• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN

4.2 Karakteristik Sampel Penelitian

Sampel/responden dalam penelitian ini merupakan ibu rumah tangga penerima raskin di Kelurahan Terjun. Karakteristik sampel penelitian yang dimaksud meliputi umur responden, jumlah anggota rumah tangga, pendapatan rumah tangga, dan tingkat pendidikan ibu rumah tangga.

35

4.2.1 Umur

Umur merupakan salah satu faktor penentu dalam mengkonsumsi pangan, dikarenakan perbedaan umur mengakibatkan terdapatnya perbedaan selera dan kesukaan terhadap jenis pangan yang akan dibeli dan dikonsumsi. Sebaran umur ibu rumah tangga di Kelurahan Terjun dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 9. Sebaran Umur Ibu Rumah Tangga

No Umur Jumlah (Jiwa) Persentase (%) 1 21-35 46 48,93 2 36-50 38 40,42 3 >50 10 10,63 Total 94 100

Sumber: Data Primer Diolah, 2016

Dari tabel 8 diatas dapat dilihat bahwa rata-rata umur ibu rumah tangga Kelurahan Terjun yang paling banyak yaitu berumur 21-35 tahun atau sekitar 48,93% dari keseluruhan sampel dan yang paling sedikit yaitu berumur >50 tahun atau sekitar 10,63% dari keseluruhan sampel.

4.2.2 Jumlah Anggota Rumah Tangga

Jumlah anggota dalam suatu rumah tangga akan sangat mempengaruhi dalam pembelian dan mengkonsumsi pangan suatu rumah tangga tersebut. Adapun sebaran jumlah anggota rumah tangga di Kelurahan Terjun dapat dilihat pada tabel berikut.

36

Tabel 10. Sebaran Jumlah Anggota Rumah Tangga

No Jumlah Anggota Rumah Tangga Jumlah (Jiwa) Persentase (%) 1 1-3 24 25,53 2 4-6 65 69,14 3 >6 5 5,31 Total 94 100

Sumber: Data Primer Diolah, 2016

Dari Tabel 9 diatas dapat dilihat sebaran jumlah anggota rumah tangga di Kelurahan Terjun. Jumlah anggota rumah tangga paling banyak yaitu antara 4-6 orang atau sekitar 69,14% dari keseluruhan sampel dan yang paling sedikit yaitu lebih dari 6 orang atau sekitar 5,31% dari keseluruhan sampel.

4.2.3 Pendapatan Rumah Tangga

Pendapatan rumah tangga akan sangat mempengaruhi suatu rumah tangga dalam pembelian dan konsumsi pangan sehari-hari. Semakin rendah pendapatan suatu rumah tangga maka rumah tangga tersebut akan lebih memperhatikan kuantitas dibandingkan kualitasnya.

Pendapatan rumah tangga miskin tidak terlalu bervariasi. Sebaran pendapatan rumah tangga di Kelurahan Terjun dapat dilihat dari tabel berikut.

Tabel 11. Sebaran Pendapatan Rumah Tangga

No Pendapatan Rumah Tangga (Rp/bln) Jumlah (Rumah Tangga) Persentase (%) 1 < 1.000.000 23 24,46 2 1.000.000-2.000.000 70 74,46 3 >2.000.000 1 1,06 Total 94 100

Sumber: Data Primer Diolah, 2016

Dari Tabel 10 diatas dapat dilihat bahwa sebaran pendapatan rumah tangga

37

Rp 2.000.0000/bln atau sekitar 74,46% dari keseluruhan sampel dan hanya 1 rumah tangga yang memiliki pendapatan di atas Rp 2.000.000/bln.

