• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VIII: Memaparkan kesimpulan dan rekomendasi hasil penelitian

DI DESA PAKRAMAN UBUD

A. Gerakan Ajeg Bali sebagai Pemertahanan Kebudayaan Bali dari Penerapan Politik Kebudayaan Orde Baru (Politik Indonesiaisasi)

1. Karakteristik Politik Kebudayaan Pemerintah Orde Baru

Politik kebudayaan yang diterapkan pemerintah Orde Baru merupakan kebijakan politik yang diterapkan Orde Baru atas kondisi Indonesia sebagai negara baru, yang dihadapkan pada berbagai tantangan, tidak saja mempertahankan kemerdekaan, tetapi juga menjaga eksistensinya sebagai negara-bangsa (nation building) yang sangat pluralis dan multikultur. Dalam konteks ini integrasi nasional merupakan salah satu masalah serius yang harus selalu diperhatikan. Dalam rangka mewujudkan integrasi nasional, pemerintah Orde Baru memiliki kecenderungan kuat untuk melaksanakan politik “keseragaman budaya” (monoculturality atau monokulturalisme) (Azra, 2008). Bentuk keseragaman budaya tampak pada konsep “Kebudayaan Nasional” yang dicanangkan pemerintah Orde Baru, yang pelaksanaanya didukung penuh oleh birokrasi negara, lembaga pendidikan formal, yakni sekolah-sekolah, instansi pemerintah, maupun pusat-pusat kebudayaan di seluruh wilayah Indonesia.

Konsep kebudayaan nasional diwujudkan oleh pemerintah Orde Baru melalui kebijakannya yang dikenal sebagai politik kebudayaan Orde Baru. Politik kebudayaan ini pada intinya bertujuan untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan yang sekaligus berarti pula menerapkan apa yang disebut nasionalisasi (Kuntowidjoyo, 2000; Atmadja, 2010). Politik kebudayaan guna mewujudkan persatuan dan kesatuan merupakan cita-cita ideal pemerintah Orde Baru, mengingat Indonesia berciri multikultur dan sangat rentan terhadap bahaya disintegrasi nasional. Pluralitas merupakan modal kultural sangat berharga bagi bangsa Indonesia, namun di sisi lain keadaan ini juga mengandung kelemahan, yakni kemungkinan terjadinya konflik. Pengalaman sejarah menunjukkan, sejak

berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tahun 1945, maka terhitung sejak tahun 1950 potensi konflik dan disintegrasi bangsa pernah beberapa kali terjadi, baik yang disebabkan oleh gerakan separatisme, seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Republik Maluku Selatan (RMS), Organisasi Papua Merdeka

(OPM), maupun gerakan yang dilandasi ideologi agama seperti DI/TII. Potensi

konflik juga muncul dari masalah-masalah yang berlatar suku, agama, ras dan antar golongan (SARA), seperti yang terjadi pada kasus Ambon, Sambas, Poso, Sampit, dll.

Dengan mengacu pada Anderson (2002) terjadinya gerakan separatisme maupun potensi konflik bernuansa SARA yang dikhawatirkan dapat berujung pada disintegrasi bangsa ini tidak terlepas dari pemaknaan yang terkandung dalam kata “nasion” atau “bangsa” yang digunakan untuk menyebut “bangsa Indonesia”. Dalam konteks ini “bangsa” mengadung makna sebagai berikut:

Bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena para anggota bangsa yang terkecil sekalipun tidak bakal tahu dan tidak akan mengenal sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka itu, bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar tentang mereka. Namun toh di benak setiap orang yang menjadi anggota bangsa itu, hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka (Anderson, 2002: 8).

Bangsa dibayangkan sebagai sesuatu yang pada hakekatnya bersifat terbatas karena bahkan bangsa-bangsa paling besar sekalipun, memiliki garis-garis perbatasan yang pasti, meski elastis. Di luar perbatasan itu adalah bangsa-bangsa lain. Pada akhirnya, bangsa dibayangkan sebagai komunitas terbayang (imagined communities). Meski tidak mengenal satu sama lain, mereka terikat pada persaudaraan. Hal ini mengakibatkan mereka rela berkorban untuk membela

