• Tidak ada hasil yang ditemukan

SUARA SUARA YANG TERBUNGKAM Olenka dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SUARA SUARA YANG TERBUNGKAM Olenka dalam"

Copied!
167
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

suara-suara yang terbungkam

(3)

Sanksi Pelanggaran Pasal 44:

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta

1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memper-banyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp100. 000.000,00 (seratus juta rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, meng-edarkan, atau menjual

(4)

Tirto Suwondo

suara-suara

yang

(5)

SUARA-SUARA YANG TERBUNGKAM

OLENKA DALAM PERSPEKTIF DIALOGIS

Pengantar Dr. Faruk

©Hak Cipta pada penulis dilindungi undang-undang Hak Penerbitan pada Gama Media

Penulis : Tirto Suwondo

Penyunting : Agustina Purwantini Desain Sampul : Arif Prabowo Tata Letak : Sunarto

Kode Penerbitan : GM. 006.9193.01 Tebal Buku : 354 + xxii hlm. Ukuran Buku : 14 x 20,5 cm.

Penerbit Gama Media Jalan Menteri Supeno 110A

Yogyakarta, Telepon (0274) 375561 Email:gama.media@eudoramail.com

Diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Gama Media atas kerja sama dengan Yayasan Adi Karya IKAPI dan The Ford Foundation

Yogyakarta, 2001

(6)

PENGANTAR PENERBIT

Sebagai sebuah penerbit yang berkomitmen kuat terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak terkecuali bidang ilmu sosial dan kemanusiaan (humaniora), GAMA MEDIA memandang perlu hasil penelitian ini dipublikasikan kepada khalayak luas. Sebagai suatu hasil penelitian yang semula berupa tesis S-2 yang diajukan oleh penulisnya kepada Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, daripada disimpan rapi di per-pustakaan --yang pada akhirnya hanya akan menjadi sangat eksklusif-- lebih baik diterbitkan dan dipublikasikan ke tengah masyarakat sehingga penelitian ini dapat dinikmati oleh pembaca umum.

Ada beberapa alasan yang menarik dan masuk akal mengapa hasil penelitian ini dianggap perlu untuk diterbitkan. Beberapa alasan itu di antaranya sebagai berikut. Pertama, penelitian ini tentu akan sangat berharga, teru-tama untuk bidang kritik sastra Indonesia modern, karena sejauh pengamatan yang dapat kami lakukan, baru penelitian inilah (satu-satunya di Indonesia) yang mencoba melihat dan memper-lakukan karya sastra dengan cara pandang dialogis-polifonik, sebuah cara

pandang yang relatif “baru” dalam khazanah studi sastra Indonesia. Oleh karena itu, penelitian semacam ini penting artinya bagi kancah ilmu sastra khususnya dan ilmu kemanusiaan (humaniora) pada umumnya. Kedua, dengan menggunakan ancangan teori dia-logis (polifonik) --teori hasil perkawinan antara Marxisme dan Formalisme--, di dalam penelitian ini penulis mencoba menemu-kan “prinsip-prinsip demokrasi” di

(7)

demokrasi? Ataukah suara-suara yang mencoba hadir ke

permukaan itu justru “ter-bungkam” oleh sistem yang “otoriter”

sehingga yang muncul hanya suara tunggal (monologis), suara yang berkuasa? Upaya inilah yang perlu dihargai sehingga penelitian ini perlu disosialisasikan. Ketiga, dilihat dalam konteks yang lebih luas, yakni Indonesia, di dalam penelitian ini

tercermin adanya hubungan analogis antara “apa yang terjadi di

dunia fiksi-imajinatif” dengan “apa yang terjadi di dunia empirik

-faktual”. Itulah sebabnya, melalui “dunia fiksi Olenka”--salah satu novel terkemuka Indo-nesia yang terbit pada masa Orde Baru-- sebagaimana dibahas di dalam penelitian ini, dapat

dibayangkan bagaimana “kebebasan” atau “kea-nekaragaman”

sebagai inti demokrasi itu ditegakkan.

Beberapa alasan itulah yang menjadi pertimbangan utama kami sehingga kami menganggap perlu penelitian ini diterbitkan. Kami berharap, buku ini menjadi karya yang bermanfaat, tidak hanya bagi mereka yang bergulat di bidang ilmu sastra, tetapi juga di bidang ilmu sosial dan kemanusiaan pada umumnya. Karena itu, GAMA MEDIA yang merasa turut bertanggung jawab atas kemajuan anak-anak bangsa, mengucapkan terima kasih kepada Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation yang memungkinkan buku ini hadir ke hadapan pembaca.

(8)

PENGANTAR PENULIS

Buku ini semula berupa hasil penelitian (tesis) yang saya tulis dan saya ajukan kepada Program Studi Sastra, Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogya-karta, untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Sarjana S-2 (Magister Humaniora) tahun 2000. Ken-dati kemudian dikemas dalam bentuk buku, tidak ada perubahan yang prinsipiil, kecuali hal-hal yang bersifat teknis-ilmiah. Bahkan, hal-hal yang bersifat teknis-ilmiah itu (abstrak, sistematika penyajian, dan ejaan yang digu-nakan) sengaja dihilangkan. Alasannya, tentu saja, sebagai sebuah bacaan umum, agar buku ini tidak tampil sebagai bacaan yang eksklusif.

Dalam buku ini saya mencoba membahas (memahami, mengapresiasi) salah satu novel Indonesia berjudul Olenka yang pada era 1980-an, yakni era merebaknya post-modernism, sempat

(9)

ditampilkan untuk membangun “dunia fiksi (simbol)” dalam

novel. Ancangan teori yang saya gunakan adalah dialogis, suatu teori yang men-junjung tinggi prinsip-prinsip kesetaraan, yaitu prinsip hubungan yang tidak saling meniadakan, tetapi saling menghargai perbe-daan, yang agaknya hal ini sesuai dengan prinsip dasar di dalam alam (sistem) demokrasi.

Dengan kacamata teori dialogis --teori yang pada akhir tahun 1920-an sebenarnya telah membuka peluang bagi mun-culnya postmodernism tetapi dilupakan banyak orang dan

postmodernism itu sendiri baru ramai dibicarakan pada era 1970

dan 1980-an-- tampak dengan jelas bahwa suara-suara atau gagasan yang tampil di dalam novel Indonesia, salah satunya novel Olenka karya Budi Darma, “terbungkam” oleh suara “penguasa”, yakni suara penga-rang. Jadi, dalam hal ini, tidak ada suara lain yang eksis (dialogis, polifonik), yang ada hanyalah suara tunggal (monologis, monofonik) karena suara-suara lain yang muncul terkooptasi oleh suara pengarang. Dan, suara penga-rang ini pun dapat dipahami sebagai suara sistem (sosial-politik) yang menguasai pengarang. Andaikata saya boleh berpendapat, inilah barangkali salah satu bentuk otori-tarianisme dalam sastra. Apakah kecenderungan semacam ini dapat dibayangkan memiliki relevansi analogis dengan apa yang terjadi di Indonesia pada masa atau era novel itu ditulis? Jawaban atas pertanyaan ini tentu-lah hanya ada pada pikiran Anda (pembaca) masing-masing.

Perlu diketahui bahwa judul buku ini tidak sama dengan judul awal naskah hasil penelitian (tesis). Semula judul naskah hasil penelitian itu adalah Olenka: Tinjauan Dialogis. Dengan pertimbangan teknis dan pragmatis, di samping pertimbangan seperti yang telah diutarakan di atas, kemudian judul tersebut saya ubah menjadi Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka

da-lam Perspektif Dialogis. Mengapa “suara-suara yang

(10)

arti “kebebasan, keberbedaan, dan keberagaman” sesuai dengan

apa yang diharapkan di dalam sistem demokrasi.

Demikian pengantar ringkas saya selaku penulis buku ini. Saya sadar sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, buku ini tentu tidak akan terwujud. Untuk itu, dengan hati yang tulus dan ikhlas, saya me-nyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada Kepala Pusat Bahasa di Jakarta, Kepala dan rekan-rekan kerja di Balai Bahasa Yogyakarta, Pengelola dan para dosen Program Studi Sastra (Program Pascasarjana Univer-sitas Gadjah Mada), dan Direktur Penerbit GAMA MEDIA Yogyakarta, karena berkat mereka semua buku ini dapat hadir (lagi) ke hadapan pembaca. Ucapan terima kasih dan penghar-gaan yang istimewa saya sampaikan kepada Budi Darma karena berkat karyanya saya terilhami untuk mela-kukan penelitian dan menulis buku ini. Tidak lupa pula saya ucapkan terima kasih kepada Dr. Faruk H.T. yang telah bersedia memberikan kata pengantar untuk buku ini.

Di samping itu, penghargaan khusus saya sampaikan kepada keluarga, terutama ibu terkasih Mangi W.K., istri tercinta

Rina Ratih Sri Sudaryani, dan anak-anak tersa-yang Nila Iswara Poetry, Andrian Ahmada Gandawida, dan Nasrilia Rahmadina,

karena mereka semua-lah yang mem-buat saya merasa “berarti”

di dunia ini. Saya berharap dan berdoa semoga kebaikan mereka semua memperoleh balas-an kebaikan pula.

Saya merasa yakin bahwa buku ini masih banyak keku-rangannya. Karena itu, dengan lapang dada, dengan tangan terbuka, saya mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif agar buku ini tidak tampil sebagai bacaan (mitra pustaka) yang sia-sia. Mudah-mudahan buku ini memancing kegairahan para pembaca umumnya dan peneliti khususnya untuk melakukan kerja sejenis. Amin.

(11)

PENGANTAR DR. FARUK, H.T.

