• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL PENELITIAN

4.4 Karakteristik Sosial Ekonomi dan Budaya

Pulau Kasu merupakan salah satu pulau yang berada di wilayah administrasi Kelurahan Kasu-Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam. Jumlah pulau kecil yang berada di Kelurahan Kasu sebanyak 48 pulau. Dari 48 pulau kecil tersebut 13 pulau diantaranya berpenghuni. Sebagian besar penduduk Kelurahan Pulau Kasu terkonsentrasi di Pulau Kasu, yaitu sebanyak 2 658 jiwa. Pertumbuhan penduduk Pulau Kasu relatif rendah, hal ini disebabkan karena pertumbuhan penduduk hanya disebabkan faktor kelahiran dan kematian. Rata-rata pertumbuhan penduduk dalam kurun waktu 5 tahun terakhir sebesar 0.5% dengan kepadatan penduduk sekitar 57 jiwa/ha.

Mata pencaharian utama masyarakat Pulau Kasu adalah nelayan. Sebagian masyarakat memiliki mata pencaharian sampingan sebagai petani atau penggarap kebun. Alat tangkap yang digunakan antara lain adalah kelong, bubu, bento, tekok dan jaring. Jenis ikan yang dominan ditangkap adalah ikan dinkis, udang, rajungan, kepiting bakau, lebam, belanak, kakap, kerapu dan kuda laut. Hasil tangkapan ikan di Pulau Kasu juga sudah mulai mengalami penurunan dari waktu ke waktu, sebagai akibat dari kondisi tangkap lebih. Kegiatan budidaya laut belum berkembang dengan baik, namun kegiatan ini mulai diprogramkan Departemen Kelautan dan Perikanan dengan mengembangkan proyek percontohan sebanyak 7 unit Keramba Jaring Apung.

Kondisi Pulau Kasu yang relatif berbukit menyebabkan penggunaan lahan sangat terbatas pada beberapa peruntukan. Pemukiman penduduk sebagian besar dibangun di atas perairan dengan menggunakan tiang-tiang pancang, baik dari kayu maupun beton. Hanya sebagian kecil masyarakat yang membangun rumah di daratan pulau. Pilihan pembangunan perumahan di atas perairan ini karena alasan kemudahan masyarakat untuk melakukan aktivitas sebagai nelayan. Dengan membangun rumah di atas perairan mereka dapat mengetahui kondisi perairan setiap saat (pasang atau surut), sehingga mereka dapat melaut jika kondisi air pasang. Selain itu, alasan kemudahan untuk menambatkan dan menjaga perahu lebih mudah dilakukan bila rumah mereka di atas perairan. Selain untuk pemukiman, pemanfaatan lahan daratan juga digunakan kegiatan

perkebunan. Kondisi tanah yang relatif subur dapat ditanami berbagai jenis tanaman seperti mangga, durian, kelapa, dan beberapa jenis tanaman lainnya.

Pengembangan kawasan konservasi laut di Pulau Kasu belum dilakukan. Sampai saat ini belum ada aturan secara formal yang menetapkan kawasan perairan di sekitar Pulau Kasu sebagai kawasan konservasi laut. Ekosistem mangrove yang ada belum ditetapkan secara formal sebagai kawasan konservasi oleh pemerintah lokal maupun masyarakat. Meskipun demikian, karena masyarakat menyadari arti penting dari ekosistem ini untuk menopang kelangsungan hidup mereka baik sebagai kawasan pelindung pantai dan perumahan maupun sebagai sumber mata pencaharian, maka masyarakat melindungi dan tidak melakukan pengrusakan terhadap ekosistem mangrove. Peran ekosistem mangrove sebagai pelindung pantai dan pelindung pemukiman penduduk benar-benar dipahami oleh masyarakat, sehingga mangrove tidak diijinkan untuk ditebang.

