoleh pola pertumbuhan bakteri (Pelczar dan Chan, 1986) yang tersaji pada Gambar 10.

Gambar 10. Kurva Pertumbuhan Bakteri (L. mesenteroides) Selama MTG

Gambar 10 menunjukkan adanya pengaruh MTG terhadap pola pertumbuhan bakteri. Secara umum, pertumbuhan bakteri L. mesenteroides mengikuti pola pertumbuhan bakteri yang normal. Pertumbuhan bakteri ini telah terjadi selama MTG yang terlihat dari terdapatnya bakteri yang tumbuh pada MTG 0 jam. Diduga selama MTG bakteri ini mengalami fase pertumbuhan awal (lag). Bakteri ini tumbuh pesat setelah tebu mengalami MTG 12-24 jam diduga menunjukkan fase pertumbuhan eksponensialnya, sedangkan penurunan jumlah bakteri yang kecil setelah mengalami MTG 48 jam meski selisih MTG 24-48 jam cukup lama, diduga menunjukkan kondisi bakteri yang telah mengalami fase pertumbuhan stationernya.

Menurut Pelczar dan Chan (1986), waktu generasi suatu spesies bakteri tertentu tidak sama pada segala kondisi dan tergantung dari cukup tidaknya nutrien dalam medium dan sesuai tidaknya kondisi fisik. Komposisi nira didominasi oleh kandungan sukrosa yang cocok untuk bakteri bersifat osmofilik seperti L. mesenteroides yang menurut Frazier dan Westhoff (1978) lebih toleran terhadap tingginya konsentrasi gula. Perbedaan komposisi nutrisi pada nira selama MTG menyebabkan penampakkan yang berbeda dari L. mesenteroides hasil inokulasi nira tebu tertunda giling 0, 12, 24 dan 48 jam yang tersaji pada Gambar 11.

(0 Jam) Pengenceran (12 Jam) Pengenceran (24 Jam) Pengenceran (48 Jam) Pengenceran

Gambar 12. Penampakan Dua Biakan l. Mesenteroides pada Medium Glukosa (Kiri) dan Sukrosa (Kanan) (Stanier et al., 1984) Penampakan bakteri pada semua perlakuan MTG-STTH terlihat berbentuk bulat (coccus) putih sempurna seperti mukoid yang terdiri dari bulatan putih besar dan bulatan putih kecil. Ekspresi fenotip sel ditentukan oleh lingkungannya (Pelczar dan Chan, 1986). Sampel nira yang mengandung sukrosa terekspresi membentuk bulatan putih besar, sedangkan adanya glukosa dalam nira terekspresi membentuk bulatan kecil. Kondisi ini serupa dengan penampakan L. mesenteroides yang dilaporkan Stainer et al. (1984) yang terjadi pada media sukrosa dan glukosa seperti terlihat pada Gambar 12.

Pada media sukrosa bentuk mukoid bakterinya lebih besar daripada yang tumbuh pada glukosa. Hal ini disebabkan oleh sintesis dan pengendapan dekstran secara besar-besaran di sekitar sel, sementara pada media glukosa pertumbuhan sel masih terjadi dengan hasil metabolit primer berupa asam laktat dan bukan dekstran. Variasi penampakan bulatan besar dan kecil dipengaruhi oleh komposisi kedua gula tersebut di dalam nira.

Pada pembentukan dekstran dan levan, sintesis awal nukleotida gula mungkin dapat terjadi tanpa pemakaian ATP. Hal ini dilakukan untuk Gambar 11. Penampakan L. mesenteroides pada Media Agar dari Inokulasi

Nira Tebu MTG 0, 12, 24 dan 48 jam STTH

mengawetkan energi ikatan glikosidik dalam disakarida sebagai substratnya, sehingga perpanjangan rantai terjadi dengan transglikolasi. Untuk alasan ini, dekstran dan levan tidak dapat dibentuk dengan menggunakan monosakarida bebas, dimana sukrosa merupakan substrat khusus untuk sintesisnya. Akibatnya, bakteri penghasil dekstran dan levan membentuk bahan kapsul hanya bila ditumbuhkan pada medium berisi sukrosa (Stainer et al., 1984).