Teori, Kebenaran, Kebijakan

Karya atau mungkin karya seni pada umumnya selalu problematis. Ia selalu mungkin dan bahkan sah untuk dilihat dari berbagai macam sudut pandang. Oleh karena itu, di lingkungan dunia sastra, berbicara mengenai kebenaran yang tunggal, sejati, mutlak, sering terkesan amat naif. Kebenaran sastra, sejak semu-la, selalu plural.

Mungkin semua warga dunia sastra sudah menge-nal paham tersebut. Sifat polisemik dan multiinterpretabel karya sastra dapat dikatakan sudah melembaga di lidah semua orang. Seribu kepala, seribu arti, sudah menjadi hapalan semua orang. Namun, sebenarnya tidaklah mudah untuk membuat sudut pan-dang itu sendiri menjadi plural. Orang lebih banyak terperangkap dalam satu sudut pandang belaka, tidak hanya dalam melihat dan mema-hami karya sastra, melainkan bahkan kehidupan itu sen-diri. Mungkin, banyak orang yang mengenal beberapa pilihan sudut pandang: Rawamangun, Ganzeit, atau sejenisnya. Tapi pilihan itu pun cenderung terbakukan dan orang mengalami kesulitan untuk menemukan pilihan lain di luar seperangkat pilihan yang sudah tersedia.

(12)

pandang baru karena sudah merasa aman, mudah, murah, meng-gunakan sudut pandang yang ada. Oleh karena itu, berbagai alasan dikemukakan untuk menolak hal itu: misalnya teori sastra asli Indonesia, teori Barat, yang kebarat-baratan, tidak berkepri-badian, dan sebagainya. Ada yang meneri-ma, tetapi membaca-nya dengan sudut pandang yang lama. Maka, misalmembaca-nya, semiotika menjadi tidak berbeda dari ilmu katuranggan Jawa atau sudut pandang yang sudah biasa digunakan. Hanya namanya saja yang berubah.

Maka, usaha memperoleh, menangkap, menerima, dan menyerap suatu teori baru, pada dasarnya adalah usaha mem-peroleh, menangkap, menerima, dan menyerap suatu cara baru dalam memandang sastra dan bahkan kehidupan. Apakah cara itu akan membawa kita pada suatu kebenaran, tidaklah menjadi persoalan yang utama. Yang terpenting darinya adalah bahwa kita, dengan demikian, barusaha mencoba keluar dari belenggu cara pandang yang biasa kita gunakan, yang mungkin sudah terlalu melekat pada diri kita, dan mencoba melihat segala sesuatu dengan cara yang berbeda. Hanya dengan cara demikian kita dapat menjadi bijak, tidak mudah meng-hukum dan mengha-kimi orang lain, cara hidup yang lain, hanya karena hal itu diang-gap negatif oleh cara pandang tertentu. Membiasakan menggu-nakan teori-teori baru berarti membiasakan diri untuk beralih sudut pandang. Bukankah yang dinamakan empati adalah juga usaha dan kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain, pikiran, dan perasaan orang lain?

Saya kira, dalam hal yang demikianlah buku ini berharga. Ia menunjukkan suatu upaya yang cukup serius untuk melihat segala sesuatu dengan cara orang lain, yang di luar kebiasaan penulisnya sendiri. Dan, itu tidak mudah. ***

(13)

DAFTAR ISI

PENGANTAR PENERBIT vi PENGANTAR PENULIS viii PENGANTAR DR. FARUK xi DAFTAR ISI xiii

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Olenka dalam Kancah Studi Sastra Indonesia 5 1.3 Ancangan Dialogis 12

BAB II GENRE NOVEL POLIFONIK 19

2.1 Novel Polifonik sebagai Genre 19 2.2 Karakteristik Novel Polifonik 21

2.3 Tradisi Sastra Karnival 25

BAB III OLENKA: KRITIK DIALOGIS 32 3.1 Karnivalisasi dan Komposisi 32

3.1.1 Karnivalisasi 33

3.1.1.1 Karnivalisasi Eksternal 34 3.1.1.2 Karnivalisasi Internal 40 3.1.2 Komposisi 55

3.1.2.1 Komposisi Antar-Bagian 59 3.1.2.2 Komposisi Antar-Subbagian 67

3.2 Tokoh dan Posisi Pengarang 83

3.2.1 Dialog Antartokoh 87 3.2.2 Posisi Pengarang 96

(14)

3.4 Dialog Intertekstual 113

3.4.1 Olenka dan Chairil Anwar 115 3.4.2 Olenka dan Sartre 127

BAB IV PENUTUP 140

DAFTAR PUSTAKA 145

BIODATA PENULIS 152

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Olenka adalah novel karya Budi Darma. Olenka ditulis di

Bloomington akhir tahun 1979 ketika Budi Darma sedang dalam proses menyelesaikan disertasi berjudul Character and Moral

Judgment in Jane Austin’s Novel di Indiana University, Amerika Serikat. Ketika diikutsertakan dalam sayembara penulisan naskah roman (novel) Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 1980, oleh dewan juri naskah novel tersebut ditetapkan sebagai pemenang utama. Tiga tahun kemudian (1983), setelah diterbitkan oleh Balai Pustaka, novel yang ditulis dalam waktu kurang dari tiga minggu tersebut (Darma, 1983:217) oleh DKJ dinyatakan pula sebagai pemenang Hadiah Sastra 1983. Setahun kemudian (1984), novel dengan ketebalan 232 halaman itu juga mengan-tarkan pe-ngarangnya (Budi Darma) menerima penghargaan SEA

Write Award dari Kerajaan Thailand. Lebih dari itu, Olenka juga

pernah memperoleh Hadiah Sirikit.

Diraihnya beberapa penghargaan dalam waktu relatif singkat tersebut membuktikan bahwa novel Olenka memiliki

(16)

bahwa novel tersebut kurang diminati masyarakat.1Hal demikian berbeda, misalnya, jika dibandingkan dengan novel Saman karya Ayu Utami yang--sama-sama menjadi pemenang sayembara--dalam waktu kurang dari tiga tahun (1998--2000) telah dicetak ulang 14 kali. Menurut Sumardjo (1991:294), kurangnya minat masyarakat terhadap novel tersebut antara lain disebabkan oleh

Olenka bukan merupakan karya yang mudah dipahami sehingga

pembaca yang tidak terbiasa menyelidiki rahasia hidup ini secara lebih intens dan serius akan cepat bosan membacanya, dan bahkan akan menghentikan bacaannya pada halaman-halaman awal.

Kenyataan demikian mengindikasikan bahwa novel

Olenka sesungguhnya berada dalam suatu dilema. Di satu pihak,

novel karya pengarang kelahiran Rembang (25 April 1937)

tersebut dianggap sebagai salah satu novel “puncak” dalam sastra

Indonesia, tetapi di lain pihak, kehadirannya kurang mendapat sambutan luas dari masyarakat. Oleh sebab itu, agar dilema tersebut sedikit teratasi, atau setidaknya terkurangi, tanggapan dan atau pembicaraan terhadapnya perlu digiatkan. Hal itu perlu dilakukan karena melalui pembicaraan semacam itu barangkali pembaca akan sedikit terbantu dalam memahami Olenka, atau paling tidak, pembaca akan tergugah minatnya untuk membaca. Demikian pula kiranya--tanpa berpretensi untuk membuat segala-nya berhasil dengan baik--salah satu alasan praktis mengapa pembicaraan ini dilakukan.

Alasan yang diungkapkan di atas bukanlah alasan subs-tantif karena ada beberapa alasan lain yang lebih substansial yang

1 Hal yang sama terjadi juga pada sebagian besar novel (sastra)

(17)

melatarbelakangi pembicaraan ini. Alasan yang dimak-sudkan itu ialah bahwa di dalam novel Olenka terdapat berbagai macam unsur, dan kalau diamati dengan cermat, unsur-unsur tersebut mencerminkan suatu perilaku yang--menurut istilah Bakhtin (1973:88, 100, 133)--disebut perilaku karnival (carnival

atti-tude).2 Unsur-unsur (perilaku) karnival yang ada di dalam novel tersebut di antaranya adalah (1) petualangan yang fantastik; (2)

“manusia” abnormal, aneh, dan eksentrik; (3) berbagai adegan

skandal; (4) utopia sosial dalam bentuk mimpi; (5) dialog filosofis tentang pertanyaan-pertanyaan akhir; (6) komikal, misalnya adanya peristiwa pelecehan terhadap pendeta; (7) campuran berbagai genre seperti puisi, cerpen, novel, drama, syair lagu, surat, kitab suci, dan lain-lain; dan (8) adanya sifat jurnalistis atau publisistis, misalnya disebutkannya nama-nama tokoh populer yang sekarang telah surut dan disertakannya gambar, berita, atau iklan yang diambil dari berbagai koran dan majalah.

Menurut Bakhtin (1973:100, 133), karnival merupakan suatu perilaku yang akar-akarnya tertanam dalam tatanan dan cara berpikir primordial dan berkembang dalam kondisi masyarakat kelas. Di dalam kondisi masyarakat semacam itu perilaku karnival mencoba memperlakukan dunia sebagai milik semua orang sehingga mereka (siapa pun yang menghuni dunia

2 Dalam buku ini istilah karnival tetap (sengaja) dipertahankan

dengan pertimbangan bahwa kata karnaval, kirab, pawai, atau pesta sebagai terjemahan dari kata carnival (Inggris) memiliki arti yang relatif berbeda-beda.

Karnaval artinya pawai dalam rangka pesta perayaan (biasanya

mengete-ngahkan bermacam corak dari hal-hal yang menarik atas yang dirayakan itu);

kirab artinya perjalanan bersama-sama atau beriring-iringan secara teratur dan

(18)

itu) dapat menjalin kontak (dialog) secara bebas, akrab, tanpa dihalangi oleh tatanan, dogma, atau hierarki sosial. Perilaku tersebut semula berkembang dalam kisah-kisah (lisan) rakyat karnivalistik (carnivalistic folklore), kemudian berpengaruh pada karya-karya sastra klasik genre serio-komik (serio-comic genre), di antaranya Socratic Dialog dan Menippean Satire (abad ke-3 SM), dan jauh sesudah itu (abad ke-18) berkembang pula di dalam tradisi novel-novel Eropa. Menurut Bakhtin (1973:88--100), perkem-bangan itu mencapai puncak pada novel-novel karya Dostoevsky yang olehnya disebut sebagai novel polifonik (polyphonic novel).