kebersaudaraannya. Semua ini tidak terlepas dari unsur-unsur yang

211

Mengacu pada gagasan Anderson tersebut, dapat dikatakan bahwa bangsa Indonesia sebagai komunitas terbayang bukan merupakan sesuatu yang final, melainkan sebagai suatu proses yang menjadi. Artinya, ia tidak terbentuk sekali jadi, tetapi dibentuk secara terus menerus agar bayangan tentang kebersamaan pada ruang di mana mereka berada, yakni di wilayah NKRI, tetap kokoh bahkan semakin kokoh. Begitu pula akar-akar budaya nasional yang melandasi dan mengikatnya harus terus diperkuat agar bangsa Indonesia sebagai komunitas terbayang tetap mengada secara berkelanjutan. Untuk itu, masyarakat perlu dilibatkan guna mengajak mereka bersama-sama berbagi identitas Indonesia sehingga memiliki jiwa ke-Indonesiaan atau “meng-Indonesia” (Tillar, 2007; Atmadja 2010). Salah satunya adalah dengan menerapkan politik kebudayaan yang dimaksudkan untuk mengembangkan akar-akar budaya nasionalisme yang sekaligus berarti melakukan “nasionalisasi” (Kuntowidjoyo; 2000) atau “Indonesianisasi” (Tillar, 2007).

Sasaran ideal politik kebudayaan ini adalah agar kebudayaan daerah, termasuk kebudayaan Bali dapat berkembang dalam bingkai persatuan dan kesatuan. Politik kebudayaan tidak bisa dilepaskan dari sasaran yang lebih makro, yakni terwujudnya pembangunan sebagai jargon utama keberhasilan pemerintahan Orde Baru. Orde Baru sangat berambisi menerapkan kebijakan pembangunan terutama di bidang ekonomi dan modernisasi. Ini dilakukan Orde Baru bersamaan dengan kebijakannya untuk menciptakan kebudayaan nasional yang berlandaskan kebudayaan-kebudayaan daerah (Picard, 2006). Pembangunan yang menjadi kebijakan pemerintah Orde Baru mutlak memerlukan ketertiban dan keamanan. Di negara Indonesia yang pluralistik dan multietnik ini, ketertiban dan keamanan yang

diidealkan adalah yang berlandaskan pada ideologi Pancasila dengan diperkuat semboyan “Bhineka Tunggal Ika”

Dengan mengikuti pola yang dikembangkan Atmadja (2010) dan Mulder (2000, 2001, 2001a), karakteristik politik kebudayaan Orde Baru selain bertumpu

pada penguatan penggunaan simbol-simbol kebudayaan nasional juga

menggunakaan simbol-simbol kebudayaan Jawa (Jawanisasi). Pola tersebut dapat dicermati pada bagan 5.1.

Bagan 5.1

Politik Kebudayaan Orde Baru dalam Rangka Nasionalisasi

Adaptasi: Mulder ( 1983; 2000; 2001; 2001a); Atmadja (2010).

Dengan mencermati bagan 5.1, nasionalisasi yang dilakukan negara, yakni pemerintah Orde Baru, ditujukan untuk memperkuat integrasi nasional. Hal ini dilakukan dengan cara menginternalisasikan simbol-simbol nasional atau akar-akar budaya nasional, yakni Pancasila/P4 dan UUD 1945 dan tata aturan

perundang-Kebudayaan Nasional nnNasional

1. Pancasila (P4) dan UUD 1945 sebagai pusaka keramat 2. Sistem birokrasi desa 3. Ritual sosial politik 4. Bahasa Indonesia 5. TVRI sebagai sarana

komunikasi kebudayaan 6. Persatuan dan kesatuan

sebagai jimat penolak bala disintegrasi bangsa

Jawanisasi

Kebudayaan Lokal Jawa

Nasionalisasi

Kebudayaan Lokal Bali Marjinalisasi terhadap identitas

kultural etnik Bali Jawanisasi 1. Kelompok etnik terbesar 2. Memiliki kesadaran tinggi atas

peradaban dan kebudayaan 3. Etika Jawa

(1) Mataramisasi (2) Sangkan paran

(3) Sepi ing pamrih, rame ing gawe,

mahayu hayuning buawana

(4) Bapak yang ideal (ing ngarso

sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani)