Produksi tipe-tipe tertentu bahan-bahan kapsul dapat sangat menambah kekentalan medium tempat organisme itu dibiakkan, menyebabkan gangguan seperti lendir yang menyumbat filter, membentuk lapisan pada pipa atau peralatan lain, serta mempengaruhi kualitas produk akhir (Pelczar dan Chan, 1986). Karakteristik pembentukan dekstran pada nira didominasi oleh induser sukrosa dan memiliki permasalahan yang sama dengan proses pembentukan kapsul diatas. Diduga, dekstran pada nira tebu industri gula merupakan sebagian kapsul yang terbentuk guna mengawetkan energi ikatan glikosidik dalam disakarida (sukrosa) yang bertindak sebagai indusernya. Hal ini sesuai dengan fungsi kapsul menurut Pelczar dan Chan (1986) sebagai pelindung dan gudang cadangan makanan bakteri. Kondisi ini juga menjelaskan ketahanan bakteri terhadap keadaan fisik seperti panas, dingin atau radiasi, bahan kimiawi yang tidak cocok (Stainer et al., 1984) dan mampu tumbuh baik pada instalasi pabrik (Kurniawan, 1995).

Aktivitas enzim dapat diatur dengan pengendalian katalisis langsung berupa penggandengan mekanisme katalitik dengan proses lain dan pengendalian genetik berupa fenomena induksi dan represi enzim (Pelczar dan Chan, 1986). Pada lingkungan kaya sukrosa seperti nira, L. mesenteroides lebih banyak dipengaruhi oleh pengendalian genetik meliputi fenomena induksi dan represi (katabolit). Enzim yang disolasi dari bakteri ini bersifat inducible (Robty, 1995), sementara sukrosa merupakan substrat sekaligus induser bagi bakteri ini untuk menghasilkan dekstransukrase (Hasan, 1999). Pada Gambar 13 terlihat sel dikelilingi oleh kapsul yang terus menerus membesar dan terkesan seperti terjadi pembesaran sel. Hal

ini terjadi akibat terinduksinya sel oleh sukrosa (induser) yang dominan di dalam nira untuk menghasilkan dekstransukrase dan memproduksi dekstran. Sifat induksi menjelaskan fenomena sel muda yang masih bisa membentuk kapsul (dekstran) meski dalam bentuk bulatan kecil pada media nira.

Menurut Bailey dan Ollis (1986), laju biosintesa enzim terinduksi peka terhadap pengaruh lingkungannya. Produksi dekstran oleh L. mesenteroides cenderung meningkat selama MTG tebu yang terakumulasi selama 0-48 jam disebabkan pengaruh lingkungan di sekitar lahan dan penanganan selama MTG. Hasil analisa produksi dekstran selama masa tunda giling tebu disajikan pada Lampiran 2. Setelah mengetahui karakteristik pertumbuhan bakterinya, perlu diketahui pula hubungan dengan produknya selama MTG.

Dikenal 3 hubungan kinetika perumbuhan sel dan pembentukan produk yang tergantung peranan produk dalam metabolisme sel, yakni (1) pola pertumbuhan berasosiasi dengan pembentukan produk, (2) pola pertumbuhan tak berasosiasi dengan pembentukan produk, dan (3) pola campuran berasosiasi dan tak berasosiasi. Pola pertama umumnya dijumpai pada proses yang produknya merupakan metabolit primer misal gula Gambar 13. Perubahan Ukuran Sel Bakteri L. mesenteorides Akibat

Terbentuknya Dekstran Seperti Kapsul pada Nira Tebu Tertunda Giling

4 4.2 4.4 4.6 4.8 5 5.2 5.4 0 12 24 48

Masa Tunda Giling

J u m la h B a k te ri ( L o g K o lo n i) 0 50 100 150 200 250 K a da r D e k s tr a n ( ppm )

