• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN

5.3 Karakteristik, Skrining dan Aktivitas Antioksidan Ekstrak Daun P. guajava L

5.3 Karakteristik, Skrining dan Aktivitas Antioksidan Ekstrak Daun P. guajava L.

Hasil pemeriksaan karakteristik simplisia dan ekstrak dianalisis kesesuaiannya dengan monografi standar simplia dan ekstrak menurut Farmakope Herbal Indonesia (FHI) (Depkes RI, 2008). Berdasarkan pemeriksaan karakteristik simplisia dan ekstrak didapati kadar air simplisia 6,2% dan ekstrak 7,98%. Hasil ini memenuhi persyaratan kadar air baik simplisia dan ekstrak daun P guajava L <10% (Depkes RI, 2008). Semakin kecil kadar air simplisia dan ekstrak, kemungkinan terjadinya pertumbuhan mikroorganisme dan hidrolisis senyawa kimia yang terdapat dalam simplisia dan ekstrak tersebut juga semakin kecil. Kadar sari larut dalam air pada

simplisia 25,56% dan kadar sari larut dalam etanol pada simplisia 20,72% keduanya memenuhi standar nilai kadar sari larut dalam air >18,2% dan kadar sari larut dalam etanol pada simplisia >15% (Depkes RI, 2008). Penentuan kadar sari sangat berguna untuk memberikan gambaran tentang banyaknya bahan yang terlarut dari simplisia.

Kadar abu total pada simplisia 5,84% dan kadar abu yang tidak larut dalam asam pada simplisia sebesar 0,85 %. Pemeriksaan kadar abu total simplisia memenuhi standar nilai <9%, sedangkan kadar abu yang tidak larut dalam asam sedikit di atas nilai standar <0,8% (Depkes RI, 2008). Kadar abu total dan kadar abu yang tidak larut dalam asam pada ekstrak etanol sebesar 0,49 % dan 0%. Pemeriksaan kadar abu total ektrak memenuhi standar <0,8% dan kadar abu yang tidak larut dalam asam pada ekstrak <0,2% (Depkes RI, 2008). Penetapan kadar abu bertujuan untuk mengetahui jumlah pengotor pada simplisia dan ekstrak. Abu yang tersisa setelah pembakaran berupa abu fisiologis yang berasal dari jaringan tanaman itu sendiri dan abu non fisiologis merupakan residu pengaruh dari luar seperti pasir dan tanah yang menempel pada sampel. Penetapan kadar abu dalam asam dimaksudkan untuk mengetahui jumlah silikat khususnya pasir yang terdapat pada simplisia dan ekstrak dengan cara melarutkan abu total menggunakan asam klorida. Semakin rendah kadar abu maka mutu simplisia dan ekstrak semakin baik (WHO, 1992). Persayaratan mutu simplisia dan ekstrak daun P guajava L sebagian besar memenuhi monografi tanaman di dalam buku Farmakope Herbal Indonesia (FHI). Oleh karena itu gel ektrak daun P guajava L dapat dijadikan obat tradisional terstandar.

Ekstraksi serbuk simplisia dilakukan secara maserasi. Penyarian 600 gram simplisia daun P guajava L menggunakan etanol 96% menghasilkan 44,1 gram ekstrak dengan persentase rendemen sebesar 7,35%. Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair (Depkes RI, 2000).

Hasil skrining fitokimia menunjukkan bahwa metabolit sekunder yang terdapat pada daun P guajava L baik simplisia maupun ekstrak etanol adalah tanin, flavonoid, triterpen/steroid dan saponin tetapi tidak memiliki kandungan alkaloid. Hasil tersebut menunjukkan bahwa daun P guajava L berpotensi sebagai antioksidan karena

mengandung senyawa flavonoid. Menurut Depkes RI (2008), kadar flavonoid total pada ekstrak daun P guajava L tidak kurang dari 1,40%. Hasil perhitungan rata-rata kadar flavonoid total pada ekstrak daun P guajava L penelitian ini adalah 28,07 mg/g QE (2,81%). Hasil ini menunjukkan bahwa daun P guajava L memiliki kandungan flavonoid yang sangat besar.