4.4.4. Pulau Barrang Lompo

Pulau Barrang Lompo merupakan pulau yang sangat padat, jika dibandingkan jumlah penduduk dengan luas daratan pulau, maka tingkat kepadatan penduduk Pulau Barrang Lompo adalah 212 jiwa/ha. Jumlah penduduk Pulau Barrang Lompo pada tahun 2008 adalah sebanyak 4 372 jiwa, bila dibandingkan jumlah penduduk pada tahun 2004, yaitu sebesar 3 739 jiwa, maka laju pertumbuhan penduduk dalam kurun waktu 4 tahun terakhir sekitar 3.62 %. Laju pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi ini disebabkan karena banyaknya orang yang masuk ke Pulau Barrang Lompo, dibandingkan orang yang meninggalkan pulau.

Mata pencaharian utama masyarakat Pulau Barrang Lompo adalah nelayan. Selain menangkap ikan di sekitar perairan Barrang Lompo, nelayan dari pulau ini juga mencari ikan sampai ke perairan di sekitar Pulau Kalimantan. Umumnya, nelayan yang menangkap ikan di sekitar perairan Pulau Barrang Lompo adalah nelayan pantai, yaitu nelayan yang menggunakan alat tangkap tradisional dan perahu motor kecil. Nelayan ini berangkat ke laut pada pagi hari dan kembali di sore hari. Nelayan yang menangkap ikan di wilayah perairan

Kalimantan adalah nelayan pencari teripang, umumnya memiliki perahu motor yang lebih besar.

Kondisi Pulau Barrang Lompo yang sangat padat, sehingga tidak memungkinkan pemanfaatan lahan selain pemanfaatan untuk pemukiman. Padatnya pemukiman di pulau ini, menyebabkan distribusi perumahan penduduk menyebar pada seluruh wilayah daratan pulau. Mulai dari bangunan di atas garis pantai sampai ke bagian tengah daratan pulau. Kondisi perairan pulau yang terbuka dengan ombak besar tidak memungkinkan untuk mengembangkan budidaya laut. Ekosistem terumbu karang yang berada di sekeliling pulau belum ditetapkan sebagai kawasan konservasi, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Akibatnya aktivitas penambangan karang masih sering dilakukan masyarakat setempat. Hal ini memperburuk kondisi ekosistem terumbu karang Pulau Barrang Lompo.

4.4.5. Pulau Saonek

Masyarakat Saonek memiliki marga dari suku biak (Rumfaker, Ronsumbre, Dimara, Mambrasar, Mayor dan sebagian marga dari Maluku Utara (Gusti, Gamso, Yau, Hi Salim) yang merupakan pendatang di Kampung Saonek. Kehidupan masyarakat kampung Saonek masih terikat dengan budaya serta hukum adat yang berlaku selama ini, hal ini dapat dilihat dari ketaatan masyarakat dalam hubungan kekerabatan maupun pergaulan keseharian. Penduduk Kampung Saonek pada tahun 2007 sekitar 633 jiwa dan pada tahun 2008 sebanyak 648 jiwa, atau naik sekitar 2.3 persen, dengan kepadatan penduduk sekitar 36 jiwa/ha.

Mata pencaharian utama masyarakat Kampung Saonek adalah nelayan, dengan pendapatan rata-rata harian berkisar antara Rp. 100 000,- sampai Rp. 300 000,- (COREMAP II 2007). Selain sebagai nelayan, sebagian masyarakat Kampung Saonek juga memiliki mata pencaharian sampingan seperti berkebun, tukang kayu, pembuat perahu. Alat tangkap yang dominan digunakan adalah pancing, jaring, panah ikan, dan kalawai. Pada umumnya masyarakat Kampung Saonek menangkap ikan di sekitar daerah terumbu karang. Pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang peran penting ekosistem terumbu karang terhadap kelangsungan mata pencaharian mereka sudah cukup baik. Oleh karenanya,

masyarakat Kampung Saonek sangat mendukung program perlindungan terhadap terumbu karang. Demikian juga, kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam yang bersifat destruktif sudah tidak dilakukan lagi sejak tahun 2003. Pulau Saonek juga merupakan salah satu pulau yang masuk dalam kawasan program pengelolaan terumbu karang (COREMAP II). Melalui program ini, kegiatan penyuluhan tentang pentingnya perlindungan terumbu karang terus digalakkan kepada masyarakat.

