IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.3. Karakteristik Sumberdaya Hutan
4.3.1. Arahan Fungsi Hutan
Berdasarkan Keputusan Gubernur Aceh No. 19 tahun 1999 tentang arahan fungsi hutan, bahwa luas hutan Aceh adalah seluas 3.335,613 ha. Secara keseluruhan luas wilayah hutan Aceh mencapai 60,22% dari total luas daratan Provinsi Aceh. Adapun luas hutan di Gayo Lues, distribusi dan pemanfaatan sumberdaya hutan, dan luas areal untuk masing-masing fungsi tersebut disajikan pada Tabel 23.
Tabel 23. Distribusi Fungsi Hutan Gayo Lues
No Fungsi Hutan Luas (ha) % Dari Luas
Kws. Hutan
% Dari Luas
G. Lues Keterangan
1. TNGL 202.880,3 42,75 35,47 Sudah dikelola,
belum maksimal
2. Hutan Lindung 226.560,0 47,73 36,61 Belum dikelola
3. Hutan Produksi 45.190,0 9,52 7,90 Belum dikelola
Luas Kawasan Hutan 474.630,3 100,00
4. Areal Pengguaan
Lain (APL) 97.327,7 17,02 Belum dikelola
Luas Gayo Lues 571.958,0 100,00
Sumber: Arahan fungsi hutan tahun 1999, diolah kembali (2011)
Selanjutnya berdasarkan data dari pihak Dinas Kehutanan Gayo Lues, bahwa secara umum semua arahan fungsi hutan tersebut belum dikelola dan dimanfaatkan sebagaimana mestinya, terutama untuk hutan produksi, baik untuk hutan alam campuran, maupun hutan alam pinus. Disisi lain kawasan TNGL dan hutan lindung juga belum dikelola secara optimal. Peta arahan fungsi hutan Gayo Lues dapat dilihat pada Lampiran 4.
Pada dasarnya sumberdaya hutan memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang sangat tinggi, baik flora maupun fauna, bahkan banyak terdapat jenis
61
endemik, yang keberadaannya pada saat ini ada yang sudah dan hampir punah. Kekayaan keanekaragaman hayati ini terdapat pada semua arahan fungsi hutan, terutama pada kawasan konservasi. Keberadaan sumberdaya hutan ini dapat menjaga keberlangsungan kehidupan yang lain, misalnya dapat menjamin sistem hidrologi, sehingga dampak akan terjadinya banjir tidak terjadi, mampu menyimpan karbon, dalam rangka mengantisipasi pemanasan global dan perubahan iklim, serta banyak manfaat positif lainnya. Namun sampai saat ini pemanfaatan sumberdaya hutan lebih dominan pada pemanfaatan hasil hutan kayu, sedangkan manfaat jasa lingkungannya belum dioptimalkan pemanfaatannya. Oleh karena perlu dilestarikan dari kerusakan dan kepunahan, agar dapat dinikmati dan menjadi warisan untuk generasi mendatang.
Kegiatan perambahan dan illegal logging dari hari ke hari semakin meningkat. Kegiatan ini bukan hanya terjadi di hutan produksi saja, tetapi lebih banyak terjadi pada kawasan konservasi. Sehingga akan berdampak pada terjadinya perubahan akan tutupan lahan.
4.3.2. Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL)
4.3.2.1. Sejarah Kawasan
Pada tahun 1920-an Pemerintah Kolonial Belanda memberikan izin kepada seorang ahli geologi Belanda bernama F.C. Van Heurn untuk meneliti dan mengeksplorasi sumber minyak dan mineral yang diperkirakan banyak terdapat di Aceh. Setelah melakukan penelitian ternyata tidak ditemukan kandungan mineral dan menyatakan bahwa pemuka adat setempat menginginkan agar mereka peduli terhadap barisan-barisan pegunungan berhutan lebat yang ada di Gunung Leuser.
Sebagai gantinya, Van Heurn mendiskusikan hasil pertemuannya dan menawarkan kepada para wakil pemuka adat (para Datoek dan Oelee balang) agar mendesak Pemerintah Kolonial Belanda untuk memberikan status kawasan konservasi (Wildlife Sanctuary). Setelah berdiskusi dengan Komisi Belanda untuk Perlindungan Alam, pada bulan Agustus 1928 sebuah proposal disampaikan kepada Pemeintah Kolonial Belanda yang mengusulkan Suaka Alam di Aceh Barat seluas 928.000 ha dan memberikan status perlindungan terhadap kawasan yang terbentang dari Singkil (pada hulu Sungai Simpang Kiri) di bagian selatan,
62
sepanjang Bukit Barisan, ke arah lembah Sungai Tripa dan Rawa Pantai Meulaboh, di bagian utara.