4.2.4 Tingkat Pendidikan Ibu Rumah Tangga

Dalam membeli dan mengkonsumsi pangan suatu rumah tangga, pendidikan ibu rumah tangga seharusnya mempengaruhi. Semakin tinggi pendidikan seorang ibu diharapkan dapat memilih dan membeli pangan rumah tangga yang lebih berkualitas. Sebaran tingkat pendidikan ibu rumah tangga di Kelurahan Terjun dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 12. Sebaran Tingkat Pendidikan Ibu Rumah Tangga

No Tingkat Pendidikan

Ibu Rumah Tangga

Jumlah (Jiwa) Persentase (%) 1 SD/sederajat 29 30,85 2 SMP/sederajat 30 31,91 3 SMA/sederajat 32 34,04 4 D1/D2/D3/D4/S1 3 3,20 Total 94 100

Sumber: Data Primer Diolah, 2016

Tabel 11 diatas menunjukkan sebaran tingkat pendidikan ibu rumah tangga di Kelurahan Terjun. Tingkat pendidikan terbanyak adalah SMA, yaitu 32 orang atau sekitar 34,04% dari keseluruhan sampel. Tidak jauh berbeda dari ibu rumah tangga dengan tingkat pendidikan SMP yaitu sebanyak 30 orang atau sekitar 31,91% dari sampel dan SD sebanyak 29 orang atau sekitar 30,85% dari sampel. Hanya 3 orang dengan tingkat pendidikan D1/D2/D3/D4/S1.

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Pola Konsumsi Pangan

Pola konsumsi pangan adalah susunan makanan yang mencakup jenis dan jumlah bahan makanan rata-rata per orang per hari yang umum dikonsumsi/dimakan penduduk dalam jangka waktu tertentu. Pola konsumsi pangan setiap rumah tangga berbeda-beda, terlebih lagi rumah tangga miskin. Konsumsi pangan menjadi gambaran dari kemampuan suatu rumah tangga untuk membeli dan memperoleh pangan. Berikut akan dijelaskan pola konsumsi pangan atau susunan pangan rumah tangga miskin di daerah penelitian berdasarkan kelompok pangannya.

Dari hasil penelitian diperoleh pola konsumsi pangan rumah tangga miskin di daerah penelitian sebagai berikut:

Tabel 13. Konsumsi Pangan Rumah Tangga Miskin di Kelurahan Terjun

No Kelompok Pangan Konsumsi Aktual (gr/kap/hr) Berat Ideal (gr/kap/hr) Selisih 1 Padi-padian 188,52 275 -86,48 2 Umbi-umbian 15,24 90 -74,76 3 Pangan Hewani 107,12 140 -32,88

4 Minyak dan Lemak 49,22 25 24,22

5 Buah/Biji Berminyak 8,61 10 -1,39

6 Kacang-kacangan 57,87 35 22,87

7 Gula 34,24 30 4.24

8 Sayur dan Buah 112,44 230 -117,56

9 Lain-lain 1,72 15 -13,28

Total 574,98 850

Sumber: Data primer diolah dan Badan Ketahanan Pangan

Dari tabel di atas dapat dilihat konsumsi pangan aktual rumah tangga miskin di Kelurahan Terjun. Tabel 13 menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi pangan

39

rumah tangga miskin di Kelurahan Terjun sebesar 574,98 gr/kap/hr. Hal ini berarti berat konsumsi pangan rumah tangga miskin di daerah penelitian masih berada jauh di bawah berat ideal yang dianjurkan yakni sebesar 850 gr/kap/hr. Tabel selisih menunjukkan besar perbedaan berat konsumsi aktual dan berat ideal antar kelompok pangan. Tanda minus (-) menunjukkan kelompok pangan di bawah berat ideal dan tanda positif (+) menunjukkan kelompok pangan di atas berat ideal.

Dari Tabel 13 dapat dilihat bagaimana susunan pangan rumah tangga miskin di daerah penelitian. Terdapat kelompok pangan yang berat konsumsi aktualnya di atas dan berada di bawah berat ideal. Konsumsi aktual yang berada di atas berat ideal adalah kacang-kacangan, minyak dan lemak serta gula. Konsumsi aktual yang berada di bawah berat ideal adalah padi-padian, umbi-umbian, pangan hewani, sayur dan buah serta pangan lain-lain.

