• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dari hasil penelitian menunjukan bahwa kelompok umur mayoritas PUS yang tidak menjadi Akseptor KB adalah kelompok umur > 35 tahun sebanyak 52 orang (77,6%), sedangkan pada kelompok 25 – 35 tahun sebanyak 15 orang (22,4%).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Mutiara (2008) bahwa ada hubungan yang kuat antara umur dengan penggunaan kontrasepsi. Wanita yang berumur < 20 tahun kemungkinan untuk menggunakan kontrasepsi sebesar 0,73 kali dibandingkan dengan yang berumur 40 tahun. Sementara wanita yang berumur 30-34 tahun dan 35-39 tahun kemungkinannya untuk menggunakan kontrasepsi hanya sekitar 0,15% dan 0,38%. Ini menunjukkan bahwa ada penurunan penggunaan kontrasepsi pada kelompok wanita yang lebih tua.

Sesuai dengan pendapat Notoatmodjo (2003) yang mengatakan bahwa umur merupakan salah satu faktor yang memengaruhi perilaku seseorang termasuk dalam pemakaian alat kontrasepsi. Mereka yang berumur tua mempunyai peluang lebih kecil untuk menggunakan alat kontrasepsi dibandingkan dengan yang muda.

Hal itu sesuai dengan penelitian Nuraidah (2003) di Kelurahan Pasir Putih menyatakan keinginan untuk menggunakan kontrasepsi meningkat pada umur 20-35

tahun. Mereka yang berumur tua (> 35 tahun) mempunyai peluang lebih besar untuk tidak menggunakan alat kontrasepsi dibandingkan dengan yang muda.

5.1.2. Pendidikan

Dari hasil penelitian tingkat pendidikan yang ditamatkan PUS menunjukan bahwa tingkat pendidian mayoritas pada tamatan SMP sebanyak 28 orang (41,8), kemudian diikuti tamat SD sebanyak 22 orang (32,8%) dan SMA sebanyak 13 orang (19,4%). Berdasarkan hasil diatas dapat dilihat bahwa ketidakikutsertaan menjadi akseptor KB di Kecamatan Arongan lambalek terjadi pada masyaraat dengan pendidikan rendah.

Hal itu dikarenakan pendidikan adalah upaya persuasi atau pembelajaran kepada masyarakat agar masyarakat mau melakukan tindakan-tindakan (praktik) untuk memelihara (mengatasi masalah-masalah), dan meningkatkan kesehatannya. Perubahan atau tindakan pemeliharaan dan meningkatkan kesehatannya. Perubahan atau tindakan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang dihasilkan oleh pendidikan kesehatan ini didasarkan kepada pengetahuan dan kesadaran melalui proses pembelajaran (Notoatmodjo, 2005).

Pendidikan mempunyai hubungan positif terhadap tingkat ketidakikutsertaan menjadi akseptor KB yang berkaitan dengan rendahnya pendidikan menyebabkan informasi yang mereka terima mengenai hal dalam menunda atau membatasi jumlah anak. Wanita yang berpendidikan tinggi memiliki kecendrungan lebih sadar untuk menerima program KB dibanding dengan wanita yang berpendidikan rendah.

5.1.3. Pekerjaan

Dari hasil penelitian mengenai pekerjaan PUS menunjukan bahwa pekerjaan mayoritas bekerja sebagai petani sebanyak 38 orang (56,7%), kemudian pegawai swasta sebanyak 4 orang (6,0%) dan IRT sebanyak 25 orang (37,3%).

Pekerjaan merupakan suatu kegiatan aktifitas seseorang untuk memperoleh penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Pekerjaan berpengaruh terhadap kemampuan membayar (ability to pay) khususnya terhadap belanja kesehatan. Pekerjaan berkaitan juga degan sumber pembiayaan dalam pembelian alat kontrasepsi dalam hal untuk menjadi akseptor KB.

Pekerjaan suami maupun istri dalam suatu keluarga akan berdampak pada sosial ekonomi dalam keluarga, sehingga keluarga dengan ekonomi yang baik akan lebih memperhatikan kebutuhan kesehatan pada keluarganya, salah satunya yaitu dengan keikutsertaan ber-KB.

PUS yang mayoritas bekerja sebagai petani dan ibu rumah tangga cendrung kurang memiliki kematangan secara finansial dibandingkan PUS yang bekerja sebagai PNS ataupun pegawa swasta. Kematangan financial biasanya berbanding lurus dengan pemanfaatan akses kesehatan termasuk pemakaian alat kontrasepsi. Sehingga secara tidak langsung pekerjaan dapat memengaruhi ketidakikutsertaan menjadi akseptor KB.

5.1.4. Penghasilan

Ekonomi merupakan aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh manusia dalam memproduksi maupun memperoleh barang dan jasa untuk memenuhi kehidupannya.