Bakhtin (1973:100) berkeyakinan bahwa karnival meru-pakan perilaku yang membuka jalan atau memberikan kondisi-kondisi tertentu bagi lahirnya sebuah genre (sastra) baru, yaitu genre novel polifonik (polyphonic novel). Novel polifonik adalah novel yang ditandai oleh adanya pluralitas suara atau kesadaran dan suara-suara atau kesadaran itu secara keseluruhan bersifat dialogis (Bakhtin, 1973:4, 34).3 Menurut Bakhtin (1973:101), perilaku karnival tidak hanya terbatas memberikan kondisi tertentu bagi lahirnya novel polifonik dan akan berhenti setelah mencapai puncak pada karya-karya Dostoevsky, tetapi juga akan terus hidup sampai sekarang, bahkan akan dilahirkan kembali di masa-masa yang akan datang. Dalam kaitan inilah, karena Olenka menampilkan berbagai unsur atau perilaku karnival seperti yang telah disebutkan, diasumsikan bahwa novel tersebut merupakan

3

(19)

novel (karya) karnivalis (carnivalized literature) yang cenderung polifonik (banyak suara, banyak pandangan, banyak gagasan). Karena sifat dasar novel polifonik adalah dialogis (Bakhtin, 1973: 14, 34), diasumsikan pula bahwa novel Olenka memiliki karak-teristik dialogis.

Berangkat dari asumsi demikianlah, di dalam buku ini hendak dipaparkan jawaban atas tiga pertanyaan (1) sampai seberapa jauh Olenka terkarnivalisasi, (2) sampai di mana tingkat kepolifonikannya, dan (3) bagaimana kedialogisannya. Namun, perlu diketahui bahwa tiga pertanyaan itu sebenarnya tidak dapat dipisah-pisahkan karena semuanya mengacu pada sebuah tesis yang diajukan oleh Bakhtin (1973) dalam upaya mendefinisikan ciri-ciri mendasar genre novel polifonik. Oleh karena itu, tiga pertanyaan tersebut akan dicoba dijawab melalui pembahasan terhadap tiga aspek dari tesis tersebut (Bakhtin, 1973:38), yaitu komposisi dan karnivalisasi, tokoh dan posisi pengarang, dan representasi gagasan (ideologi). Kendati demikian, ada persoalan lain yang tidak mungkin dikesampingkan. Karena kedialogisan novel polifonik itu ditandai oleh adanya upaya mendialogisasi atau menghimpun heteroglosia (berbagai teks, bahasa, wacana, atau genre) ke dalam dirinya, satu hal yang juga harus diper-hatikan adalah unsur-unsur (genre/teks) lain yang dihimpun di dalamnya itu. Oleh karena itu, di dalam buku ini, selain dikupas tiga aspek yang telah disebutkan di atas, dikupas pula hubungan

Olenka dengan genre atau teks-teks lain yang dihimpun di

dalamnya (dialog intertekstual).

1.2 Olenka dalam Kancah Studi Sastra Indonesia

(20)

1990), Faruk (1988), Hutomo (1988), Dewanto (1990, 1996), Indriati (1991), Sumardjo (1991), Prijanto (1993), Pradopo (1995), Mujiningsih dkk. (1996), Indraningsih (1996), dan Mujianto (1997). Di dalam beberapa pembicaraan itu Olenka ada yang disoroti secara khusus dalam bentuk artikel, makalah, skripsi, dan tesis; ada pula yang hanya dibahas secara selintas di dalam artikel atau esai umum tentang sastra.

Dalam artikel “Beberapa Catatan Mengenai OLENKA Karya Budi Darma” (Horison, Juni 1986), misalnya, Hoerip

per-tama-tama menyoroti Olenka dari segi penggunaan bahasa. Menurutnya, bahasa yang digunakan di dalam Olenka betul-betul bebas, spontan, lincah, cekatan, dan seolah mengocor seperti air pancuran di sawah. Akan tetapi, bahasa itu tetap terjaga efek-tivitasnya sehingga terasa pas untuk mewadahi tokoh-tokohnya. Selain itu, Hoerip juga menyoroti perihal pembagian bab yang eksentrik, terutama mengenai bagian (bab) yang dibagi-bagi lagi ke dalam sub-subbagian. Bagi Hoerip, novel Olenka menun-jukkan suatu kebaruan, dan kebaruan itu tampak pada penggu-naan sudut pandang yang tiba-tiba berubah, yaitu “saya” Fanton

Drummond dalam bagian V tiba-tiba berubah menjadi “saya”

Budi Darma dalam bagian VI.

Persoalan serupa juga menjadi sorotan Setijowati dalam

makalahnya “Beberapa Kecenderungan Gaya Budi Darma dalam

Olenka” yang dipresentasikan dalam Pertemuan Ilmiah Bahasa

dan Sastra Indonesia (PIBSI) VIII di Universitas Muhammadiyah Surakarta pada tanggal 13--14 Oktober 1986. Setelah menga-nalisis novel tersebut, Setijowati menyimpulkan bahwa gaya Budi Darma di dalam Olenka cenderung spontan, lincah, tanpa dibuat-buat dan terus terang, yang semua itu terlihat dalam penggunaan kalimat yang pendek-pendek dan sederhana. Menurutnya, gaya

“saya” ternyata tepat untuk mewadahi novel yang bertema “semi

-absurd” sehingga penghayatan Budi Darma yang intens terhadap

(21)

jelas. Selain itu, Setijowati juga menyimpulkan bahwa di dalam novel Olenka pengarang cenderung mengajari pembaca.

Sementara itu, dalam sebuah seminar di Universitas Bung Hatta, Padang, tanggal 23--26 Maret 1988, Junus membicarakan novel Olenka dalam hubungannya dengan persoalan

pengem-bangan teori. Dalam makalah berjudul “Teori Sastra dan Feno

-mena Sastra” yang kemudian dimuat dalam buku suntingan Esten

(1988), Junus mengatakan bahwa meskipun memper-lihatkan hakikat yang lebih ruwet, novel Olenka menampilkan fenomena baru yang dapat dijadikan sebagai titik tolak pengem-bangan teori pembacaan. Dikatakan demikian karena daftar isi, bagian V (Coda), bagian VI (Asal-Usul Olenka), dan bagian VII (Catatan) yang sesungguhnya merupakan unsur tak-cerita itu mampu memaksa pembaca untuk memasukkannya sebagai unsur cerita yang harus dibaca. Hal serupa diungkapkan lagi dalam makalah

berjudul “Unsur Tak-Cerita dalam Novel: Teks dan Cerita” yang

dipresentasikan dalam Pertemuan Ilmiah Nasional III HISKI (Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia) di Malang, 26--28 November 1990.

Kajian lain tentang Olenka dilakukan oleh Sumardjo. Dalam karangannya yang kemudian dimuat di dalam buku

Pengantar Novel Indonesia (1991:294--296), Sumardjo menilai

(22)

agak sulit dipahami--selalu menarik, bahkan akan tetap menarik walaupun dibaca secara tidak urut.

Sementara itu, di dalam makalah berjudul “Novel Indo

-nesia Mutakhir: Menuju Teori yang Relevan” yang diajukan

dalam sebuah seminar (bersama Umar Junus) di Universitas Bung Hatta, Padang, Sumatra Barat (1988), Faruk mengemukakan adanya empat kecenderungan umum novel Indonesia mutakhir. Empat kecenderungan itu ialah (1) novel tak terintegrasi dengan alternatif, (2) novel tak terintegrasi tanpa alternatif, (3) novel terintegrasi dengan dasar agama, dan (4) novel terintegrasi dengan dasar budaya. Menurut Faruk, Olenka termasuk ke dalam

kategori novel yang “tak terintegrasi tanpa alternatif” karena

novel tersebut cenderung menggambarkan dunia batin manusia modern yang tidak pernah mendapat wadah penampungan. Gambaran semacam itu, menurutnya, dengan mengutip George Lucacs, merupakan kecenderungan khas manusia yang berada dalam peradaban yang mengalami disintegrasi. Oleh karena itu,

Olenka menjadi semacam mimpi buruk atau teror bagi manusia.

Hal senada dikatakan Mujianto dalam makalah “Sastra Posmo: Sepercik Pemikiran Embrional” yang dipresentasikan

dalam kegiatan PIBSI II, Putaran Kedua, di Universitas Dipo-negoro, Semarang, September 1997. Dalam makalah tersebut Mujianto menegaskan bahwa Olenka, dan hampir semua karya Budi Darma, dapat dikategorikan sebagai karya sastra posmo. Dikatakan demikian karena di dalam novel Olenka, seperti halnya karya-karya sastra posmo lainnya, tercermin nilai-nilai yang mengandung suatu pembebasan, penyadaran, pencerahan spi-ritual, dan perenungan futuristik. Oleh karena itu, Olenka memi-liki substansi dan esensi yang cenderung mengkritisi adanya dominasi dan pengkultusan modernisme yang memarginalisasi segala sesuatu yang ada di luar wilayah modernisme.

Berbeda dengan beberapa kajian di atas, Hutomo menyo-roti Olenka dari sisi pembaurannya. Di dalam artikel berjudul

(23)

menyatakan bahwa kehebatan novel Olenka antara lain terletak pada aspek pembaurannya, yaitu pembauran dengan sastra atau cerita silat Cina. Setelah mengamati dan mendeskripsikan

kata-kata “berkelebat” yang terdapat di dalam novel itu, Hutomo

menafsirkan bahwa apabila kata-kata itu dianggap sebagai suatu simbol, Olenka merupakan novel yang sangat berhasil dalam upaya mengungkap makna pembauran, yaitu pembauran antara pribumi dan nonpribumi, pembauran antara sastra elit dan sastra populer. Itulah sebabnya, menurut Hutomo, novel Olenka memi-liki fungsi yang penting dalam masyarakat Indonesia dewasa ini.