Flavonoid adalah sekelompok besar senyawa polifenol tanaman. Berbagai sayuran dan buah-buahan yang dapat dimakan mengandung sejumlah flavonoid. Konsentrasi yang lebih tinggi berada pada daun dan kulitnya dibandingkan dengan jaringan yang lebih dalam (Winarsi, 2007). Sebagai antioksidan, flavonoid dapat menghambat penggumpalan keping-keping sel darah, merangsang produksi nitrit oksida dan menghambat pertumbuhan sel kanker. Selain berfungsi sebagai penangkap radikal bebas, flavonoid juga berfungsi sebagai hepatoprotektif, antitrombotik, antiinflamasi dan antivirus. Sifat antiradikal flavonoid terutama terhadap radikal hidroksil, anion superoksida, radikal peroksil dan alkoksil (Winarsi, 2007). Kuersetin merupakan senyawa flavonoid yang paling tinggi pada daun P guajava L. Flavonoid mengamankan sel dari serangan senyawa oksigen reaktif seperti oksigen singlet, superoksida, radikal peroksil, radikal hidroksil dan peroksinitrit.

Metode DPPH merupakan salah satu metode yang digunakan untuk menentukan aktivitas suatu senyawa antioksidan dalam meredam radikal bebas. Metode DPPh merupakan cara sensitif, sederhana, cepat dan membutuhkan sampel dalam jumlah yang sedikit untuk menguji aktivitas antioksidan (Lee dkk, 2003; Abdillah dkk, 2003). Perhitungan data absorbansi ekstrak etanol P guajava L menggunakan metode DPPH dengan angka serapan pada panjang gelombang 425 nm. Hal ini menjelaskan bahwa elektron yang tidak berpasangan dari radikal bebas DPPH memberikan serapan maksimum pada 425 nm dan berwarna ungu. Warna ungu akan berubah menjadi kuning ketika elektron yang tidak berpasangan dari DPPH menjadi berpasangan dengan hidrogen dari antioksidan untuk membentuk DPPH-H. Aktivitas antioksidan ekstrak etanol daun P guajava L diperoleh dari hasil pengukuran absorbansi DPPH pada menit ke-60 dengan adanya penambahan larutan uji dengan konsentrasi 25 ppm, 50 ppm, 100 ppm, dan 200 ppm yang dibandingkan dengan

kontrol DPPH (tanpa penambahan larutan uji). Terdapat penurunan nilai absorbansi DPPH yang diberi larutan uji pada setiap kenaikan konsentrasi dibandingkan absorbansi kontrol. Nilai absorbansi setiap konsentrasi dapat dilihat pada lampiran. Penurunan absorbansi yang semakin besar menunjukkan aktivitas antioksidan yang semakin besar pula. Penurunan nilai absorbansi inilah yang menunjukkan adanya aktivitas antioksidan dari sampel (Molyneux, 2004)

Nilai IC50 merupakan bilangan yang menunjukkan konsentrasi sampel uji (μg/ml) yang memberikan peredaman DPPH sebesar 50% (mampu menghambat/meredam proses oksidasi sebesar 50%). Hasil rata-rata nilai IC50 kelima perlakuan sebesar 22,39 ppm. Aktivitas antioksidan ini dibandingkan dengan kuersetin dengan nilai 4,95 ppm. Kuersetin adalah suatu senyawa flavonoid yang berpotensi sebagai antioksidan yang mana gugus hidroksilnya mampu menangkap langsung radikal bebas. Analisis data aktivitas antioksidan mengacu pada Molyneux (2004) yang menyatakan bahwa senyawa antioksidan sangat kuat apabila nilai IC50 antara 50-100 ppm, sedang jika IC50 berkisar antara 100-150 ppm, dan lemah jika nilai IC50 berkisar antara 150-210 ppm. Berdasarkan analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa ekstrak daun P guajava L memiliki aktivitas antioksidan yang sangat kuat. Nilai IC50 diperoleh berdasarkan persamaan regresi linear yang didapatkan dengan cara memplot konsentrasi latutan uji dan persen peredaman DPPH sebagai parameter aktivitas antioksidan, dimana konsentrasi larutan uji (ppm) sebagai absis dan nilai persen peredaman sebagai ordinat. Persamaan regresi dan perhitungan nilai IC50 dapat dilihat pada lampiran.