Berat konsumsi minyak dan lemak serta gula berada di atas berat ideal. Hal ini disebabkan karena masyarakat cenderung membeli minyak goreng dan gula dalam jumlah yang banyak atau berlebih. Minyak goreng dibeli dengan jumlah yang banyak yang kemudian digunakan untuk menggoreng pangan lain seperti ikan, tahu, tempe sebagai lauk sampingan nasi. Sama halnya dengan gula. Masyarakat cenderung membeli gula dalam jumlah yang banyak dikarenakan hampir seluruh rumah tangga sampel mengkonsumsi teh manis setiap harinya. Dan teh manis dikonsumsi 1-3 kali dalam sehari. Hal ini memicu tingginya konsumsi pangan minyak dan lemak serta gula.

40

Dapat kita lihat bahwa pangan kacang-kacangan juga berada di atas berat ideal. Kacang-kacangan merupakan pangan sumber protein nabati, baik dari kacang hijau, kacang tanah, kacang kedelai dan olahannya. Dari lampiran 1 dapat dilihat bahwa rumah tangga miskin di daerah penelitian banyak mengkonsumsi olahan kacang kedelai yakni tahu dan tempe. Hal ini memicu tingginya berat konsumsi aktual kacang-kacangan. Tingginya konsumsi kacang-kacangan dibandingkan pangan hewani merupakan pengaruh perekonomian rumah tangga itu sendiri. Harga tahu dan tempe yang lebih murah dibandingkan dengan daging dan ikan yang merupakan pangan sumber protein hewani membuat ibu rumah tangga memilih untuk menghidangkan tahu dan tempe sebagai lauk pendamping nasi. Kelompok pangan hewani masih dibawah berat ideal walaupun sudah hampir mendekati. Pangan hewani yang dikonsumsi rumah tangga di daerah penelitian cukup beragam namun tidak sesuai untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota rumah tangga, mengingat rata-rata jumlah anggota rumah tangga antara 4 sampai 6 orang per rumah tangga.

Kelompok pangan sayur dan buah berada di bawah berat pangan ideal menandakan bahwa masyarakat khususnya masyarakat miskin masih enggan untuk membeli buah-buahan untuk dikonsumsi sehari-hari karena masyarakat belum merasa ‘cukup’ untuk rutin membeli buah dengan jenis yang berbeda-beda. Buah yang paling banyak dikonsumsi adalah pisang dan jeruk. Hal ini didorong karena harga pisang dan jeruk tidak terlalu mahal dan terjangkau. Sayur yang paling banyak dikonsumsi adalah bayam dan kangkung. Hal ini juga didorong harga yang relatif murah. Beberapa rumah tangga mengkonsumsi beragam jenis

41

sayur, namun tidak membantu menaikkan berat konsumsi aktual pangan sayur dan buah. Hal ini dikarenakan sayur yang dikonsumsi tidak cukup banyak sehingga berat konsumsi masih dibawah berat ideal.

Kelompok pangan biji berminyak memiliki berat dibawah berat ideal, namun sudah hampir mendekati. Hal ini dikarenakan kebanyakan rumah tangga membeli kelapa secara rutin setiap minggunya untuk dikonsumsi dan diperas menjadi santan. Namun konsumsi kelapa yang rutin tidak membuat berat konsumsi menjadi tinggi.

Hal menarik yang dapat dilihat dari Tabel 13 adalah rendahnya berat konsumsi padi-padian. Berat kelompok pangan padi-padian yang rendah tidak sejalan dengan program raskin yang diterima responden, dimana responden merupakan ibu rumah tangga penerima raskin. Seperti yang telah diketahui bahwa program raskin itu sendiri merupakan program bantuan pemerintah bagi rumah tangga miskin dan rentan miskin untuk mendapat cukup pangan dan memenuhi nutrisi karbohidrat. Penerima raskin seharusnya mendapat cukup karbohidrat, namun pada kenyataannya konsumsi padi-padian khususnya beras masih di bawah berat ideal.