Pertumbuhan Bakteri Kadar Dekstran

Gambar 14. Kurva Hubungan Pertumbuhan Bakteri dan Produksi Dekstran Selama MTG STTH

menjadi etanol dan laju pembentukan produk berbanding proposional dengan laju pertumbuhan sel. Pola kedua menghasilkan metabolit sekunder pada fermentasi curah yang umumnya terjadi pada fase akhir dan laju pembentukan produk cenderung berbanding proposional dengan konsentrasi selular dibandingkan laju pertumbuhan sel. Pola ketiga, umumnya terjadi pada proses fermentasi asam laktat, pululan dan xantan. Pada pola ini, laju pembentukan produk berbanding lurus baik dengan konsentrasi sel ataupun laju pertumbuhan (Mangunwidjaja dan Suryani, 1994). Hubungan antara pertumbuhan bakteri L. mesenteroides dan produksi dekstran selama MTG 0-48 jam tersaji pada Gambar 14.

Gambar 14 menunjukkan terjadinya hubungan antara produksi dekstran dan pertumbuhan sel bakteri yang terlihat berbanding lurus pada selang MTG 0-24 jam, sehingga diduga merupakan hubungan berasosiasi (pola pertama) yang memproduksi metabolit primer. Sekilas kondisi terinduksinya sel bakteri dengan adanya sukrosa yang dominan dalam nira terlihat seperti hubungan yang berasosiasi, namun mengingat dekstran merupakan metabolit sekunder dari bakteri asam L. mesenteroides yang produk primernya berupa asam laktat maka hubungan yang terjadi mutlak bukan termasuk pola hubungan berasosiasi (pola pertama). Tumbuhnya

bakteri sejak MTG 0 jam menunjukkan bahwa produksi metabolit primer (asetat, laktat, CO2 dan etanol) telah terjadi sejak tebu ditebang hingga tebu

ditunda giling. Hal ini terjadi sebagai bentuk penggunaan sumber karbon dan energi berupa gula pereduksi untuk pertumbuhan dan perbanyakan sel bakteri yang terjadi di dalam batang tebu.

Dilaporkan oleh Lonvaud dan Funel (2000) bahwa pada media kultur kaya sukrosa, sebagian besar sukrosa dirubah di luar sel bakteri menggunakan dekstransukrase menjadi dekstran dan fruktosa yang tidak mendukung terhadap pertumbuhan bakteri. Pada bagian lain sel terjadi pula fosforisasi berupa induksi sukrosa fosforilase (GIP) dan konversi glukosa-6- fosfat (G6P) menjadi produk heterofermentatif seperti laktat, asetat dan etanol. Diduga kedua proses tersebut terjadi sebagian dengan mekanisme yang ditentukan oleh kebutuhan sel dan sumber karbon di dalami nira. Selain itu, proporsi konsentrasi sel pada selang MTG 24-48 jam yang menurun dan kadar dekstran yang meningkat meski lebih kecil dibanding MTG lainnya berindikasi pada pola hubungan tak berasosiasi (pola kedua).

Fenomena di atas menunjukkan bahwa pola hubungan produksi dekstran dan pertumbuhan bakteri L. mesenteroides bukan termasuk dalam pola satu atau pola kedua, namun cenderung merupakan pola hubungan campuran. Ciri pola campuran umumnya terjadi pada beberapa fermentasi seperti asam laktat, pululan dan xanthan yang pertumbuhan dan pembentukan produknya mempunyai hubungan sebagian (Mangunwidjaja dan Suryani, 1994).

Pola hubungan sebagian didukung oleh L. mesenteroides yang merupakan spesies bakteri asam laktat dengan hasil metabolit primernya berupa asam laktat dari glukosa, sementara dekstran dan manitol secara berurutan merupakan produk sekunder yang terbentuk karena adanya induser sukrosa dan fruktosa sebagai penerima elektron di dalam media nira. Produk asam laktat, dekstran, dan manitol dihasilkan secara proporsional dan terkadang bersamaan sesuai kebutuhan pertumbuhan dan energi dari sel. Produk tersebut terbentuk melalui kondisi aerob dan anaerob dalam media nira yang menentukan skema pengaturan dari mekanisme

0 25 50 75 100 30 40 50 60 70 Suhu (oC) A k ti v it a s E n z im R e la ti f (% )

penggunaan sumber karbon dalam memperoleh energi ATP bagi sel dengan stokiometri reaksi seperti yang tersaji pada Lampiran 3.