5.4 Karakteristik Subjek Penelitian

Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) merupakan salah satu penyakit mulut yang paling umum ditemukan pada masyarakat. Masyarakat umum mengenal SAR sebagai sariawan. SAR dikenal juga dengan ulser aftosa rekuren, cold rore, dan canker sore. Prevalensi SAR mencapai 5-50% pada populasi umum (Babae dkk, 2014; Guallar, 2014).

Karakteristik subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin, umur dan lokasi terjadinya SAR telah dilakukan antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Kelompok perlakuan merupakan kumpulan subjek penderita SAR minor yang diberikan gel ekstrak daun P guajava L 3%, sedangkan kelompok kontrol merupakan kumpulan subjek penderita SAR minor yang diberikan plasebo (basis gel).

Hasil penelitian ini diperoleh penderita SAR tipe minor berjumlah 32 orang namun dua orang drop out karena subjek tidak dapat datang sesuai jadwal yang ditentukan untuk kontrol sehingga jumlah total subjek penelitian sebanyak 30 orang. Berdasarkan jenis kelamin, hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok perlakuan dan kelompok plasebo. Hal ini memberikan gambaran bahwa sampel pada kedua kelompok tersebut homogen. Namun, jika dilihat berdasarkan keseluruhan sampel diketahui bahwa jumlah sampel berjenis kelamin perempuan 19 orang (63,33%) dan laki-laki 11 orang (36,67%). Beberapa literatur menyatakan bahwa SAR lebih sering dijumpai pada perempuan dibandingkan laki-laki. Hal ini disebabkan adanya pengaruh hormonal dan stress (Patil, 2014 dan Sumintarti, 2012). Suatu studi melaporkan terjadinya peningkatan stress oksidatif dapat menyebabkan meningkatnya kadar estrogen pada saat menstruasi yang memengaruhi fluktuasi hormonal. Superoksida memainkan peranan dalam pembuluh darah dan aliran menstruasi yang berdampak pada pelepasan prostaglandin menyebabkan dismenorhoe (Agarwal dkk, 2012).

Karakteristik subjek berdasarkan umur diketahui bahwa nilai rata-rata usia pada kelompok perlakuan 26,47 ± 11,33 dan pada kelompok plasebo 21,53 ± 1,80. Hasil analisis uji t nilai p 0,117 yang menunjukkan makna bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna berdasarkan usia pada masing-masing kelompok dan terdapat homogenitas data antar kelompok. Hal ini sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya bahwa SAR paling sering dijumpai pada dewasa muda yaitu umur 18-25 tahun. Hal tersebut dapat dihubungkan dengan usia tersebut merupakan usia menjalankan pendidikan. Prevalensi tinggi di kalangan mahasiswa yang juga dikaitkan dengan stres akademik. Kondisi stres fisik juga diketahui berperan dengan meningkatnya stres oksidatif. Jika produksi radikal bebas melebihi kemampuan antioksidan intra selular untuk

menetralkannya maka kelebihan radikal bebas sangat potensial menyebabkan kerusakan sel (Suarsana, 2013). Kerusakan sel ini disebut kerusakan oksidatif yaitu kerusakan biomolekul penyusun sel. Adanya peningkatan stres oksidatif berdampak pada kerusakan pada membran lipid, kerusakan DNA dan protein, oksidasi enzim dan menstimulasi terlepasnya sitokin proinflamasi (Avci dkk, 2014).

Berdasarkan lokasi terjadinya SAR yang paling banyak terjadi pada mukosa labial 9 orang (60%) pada kelompok perlakuan dan 10 orang (66,7%) pada kelompok plasebo. Secara keseluruhan lokasi yang paling banyak terjadinya SAR minor yaitu mukosa labial 19 orang (63,33%). Hal ini disebabkan karena mukosa labial merupakan mukosa non keratin yang tipis sehingga kemampuan barrier mukosa yang lebih rendah akibatnya rentan terhadap iritasi (Neville, 2008).