Namun meskipun pangan padi-padian masih dibawah berat ideal, masih dapat disimpulkan bahwa pangan pokok masyarakat terpaku hanya pada beras. Hal ini dapat dilihat dari sangat rendahnya berat pangan umbian. Pangan umbi-umbian yang sangat jauh di bawah berat ideal ini menunjukkan sudah mulai ditinggalkannya konsumsi pangan lokal seperti singkong dan ubi.

42

Lebih jelas lagi bagaimana konsumsi beras dan non beras sumber karbohidrat rumah tangga miskin di daerah penelitian dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 14. Konsumsi Pangan Beras dan Non Beras di Kelurahan Terjun

No.

KELOMPOK PANGAN Konsumsi Pangan

TOTAL PANGAN Konsumsi Aktual

(Gr/Kap/Hr) Berat Ideal (Gr/Kap/Hr) A. Beras Padi-padian (Beras) Total Beras 183,37 183,37 239 239 B. Non Beras

Padi-padian (Non Beras) Umbi-umbian

Total Non Beras

5,15 15,24 20,39 36 90 126

Total Beras dan Non Beras 203,76 365

Sumber: Data primer diolah dan Badan Ketahanan Pangan

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa konsumsi rumah tangga miskin di daerah penelitian untuk beras adalah sebanyak 183,37 gr/kap/hr. Angka ini masih dibawah berat ideal beras yakni 239 gr/kap/hr. Untuk pangan non beras dari kelompok padi-padian seperti tepung terigu dan tepung beras sebanyak 5,15 gr/kap/hr dan sangat jauh dibawah berat ideal. Untuk kelompok pangan umbi-umbian seperti singkong hanya 15,24 gr/kap/hr dan juga masih sangat jauh di bawah berat ideal.

Dari segi potensi ketersediaan, seharusnya Indonesia patut berbangga karena negara ini memiliki banyak sumber daya pangan. Namun sayangnya, saat ini, dari begitu banyaknya sumber daya pangan yang dimiliki oleh Indonesia, masyarakat masih sangat tergantung pada beras sebagai pangan utama. Tabel diatas menunjukkan akan semakin sulit mengurangi ketergantungan masyarakat akan beras, melihat sangat rendahnya konsumsi masyarakat terhadap pangan umbi-umbian.

43

5.2 Kuantitas Pangan

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pola konsumsi pangan merupakan susunan makanan yang mencakup jenis dan jumlah bahan makanan rata-rata per orang per hari yang umum dikonsumsi/dimakan penduduk dalam jangka waktu tertentu. Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan mengenai pola konsumsi pangan masyarakat sehari-hari. Pada bagian ini akan menghitung pola konsumsi pangan rumah tangga miskin.

Penelitian ini menghitung konsumsi pangan rumah tangga miskin dari segi kuantitasnya. Kuantitas konsumsi pangan yang dimaksud dalam penelitian ini dilihat dari zat gizi yang dikandung dalam pangan yang dikonsumsi. Zat gizi tersebut kemudian dinilai dengan menggunakan Tingkat Kecukupan Gizi (TKG) yang terdiri dari Tingkat Konsumsi Energi (TKE) dan Tingkat Konsumsi Protein (TKP). Tingkat Kecukupan Gizi merupakan indikator penilaian apakah suatu rumah tangga sudah cukup mengkonsumsi zat gizi sesuai dengan anjuran untuk dapat hidup sehat dan memperoleh kualitas SDM yang baik.

Dari hasil penelitian pada rumah tangga miskin di Kelurahan Terjun didapatkan pola konsumsi pangan yang belum beragam dan masih kurang dari konsumsi energi dan protein yang dianjurkan.

Berikut merupakan rata-rata konsumsi energi dan konsumsi protein se rumah tangga di Kelurahan Terjun.