Sementara itu, di dalam artikel “Pusat Pengisahan Metode

Orang Pertama dan Perkembangannya dalam Roman dan Novel

Indonesia Modern” (Basis, Mei 1993) yang kemudian dimuat di

dalam buku Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan

Penerap-annya (1995:87--88), Pradopo mengkaji pusat pengisahan Olenka

di samping pusat pengisahan novel-novel Indonesia lainnya. Menurutnya, Olenka merupakan salah satu novel yang menun-jukkan metode pusat pengisahan baru, khususnya metode pusat pengisahan orang pertama, dan metode pusat pengisahan baru itu merupakan perkembangan teknik pusat pengisahan novel-novel sebelumnya. Pusat pengisahan novel Olenka, kata Pradopo, mirip dengan pusat pengisahan bagian akhir novel Gairah untuk Hidup

dan untuk Mati (1976) karya Nasjah Djamin.

Hal yang hampir sama dinyatakan Prijanto dalam artikel

“Teknik Kolase dalam Novel Olenka” (Bahasa dan Sastra,

Nomor 3, 1993). Dalam artikel tersebut ia menyoroti teknik penceritaan, khususnya teknik kolase,4 dan fungsinya di dalam

4Istilah kolase (collage) diartikan sebagai (1) komposisi artistik yang

(24)

novel. Di dalam penelitian kecil tersebut Prijanto berkesimpulan bahwa di dalam novel Olenka teknik kolase diterapkan dengan meng-gunakan guntingan artikel koran atau majalah dan iklan film yang dipadukan dengan deskripsi guntingan-guntingan itu di dalam penceritaan. Menurutnya, penggunaan teknik kolase dapat memperjelas jalinan cerita dan penampilan para tokoh. Pemikiran dan perbuatan tokoh menjadi wajar dan masuk akal dengan disisipkannya kolase. Teknik ini digunakan oleh pengarang dengan maksud agar pembaca lebih berpikir kritis karena selama ini, menurutnya, pembaca cenderung digurui oleh pengarang.

Di samping beberapa kajian di atas, ada dua buah kajian yang memfokuskan perhatian pada struktur. Pertama, kajian

Indriati yang berjudul “Struktur Novel Olenka: Sebuah Tinjauan

Intertekstual” (1991). Kajian tersebut berupa skripsi yang diaju -kan kepada Fakultas Sastra UGM. Dalam skripsi tersebut Indriati membahas/meninjau aspek alur, penokohan, teknik penceritaan, dan pusat pengisahan. Setelah unsur-unsur tersebut dibahas secara intertekstual (hubungan antarteks), ia berkesimpulan bahwa novel Olenka berhubungan dengan novel Anak Perawan

di Sarang Penyamun karya Sutan Takdir Alisjahbana sebagai

hipogramnya. Kedua, kajian Mujiningsih yang hasilnya kemudian dibukukan dalam Analisis Struktur Novel Indonesia Modern

1980--1990 (1996:124--139). Di dalam buku tersebut ia tidak

memberikan penilaian atau interpretasi apa pun tentang novel

Olenka kecuali hanya mendeskripsikan urutan peristiwa, tema,

tokoh, latar, dan alur.

Kajian yang agak mendalam dilakukan Indraningsih

dalam sebuah tesis berjudul “Eksistensi Manusia dalam Rafilus

dan OlenkaKarya Budi Darma: Sebuah Kajian Semiotik” (1996).

(25)

dikom-binasikan dengan konsep filsafat eksistensialisme, ia menyim-pulkan bahwa novel Olenka mengedepankan (1) kebebasan manusia berdasarkan pilihan-pilihan dan tindakannya, (2) hu-bungan antarmanusia bukan sebagai subjek-objek, melainkan sama-sama sebagai subjek yang saling menghapus eksistensi orang lain, (3) anak sebagai pernyataan eksistensi, dan (4) kehadiran Tuhan sebagai tempat mengadu manusia.

Di antara sekian banyak kajian yang ada, tampaknya hanya kajian Dewanto yang mengarah pada substansi yang hendak dibahas di dalam buku (penelitian) ini. Dalam kajian

pendek berjudul “Pengalaman dan Penciptaan: Kasus Budi Darma dan Gabriel Garcia Marquez” (Berita Buana, 5 Februari

1985) yang kemudian dimuat dalam Senjakala Kebudayaan (1996:126--136) tersebut Dewanto menyatakan bahwa Olenka merupakan novel yang mengandung banyak suara, dan suara-suara tersebut tidak sekedar datang satu demi satu, tetapi serempak, saling men-dahului, dan bahkan berlapis-lapis. Itulah sebabnya, novel Olenka dikatakan memiliki hubungan analogis dengan novel Cien Anos de Soledad (Seratus Tahun Kesunyian) karya Marques.

Kendati demikian, apa yang dikatakan oleh Dewanto

tentang “banyak suara” tersebut tidak dibicarakan lebih lanjut, tetapi hanya digunakan untuk menunjukkan bahwa dunia novel memiliki perbedaan yang mendasar jika dibandingkan dengan dunia reportase surat kabar. Kalau reportase surat kabar cen-derung hanya memiliki satu suara, novel cencen-derung membuka jalan untuk banyak suara. Sementara itu, di dalam artikelnya yang

lain ia tidak mengupas hal yang sama. Dalam artikel “Mem -pertanyakan Budi Darma: Tentang Solilokui, Bawah Sadar, dan

Keterlibatan” (Horison, Februari 1990), Dewanto hanya

menun-jukkan kelebihan Budi Darma dalam hal keterlibatan pengalaman bawah-sadar atau solilokui-nya dalam proses penciptaan Olenka.

(26)

menarik perhatian. Dilihat dari berbagai aspek yang telah dibicarakan, seolah-olah novel tersebut tidak pernah kering untuk dibaca, diteliti, dan diapresiasi kembali. Akan tetapi, sayang sekali, di dalam berbagai pembicaraan tersebut, permasalahan mendasar mengenai sejauh mana Olenka tampil sebagai novel karnivalis, sampai di mana kepolifonikannya, dan bagaimana pula kedialogisannya, sama sekali tidak terungkapkan. Itulah sebabnya, buku ini mencoba untuk mengungkap dan memba-hasnya.

1.3 Ancangan Dialogis

Sebagaimana telah diutarakan di depan, di dalam buku ini perhatian dipusatkan pada karakteristik polifonik dan dialogis novel Olenka. Perhatian dipusatkan pada masalah itu karena di dalamnya banyak ditemukan unsur karnival yang menandai bahwa novel tersebut memiliki kecenderungan polifonik dan dialogis. Oleh karena itu, pendekatan atau ancangan yang digunakan sebagai landasan analisis adalah teori dialogis seperti yang dikemukakan oleh aliran Bakhtin. Aliran Bakhtin adalah aliran yang dibangun oleh sekelompok sarjana Soviet yang bergerak pada masa akhir Formalisme Rusia awal tahun 1920-an. Di bidang kajian sastra, pada awalnya aliran Bakhtin berusaha mensintesiskan pandangan Marxisme dan Formalisme (Selden, 1991:12; Jefferson and Robey, 1991:191) dengan menawarkan apa yang disebut sebagai poetika sosiologis (sociological poetics) (Bakhtin and Medvedev, 1985:30--31).

(27)

antarkelas. Sementara itu, Formalisme, yang dipengaruhi oleh linguistik Saussure, berpandangan bahwa karya sastra merupakan konstruksi bahasa yang dipahami hanya sebagai konstruksi, atau dengan kata lain, karya sastra hanya merupakan sebuah kons-truksi bahasa yang bersifat dinamik (Segers, 1978:36). Oleh karena itu, Formalisme memperlakukan teks sastra sebagai objek studi yang otonom yang keberadaannya lepas dari faktor-faktor di luar dirinya sehingga sastra dipahami sebagai sistem yang tertutup, abstrak, formal, dan memenuhi dirinya sendiri.

Dua pandangan yang berbeda tersebut kemudian disatu-kan oleh aliran Bakhtin dengan alasan bahwa setiap wilayah ideologis mempunyai “bahasa” sendiri, bentuk dan peralatan

teknis sendiri, dan hukum-hukum sendiri bagi refleksi dan pembiasan ideologis terhadap realitas yang umum (Bakhtin and Medvedev, 1985:3). Atau, bagaimanapun ideologi tidak mungkin dipisahkan dari mediumnya, yaitu bahasa (Selden, 1991:13). Hubungan yang erat antara bahasa dan ideologi akhirnya membawa kesusastraan ke dalam lingkaran sosial-ekonomi yang menjadi tanah air ideologi. Akan tetapi, aliran Bakhtin menolak memperlakukan ideologi sebagai fenomena mental yang murni karena, menurutnya, fenomena itu merupakan bagian dari realitas material manusia sehingga ia pun bersifat formal. Di samping itu, aliran Bakhtin juga menolak konsep ilmu bahasa yang objektif dan abstrak karena--sebagai sistem tanda yang dibangun secara sosial--bahasa merupakan realitas material itu sendiri (Volosinov, 1986:9--11). Oleh karena itu, bahasa dipahami sebagai fenomena sosial dan karya sastra dipahami sebagai fenomena ideologis.

(28)

Todorov, 1984:94). Menurut konsep tersebut, pada dasarnya manusia tidak dapat dipisahkan dari orang lain. Dikatakan demi-kian karena manusia pada umumnya mengagumi dirinya dari sudut pandang orang lain, manusia memahami dan memper-hitungkan kesadarannya lewat orang lain, dan manusia secara intens juga meramal dan memahami kehidupannya di dataran kesadaran orang lain. Itulah sebabnya, lahir sebuah anggapan bahwa segala sesuatu di dalam hidup pada dasarnya merupakan dialog (Bakhtin dalam Todorov, 1984:94--97).