213

undangan yang menyertainya. Kedua simbol ini sangat penting, bahkan dianggap sebagai pusaka keramat sehingga tidak dapat diganggu gugat. Keduanya menjadi formula suci bagi pelindung bangsa dan sebagai dasar membangun “imagined communities” (Tillar, 2007) agar NKRI yang pluralistik tetap eksis. Sosialisasi Pancasila sebagai simbol nasionalisme maupun pusaka keramat sangat gencar dilakukan, antara lain melalui Penataran P4 yang diberikan di sekolah-sekolah hingga Perguruan Tinggi bahkan para calon Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Apapun jargon kebudayaan nasional yang digunakan sebagai sarana komunikasi, yakni Pancasila (P4) dan UUD 1945, hukum nasional bahasa Indonesia, lagu kebangsaan, bendera kebangsaan, dan lain-lain, berkaitan erat dengan upaya pencapaian persatuan dan kesatuan Indonesia. Mulder (2000; 2001; 2001a), menyebut jargon persatuan dan kesatuan diposisikan sebagai jimat penolak bala disintegrasi bangsa. Sejalan dengan itu, maka masalah SARA dianggap sebagai penyakit yang melumpuhkan persatuan dan kesatuan. Karena itu setiap gerakan yang mengarah pada penguatan SARA dapat dimaknai sebagai melawan persatuan dan kesatuan sehingga harus ditekan, baik melalui dominasi maupun hegemoni. Dengan demikian, pada masa Orde Baru tidak ada ruang bagi pengembangan SARA, padahal SARA adalah sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang memang bercorak pluralistik dan multikultur. Oleh karena itu, penekanan Orde Baru terhadap SARA pada dasarnya identik dengan pengingkaran terhadap pluralisme yang yang merupakan karakteristik sosial budaya masyarakat Indonesia (Azra, 2008; Suseno, 2008; Atmadja, 2010).

Sebagaimana terlihat pada Bagan 5.1 nasionalisasi sering pula berkaitan dengan Jawanisasi. Ini tampak pada kebijakan Soeharto yang menempatkan

kebudayaan Jawa sebagai urutan pertama dari kebudayaa-kebudayaan daerah yang melandasi konsep kebudayaan nasional (Picard, 2006). Kenyataan ini tidak semata-mata karena etnik Jawa adalah kelompok etnik terbesar, tetapi juga karena sebagian elit politik di Indonesia adalah orang Jawa. Selain itu, etnik Jawa juga memiliki kesadaran yang tinggi atas kebudayaan dan peradabannya. Gejala ini berkaitan erat dengan kenyataan bahwa pada jaman Hindu misalnya, Jawa memiliki kerajaan-kerajaan besar seperti kerajaan Majapahit, yang memiliki kekuasaan di seluruh Nusantara, termasuk Bali.

Pengaruh Jawanisasi terhadap kebudayaan Bali tampak pada penggunaan bahasa Jawa. Pemakaian bahasa Jawa bukan hal yang baru, tetapi sudah ada jauh sebelum masa pemerintahan Orde Baru, yakni pada sekitar abad ke-10 hingga abad ke-17/18. Pada saat itu bahasa Jawa digunakan sebagai bahasa resmi atau bahasa administrasi. Hal ini dapat dicermati pada teks berikut:

Pada masa pemerintahan Udayana dan Mahendradatta pada abad ke-10, bahasa Bali (kuno) sempat tergeser dari bahasa resmi kerajaan atau bahasa administrasi negara, oleh bahasa Jawa. Penaklukan Bali oleh Majapahit pada tahun 1343 juga membawa pengaruh terhadap eksistensi dan perkembangan bahasa Bali, di mana sistem anggah-ungguhing basa mulai dikenalkan. Pada masa pemerintahan Kerajaan Gelgel, banyak kosa kata bahasa Jawa masuk ke dalam khasanah bahasa Bali. Bahasa yang digunakan dalam teks-teks sastra pada masa itu sering disebut dengan istilah Bali-Kawi, Kawi-Bali atau juga Jawa Pertengahan. Teks-teks bahasa Bali yang berasal dari abad ke-17 dan 18 misalnya, banyak memiliki kemiripan dengan teks-teks jaman keemasan Surakarta pada abad yang sama di Jawa Tengah (Sancaya, 2004: 212).

Selain penggunaan bahasa Jawa di luar Jawa, pada jaman kolonial Belanda, Jawa juga dikembangkan sebagai pusat kebudayaan Barat, di mana sekolah-sekolah terbaik ada di Jawa sehingga pulau-pulau lain di luar Jawa menggunakan Jawa sebagi kiblat budaya. Semua ini membuat orang Jawa sangat bangga atas kebudayaannya. Sebaliknya etnik non-Jawa tidak saja mengagumi Jawa, tetapi juga

215

tanpa keberatan mereka sering mengadopsinya secara suka-rela (Sancaya, 2004; Atmadja, 2010). Kekaguman orang non-Jawa terhadap budaya Jawa dimanfaatkan sebagai sarana Jawanisasi. Dalam konteks ini, ada hal yang menarik, yakni Orde Baru tidak selamanya meminjam budaya Jawa yang adhiluhung, tetapi meminjam pula unsur kebudayaan Jawa yang terburuk. Gejala ini dapat dicermati dari bagaimana Orde Baru mendominasi masyarakat Indonesia dengan menggunakan kekakuan hierakhis, otoritarianisme, dan kesewenang-wenangan sehingga orang menjadi penurut karena takut pada penguasa. Semua ini menghasilkan suatu penguasaan dominatif atas rakyat Indonesia, atau lazim disebut Mataramisasi.