4. Karakteristik Dekstranase Plus L (Novo)

Pada penelitian ini, pH optimum untuk degradasi dekstran tidak ditentukan lagi mengingat karakteristik nira tertunda giling 48 jam cenderung stabil pada pH ± 5,5 yang sesuai dengan penggunaan dekstranase Plus L yang aktif pada kisaran pH 5,0-6,0 (Sigma, 2007). Analisis sidik ragam menunjukkan pengaruh suhu yang nyata terhadap aktivitas dekstranase. Pada uji lanjutan Duncan diperoleh suhu 40 dan 50 oC tidak berbeda nyata, namun keduanya berbeda nyata dengan perlakuan suhu lainnya. Analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan dengan tingkat kepercayaan 99 % ini tersaji pada Lampiran 4. Pengaruh perlakuan suhu yang berbeda terhadap aktivitas dekstranase dapat dilihat pada Gambar 15.

Dekstranase Plus L memiliki aktivitas optimum pada kisaran suhu 40-50 oC yang termasuk dalam kisaran suhu 50-60 oC pada aplikasinya berdasarkan laporan Sigma (2007) pada Lampiran 5. Hasil uji dekstranase berupa pH 5,5 dan suhu optimum 50 oC digunakan untuk menentukan aktivitas dekstranase, pola degradasi dekstran dan penelitian utama.

Hasil analisa dekstranase Plus L menunjukkan nilai aktivitas enzim sebesar 248,66 UD/ml enzim dan aktivitas spesifik sebesar 73,13 UD/mg protein enzim. Pola degradasi dekstran menggunakan dekstranase dapat Gambar 15. Aktivitas Enzim Relatif (%) Dekstranase pada Berbagai

Perlakuan Suhu Berbeda

terlihat bila dilakukan pada suhu dan pH optimumnya. Penentuan ini dilakukan menggunakan konsentrasi dekstran yang tinggi disebabkan sifat dekstranase yang inducible terhadap dekstran. Perubahan dekstran selama degradasi dekstran T2000 dengan dekstranase tersaji pada Lampiran 6 dan terlihat pada Gambar 16.

Berdasarkan Gambar 16, persentase penurunan kadar dekstran tertinggi terjadi pada perlakuan dosis enzim 100 UD/l substrat dan lama inkubasi 60 menit, sedangkan sampel tanpa enzim relatif tidak mengalami penurunan kadar dekstran. Analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan yang tersaji pada Lampiran 7 menunjukkan kadar dekstran dosis 0 UD/l substrat untuk semua lama inkubasi tidak berbeda nyata, sedangkan lama inkubasi 0 menit berbeda nyata dengan lama inkubasi 60, 120, dan 150 menit. Berdasarkan hasil ini, maka penelitian utama akan menggunakan perlakuan batas bawah dan batas atas dari dosis enzim 100 UD/l substrat, yaitu (sampel kontrol) 0, 80, 100 dan 120 UD/l substrat dan lama inkubasi adalah batas bawah dan batas atas dari lama inkubasi 60 menit, yaitu 0 (awal), 30, 60 dan 90 menit.

B. PENELITIAN UTAMA

Dekstran merupakan senyawa polimer glukosa yang dibentuk, terutama oleh ikatan α-1,6-glikosidik dan ikatan percabangan α-1,4, α-1,3, atau α-1,2 Gambar 16. Karakteristik Degradasi Dekstran T2000 pada Berbagai

Kombinasi Dosis Dekstranase dan Lama Inkubasi

glikosidik (Miswar, 1998). Dekstranase (α-1,6-glukan-6-glukohidrolase, EC 3.2.1.11) adalah enzim ekstraselular yang dihasilkan mikroorganisme yang dapat memutus ikatan 1,6-α-glikosidik dari dekstran (Kubo et al., 1993).