Bertolak dari konsep di atas, aliran Bakhtin kemudian berkeyakinan bahwa pada dasarnya ada perbedaan yang esensial antara objek ilmu alam dan ilmu kemanusiaan atau humaniora (Bakhtin dalam Todorov, 1984:15). Objek ilmu alam adalah benda mati yang tidak mengungkapkan diri dalam wacana dan tidak mengkomunikasikan apa-apa, sedangkan objek ilmu kema-nusiaan atau humaniora adalah “roh” yang mengungkapkan

dirinya dalam wacana sehingga tidak terlepas dari masalah resepsi, transmisi, dan interpretasi wacana (orang) lain. Oleh karena objek ilmu kemanusiaan atau humaniora bersifat demi-kian, pema-haman atas objek tersebut tentu hanya dapat dila-kukan melalui pemahaman dialogis yang mencakupi penilaian dan respon (Bakhtin dalam Todorov, 1984:16).

(29)

sebab itu, di dalam humaniora subjek berhadapan dengan subjek (lain) sehingga terbangun sebuah dialog.

Karena di dalam humaniora objek sekaligus berperan sebagai subjek, objek tersebut tentu tidak dapat direduksi menjadi sesuatu yang bersifat fisik semata sehingga pemahaman terha-dapnya selalu bersifat dialogis. Dikatakan demikian karena pemahaman mengenai suatu objek selalu mengimplikasikan adanya jawaban terhadap objek (tuturan) lain (Bakhtin dalam Todorov, 1984:19--20). Akan tetapi, persoalan pemahaman ini tidak dapat dianggap berada di atas teks (metateks), tetapi sejajar dengan teks (interteks). Prinsip inilah yang kemudian melahirkan sebuah gagasan bahwa kriteria atau tolok ukur suatu pemahaman adalah kedalaman, yaitu upaya menembus ketidakterbatasan makna-makna simbolik (Bakhtin dalam Todorov, 1984:22--23).

Telah dikatakan bahwa objek ilmu humaniora adalah manusia yang mengekspresikan dirinya dalam wacana. Namun, karena ilmu humaniora terdiri atas bermacam-macam, akhirnya muncul cara pandang yang bermacam-macam pula. Atas dasar itulah, khusus di bidang linguistik (ilmu bahasa), aliran Bakhtin menawarkan ilmu atau cara pandang lain yang disebut trans-linguistik (Bakhtin dalam Todorov, 1984:24). Apabila objek linguistik adalah bahasa dengan berbagai unsurnya (fonem, morfem, proposisi), objek translinguistik adalah wacana yang pada tahap selanjutnya direpresentasikan dalam tuturan-tururan individual (bdk. Holquist dalam Morson, 1986:59--70). Jika objek linguistik bersifat objektif dan abstrak, objek translinguistik bersifat unik, konkret, dan selalu terikat oleh konteks sosial (Bakhtin dalam Todorov, 1984:25--26).

(30)

Pendek kata, tuturan hanya dapat hidup dalam hubungan dialogis bagi para penuturnya (Bakhtin, 1973:151; bdk. Volosinov, 1986: 86). Artinya, tuturan baru bermakna apabila ia masuk ke dalam hubungan (dialogis) yang bagian-bagiannya dibentuk oleh kese-luruhan tuturan yang di balik tuturan itu berdiri subjek-subjek atau para pembuat tuturan yang bersangkutan (Bakhtin dalam Todorov, 1984:61).

Telah dikatakan bahwa--sebagai objek translinguistik--tuturan selalu terikat oleh konteks sosial. Itulah sebabnya, makna dan atau tema tuturan tidak hanya ditentukan oleh berbagai kom-ponen linguistiknya, tetapi juga oleh aspek situasi yang berupa sejumlah interaksi yang terjadi antara pembicara dan pendengar (Bakhtin dalam Todorov, 1984:47). Hal itulah yang menyebab-kan tuturan tidak terlepas dari sifat intertekstual (relasi dialogis) karena di balik seluruh interaksi tersebut (yang tidak pernah netral) terdapat makna yang selalu merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan (Bakhtin dalam Todorov, 1984:48--54). Akan tetapi, harus dicatat bahwa kadar intertekstualitas suatu tuturan berbeda-beda sehingga dari berbagai jenis tuturan (wacana) dapat ditentukan adanya tuturan monologis dan tuturan dialogis. Tuturan dikatakan monologis apabila di dalamnya tidak terdapat suara lain selain suara pengarang; sedangkan tuturan dikatakan dialogis apabila di dalamnya selain ditemukan suara pengarang juga ditemukan suara lain, atau, di dalamnya terdapat kombinasi suara-suara (Bakhtin dalam Todorov, 1984:63--64).

Menurut Bakhtin (Todorov, 1984:63--66), tuturan mono-logis tampak jelas di dalam genre puisi karena pada umumnya di dalam puisi tidak ditemukan suara lain kecuali suara penyair. Sementara itu, tuturan dialogis tampak jelas di dalam genre prosa, terutama novel, karena novel memiliki kadar intertekstual paling tinggi dan intens. Di dalam novel, relasi dialogis menjadi suatu peristiwa wacana itu sendiri, yaitu menghidupkan dan mendra-matisasikannya dari dalam ke seluruh aspeknya. Di dalam novel,

(31)

(bertutur) dan wacananya. Hanya saja, yang terpenting bukan citra manusia itu sendiri, melainkan citra bahasa, sehingga yang tampak adalah interaksi dialogis bahasa-bahasa atau wacana-wacana.

Berdasarkan pemikiran itulah, Bakhtin (Todorov, 1984: 86--89) kemudian memberikan perhatian khusus pada genre novel. Sebagai sebuah wacana, katanya, novel tidak hanya merepre-sentasikan objek, tetapi sekaligus menjadi objek representasi. Dikatakan demikian karena di dalam novel ada kecenderungan untuk mereproduksi berbagai macam wacana, bahasa, atau suara-suara. Hanya saja, kadar wacana-wacana itu berbeda-beda. Ada wacana yang membuat garis bentuk yang tegas terhadap wacana lain (linear), ada pula wacana yang mencairkan atau mende-konstruksi ketertutupan wacana lain (pictural) (Bakhtin dalam Todorov, 1984:69--73). Di dalam wacana linear, heterologi sosial tetap berada di luar novel sehingga wacana tersebut cenderung monologis (monofonik), serius, dan hierarkis; sedangkan di dalam wacana pictural heterologi masuk dan tinggal di dalamnya sehingga wacana itu cenderung dialogis (polifonik), akrab, tanpa tatanan dan hierarki, siapa pun dapat menjalin kontak secara bebas, sehingga semua itu tampak bagaikan pesta rakyat (carnival) (Bakhtin dalam Todorov, 1984:77--78).

(32)

Telah dikatakan bahwa objek ilmu humaniora bukanlah sekedar objek, melainkan juga subjek. Oleh karena itu, di dalam humaniora subjek berhadapan dengan subjek (lain) sehingga terbangun suatu dialog. Karena kodrat objeknya demikian, humaniora tidak akan menjadi suatu aktivitas ilmiah, tetapi hanya akan menjadi suatu aktivitas pemahaman. Pamahaman

(under-standing) adalah suatu transposisi yang tetap mempertahankan

dua kesadaran atau lebih yang tidak dapat tersatukan (Bakhtin dalam Todorov, 1984:22). Oleh karenanya, seluruh pemahaman adalah (bersifat) dialogis (all understanding is dialogical) karena pemahaman itu selalu mengimplikasikan adanya suatu jawaban terhadap objek atau tuturan lain.

Sejalan dengan hal tersebut, dalam upaya mangupas pokok persoalan yang telah diutarakan di awal bab pendahuluan ini, di dalam buku (penelitian) ini digunakan metode yang di dalam teori alteritas5 (Bakhtin dalam Todorov, 1984:107--108) disebut sebagai metode interpretasi dialogis. Interpretasi dialogis adalah model interpretasi yang di dalamnya dua (atau lebih) identitas tetap hidup dan diakui. Hanya saja, khususnya di dalam pem-bahasan ini, metode tersebut tidak dipahami dalam pengertian strukturalisme (structuralism), tetapi dalam pengertian pasca-strukturalisme (post-structuralism). Artinya, metode ini tetap bekerja dengan cara pemahaman relasi unsur-unsur, tetapi relasi itu tidak dilihat dalam kerangka kesatuan atau totalitas, tetapi dalam kerangka keberagaman dan atau ketersebarannya.

5 Teori alteritas (alterity) adalah teori yang menganggap bahwa

(33)

BAB II

GENRE NOVEL POLIFONIK

Sebelum sampai pada pembahasan terhadap beberapa masalah sebagaimana diungkapkan dalam bab pertama, di dalam bab kedua ini dipaparkan terlebih dahulu gambaran umum mengenai genre novel polifonik. Gambaran umum mengenai hal ini perlu dikemukakan terlebih dahulu dengan pertimbangan bahwa berdasarkan gambaran inilah--pada tahap selanjutnya--karakteristik atau ciri-ciri (kekarnivalan, kepolifonikan, dan kedialogisan) novel Olenka dapat dipahami dan diidentifikasikan.