Bukti-bukti menunjukkan bahwa Orde Baru tidak selamanya melakukan dominasi melalui Mataramisasi, tetapi juga menggunakan kebudayaan Jawa dalam konteks hegemoni yang dijalinkan dengan pemaknaan Pancasila sebagai ideologi negara. Sebagaimana tampak pada bagan, Pancasila dan UUD 1945 tidak saja diposisikan sebagai pusaka keramat, tetapi juga diangap sebagai wahyu atau sebuah mandat ketuhanan yang memuat cita-cita luhur tentang wujud bangunan masyarakat ataupun kehidupan negara yang dicita-citakan. Karena itu, di masa Orde Baru, sangkan paran kemasyarakatan dan kenegaraan sudah diketahui, bahkan bersifat baku, yakni apa yang digariskan dalam Pancasila dan UUD 1945.

Dengan mengacu pada Jatim (2000), Pancasila dan UUD 1945 sebagai sangkan paran mengandung makna bahwa dia tidak saja mendominasi tentang posisi, status dan peranan manusia dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, tetapi juga memberikan arah dan tujuan yang harus diwujudkan. Berkenann dengan itu, maka dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat kita tidak saja wajib menggunakan mandat ketuhanan tersebut sebagai pedoman hidup, tetapi juga harus

diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, karena dia adalah sangkan paran. Bertolak dari gagasan ini, wajar jika Pancasila dan UUD 1945 sangat penting, karena diposisikan sebagai modal sosial, modal budaya, dan modal politik bagi pemerintah Orde Baru (Atmadja, 2010).

Dalam rangka mewujudkan cita-cita Pancasila dan UUD 1945 sebagai sangkan paran kemasyarakatan dan kenegaraan, selain menerapkan Matarimisasi, pemerintah Orde Baru juga menggariskan berbagai etika kepemimpinan Jawa. Hal ini sangat ditekankan guna membentuk sosok manusia yang dianggap ideal pada tataran massa dan elite. Etika kepemimpinan tersebut diwujudkan dalam suatu paradigma, yakni manusia Indonesia seutuhnya. Artinya mereka menghuni suatu masyarakat harmonis, stabil namun dinamis. Mereka senantiasa dibimbing oleh kepentingan bersama, dan dorongan-dorongan pribadi menjadi terhapus. Setiap orang aktif mengusahakan manfaat bagi keuntungan semua orang, menjadikan negeri ini sebuah tempat yang lebih baik dan lebih indah. Sepi ing pamrih, rame ing gawa, mahayu hayuning buawa (Mulder, 2001; 2001a; Atmadja, 2010). Bertolak dari kenyataan bahwa masyarakat Jawa bersifat paternalistik, maka faktor paling menentukan guna mewujudkan cita-cita ideal tersebut adalah pemimpin, bapak, atau gusti, bukan sang rakyat, massa, atau kawula. Dalam konteks ini bapak harus bisa bersikap dan berperilaku ideal, yakni ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. Pada jaman Orde Baru, citra kepemimpinan seperti ini selalu dikumandangkan dan dilembagakan melalui Penataran P4, pendidikan formal di sekolah, dan media. Penanaman etika kepemimpinan Jawa dilakukan secara intensif. Ditambah lagi dengan adanya Mataramisasi, maka seperti dikemukakan Mulder dan Anderson (dalam Atmadja,

217

2010) munculnya Jawanisasi dalam politik Indonesia modern. Etika politik Jawa terinternalisasi secara baik sehingga terjadi penguasaan yang bersifat donatif dan hegemonik atas rakyat Indonesia. Hal inilah yang menyebakan pemerintah Orde Baru dapat bertahan selama 33 tahun di kancah politik Indonesia.

Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan, bahwa konsep kebudayaan nasional merupakan gagasan yang sangat ideal, karena bertujuan untuk memunculkan satu identitas nasional, yakni identitas Indonesia dengan bersendikan pada unsur-unsur kebudayaan daerah. Namun, dalam implementasinya konsep kebudayaan nasional ini banyak mengandung kelemahan, di mana dengan konsep ini justru tidak memberi ruang bagi munculnya identitas daerah, atau paling tidak kebudayaan daerah menjadi tersederhanakan. Dengan kebijakan ini, kekuatan daerah yang telah lama bertahan, termasuk kebudayaan Bali yang memiliki cirri khas tersendiri, pada akhirnya mengalami pengebirian.

2. Politik Kebudayaan (Politik Indonesiaisasi) Memarjinalkan Desa Pakraman