5.5 Hasil Pemeriksaan Diameter Ulser, Skor Rasa Sakit dan Eritema

Halo

SAR tipe minor merupakan inflamasi pada mukosa rongga mulut yang ditandai dengan ulser yang berulang dan tidak berhubungan dengan penyakit sistemik (Greenberg dkk, 2008). SAR ditandai dengan ulser berbentuk oval (bulat) dengan diameter <1 cm, berwarna putih kelabu dikelilingi batas eritema halo dan menimbulkan gejala sangat sakit (Guallar dkk, 2014). Perawatan SAR diarahkan kepada mengurangi simtom dan mempercepat masa penyembuhan (Babaee dkk, 2014).

Inflamasi didefinisikan sebagai reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator dibanding respon imun yang didapat. Inflamasi merupakan respon fisiologis terhadap berbagai rangsangan seperti infeksi dan cedera jaringan (Baratawidjaja dan Rengganis, 2012). Tanda-tanda utama peradangan berupa rubor (warna merah), kalor (panas), tumor (pembengkakan), dolor (rasa nyeri) juga fungsi laesa (berkurangnya fungsi) (Baratawidjaja dan Rengganis, 2012; Hirmawan, 1973). Parameter ini menjadi pertimbangan dalam proses

penyembuhan SAR berupa pengurangan diameter ulser (bentuk inflamasi), perubahan ada/tidaknya eritema halo (rubor) dan rasa nyeri (dolor) pada penelitian ini.

Rata-rata pengurangan ukuran diameter ulser berturut-turut pada kelompok perlakuan saat base line 4,03 ± 1,07 mm dan menjadi 0,40 ± 0,73 mm pada pertemuan ketiga setelah 6 hari penggunaan ekstrak. Sedangkan rata-rata ukuran diameter ulser pada kelompok plasebo saat base line 3,76 ± 0,88 mm dan berkurang menjadi 2,00 ± 1,48 mm pada pertemuan ketiga (Gambar 4.2). Terdapat perbedaan yang bermakna terhadap pengurangan diameter ulser melalui uji Annova repeated pada kelompok perlakuan dibandingkan kelompok plasebo dengan nilai p 0,007 (Tabel 4.8). Hal ini membuktikan bahwa daun P guajava L efektif mengurangi proses inflamasi.

Begitu juga dengan eritema halo yang merupakan tanda peradangan pada mukosa rongga mulut. Hasil penelitian ini terjadi pengurangan jumlah subjek yang signifikan terhadap eritema halo pada kelompok perlakuan yang semula keseluruhan subjek (15 orang) terdapat eritema halo berkurang menjadi 4 orang (26,7%) pada tiga hari perawatan dan tidak ada lagi subjek yang mengalami eritema halo pada enam hari perawatan. Uji Mc Nemar bahwa nilai p < 0,001 menunjukkan perbandingan hubungan yang bermakna terhadap pengurangan eritema halo antar kelompok baik pada saat base line dengan kontrol 1, pada saat base line dengan kontrol-2 maupun pada saat kontrol-1 dengan kontrol-2. (Tabel 4.11) Berdasarkan hasil uji ini disimpulkan bahwa ekstrak daun P guajava L efektif sebagai antiinflamasi.

Begitu juga dengan pengurangan rasa sakit, analisis data melalui uji Friedman, diketahui bahwa pada saat base line kedua kelompok baik kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol memiliki nilai median 3. Terdapat perbedaan pada saat kontrol-1 pada kelompok plasebo memiliki nilai median 2 sedangkan pada kelompok perlakuan kedua kelompok memiliki nilai median yang sama yaitu 1. Hasil ini menunjukkan bahwa rata-rata penderita SAR pada kelompok perlakuan sudah tidak lagi mengeluhkan adanya rasa sakit pada kontrol-1 atau pada tiga hari perawatan. Hasil analisis statistik uji Wilcoxon membandingkan pengurangan skor rasa sakit antara kelompok perlakuan dan kelompok plasebo baik pada saat base line, kontrol 1

dan kontrol 2 diketahui menunjukkan nilai p < 0,001 memberikan arti terdapat perbedaan yang bermakna. Fase penyembuhan SAR tipe minor dimulai pada hari ke-10 (Guallar, dkk., 2014; Boras, dan Savage, 2007)). Secara keseluruhan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa diameter ulser, skor rasa sakit dan eritema halo berkurang signifikan pada hari keenam pengobatan dibandingkan kelompok kontrol sehingga dapat disimpulkan bahwa ekstrak daun P guajava L efektif sebagai antiinflamasi dan analgesik.