2.1 Novel Polifonik sebagai Genre

Sejarah telah mencatat bahwa--khusus dalam studi sastra--istilah novel polifonik (polyphonic novel) tidak dapat dipisahkan dari Mikhail Bakhtin, seorang ahli sastra di Rusia yang aktif bergerak pada awal tahun 1920-an (lihat Fowler, 1987:58--60; Jefferson and Robey, 1991:191). Dikatakan demikian karena istilah tersebut--yang sering juga disebut poliglosia (Kristeva dalam Junus, 1996:118) atau polivalen (Todorov, 1985:21--22)--diper-kenalkan oleh Bakhtin ketika ia melakukan serangkaian penelitian terhadap karya-karya (prosa) Dostoevsky6 yang

6 Dostoevsky (lengkapnya Fiodor Mikaelovich Dostoevsky) adalah

(34)

hasilnya kemudian dituangkan di dalam buku berjudul Problems

of Dostoevsky’s Poetics(1973).7 Di dalam buku tersebut Bakhtin (1973:4) menyatakan bahwa Dostoevsky telah menciptakan sebuah genre sastra yang pada hakikatnya baru, yaitu novel polifonik. Setelah itu, istilah novel polifonik menjadi sangat populer terutama berkat jasa para ahli seperti Medvedev, Volo-sinov, Morson, Emerson, dan Todorov.

Perlu diketahui bahwa sebutan novel polifonik sebagai sebuah genre (sastra) sesungguhnya tidak berhubungan dengan tema, bentuk, isi, atau sesuatu yang memberitahukan tentang

realitas, tetapi hanya berhubungan dengan pengertian “sosial”

yang dimiliki oleh teknik wacana (Forgacs dalam Jefferson and Robey, 1991:195--196). Oleh karena itu, ketika memperkenalkan novel polifonik sebagai sebuah genre (sastra) baru, Bakhtin tidak melihat genre semata-mata sebagai suatu kategori yang digunakan untuk membedakan jenis-jenis sastra lain seperti tragedi, komedi, lirik, atau novel. Bagi Bakhtin, pengertian yang benar mengenai genre dapat ditemukan dalam dua hal.

Pertama, pada dasarnya genre semata-mata hanya

merupakan sebuah cara “pengkonsepsian” realitas. Karena genre

hendak dijatuhi hukuman mati, tetapi kemudian dihukum kerja keras di penjara Siberia. Pengarang besar Rusia yang menurut istri keduanya, Anna Grigo-rievna Snitkin, memiliki tiga kelemahan (suka main judi rolet, ber-penyakit epilepsi, dan suka hutang dan menggadaikan barang) ini meninggal pada 9 Februari 1881. Karangannya yang telah terbit antara lain Poor Folk (1846),

Notes from the Underground (1864), Crime and Punishment (1866), The Gambler (1866), The Idiot (1869), The Devils(1872), “Bobok” (1873), “The Dream of Ridiculous Man” (1877), dan The Brothers Karamasov (1880).

Kebiasaan dan sebagian kisah kehidupannya antara lain dapat dibaca pada catatan harian Anna Grigorievna Snitkin (Sudiarja, 1992).

7 Edisi aslinya diterbitkan pada tahun 1929 dalam bahasa Rusia

(35)

hanya sebagai cara untuk mengkonsepsikan realitas, jelas bahwa genre tidak hanya berkaitan dengan teks sastra, tetapi juga berkaitan dengan cara bagaimana kita (manusia) menggambarkan dunia melalui bahasa. Hal demikian sesuai dengan kenyataan bahwa setiap kesadaran manusia pada dasarnya mempunyai

serangkaian “genre dalaman” untuk melihat dan meng konsep-sikan realitas. Itulah sebabnya, genre sastra memberikan cara kepada manusia (kita) untuk mengkonsepsikan sesuatu dalam bahasa yang sebelumnya tidak dimilikinya sehingga--dalam pengertian ini--kehidupan dapat dianggap meniru sastra. Pendek

kata, genre sastra pada dasarnya memperkaya “peng-ucapan

dalaman” manusia dengan alat baru bagi pengkonsepsian realitas (Forgacs dalam Jefferson and Robey, 1991:196).

Kedua, pengertian yang benar mengenai genre juga

berkaitan dengan cara genre itu menghubungkan diri dengan genre-genre lainnya. Berbeda dengan Lukacs, Bakhtin tidak melihat novel sebagai suatu percobaan modern untuk meng-hidupkan epik, tetapi hanya sebagai sesuatu (genre) yang bersifat sangat terbuka dan bebas; dalam arti bahwa sesuatu (genre) itu dipenuhi oleh berbagai macam genre yang terus-menerus, tidak putus-putus, tetapi diselang-seling--secara parodik--oleh wacana atau genre baru lainnya. Oleh sebab itu, menurut Bakhtin,

polifonik sebagai sebuah genre hanya merupakan cara untuk

meng-konsepsikan realitas yang memberikan kebebasan kepada watak-watak individu dengan melemahkan wacana lain yang serba berwibawa, otomatis, dan monologis (Forgacs dalam Jefferson and Robey, 1991:196).

2.2 Karakteristik Novel Polifonik

(36)

senantiasa berada di bawah wibawa pengarang, di dalam novel polifonik suara-suara tokoh justru bebas, merdeka, mampu berdiri di samping, mampu tidak sependapat, bahkan mampu mem-berontak si pengarang. Itulah sebabnya, novel polifonik disebut sebagai novel yang mengandung pluralitas suara atau kesadaran yang bebas dan penuh makna (Bakhtin, 1973:4).

Pluralitas suara dan atau kesadaran yang dimaksudkan di atas bukan berarti banyak karakter yang berada dalam dunia objektif yang menyatu (tunggal), melainkan suara-suara dan atau kesadaran-kesadaran itu memiliki kedudukan setara dengan dunia mereka --yang tergabung dalam suatu kesatuan peristiwa tertentu-- dan pada saat yang sama suaratertentu--suara dan atau kesadarantertentu-- kesadaran-kesadaran itu mampu mempertahankan ketidakter-batasannya. Oleh sebab itu, tokoh-tokoh di dalam novel polifonik tidak menjadi objek perkataan pengarang, tetapi menjadi subjek bagi dirinya (perkataannya) sendiri. Dalam hal ini kesadaran pengarang berdiri menjadi sebuah kesadaran lain, tetapi pada saat yang sama kesadaran itu juga tidak terobjektivikasi, tidak tertutup, dan tidak menjadi objek kesadarannya sendiri (Bakhtin, 1973:4).

Telah dikatakan bahwa suara-suara tokoh di dalam novel polifonik cenderung bebas dan independen. Seakan-akan suara tokoh berdiri di samping atau di sepanjang suara pengarang, dan dengan cara yang unik suara itu bergabung dengan suara-suara tokoh lain. Kadang-kadang suara tokoh dibentuk dengan cara yang sama seperti suara pengarang sehingga suara tokoh menge-nai diri dan dunianya sama dengan suara pengarang. Akan tetapi, suara-suara tokoh tersebut tidak lalu terobjektivikasi oleh suara pengarang, atau oleh suara tokoh-tokoh lain, tetapi mampu mempertahan diri dan mampu berdialog dengan suara-suara lain. Oleh sebab itu, mulut tokoh bukanlah corong suara pengarang, melainkan corong suaranya sendiri (Bakhtin, 1973:4--5).

(37)

atau mengorganisasikan dirinya. Untuk mempertahankan plu-ralitas suara dan kesadaran di dalam dirinya, misalnya, sebuah novel memerlukan materi-materi atau berbagai ikatan psikologis bagi kepentingan pengembangan plot. Materi-materi tersebut adalah objektivisasi dan materialisasi sebagai sesuatu yang terpadu untuk menggabungkan citra yang lengkap dalam kesa-tuan dunia yang dialami dan dipahami (Bakhtin, 1973:5). Itulah sebabnya, plot hanya memiliki fungsi khusus, yaitu untuk menciptakan kesatuan dunia novel yang memiliki ikatan-ikatan akhir yang khusus pula. Bentuk-bentuk narasinya, baik yang dibangun oleh pengarang, narator, maupun tokoh, juga memiliki fungsi dan orientasi khusus. Posisi awal kisah, pembentukan citra, dan informasi yang disampaikan juga berorientasi pada cara baru bagi dunia yang baru, yaitu dunia subjek, bukan dunia objek. Suara narasional, suara representasional, dan suara informasional juga memiliki beberapa jenis hubungan baru dengan objeknya. Oleh karena itu, seluruh unsur yang ada di dalam novel memiliki tugas baru untuk membentuk dunia baru, yaitu dunia polifonik (Bakhtin, 1973:5).

(38)

Dalam kaitannya dengan hal di atas, Bakhtin (1973:14) menyatakan bahwa ciri atau karakteristik dasar novel polifonik adalah dialogis. Posisi “aku” yang berkedudukan sebagai orang

lain (wacana lain) di dalam novel polifonik bukan merupakan objek, melainkan merupakan subjek lain yang mampu berdialog. Namun, bentuk hubungan dialogis itu tidak tercipta dari dialog dalam batas-batas konsep monologis terhadap dunia yang menyatu, tetapi dialog dalam totalitas karya. Dikatakan demikian karena novel tidak dibentuk sebagai suatu keseluruhan interaksi berbagai kesadaran yang masing-masing tidak saling menjadi objek bagi yang lain. Sementara itu, pihak ketiga (pengarang atau pembaca) tidak pula dapat mengobjektivikasi berbagai peristiwa, tetapi justru menjadi peserta dialog sehingga oposisi dialogis tidak mengenal kata akhir (abadi, perpetual) (Bakhtin, 1973:14).

Prinsip dasar konstruksi novel polifonik bukan evolusi, melainkan koeksistensi (hadir bersama, berdampingan) dan interaksi (Bakhtin, 1973:23). Oleh karena itu, dunia terutama dipandang dalam ruang (space), bukan dalam waktu (time), sehingga ada kecenderungan yang kuat pada bentuk-bentuk dramatik. Secara ekstensif seluruh materi (perasaan dan realitas) diungkap dan disusun ke dalam suatu titik waktu dalam bentuk penjajaran dramatik. Dalam pemikiran tunggal, misalnya, dite-mukan pemikiran ganda, dan dalam kualitas tunggal ditedite-mukan pula kualitas lain yang kontradiktif. Di dalam setiap suara didengar suara lain, di dalam setiap ekspresi ditemukan ekspresi lain, dan di dalam setiap isyarat ditemukan pula isyarat lain yang kontradiktif. Karena dunia dipandang secara spasial, bukan secara temporal, dalam berbagai kontradiksi tersebut masing-masing subjek berdiri berdampingan dan berdialog pada sebuah bidang atau peristiwa tunggal (Bakhtin, 1973:25).