Kinetika reaksi dekstranase cukup komplek, karena sifat hidrolitiknya yang beraneka ragam terhadap dekstran, dimana pemutusan rantai dekstran dapat terjadi secara ekso maupun endohidrolitik (Okushima et al., 1991). Endodekstranase menghirolisa ikatan α-1,6-glikosidik pada molekul dekstran dan melepaskan isomaltosakarida, terutama menjadi 3–5 unit glukosa secara memanjang, sedangkan eksodekstranase melepaskan satu persatu unit glukosa mulai dari ikatan terujung (luar) (Larsson, 2000). Mekanisme degradasi dekstran oleh dekstranase tipe endo dan ekso dapat dilihat pada Gambar 17.

Hasil degradasi kedua tipe tersebut merupakan glukosa yang merupakan gula pereduksi, sehingga analisa kadar gula pereduksi selama degradasi menjadi penting untuk mengetahui kadar dekstran yang telah terdegradasi. Hal

Gambar 17. Mekanisme Degradasi Dekstran Tipe Endodekstranase dan Eksodekstranase (Larsson, 2000) O O OH OH O OH OH O O CH2 OH O O CH2 OH EKSODEKSTRANASE O O CH2 OH OH O O CH2 OH OH O O CH2 OH OH O O CH2 OH OH O O CH2 OH OH O CH2 OH OH O O CH2 OH OH O O CH2 OH ENDODEKSTRANASE OH O OH OH 33

ini sesuai dengan pernyataan Johnson (1991) bahwa aktivitas dekstranase dapat diuji dengan menentukan gula pereduksi yang dibebaskan selama inkubasi campuran reaksi. Degradasi dekstran oleh dekstranase dapat pula diketahui melalui pengukuran penurunan viskositas. Hal ini juga penting mengingat dekstran termasuk senyawa polimer.

Analisa TSS (Total Suspended Solid) dalam obrix untuk mengukur bahan gula nira yang terlarut kemungkinan juga mengukur padatan terlarut dari bahan non-gula nira. Dalam hal ini degradasi dekstran oleh dekstranase diduga mampu merubah komposisi padatan terlarut dalam nira, terutama senyawa dekstran yang larut air, sehingga analisa ini mi perlu dilakukan.

Pengukuran pH perlu juga dilakukan terhadap nira selama didegradasi, mengingat karakteristik nira tertunda giling (48 jam) pada penelitian pendahuluan yang cenderung dipertahankan secara alami. Hal ini berhubungan dengan perubahan pH dan pengaruhnya terhadap pencapaian pH optimum dekstranase pada nira tanpa bufer untuk aplikasi yang lebih ekonomis.

Perlakuan dosis enzim dan lama inkubasi mengacu pada hasil penelitian pendahuluan, yakni dosis enzim 0 (kontrol), 80, 100 dan 120 UD/l nira dengan lama inkubasi 0 (awal), 30, 60 dan 90 menit. Suhu yang digunakan adalah suhu hasil penelitian pendahuluan sebesar 50 oC.

Penampakan nira yang terlihat berbeda pasca degradasi dekstran tersaji pada Gambar 18. Hasil analisa nira tertunda giling yang didegradasi dengan dekstranase meliputi kadar gula pereduksi, kadar dekstran terdegradasi, viskositas, total padatan terlarut (TSS) dan pH nira tertunda giling yang dijelaskan sebagai berikut :

120 UD/l Nira 0 UD/l Nira 80 UD/l Nira 100 UD/l Nira

Gambar 18. Penampakan Warna Nira Pasca Degradasi Dekstran Selama 90 Menit Inkubasi Menggunakan Dekstranase pada Berbagai Dosis

1. Kadar Gula Pereduksi

Dekstranase Plus L yang digunakan pada penelitian ini berasal dari kapang Chaetomium erraticum yang bersifat endodekstranase (Sigma, 2007). Dextranase kapang dari Chaetomium sp. memiliki hasil terbaik untuk degradasi dekstran pada nira hasil ekstraksi dan sirup nira dibandingkan dekstranase tahan panas dari beberapa bakteri yang mengalami penurunan aktivitas spesifik yang membuat penerapannya pada industri gula tidak aplikatif (Efrain, 2005).