Daun P guajava L digunakan secara tradisional baik di dunia seperti Amerika latin, Afrika Barat, Afrika Tengah dan sebagain besar Asia maupun di Indonesia khususnya (HM Burkill, 1997). Khasiat daun P guajava L yang diketahui yaitu sebagai antidiabetes, antidiare, antimikroba, antioksidan, antitusif, antikanker dan antiinflamasi (Rishika dan Sharma, 2012). Aktivitasnya sebagai antiinflamasi dapat mempercepat masa penyembuhan dengan menghambat proses peradangan. Hal ini disebabkan karena kandungan polifenol (flavonoid, tanin, kuersetin) dan triterpenoid (Rishika dan Sharma, 2012; Denny dkk, 2013; Dutta dan Das, 2010). Ekstrak daun P guajava L efektif dalam mengurangi edema pada kulit tikus baik pada inflamasi akut dan kronis (Dutta dan Das, 2010). Menurut Oktiarni dkk (2012) diketahui bahwa ekstrak daun P guajava L dalam bentuk gel efektif terhadap penyembuhan luka bakar pada mencit bahwa semakin besar persentase gel semakin cepat pula masa penyembuhan.

Flavonoid dengan kandungan kuersetinnya diduga paling berperan sebagai antiinflamasi. Mekanisme kerja antiinflamasi dengan menghambat pelepasan mediator inflamasi seperti TNFα (Tumor Necrosis Factor Alfa) dan IL (Interleukin) juga menghambat biosintesis prostaglandin (Detta dan Das, 2010; Oktiarni dkk, 2012; Fatimatuzzahroh dkk, 2015). Prostaglandin merupakan produk akhir pada berbagai reaksi imunitas, siklooksigenase dan lipooksigenase. Prostaglandin merupakan mediator inflamasi yang menyebabkan peningkatan vasodilatasi dan permeabilitas vaskuler (Baratawidjaja dan Rengganis, 2012). Akibatnya, pada membran mukosa tempat terjadinya peradangan, berkumpul cairan plasma, sel-sel jaringan epitel yang mengalami nekrosis, proliferasi sel jaringan makrofag juga fibroblas dan kemudian

membeku sehingga permukaan radang ditutupi lapisan nekrotik berwarna putih/ kuning kelabu. Lapisan ini dinamakan pseudomembran (Baratawidjaja dan Rengganis, 2012; Hirmawan, 1973).

Kemampuan flavonoid sebagai antiinflamasi berhubungan erat dengan peran antioksidan. Secara in vitro, flavonoid merupakan inhibitor yang kuat terhadap peroksidasi lipid, sebagai penangkap spesies oksigen dan nitrogen yang reaktif, dan juga mampu menghambat aktivitas enzim lipooksigenase dan siklooksigenase (Rohman dan Riyanto, 2005). Selain khasiat anntiinflamasi dan antioksidan, peran saponin dalam pembentukan kolagen juga turut andil dalam mempercepat proses penutupan luka (Oktiarni, 2012). Diduga saponin bersama dengan tanin merangsang terbentuknya pembuluh-pebuluh darah kapiler yang kaya akan fibroblast sehingga dengan cepat membentuk kolagen (Fatimatuzzahroh dkk, 2015).

Penyembuhan SAR juga didukung oleh perawatan penunjang dengan pencegahan infeksi sekunder. Infeksi sekunder dapat terjadi karena mikroorganisme di dalam rongga mulut menjadi patogen akibat kebersihan rongga mulut yang buruk. Ekstrak daun P. guajava L telah terbukti secara invitro dan invivo sebagai agen antiplak. Ekstrak etanol daun P guajava L efektif dalam menghambat kemampuan adhesi Streptococcus sanguinis, Streptococcus mitis dan Actinomyces sp. Pada permukaan gigi sebagai tahap awal pertumbuhan plak (Fathilah, 2011).