Dalam keseharian kehidupan ekonomi manusia senantiasa akan berhadapan dengan kesulitan-kesulitan ekonomi yang dapat menghalangi manusia untuk memenuhi keinginan dan kebutuhannya (Sutisna, 2002)

Berdasarkan penelitian menunjukan seluruh PUS merupakan masyarakat dengan golongan ekonomi rendah. Dalam hal pemakaian kontrasepsi prevalensi pemakaian kontrasepsi di kalangan perempuan dengan tingkat kesejahteraan paling rendah masih jauh tertinggal dibandingkan di kalangan perempuan dengan tingkat kesejahteraan paling tinggi. Kelompok dengan tingkat kesejahteraan terendah cenderung memakai metode kontrasepsi tradisional seperti minum ramuan atau jamu, sedangkan kelompok dengan tingkat kesejahteraan lebih tinggi cenderung memakai metode kontrasepsi jangka panjang implant dan metode operatif, yang tingkat efektivitasnya cukup tinggi.

Kondisi lemahnya ekonomi keluarga memengaruhi daya beli termasuk kemampuan membeli alat dan obat kontrasepsi. Keluarga miskin pada umumnya mempunyai anggota keluarga yang cukup banyak, kemiskinan menjadikan relatif tidak memiliki akses dan bersifat pasif dalam berpartisipasi untuk meningkatkan kualitas diri dan keluarganya (BKKBN, 2014).

Keterbatasan ekonomi yang rendah secara langsung memengaruhi PUS dalam menjadi akseptor KB karena keterbatasan kemampuan dalam hal membeli alat kontrasepsi yang efektif. Pemerintah bertanggung jawab untuk menyediakan pelayanan KB gratis kepada kelompok penduduk miskin. Namun demikian, kebijakan untuk memberikan gratis kontrasepsi kepada penduduk miskin tidak selalu

diikuti dengan pembebasan biaya untuk pelayanan, terutama pada fasilitas pelayanan swasta. Oleh karena itu penduduk dengan tingkat kesejahteraan terendah masih mengeluarkan uang untuk membayar pelayanan KB. Sehingga membuat masyarakat lebih memilih tidak menggunakan KB.

5.1.5. Jumlah Anak

Dari hasil penelitian mengenai jumlah anak PUS menunjukan bahwa mayoritas responden memiliki jumlah anak 4 – 5 orang sebanyak 30 orang (44,8%), kemudian jumlah anak < 3 orang sebanyak 24 orang (35,8%) dan anak > 5 orang sebanyak 13 orang (19,4%). Hal itu menunjukan bahwa masyarakat yang memiliki jumlah anak yang banyak memiliki resiko besar tidak menggunakan alat kontrasepsi.

Hal itu tidak sejalan dengan penelitian mutiara (2008) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara jumlah anak masih hidup dengan penggunaan kontrasepsi. Responden yang memiliki anak 2 orang atau lebih memiliki kemungkinan sebesar 2,42 kali untuk menggunakan salah satu cara kontrasepsi dibandingkan dengan yang tidak memiliki anak atau baru memiliki 1 anak.

Jumlah anak adalah banyaknya anak yang dilahirkan dan masih hidup. Dalam hal ini erat kaitannya dengan paritas. Dalam membentuk keluarga yang sejahtera memungkinkan seorang istri untuk menambah kelahiran tergantung kepada jumlah anak yang ingin di lahirkannya. Seseorang ibu mungkin menggunakan alat kontrasepsi setelah mempunyai jumlah anak tertentu dan juga umur anak yang telah dilahirkannya (Mantra, 2006).

Menggunakan alat kontrasepsi bukan hanya mengenai hal tidak memiliki anak saja melainkan juga hal mengenai penjarakan kehamilan yang agar tidak terjadi berat bayi lahir rendah ataupun kematian bayi. Menurut BKKBN (2014) jarak kelahiran yang ideal adalah 3 sampai 5 tahun karena jarak kelahiran yang pendek menyebabkan seorang ibu belum cukup memulihkan kembali sehingga berisiko mengalami masalah dalam kehamilan maupun persalinan.

Apabila melakukan persalinan terlalu banyak dan terlalu sering akan semakin memiliki risiko kematian dalam persalinan. Hal ini berarti jumlah anak akan sangat memengaruhi kesehatan ibu dan dapat meningkatkan tarif hidup keluarga secara maksimal.

Berdasarkan pendapat salah satu responden menunjukan bahwa pengetahuan PUS mengenai penggunaan alat kontrasepsi yang dapat mengakibatkan tidak memiliki anak lagi menyebabkan masyarakat tidak ikut serta menjadi akseptor KB. Hal itu sesuai dengan budaya yang menempatkan anak sebagai simbol prestige dan jaminan keamanan pada usia tua mereka, mengakibatkan tingginya angka kelahiran.

Dari hasil penenelitian dilapangan pada karakteristik responden sudah wajar untuk mengikuti program KB, karena umumnya responden telah memiliki anak diatas 2 orang, walaupun dari segi pekerjaan pada umumnya petanu dan jumlah pendapatan pada katagori menengah kebawah dapat digolongkan rendah, ini sudah menjadi tanggungjawab kepada pihak BKKBN untuk dapat meningkatkan penyuluhan secara rutin agar dapat memberikan kesadaran agar dapat menjadi akseptor KB nantinya.

5.2. Hubungan Budaya dengan Ketidakikutsertaan PUS Menjadi Akseptor KB

Dokumen terkait