(39)

(historis), tetapi berdampingan atau beriringan dengan kesadaran-kesadaran lain. Oleh karena itu, kesadaran-kesadaran tidak terkonsentrasi pada diri dan gagasannya sendiri, tetapi tertarik ke dalam interaksi dengan kesadaran lain. Kesadaran selalu mendapati dirinya dalam sebuah hubungan dengan kesadaran lain. Dengan demikian, pengalaman dan pemikiran tokoh secara internal bersi-fat dialogis, diwarnai polemik yang bertentangan, dan sebaliknya, mereka juga terbuka bagi setiap inspirasi dari luar dirinya (Bakhtin, 1973:26).

2.3 Tradisi Sastra Karnival

Sebagai pendukung konsepnya mengenai genre novel polifonik di atas, Bakhtin (1973:87) menegaskan bahwa pada dasarnya karya sastra hidup di masa kini (ketika karya sastra ditulis), tetapi bagaimanapun juga tetap mengingat masa lalu. Hal demikian dilandasi oleh kenyataan bahwa karya sastra pada hakikatnya merupakan representasi memori kreatif dari proses perkembangan sastra. Itulah sebabnya, kehadiran novel polifonik sebagai sebuah genre (sastra) baru juga tidak terlepas dari genre-genre yang mendahuluinya. Berkenaan dengan ini, Bakhtin (1973:88) kemudian menempatkan apa yang disebut tradisi sastra karnival sebagai sesuatu yang penting dalam sejarah sastra. Dikatakan penting karena tradisi sastra karnival telah membe-rikan pengaruh yang signifikan bagi lahirnya novel polifonik, yaitu melalui proses transformasi berbagai unsur, terutama unsur komikal (comical) dan perilaku karnival (carnival attitude).

(40)

sarana-sarana legenda, tetapi berdasarkan penga-laman dan imajinasi yang bebas. Ketiga, adanya kemultivariasian dan mul-tiplisitas nada sehingga karya-karya tersebut menolak kesatuan stilistik (gaya tunggal) seperti yang ada di dalam epos, tragedi, retorik, lirik, dan sebaliknya, mereka menerima campuran ber-bagai-bagi unsur (tinggi-rendah, serius-lucu, baik-buruk, sakral-profan, dan lainnya) dan menggunakan berbagai ragam (surat, naskah, kutipan, dialek, slang, dan sebagainya) sehingga, bagai-manapun juga, suara ganda menduduki peran utama (Bakhtin, 1973:88--89).

Tiga karakteristik dasar semacam itulah yang memiliki signifikansi bagi perkembangan karya-karya prosa Eropa yang kemudian disebut sebagai karya sastra dialogis. Sebelum perkembangan itu mencapai puncak, yakni pada novel-novel polifonik karya Dostoevsky, beberapa karakteristik dialogis itu terlihat jelas di dalam dua karya sastra genre serio-komik, yakni

Socratic Dialog dan Menippean Satire.8Itulah sebabnya, menurut Bakhtin (1973:113), karakteristik dua karya tersebut sangat berpengaruh dan bahkan menentukan nada (tone) novel-novel polifonik karya Dostoevsky.

Setidaknya terdapat 5 (lima) karakteristik Socratic Dialog yang memberikan pengaruh bagi munculnya novel polifonik (Bakhtin, 1973:90--92). Pertama, kebenaran dialogis diletakkan

8 Socratic Dialog ditulis oleh Plato, Xenophon, Antisthenes,

(41)

sebagai dasar bagi karya sastra. Untuk mencapai kebenaran dialogis tersebut, suatu kebenaran (gagasan) harus diperten-tangkan dengan kebenaran lain sehingga lahir kebenaran baru. Dikatakan demikian karena sesungguhnya kebenaran tidak berasal dari dan tidak tinggal di dalam individu, tetapi dalam hubungan dialogis antarindividu secara kolektif. Kedua, adanya dua perangkat dasar, yaitu sinkrisis dan anakrisis. Sinkrisis dipahami sebagai bentuk penjajaran dramatis berbagai sudut pandang terhadap objek tertentu, dan dalam teknik penjajaran itu berbagai pendapat disesuaikan dengan suatu kepentingan yang lebih besar. Anakrisis dipahami sebagai provokasi, yaitu sarana yang berupa kata, ungkapan, atau situasi yang berfungsi untuk mendesak interlokutor (lawan bicara) agar mengekspresikan pendapat dan pikirannya sehingga kebenaran-kebenaran (baru) dapat ditarik darinya. Sinkrisis dan anakrisis mendialogisasi, membawa keluar, dan mengubah pemikiran menjadi suatu ungkapan di dalam dialog, dan akhirnya mengubah pemikiran-pemikiran itu menjadi hubungan dialogis antarindividu. Ketiga, tokoh-tokoh yang berdialog (tokoh utama dan interlokutornya) adalah para ideolog, yaitu manusia-manusia (pencipta) gagasan. Oleh sebab itu, seluruh peristiwa yang terjadi atau yang dire-produksi merupakan peristiwa ideologis pencarian dan pengujian suatu kebenaran. Keempat, sebagai tambahan anakrisis, provo-kasi-provokasi tersebut berfungsi sebagai pencipta situasi yang luar biasa, sebagai pencair atas otomatisme dan objektivikasi, dan sebagai pendesak pihak lain agar terlibat secara penuh (total).

Kelima, gagasan secara organik melekat pada pelukisan seorang

pribadi (penyampai). Jadi, pengujian dialogis tentang suatu gagasan secara simultan merupakan sebuah pengujian atas pribadi yang mewakilinya.

(42)

Mengandung unsur komikal (lucu), bahkan bobot komikal

Menippean Satire lebih besar daripada Socratic Dialog. (2)

Wa-laupun tokoh-tokoh rekaannya berasal dari sejarah dan legenda, mereka tidaklah statis, tetapi mempunyai kebebasan dan fantasi yang luar biasa. (3) Fantasi-fantasi dan petualangan yang paling berani dan bebas dimotivasi, dibenarkan, dan dijelaskan secara internal oleh tujuan ideologis dan filosofis yang semuanya digunakan untuk menciptakan situasi yang luar biasa sebagai sarana untuk menguji kebenaran (gagasan filosofis). Untuk mencapai tujuan tersebut, para tokoh naik ke atas (surga), lalu turun ke bawah (dunia), menjelajahi tanah-tanah fantasi yang tidak dikenal, dan akhirnya masuk ke dalam situasi yang luar biasa. Pendek kata, Menippean Satire penuh dengan petualangan gagasan dan kebenaran. (4) Adanya kombinasi fantasi dan simbolisme organik yang bebas. Misalnya, unsur religius dikom-binasikan dengan naturalisme dunia bawah (kasar) seperti jalan raya, rumah bordil, sarang pencuri, kedai minum, pasar, atau penjara. Oleh sebab itu, ekspresi kebijakan seringkali dikon-frontasikan dengan ekspresi kejahatan, kehinaan, vulgaritas, dan sejenisnya. (5) Secara berani fantasi digabung dengan univer-salisme filosofis dan ideologis. Menippean Satire adalah karya

(43)

sesuai, pelanggaran yang diterima umum, pemprofanan hal-hal yang sakral, pelanggaran etika, dan sebagainya. (10) Terdapat banyak kontras tajam dan berbagai kombinasi oksimoronik (kaisar-budak, bangsawan-bandit, kaya-miskin); dan kontras-kontras itu muncul secara simultan dan tidak terduga. (11) Ada unsur utopia sosial dalam bentuk mimpi atau perjalanan ke antah-berantah. Unsur utopia itu secara organik bergabung dengan unsur-unsur lain. (12) Banyak digunakan genre atau teks lain (surat, pidato, prosa, puisi, dan sebagainya); karya-karya itu disajikan dengan berbagai jarak dan posisi, dengan berbagai derajat parodi dan objektivikasi. (13) Kehadiran karya-karya lain tersebut mengintensifkan keragaman gaya dan nada; dan dari sini terbentuklah suatu perilaku baru, yaitu perilaku dialogis. (14) Terdapat unsur publisistis atau jurnalistis yang berhubungan dengan berbagai persoalan ideologis yang bersifat kontemporer (kekinian). Oleh karena itu, banyak ditampilkan tokoh-tokoh publik terkemuka yang (kini) telah surut untuk mengungkap berbagai peristiwa besar dan atau perubahan-perubahan baru yang mungkin muncul (Bakhtin, 1973:93--97).

Di samping itu, Bakhtin (1973:100) menunjukkan pula beberapa persoalan karnival (carnival) dan karnivalisasi kesu-sastraan (carnivalization of literature). Menurutnya, akar-akar karnival tertanam dalam tatanan dan cara berpikir primordial, berkembang dalam kondisi-kondisi masyarakat kelas, dan keunikannya tidak pernah mati di sepanjang sejarah kultural. Karnival bukan merupakan fenomena sastra, melainkan

meru-pakan bentuk “pertunjukan indah” dari sebuah ciri ritual

(44)

Transposisi karnival itulah yang disebut sebagai karnivalisasi kesusastraan.