44

Tabel 15. Rata-rata Konsumsi Energi dan Protein serta Tingkat Konsumsi Gizi (TKG) Rumah Tangga Miskin di Kelurahan Terjun

Keterangan Energi Protein

Kkal/kap/hr Gram/kap/hr

Konsumsi 1494,4 29,6

AKG yang dianjurkan 2150,00 57,00

TKG (%) 69,5% 51,9%

Sumber: Data Primer Diolah, 2016

Berdasarkan Tabel 15 di atas, dapat diketahui bahwa rata-rata konsumsi energi dari pangan yang dikonsumsi rumah tangga miskin di Kelurahan Terjun adalah sebesar 1494,4 kkal/kap/hari dengan nilai TKE sebesar 69,5%. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi energi rumah tangga masih jauh di bawah AKG yang dianjurkan yaitu sebesar 2150 kkal/kap/hari. Nilai TKE sebesar 69,5% menunjukkan bahwa TKE rumah tangga masih dalam kategori defisit dikarenakan TKE < 70% AKE.

Rendahnya nilai TKE ini sejalan dengan pola konsumsi pangan yang sudah dijelaskan sebelumnya, dimana meskipun rendah, kelompok pangan padi-padian masih mendominasi atau menjadi pangan pokok masyarakat. Rendahnya TKE disebabkan karena konsumsi pangan sumber energi lain selain beras masih sedikit. Sebagai contoh, pangan sumber karbohidrat dari kelompok pangan umbi-umbian, seperti singkong yang cenderung cukup sering dikonsumsi masyarakat masih jarang dikonsumsi oleh rumah tangga. Hanya beberapa rumah tangga yang mengkonsumsi singkong, dan dikonsumsi hanya sebagai selingan. Padahal singkong mempunyai kandungan karbohidrat yang cukup tinggi sehingga dapat meningkatkan nilai TKE. Kandungan karbohidrat singkong sebesar 146 kkal per 100 gram singkong.

45

Rata-rata konsumsi protein yang berasal dari seluruh pangan yang dikonsumsi rumah tangga miskin di Kelurahan Terjun adalah sebesar 29 gram/kap/hari dengan besar TKP 51,9%. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi protein rumah tangga masih jauh dibawah AKP yang dianjurkan yaitu sebesar 57 gram/kap/hari. Nilai TKP sebesar 51,9% menunjukkan bahwa TKP rumah tangga masih dalam kategori defisit dikarenakan TKP < 70% AKP. Rata-rata konsumsi protein didapatkan dari pangan sumber protein hewani dan pangan sumber protein nabati.

Seperti halnya konsumsi energi, bila dilihat dari nilai TKP-nya, rata-rata konsumsi protein rumah tangga miskin di daerah penelitian masih jauh dari AKP yang dianjurkan. Konsumsi protein dari pangan sumber protein hewani memang cukup beragam. Tidak hanya mengkonsumsi ikan asin dan ikan teri saja, namun hampir seluruh rumah tangga mengkonsumsi ikan segar. Bahkan tidak sedikit rumah tangga yang mengkonsumsi daging ayam dan ada beberapa rumah tangga yang mengkonsumsi udang basah dan daging sapi. Namun hal ini tidak membuat konsumsi protein rumah tangga menjadi tinggi. Rendahnya TKP disebabkan tiap rumah tangga membeli dan mengkonsumsi setiap jenis pangan dalam jumlah yang sedikit. Hal ini berkaitan dengan rendahnya pendapatan rumah tangga sehingga mereka enggan untuk membeli pangan dengan jumlah yang banyak.

Jika dikaitkan dengan pola konsumsi pangan pada poin sebelumnya, hal ini sejalan. Pangan hewani sebagai sumber protein hewani memiliki berat yang masih dibawah berat ideal. Hal ini dikatakan wajar melihat rendahnya nilai TKP rumah tangga di daerah penelitian.

46

Selain pangan sumber protein hewani, konsumsi protein juga didapatkan dari pangan sumber protein nabati, seperti tahu dan tempe. Berlawanan dengan pangan sumber protein hewani, pangan sumber protein nabati dikonsumsi dalam jumlah yang banyak, namun tidak beragam. Hampir seluruh rumah tangga mengkonsumsi tahu dan tempe. Namun hal ini tidak membuat nilai TKP tinggi. Nilai TKP yang rendah ini disebabkan oleh kurang beragamnya konsumsi protein dari pangan sumber protein nabati. Kacang hijau dan kacang tanah hanya sebagai pangan sumber protein nabati selain tahu dan tempe hanya dikonsumsi oleh beberapa rumah tangga saja.

