• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Novel Polifonik

Dalam dokumen SUARA SUARA YANG TERBUNGKAM Olenka dalam (Halaman 35-39)

GENRE NOVEL POLIFONIK

2.2 Karakteristik Novel Polifonik

Berdasarkan pengertian mengenai genre di atas, Bakhtin (1973:4) kemudian mengatakan bahwa novel polifonik memiliki perbedaan yang mendasar apabila dibandingkan dengan genre- genre sastra lainnya. Kalau di dalam genre-genre sastra lain pada umumnya suara-suara tokoh cenderung terobjektivikasi dan

senantiasa berada di bawah wibawa pengarang, di dalam novel polifonik suara-suara tokoh justru bebas, merdeka, mampu berdiri di samping, mampu tidak sependapat, bahkan mampu mem- berontak si pengarang. Itulah sebabnya, novel polifonik disebut sebagai novel yang mengandung pluralitas suara atau kesadaran yang bebas dan penuh makna (Bakhtin, 1973:4).

Pluralitas suara dan atau kesadaran yang dimaksudkan di atas bukan berarti banyak karakter yang berada dalam dunia objektif yang menyatu (tunggal), melainkan suara-suara dan atau kesadaran-kesadaran itu memiliki kedudukan setara dengan dunia mereka --yang tergabung dalam suatu kesatuan peristiwa tertentu- - dan pada saat yang sama suara-suara dan atau kesadaran- kesadaran itu mampu mempertahankan ketidakter-batasannya. Oleh sebab itu, tokoh-tokoh di dalam novel polifonik tidak menjadi objek perkataan pengarang, tetapi menjadi subjek bagi dirinya (perkataannya) sendiri. Dalam hal ini kesadaran pengarang berdiri menjadi sebuah kesadaran lain, tetapi pada saat yang sama kesadaran itu juga tidak terobjektivikasi, tidak tertutup, dan tidak menjadi objek kesadarannya sendiri (Bakhtin, 1973:4).

Telah dikatakan bahwa suara-suara tokoh di dalam novel polifonik cenderung bebas dan independen. Seakan-akan suara tokoh berdiri di samping atau di sepanjang suara pengarang, dan dengan cara yang unik suara itu bergabung dengan suara-suara tokoh lain. Kadang-kadang suara tokoh dibentuk dengan cara yang sama seperti suara pengarang sehingga suara tokoh menge- nai diri dan dunianya sama dengan suara pengarang. Akan tetapi, suara-suara tokoh tersebut tidak lalu terobjektivikasi oleh suara pengarang, atau oleh suara tokoh-tokoh lain, tetapi mampu mempertahan diri dan mampu berdialog dengan suara-suara lain. Oleh sebab itu, mulut tokoh bukanlah corong suara pengarang, melainkan corong suaranya sendiri (Bakhtin, 1973:4--5).

Kecenderungan demikianlah yang kemudian menuntut adanya suatu cara tertentu bagi sebuah novel untuk menyusun

atau mengorganisasikan dirinya. Untuk mempertahankan plu- ralitas suara dan kesadaran di dalam dirinya, misalnya, sebuah novel memerlukan materi-materi atau berbagai ikatan psikologis bagi kepentingan pengembangan plot. Materi-materi tersebut adalah objektivisasi dan materialisasi sebagai sesuatu yang terpadu untuk menggabungkan citra yang lengkap dalam kesa- tuan dunia yang dialami dan dipahami (Bakhtin, 1973:5). Itulah sebabnya, plot hanya memiliki fungsi khusus, yaitu untuk menciptakan kesatuan dunia novel yang memiliki ikatan-ikatan akhir yang khusus pula. Bentuk-bentuk narasinya, baik yang dibangun oleh pengarang, narator, maupun tokoh, juga memiliki fungsi dan orientasi khusus. Posisi awal kisah, pembentukan citra, dan informasi yang disampaikan juga berorientasi pada cara baru bagi dunia yang baru, yaitu dunia subjek, bukan dunia objek. Suara narasional, suara representasional, dan suara informasional juga memiliki beberapa jenis hubungan baru dengan objeknya. Oleh karena itu, seluruh unsur yang ada di dalam novel memiliki tugas baru untuk membentuk dunia baru, yaitu dunia polifonik (Bakhtin, 1973:5).