Penggunaan lahan daratan Pulau Saonek umumnya dimanfaatkan untuk pemukiman dan sebagian lagi merupakan kebun campuran. Sekitar 60 persen lahan darat Pulau Saonek sudah dijadikan daerah pemukiman (bangunan rumah). Selebihnya merupakan kebun campuran dimana tanaman yang banyak tumbuh adalah kelapa, mangga, jambu. Pada beberapa bagian ditumbuhi alang-alang dan bambu friwen, khususnya dari daerah berbukit di bagian tenggara.

Pemukiman penduduk Pulau Saonek terkonsentrasi di bagian utara dan tengah serta di bagian sisi barat dan timur. Beberapa rumah terletak di daerah pantai (sempadan pantai). Umumnya, rumah-rumah di bagian pantai ini mengalami ancaman akibat adanya erosi pantai. Rumah penduduk yang terletak di bagian tengah dan pada bagian selatan relatif aman, karena terlindung vegetasi mangrove di bagian selatan.

Masyarakat Kampung Saonek (Pulau Saonek) sudah mengenal perlindungan ekosistem. Perlindungan ekosistem yang sudah berlangsung lama adalah perlindungan ekosistem mangrove atau oleh masyarakat disebut ‘sasi mangi-mangi’, yaitu suatu larangan ambil terhadap pohon mangrove yang tumbuh di bagian selatan Pulau Saonek. Hal ini memberikan dampak positif bagi Pulau Saonek dan masyarakatnya dimana bagian selatan daratan pulau ini relaitf terlindungi dari erosi pantai. Konservasi terumbu karang dalam bentuk Daerah Perlindungan Laut juga sudah dikembangkan di daerah Saleo sampai ke Sapor Bakdi. Meskipun daerah perlindungan laut ini terdapat di sisi pulau lain, namun secara administrasi masih daerah Kampung Saonek. Ekosistem terumbu karang yang mengelilingi Pulau Saonek secara tidak formal juga sebenarnya sudah dikonservasi oleh masyarakat. Aktivitas pemanfaatan sumberdaya yang sifatnya destruktif sudah tidak diperkenankan. Kegiatan yang diperbolehkan hanya

penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap pancing. Oleh karena itu, yang perlu dilakukan adalah membuat aturan formal untuk mengkoservasi ekosistem pesisir di Pulau Saonek.

Permasalahan lingkungan yang mulai dirasakan dampaknya oleh masyarakat adalah pengikisan/abrasi pantai yang telah menyebabkan mundurnya garis pantai. Erosi pantai terjadi pada sisi utara, timur dan barat Pulau Saonek. Pada tahun 2008, telah dibangun beton pelindung pantai (seawalls) pada sekitar 2/3 dari pantai Pulau Saonek yaitu pada sisi timur, utara dan barat. Sayangnya, bangunan pelindung pantai ini pada beberapa bagian sudah mengalami kerusakan. Dalam kurun waktu 35-40 tahun yang lalu telah terjadi erosi pantai. Laju erosi pantai yang besar terjadi dalam kurun waktu sebelum tahun terakhir. Hasil diskusi dengan masyarakat diketahui bahwa aktivitas penambangan karang yang dilakukan untuk keperluan bahan bangunan telah menyebabkan peningkatan erosi pantai. Diperkirakan garis pantai telah mengalami kemunduran tidak kurang dari 20 m dalam jangka waktu 35-40 tahun, atau dengan kata lain laju pengunduran garis pantai (erosi) sekitar 0.50 m/tahun.