5. 6 Hasil Pemeriksaan SOD Saliva

Superoksida Dismutase (SOD) merupakan antioksidan primer (endogenus) atau disebut juga antioksidan enzimatis yang dapat memberikan atom hidrogen secara cepat kepada senyawa radikal, kemudian radikal antioksidan yang terbentuk segera berubah menjadi senyawa yang lebih stabil. Enzim SOD berfungsi sebagai katalisator reaksi dismutase dari anion superoksida menjadi hidrogen peroksida (H2O2) dan oksigen (O2). Sebagian besar SOD berada intraseluler sebagai imun seluler dan terdapat pada plasma maupun saliva. SOD melindungi sel-sel tubuh dan mencegah terjadinya inflamasi yang diakibatkan oleh radikal bebas (Winarsi, 2007).

Pemeriksaan kadar SOD dilakukan secara kuantitatif dengan metode spektrofotometri UV-Vis berdasarkan prosedur Bioassay System (EnzyChrom

Superoxide Dismutase Assay Kit) pada panjang gelombang 440 nm. Metode ini berdasarkan pada prinsip kolorimetri untuk penentuan aktivitas enzim SOD dalam sampel biologi secara kuantitatif. Superoksida (O2-) dihasilkan oleh reaksi katalis xanthine oxidase (XO) pada saat pengujian. O2- bereaksi dengan pewarna WST-1 untuk membentuk produk warna sehingga SOD mengumpulkan O2- oleh karena itu berkurangnya O2- berguna untuk reaksi kromogenik. Intensitas warna (OD440nm) digunakan untuk menentukan aktivitas SOD di dalam sampel. Semakin tinggi absorbansi yang diperoleh (∆∆OD)maka semakin tinggi aktivitas SOD. (Bioassay systems, 2012).

Berdasarkan kurva standar (kalibrasi) diperoleh nilai r2 yang bekisar antara 0 sampai 1 untuk menunjukkan seberapa dekat nilai perkiraan untuk analisis regresi yang mewakili data yang sebenarnya. Persamaan garis regresi yang dihasilkan y=0,034ln(x) – 0,003 dengan nilai r2= 0,961. Aktivitas SOD dihitung dengan mensubsitusikan nilai absorban (y) sampel pada panjang gelombang 440 nm ke dalam persamaan garis regresi logaritma y = a ln(x)+b sehingga diperoleh nilai aktivitas SOD (x).

Analisis statistik SOD saliva menggunakan uji T berpasangan diketahui setelah 6 hari perlakuan didapati terjadi peningkatan yang signifikan nilai SOD saliva pada kelompok perlakuan dibandingkan kelompok plasebo dengan nilai p = 0,005. Nilai rata-rata SOD saliva sebelum perawatan pada kelompok perlakuan sebesar 4,06 ± 0,69 U/mL menjadi 5,05 ± 0,79 U/mL pada saat kontrol kedua sedangkan pada kelompok plasebo nilai rata-rata SOD saliva 3,36 ± 0,54 (U/mL) pada saat base line dan meningkat meningkat 4,31 ± 0,49 U/mL. (Tabel 4.14)

Meskipun penyebab utama SAR belum dapat diketahui secara pasti beberapa faktor predisposisi seperti stres, hipersensitivitas, defisiensi nutrisi, gangguan imun dan ketidakseimbangan hormon dapat memengaruhi terjadinya SAR yang mana faktor-faktor tersebut dapat mengganggu keseimbangan oksidan dan antioksidan sehingga terjadi peningkatan stres oksidatif (Scully dkk, 2003). Beberapa penelitian telah melaporkan terdapat hubungan antara peningkatan stress oksidatif dengan aktivitas antioksidan yang menurun pada penderita SAR (Saral, dkk., 2005; Cimen,

dkk., 2003; Karincaoglu, dkk., 2005). Namun, terdapat perbedaan pada masing-masing hasil penelitian tersebut tentang kadar SOD penderita SAR. Beitollahi dkk (2010) dan Gupta dkk (2014) menyebutkan terjadinya penurunan jumlah SOD pada plasma darah penderita SAR yang bermakna jika dibandingkan dengan kelompok kontrol tanpa SAR sedangkan Cimen dkk (2003) melaporkan tidak terdapat hubungan yang signifikan terhadap kadar SOD plasma pada penderita SAR dibandingkan kelompok kontrol tanpa SAR. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh beberapa faktor seperti jumlah sampel, prosedur atau metode penelitian dalam pemeriksaan antioksidan, perbedaan gaya hidup pada masing-masing populasi juga makanan dan ketidakseimbangan nutrisi pada individu (Gupta, dkk., 2014).