Proposal tersebut akhirnya direalisasikan pada tanggal 6 Februari 1934 dengan diadakannya pertemuan di Tapaktuan, yang dihadiri perwakilan pemuka adat dan Pemerintah Kolonial Belanda. Pertemuan tersebut menghasilkan “Deklarasi Tapaktuan”, yang ditandatangani oleh perwakilan pemuka adat dan Perwakilan Gubernur Hindia Belanda di Aceh pada saat itu (Gouverneur van Atjeh en Onderhoorigheden, Vaardezen). Deklarasi tersebut mulai berlaku mulai tanggal 1 Januari 1934 (Deze regeling treedt in werking met ingang 1 Januari 1934). Deklarasi tersebut mencerminkan tekad masyarakat Aceh untuk melestarian kawasan Leuser untuk selamanya sekaligus juga diatur tentang sanksi pidananya (baik pidana penjara maupun pidana denda). Dalam salah satu paragrap Deklarasi Tapaktuan disebutkan sebagai berikut:
“Kami Oeloebalang dari landschap Gajo Loeos, Poelau Nas, Meuke’, labuhan Hadji, Manggeng, Lho’ Pawoh Noord, Blang Pidie, dan Bestuurcommissie dari landschap Bambel, Onderafdeeling Gajo dan Alas. Menimbang bahwa perlu sekali diadakannya peratoeran yang memperlindungi segala djenis benda dan segala padang-padang yang diasingkan boeat persediaan. Oleh karena itoe, dilarang dalam tanah persediaan ini mencari hewan yang hidoep, menangkapnya, meloekainya, atau memboenoeh mati, mengganggoe sarang dari binatang-binatang itoe, mengeloerkan hidoep atau mati atau sebagian dari binatang itoe lantaran itoe memoendoerkan banyaknya binatang”
Pada tahun 1934, berdasarkan ZB No. 317/35 tanggal 3 Juli 1934 dibentuk Suaka Alam Gunung Leuser (Wildreservaat Goenoeng Leoser) dengan luas 142.800 ha. Selanjutnya berturut-turut pada tahun 1936, berdasarkan ZB No. 122/AGR, tanggal 26 Oktober 1936 dibentuk Suaka margasatwa Kluet seluas 20.000 ha yang merupakan penghubung Suaka Alam Gunung Leuser dengan Pantai Barat. Pada tahun 1938 dibentuk Suaka Alam Langkat Barat, Suaka Alam Langkat Selatan dan Suaka Alam Sekundur.
Pada masa setelah kemerdekaan Republik Indonesia, pada tahun 1976, dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 69/Kpts/Um/12/1976, tanggal 10 Desember 1976 tentang Penunjukan Areal Hutan Kappi seluas 150.000 ha yang
63
terletak di Aceh Tenggara, Daerah Istimewa Aceh sebagai Suaka Margasatwa Kappi. Keputusan tersebut diikuti dengan Pembentukan Instansi Kerja Sub Balai Pelestarian Alam Gunung Leuser pada tahun 1979.
Secara Yuridis Formal keberadaan Taman Nasional Gunung Leuser untuk pertama kali dituangkan dalam Pengumuman Menteri Pertanian Nomor: 811/Kpts/Um/II/1980 tanggal 6 Maret 1980 tentang peresmian 5 (lima) Taman Nasional di Indonesia, termasuk TN. Gunung Leuser seluas 792.675 ha.
Untuk memberikan kepastian hukum bagi pengelola TNGL pada tahun 1982 telah dikeluarkan 2 (dua) Peraturan, yaitu: Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 923/Kpts/UM/12/1982 tentang luas wilayah TN. Gunung Leuser di Propinsi Sumatera Utara adalah 213.985 ha, dan Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 924/Kpts/Um/12/1982 tentang Luas Wilayah TN. Gunung Leuser di Propinsi daerah Istimewa Aceh seluas 586,500 hektar.
4.3.2.2. Kondisi Tutupan Lahan TNGL
Berdasarkan hasil analisis citra landsat tahun 2009, bahwa jenis tutupan lahan di wilayah TNGL disajikan pada Tabel 24.
Tabel 24. Kondisi Tutupan Lahan TNGL.