Beberapa endodekstranase yang berasal dari kapang dilaporkan Khalikova et al. (2005), diantaranya Penicillium luteum, P. funiculosum, P. lilacinum, P. notanum, Aspergillus carneus, Chaetomium gracile, Fusarium sp., dan Sporotrix schencki. Pada umumnya, endodekstranase dari kapang mampu menghirolisa ikatan α-1,6-glikosidik secara acak di dalam dekstran. Produk utamanya adalah isomaltosa, isomaltotriose dan sejumlah kecil glukosa bersama dengan oligomer yang tinggi.

Dekstranase dari kapang C. erraticum merupakan endodekstranase yang mampu menghidrolisa secara acak ikatan dalam α-1,6-glikosidik dekstran, mampu menurunkan viskositas larutan dekstran, dan semakin lama waktu hidrolisisnya mampu menghasilkan glukosa dengan tingkat isomaltosa dan isomaltotriosa yang rendah (Deerland-Enzymes, 2005).

Sumber endodekstranase dapat diperoleh dari kapang Chaetomium gracile yang masih termasuk genus Chaetomium sp. Menurut Khalikova et al. (2005), endodekstranase dari C. gracile mampu secara maksimal mendegradasi dekstran menjadi 55 % glukosa dibandingkan menjadi isomaltosa dan isomaltotriosa. Sifat ini sama dengan sifat dekstranase C. erraticum yang mampu menghasilkan glukosa dengan isomaltosa dan isomaltotriosa yang rendah. Berdasarkan hal ini, dekstranase yang digunakan memiliki sifat yang berbeda dengan sebagian endodekstranase dari kapang lainnya yang menghasilkan lebih banyak isomaltosa dan isomaltrotriosa daripada glukosa. Dilaporkan Khalikova et al. (2005), kekhasan tersebut juga dimiliki oleh endodekstranase dari P. luteum yang menghasilkan glukosa sebesar 55 % dari total produknya.

Hasil analisa kadar gula disajikan pada Lampiran 8. Rentang kadar gula pereduksi secara keseluruhan sangat bervariasi, yaitu berkisar 13,334- 18,842 mg/ml dengan rata-rata 15,920 mg/ml. Rata-rata kadar gula pereduksi selama proses degradasi dekstran dalam nira pada berbagai kombinasi perlakuan dosis enzim dan lama inkubasi disajikan pada Gambar 19. Terlihat bahwa kadar gula pereduksi pada sampel nira yang ditambahkan enzim cenderung lebih tinggi dibanding sampel tanpa enzim. Hal ini sesuai dengan hasil analisis sidik ragam pada Lampiran 9 yang menunjukkan perlakuan dosis dekstranase, lama waktu inkubasi, serta interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap kadar gula pereduksi.

Sifat dekstranase pada penelitian ini lebih banyak melepaskan glukosa dibandingkan isomaltosa dan isomaltrotriosa. Hal ini ditunjukkan dari hasil kadar gula pereduksi yang tinggi dari sampel nira menggunakan enzim daripada sampel yang tanpa menggunakan enzim.

Fenomena menarik adalah terjadinya peningkatan kadar gula pereduksi pada sampel kontrol, meski tanpa penambahan dekstranase. Peningkatan kadar gula pereduksi pada sampel kontrol disebabkan oleh degradasi mikroorganisme lain di dalam nira yang mampu menginversi sukrosa menjadi gula pereduksi setelah proses giling, terutama karena Gambar 19. Grafik Kadar Gula Pereduksi Nira pada Berbagai Kombinasi

Perlakuan Dosis Dekstranase dan Lama Inkubasi

media nira cocok sebagai nutrisi mikroorganisme. Menurut Suhartono (1989), umumnya sumber energi bagi mikroba industrial adalah gula

Dokumen terkait