(45)

Menurut Bakhtin (1973:101), berbagai kategori karnival di atas bukan merupakan suatu pemikiran abstrak tentang kese-taraan atau kebebasan, atau keberkaitan segala hal, atau kesatuan hal-hal yang berlawanan, melainkan merupakan suatu perilaku

dalam bentuk “pertunjukan indah” yang dialami dalam suatu

kehidupan. Perilaku dalam bentuk pertunjukan indah tersebut, menurutnya, akan terus hidup dan bertahan dalam kurun waktu yang sangat panjang. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila berbagai perilaku karnival mampu menembus ke segala segi kehidupan, termasuk menembus dan memberikan pengaruh yang kuat terhadap karya sastra.

Khusus di dalam karya sastra, terutama novel, unsur-unsur yang mencerminkan perilaku karnival tersebut antara lain terda-pat (melekat) di dalam komposisi (struktur) dan situasi-situasi plot (Bakhtin, 1973:101--102). Selain itu, unsur-unsur (perilaku karnival) itu juga menentukan familiaritas posisi pengarang dalam kaitannya dengan para tokoh, dan semua itu, akhirnya berpengaruh pula pada gaya verbal karya itu sendiri. Bahkan, menurut Bakhtin (1973:108), berbagai unsur carnival-istik itulah yang memberikan konteks dan dasar bagi karya sastra.

Oleh sebab itu, sangat masuk akal apabila peristiwa “karnivalisasi

kesusas-traan” menjadi bagian dari tradisi sastra yang terus

(46)

BAB III

OLENKA: KRITIK DIALOGIS

Karakteristik dasar novel polifonik adalah dialogis (Bakh-tin, 1973: 14, 34). Oleh karena itu, pemahaman terhadap novel

Olenka yang diasumsikan sebagai karya karnivalis yang memiliki

kecenderungan polifonik dilakukan dengan tinjauan atau pers-pektif dialogis. Sesuai dengan apa yang dikemukakan di dalam bab pendahuluan, pembahasan berikut difokuskan pada masalah karnivalisasi dan komposisi, tokoh dan posisi pengarang, repre-sentasi gagasan (ideologi), dan dialog intertekstual.

3.1 Karnivalisasi dan Komposisi

Telah dikatakan di depan (lihat bab 2) bahwa karnival bukan merupakan suatu pemikiran abstrak tentang kesetaraan atau kebebasan, bukan keberkaitan segala hal, bukan pula kesa-tuan berbagai hal yang berlawanan atau konfrontatif, melainkan

merupakan perilaku dalam suatu “pertunjukan indah” yang

dialami di dalam kehidupan. Perilaku karnival itu akan terus bertahan hidup dalam kurun waktu yang sangat panjang dan menembus ke segala aspek kehidupan, termasuk menembus dan memberikan pengaruh yang kuat--dalam pengertian positif--terhadap karya sasra (Bakhtin, 1973: 101).

(47)

perilaku karnival antara lain tercermin (melekat) di dalam komposisi dan situasi-situasi plot. Oleh sebab itu, sebelum disajikan bahasan mengenai komposisi (struktur), terlebih dahulu disajikan bahasan mengenai unsur-unsur karnival yang meng-karnivalisasi Olenka. Unsur-unsur karnival yang mengkarnival-isasi novel tersebut --sejauh dapat dilakukan-- diiden-tifikasikan berdasarkan karakteristik Socratic Dialog dan Menippean Satire seperti yang telah dipaparkan di dalam bab sebelumnya.

3.1.1 Karnivalisasi

Olenka bukanlah karya sastra klasik, melainkan karya

sastra modern. Karya yang lahir pada akhir tahun 1979 dan diterbitkan pada tahun 1983 itu ditulis dalam bahasa Indonesia oleh pengarang Indonesia etnis Jawa yang jika digolongkan ke dalam pembagian kelas sosial --menurut Geertz dan Young (Putra, 1993:388--389)-- termasuk ke dalam kelompok

metro-politan super-culture atau kelas menengah kota urban middle class dan a state-dependent middle class. Oleh sebab itu, tidaklah

aneh jika beberapa unsur atau perilaku yang mengkarnivalisasi novel Olenka telah mengalami perubahan bentuk dan makna. Hal demikian terjadi karena jarak atau rentang waktu kehadiran novel

Olenka dengan kisah-kisah rakyat karnivalistik, dua di antaranya Socratic Dialog dan Menippean Satire, sangat jauh; dan dalam

rentang waktu tersebut dipastikan telah terjadi berbagai peru-bahan dan pergantian dari masa klasik ke masa modern.

Fakta membuktikan bahwa Olenka memperlihatkan unsur-unsur atau perilaku karnival yang cukup dominan. Bahkan dapat dikatakan bahwa sejak awal ke hadapan kita (pembaca)

novel tersebut telah memperlihatkan diri sebagai sebuah “dunia” atau “kehidupan” karnivalistik. Kehidupan karnivalistik adalah

(48)

internal (tersirat), tetapi juga tampak pada aspek eksternal (tersurat). Berikut pembahasan karnivalisasi eksternal dan inter-nal dalam Olenka.

3.1.1.1 Karnivalisasi Eksternal

Seperti diketahui bahwa novel Olenka terdiri atas tujuh bagian. Bagian I terdiri atas 23 subbagian, bagian II terdiri atas 6 subbagian, bagian III terdiri atas 4 subbagian, bagian IV terdiri atas 12 subbagian, dan bagian V, VI, dan VII masing-masing tidak dibagi lagi ke dalam sub-subbagian. Dengan dicantum-kannya angka Romawi secara berurutan pada setiap bagian menunjukkan bahwa ketujuh bagian yang disajikan di dalam

Olenka merupakan sebuah rangkaian yang membentuk kesatuan

yang utuh. Atau, dengan diterakannya nomor urut (angka Romawi) tersebut berarti bahwa kesatuan dunia fiksi di dalam novel berawal dari bagian I dan berakhir pada bagian VII. Ken-dati demikian, hasil peng-amatan membuktikan bahwa ketujuh bagian di dalam Olenka ternyata tidak menyatu atau tidak membentuk suatu rangkaian yang utuh. Ketidakutuhan itu terjadi karena cerita tidak berakhir pada bagian terakhir (bagian VII),

tetapi pada bagian V yang diberi judul “Coda”. Dinyatakan

demikian karena di akhir bagian V telah dicantumkan nama tempat dan waktu yang dimaksudkan sebagai tanda penutup:

Tulip Tree, Bloomington, Indiana, 1979 (hlm. 215). Artinya,

novel tersebut telah selesai ditulis di Tulip Tree, sebuah apar-temen di kota Bloomington, negara bagian Indiana, Amerika Serikat, pada tahun 1979.

Tanda berakhirnya cerita tersebut juga diperkuat oleh adanya pernyataan narator di bagian V, alinea kedua, seperti berikut.

“… Karena itu, saya tidak memilih ingin

(49)

apa-apa untuk mengikuti ke mana larinya pena saya. Andai-kata pena saya berhenti di sini, saya anggap bagian ini sebagai coda. Mengapa? Karena pena saya sudah menjabarkan seluruh kehidupan saya dalam empat bagian, masing-masing dengan tema dan masalah sendiri-sendiri, yang keseluruhannya merupakan sebuah organisme hidup. Semua sudah cukup. Karena itu, kalau tokh pena saya berhenti di sini, bagian ini sebagai sebuah coda akan

meng-garisbawahi kodrat saya sebagai organisme hidup.”

(hlm.214).

Dalam kutipan tersebut tampak jelas bahwa kegiatan (menulis, mengarang) yang dilakukan oleh Fanton Drummond--selaku narator dengan sudut pandang orang pertama (icherzahlung)

“saya”--telah berhenti meskipun itu bukan keinginannya. Karena pena telah berhenti di bagian ini (bagian V), Fanton Drummond menganggap bahwa bagian ini merupakan coda (coda artinya bagian akhir, penutup) 9; dan di bagian coda ini ia merasa semua sudah cukup karena seluruh kehidupannya telah dijabarkan dalam empat bagan (maksudnya bagian I sampai dengan bagian IV). Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa bagian V yang diberi

judul “Coda” merupakan bagian penutup. Hal demikian berarti bahwa cerita telah berakhir.

Indikasi berakhirnya cerita pada bagian V ternyata tidak hanya diperkuat oleh adanya pernyataan narator dan ungkapan atau tanda penutup, tetapi juga oleh keberadaan bagian berikutnya

(bagian VI) yang diberi judul “Asal-Usul Olenka”. Tampak jelas

bahwa bagian VI bukan merupakan kelanjutan dari bagian I

9 Coda (koda) adalah istilah yang sering digunakan dalam bidang

Gambar

Gambar Berita Olenka idshlm 25

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan rumus yang digunakan, maka diperlukan empat jenis peta sebagai dasar perhitungan tingkat bahaya erosi, yaitu peta curah hujan, peta jenis tanah, kemiringan,

Di samping itu, melalui animasi juga dapat dipresentasikan skenario pembelajaran, skenario pemecahan masalah, dan mempunyai keunggulan dalam memberi peluang kepada mahasiswa untuk

Indeks harga konsumsi rumah tangga (inflasi pedesaan) Bulan Juni 2011 naik sebesar 0,24 persen dari 132,53 pada bulan Mei 2011 menjadi 132,84 bulan Juni 2011, Kenaikan indeks

(2) Pendidikan anak usia dini sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar meliputi Kelompok Bermain (KOBER), Satuan PAUD Sejenis

[1] Sing lénan tekén pajalan mati. Tak lain dari perjalanan kematian) [2] …, kadi rasa ia suba maekin mati kauluh tekén I raksasa totonan. … rasanya dia telah mendekati

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Kepemimpinan merupakan kemampuan mempengaruhi orang lain, bawahan atau kelompok, kemampuan mengarahkan tingkah laku

Penelitian ini juga menjelaskan berbagai strategi yang digunakan UMKM Kota Bekasi dalam membangun brand toko online miliknya, seperti foto produk, pemilihan

Dengan demikian dari penelitian ini dapat diketahui bahwa lingkungan memiliki peranan paling penting dalam meningkatkan prestasi kerja, karena lingkungan yang sangat