Jika dihubungkan dengan pola konsumsi pangan pada poin sebelumnya, pangan kacang-kacangan memiliki berat konsumsi aktual yang tinggi namun konsumsi protein masih berada di bawah angka kecukupan protein, yakni 29,6 gr/kap/hr dengan persentase TKP 51,9% dan berkategori defisit. Jika dilihat lebih jauh, hal ini terkait dengan rendahnya konsumsi pangan hewani, dimana pangan hewani seperti daging sapi, daging ayam, serta ikan segar merupakan pangan penyumbang sumber protein hewani yang tinggi pula. Konsumsi pangan hewani di daerah penelitian terlalu rendah sehingga tidak mampu memenuhi angka kecukupan protein yang dianjurkan, walaupun kelompok pangan kacang-kacangan yang merupakan sumber protein nabati memiliki berat konsumsi yang tinggi. Selain didorong dengan rendahnya konsumsi pangan hewani, pangan sumber protein nabati seperti kacang-kacangan ini masih kurang beragam sehingga tidak cukup membantu meingkatkan konsumsi protein masyarakat hingga mencapai angka kecukupan yang dianjurkan.

47

Baik Tingkat Konsumsi Energi dan Tingkat Konsumsi Protein di Kelurahan Terjun belum mencapai angka kecukupan yang dianjurkan. Bahkan TKE dan TKP termasuk ke dalam kategori defisit. Hal ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan rumah tangga miskin di Kelurahan Terjun masih belum beragam, bergizi dan berimbang.

Sebaran kategori tingkat konsumsi energi rumah tangga responden dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 16. Sebaran Kategori Tingkat Konsumsi Energi Rumah Tangga

No Indikator Jumlah % Kategori

1 ≥100% AKE 13 13,8 Baik

2 80-99% AKE 13 13,8 Sedang

3 70-80% AKE 13 13,8 Kurang

4 < 70% AKE 55 57,6 Defisit

Jumlah 94 100

Sumber: Data Primer diolah, 2016

Tingkat Konsumsi Energi terbagi atas 4 kategori, yaitu baik ( ≥100% AKE), sedang (80-99% AKE), kurang (70-80% AKE) dan defisit (< 70% AKE). Berdasarkan tabel 16 di atas, kategori dengan persentase yang paling banyak adalah kategori defisit, dimana sebanyak 54 rumah tangga atau sekitar 57,5% rumah tangga termasuk ke dalam kategori defisit. Namun jumlah rumah tangga dalam kategori baik, sedang dan kurang sama, masing-masing 13 rumah tangga dengan kategori baik, sedang dan kurang.

Lebih dari setengah rumah tangga responden termasuk dalam kategori tingkat konsumsi energi defisit. Hal ini berarti konsumsi energi rumah tangga harus ditingkatkan. Hal ini sejalan dengan nilai TKE pada Tabel 15, dimana nilai TKE rata-rata adalah sebesar 69,5%. TKE ini belum mencukupi angka kecukupan

48

energi yang dianjurkan yaitu sebesar 2150 kkal/kap/hari. Hal ini dikarenakan beras menjadi satu-satunya pangan pokok dan sumber energi utama rumah tangga miskin di daerah penelitian.