Patogenesis SAR diduga mencakup mekanisme respon imun yang melibatkan produksi sel T, interleukin dan TNF-α yang merupakan sitokin proinflamasi. Perubahan juga dilaporkan terjadi pada elemen sistem pertahanan saliva seperti enzim superoksida dismutase (Beguerie dan Sabas, 2015). Mekanisme radikal bebas dalam menyebabkan kerusakan jaringan pada SAR yaitu dengan menstimulasi pelepasan sitokin proinflamasi oleh monosit dan makrofag. Sitokin diketahui memainkan peran utama dalam menginduksi respon inflamasi (Beitollahi dkk, 2010; Karincaoglu dkk, 2004).

Berdasarkan analisis data perkelompok, pada kelompok perlakuan didapati peningkatan level SOD saliva pada 6 hari setelah perlakuan dibandingkan pada saat base line yang sebelumnya 4,06 ± 0, 69 U/mL menjadi 5,05 ± 0, 79 U/mL (Tabel 4.15). Jika dibandingkan data sebelum dan sesudah perawatan maka dihasilkan ada hubungan yang bermakna (p = 0,000) sebelum dan sesudah dilakukan perawatan pada kelompok perlakuan.

Hasil ini menunjukkan bahwa antioksidan endogen/primer (SOD) dapat ditingkatkan jumlahnya dengan suplemen antioksidan eksogen/sekunder (ekstrak daun P guajava L) dan membuktikan bahwa aktivitas SOD memengaruhi penyembuhan SAR. Jumlah stres oksidatif sebagai radikal bebas yang meningkat dapat menyebabkan kerusakan jaringan melalui mekanisme peroksidasi lemak,

kerusakan struktur protein dan DNA, proses oksidasi enzim dan menstimulai lepasnya sitokin mediator inflamasi (Avci, dkk., 2014).

Peningkatan jumlah SOD yang signifikan pada hari keenam perawatan sejalan dengan penyembuhan SAR tipe minor. Hal ini membuktikan bahwa kadar SOD saliva menggambarkan hubungan yang positif terhadap perbaikan jaringan atau berkurangnya inflamasi. Berdasarkan penelitian ini diketahui jumlah flavonoid total pada ekstrak 2,81 % dengan aktivitas antioksidan ektrak etanol berada pada level sangat kuat memengaruhi peningkatan SOD saliva dibandingkan kelompok kontrol. Flavonoid dapat menginduksi antioksidan seluler, menghambat kerja enzim xantin oksidase dan protein kinase C yang memproduksi radikal anoin superoksida (O2-) juga menghambat enzim siklooksigenase, lipooksigenase yang berperan dalam proses inflamasi (Pieta, 2000; Karincaoglu dkk, 2004; Yi Zhang dkk, 2002). Peran flavonoid yang menghambat proses peroksidasi lemak inilah yang berfungsi mengurangi radikal bebas sehingga dapat menghambat kematian jaringan, meningkatkan vaskularisasi, kolagen, mencegah kerusakan sel dan meningkatkan sintesa DNA (Fatimatuzzahroh, 2015).

Berdasarkan penelitian ini diketahui bahwa ekstrak daun P guajava L memberikan efek penyembuhan pada SAR tipe minor. Khasiat antioksidan yang sangat tinggi berperan dalam menghambat proses inflamasi sehingga mempercepat masa penyembuhan. Selain kemampuannya sebagai antiinflamasi, ekstrak daun P guajava L sebagai tanaman obat yang terstandar memiliki kandungan mempercepat penutupan luka dan antibakteri. Oleh karena berbagai khasiat inilah tanaman obat lebih diminati dan dikembangkan sebagai salah satu pilihan terapi. Namun, pada penelitian ini terdapat kelemahan terhadap formulasi sediaan gel yang kurang mukoadhesif sehingga tidak dapat melekat pada ulser di mukosa rongga mulut dalam waktu yang lama.

BAB 6

Dokumen terkait