Bakhtin (1973:5) menyatakan bahwa dilihat dari sudut pandang monologis, konstruksi (komposisi, struktur) novel polifonik memang terkesan kacau dan tidak teratur. Dapat terjadi demikian karena novel pada dasarnya dibangun oleh--atau menghimpun--berbagai macam genre atau unsur asing dan prinsip-prinsip artistik yang tidak sesuai (Bakhtin, 1973:5). Akan tetapi, justru karena adanya ketidakteraturan itulah, menurut Bakhtin (1973:12), sebuah novel mampu melahirkan pluralitas gaya, aksen, dan suara yang seluruhnya tersaji dalam berbagai bidang yang memiliki kedudukan setara. Berbagai materi yang berupa kesadaran itu tergabung di dalam sebuah kesatuan tatanan dunia baru yang lebih tinggi, yaitu dunia polifonik. Dalam dunia baru itulah, setiap unsur mampu mengembangkan keunikan tertentu tanpa harus menginterupsi kesatuan kese-luruhannya (Bakhtin, 1973:12).

Dalam kaitannya dengan hal di atas, Bakhtin (1973:14) menyatakan bahwa ciri atau karakteristik dasar novel polifonik adalah dialogis. Posisi “aku” yang berkedudukan sebagai orang

lain (wacana lain) di dalam novel polifonik bukan merupakan objek, melainkan merupakan subjek lain yang mampu berdialog. Namun, bentuk hubungan dialogis itu tidak tercipta dari dialog dalam batas-batas konsep monologis terhadap dunia yang menyatu, tetapi dialog dalam totalitas karya. Dikatakan demikian karena novel tidak dibentuk sebagai suatu keseluruhan interaksi berbagai kesadaran yang masing-masing tidak saling menjadi objek bagi yang lain. Sementara itu, pihak ketiga (pengarang atau pembaca) tidak pula dapat mengobjektivikasi berbagai peristiwa, tetapi justru menjadi peserta dialog sehingga oposisi dialogis tidak mengenal kata akhir (abadi, perpetual) (Bakhtin, 1973:14).

Prinsip dasar konstruksi novel polifonik bukan evolusi, melainkan koeksistensi (hadir bersama, berdampingan) dan interaksi (Bakhtin, 1973:23). Oleh karena itu, dunia terutama dipandang dalam ruang (space), bukan dalam waktu (time), sehingga ada kecenderungan yang kuat pada bentuk-bentuk dramatik. Secara ekstensif seluruh materi (perasaan dan realitas) diungkap dan disusun ke dalam suatu titik waktu dalam bentuk penjajaran dramatik. Dalam pemikiran tunggal, misalnya, dite- mukan pemikiran ganda, dan dalam kualitas tunggal ditemukan pula kualitas lain yang kontradiktif. Di dalam setiap suara didengar suara lain, di dalam setiap ekspresi ditemukan ekspresi lain, dan di dalam setiap isyarat ditemukan pula isyarat lain yang kontradiktif. Karena dunia dipandang secara spasial, bukan secara temporal, dalam berbagai kontradiksi tersebut masing-masing subjek berdiri berdampingan dan berdialog pada sebuah bidang atau peristiwa tunggal (Bakhtin, 1973:25).

Sehubungan dengan hal tersebut, Bakhtin (1973:26) menyatakan bahwa dialog diawali pada titik yang sama, yakni pada awal kesadaran. Akan tetapi, kesadaran tersebut tidak tersaji di dalam proses evolusi, tidak pula di dalam proses pertumbuhan

(historis), tetapi berdampingan atau beriringan dengan kesadaran- kesadaran lain. Oleh karena itu, kesadaran tidak terkonsentrasi pada diri dan gagasannya sendiri, tetapi tertarik ke dalam interaksi dengan kesadaran lain. Kesadaran selalu mendapati dirinya dalam sebuah hubungan dengan kesadaran lain. Dengan demikian, pengalaman dan pemikiran tokoh secara internal bersi- fat dialogis, diwarnai polemik yang bertentangan, dan sebaliknya, mereka juga terbuka bagi setiap inspirasi dari luar dirinya (Bakhtin, 1973:26).

Dalam dokumen SUARA SUARA YANG TERBUNGKAM Olenka dalam (Halaman 35-39)