Sebaran kategori tingkat konsumsi protein rumah tangga responden dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 17. Sebaran Kategori Tingkat Konsumsi Protein Rumah Tangga

No Indikator Jumlah % Kategori

1 ≥100% AKP 11 11,7 Baik

2 80-99% AKP 17 18,1 Sedang

3 70-80% AKP 8 8,5 Kurang

4 (< 70% AKP 58 61,7 Defisit

Jumlah 94 100

Sumber: Data Primer diolah, 2016

Sama halnya dengan Tingkat Konsumsi Energi, Tingkat Konsumsi Protein juga terbagi atas 4 kategori, yaitu baik ( ≥100% AKP), sedang (80-99% AKP), kurang (70-80% AKP) dan defisit (< 70% AKP). Berdasarkan tabel 17 diatas, persentase yang paling tinggi adalah kategori defisit, sama halnya dengan konsumsi energi. Sebanyak 58 rumah tangga atau 61,7% dari seluruh sampel merupakan rumah tangga dengan kategori tingkat konsumsi protein defisit. Sejalan dengan Tabel 15, dimana nilai TKP hanya sebesar 51,9% saja. TKP ini masih jauh dibawah angka kecukupan yang dianjurkan. Melihat lebih dari setengah dari rumah tangga responden termasuk dalam kategori tingkat konsumsi protein defisit, berarti konsumsi protein rumah tangga perlu ditingkatkan, baik dari segi kuantitas atau jumlah maupun keberagamannya guna meningkatkan konsumsi protein.

Dalam penelitian ini, baik TKE dan TKP masih defisit dan masih jauh dari angka kecukupan yang dianjurkan. Untuk itu konsumsi rumah tangga masih perlu

49

ditingkatkan dan diberagamkan, sehingga tingkat konsumsi dapat mencukupi AKE dan AKP yang dianjurkan.

5.3 Ketahanan Pangan Rumah Tangga

Ketahanan pangan merupakan salah satu indikator untuk melihat apakah suatu rumah tangga dapat dikatakan sejahtera atau tidak. Semakin tinggi kesejahteraan rumah tangga, maka konsumsi pangannya akan semakin terpenuhi. Dalam hal ini, rumah tangga penerima raskin merupakan rumah tangga dengan golongan hampir miskin sampai miskin. Untuk itu dapat dikatakan bahwa tingkat kesejahteraannya masih rendah, sehingga dalam pemilihan pangan masih sebatas yang mampu dijangkau sesuai dengan penghasilan rumah tangga tersebut.

Ketahanan pangan berhubungan dengan 4 aspek, yaitu ketersediaan pangan yang cukup, konsumsi pangan yang mampu memenuhi kecukupan gizi yang seimbang, ketersediaan makanan dalam jangka waktu yang panjang dan distribusi pangan yang lancar dan merata. Dalam penelitian ini, ketahanan pangan dilihat dari konsumsinya, terutama konsumsi energi dan protein. Konsumsi pangan merupakan gambaran dari ketersediaan pangan suatu rumah tangga dan kemampuan rumah tangga untuk membeli dan memperoleh pangan tersebut, sehingga konsumsi merupakan variabel yang mudah digunakan sebagai indikator ketahanan pangan rumah tangga.

Ketahanan pangan rumah tangga berdasarkan energi dan protein dapat dilihat dari TKE dan TKP-nya. TKE dan TKP dibandingkan dengan angka kecukupan gizi masing-masing dan kemudian akan didapatkan tiga tingkatan ketahanan pangan, yaitu sangat tahan pangan apabila konsumsi energi > 100% kecukupan energi,

50

tahan pangan apabila konsumsi energi 75-100% kecukupan energi, dan tidak tahan pangan apabila konsumsi energi < 75%.

Sebaran tingkat ketahanan pangan energi rumah tangga miskin di Kelurahan Terjun dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 18. Sebaran Tingkat Ketahanan Pangan Energi Rumah Tangga Miskin di Kelurahan Terjun

No Indikator Jumlah % Kategori

1 >100% AKE 12 12,8 Sangat Tahan Pangan

2 75-100% AKE 20 21,3 Tahan Pangan

3 < 75% AKE 62 65,9 Tidak Tahan Pangan

Jumlah 94 100

Sumber: Data Primer diolah, 2016

Tingkat konsumsi gizi, baik tingkat konsumsi energi dan tingkat konsumsi protein merupakan faktor yang berpengaruh terhadap ketahanan pangan energi dan protein suatu rumah tangga. Dari Tabel 18 dapat dilihat tingkat ketahanan pangan

Dokumen terkait