No Jenis Tutupan Lahn Luas (ha) %
1. Hutan primer 19.6854,57 97,03
2. Hutan sekunder 984,02 0,49
3. Hutan pinus 597,18 0,29
4. Hutan kemiri 2.341,63 1,15
5. Lahan terbuka/semak belukar 624,06 0,31
6. Pertania lahan kering 805,06 0,40
7. Sawah 203,36 0,10
8. Badan air 390,42 0,19
9. Pemukiman 80,00 0,03
Total 202.880,30 100,00
Sumber: Analisis Citra Landsat Tahun 2009
Berdasarkan data pada Tabel 24, terlihat bahwa 97,03 % dari luas wilayah kawasan TNGL merupakan hutan primer Gambar 6, sedangkan hutan sekunder dan tutupan lahan lainnya secara keseluruhan hanya dibawah 4 %. Hal ini menunjukkan kondisi hutan di wilayah TNGL dapat disimpulkan masih utuh dan belum banyak terjadi gangguan. Namun demikian keberadaan TNGL perlu diamankan dari berbagai gangguan, agar keberadaan TNGL dapat tercapai peran dan fungsinya.
64
Gambar 6. Kondisi Hutan Primer di TNGL Wilayah Gayo Lues
4.3.2.3. Flora dan Fauna
Formasi vegetasi alami di TNGL ditetapkan berdasarkan 5 kriteria, yaitu bioklimat (zona klimatik ketinggian dengan berbagai formasi floristiknya). Empat kriteria lainnya adalah hubungan antara komposisi floristik dengan biogeografi, hidrologi, tipe batuan dasar dan tanah. Van Steenis yang melakukan penelitian pada tahun 1937 (de Wilde W.J.J.O dan B.E.E.Duyfjes, 1996), membagi wilayah tumbuh-tumbuhan di TNGL atas 3 zona, yaitu :
a. Zona Tropika (termasuk zona Colline, terletak 500 – 1000 meter dpl)
Zona Tropika merupakan daerah berhutan lebat ditumbuhi berbagai jenis tegakan kayu yang berdiameter besar dan tinggi sampai mencapai 40 meter. Tegakan kayu tersebut digunakan sebagai pohon tumpangan dari berbagai tumbuhan jenis liana dan epifit yang menarik, seperti anggrek, dan lainnya. b. Zona peralihan dari Zona Tropika ke Zona Colline dan Zona Sub-Montane
ditandai dengan semakin banyaknya jenis tanaman berbunga indah dan berbeda jenis karena perbedaan ketinggian. Semakin tinggi suatu tempat maka pohon semakin berkurang, jenis liana mulai menghilang dan makin banyak dijumpai jenis rotan berduri.
65
c. Zona Montane (termasuk zona sub montane, terletak 1000 – 1500 meter dpl) Zona montane merupakan hutan montane. Tegakan kayu tidak lagi terlalu tinggi hanya berkisar antara 10 – 20 meter. Tidak terdapat lagi jenis tumbuhan liana. Lumut banyak menutupi tegakan kayu atau pohon. Kelembaban udara sangat tinggi dan hampir setiap saat tertutup kabut.
d. Zona Sub Alphine (2900 – 4200 meter dpl)
Zona Sub Alphine merupakan zona hutan Ercacoid dan tak berpohon lagi. Hutan ini merupakan lapisan tebal campuran dari pohon-pohon kerdil dan semak-semak dengan beberapa pohon berbentuk payung (familia Ericacae) yang menjulang tersendiri serta beberapa jenis tundra, anggrek dan lumut.
Tipe vegetasi blang dengan tumbuhan Pinus merkusii terdapat banyak di bagian utara kawasan TNGL seperti di Terangon, Blangkeujeren dan lainnya. Tipe vegetasi ini dengan 100 % didominasi pinus dan tumbuhan rumput halus dan pakis merupakan ekosistem yang berasal dari akibat pembakaran hutan berabad- abad dan secara periodik.
Selanjutnya TNGL merupakan habitat dari mamalia, burung, reptil, ampibi, dan ikan. Kawasan ini juga merupakan habitat burung dengan daftar spesies 380 dan 350 di antaranya merupakan spesies yang hidup menetap. Diprediksi bahwa 36 dari 50 jenis burung endemik dapat ditemukan di kawasan TNGL. Dari 129 spesies mamalia besar dan kecil di seluruh Sumatera, 65% di antaranya berada di kawasan taman nasional ini. TNGL dan kawasan di sekitarnya yang disebut sebagai Kawasan Ekosistem Leuser merupakan habitat dari gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), badak Sumatera (Dicerorhinus sumatraensis), Orangutan Sumatera (Pongo abelii), Siamang (Hylobates syndactylus syndactylus), Owa (Hylobates lar), Kedih (Presbytis thomasi).
4.3.2.4. Enclave
Di wilayah TNGL, terdapat beberapa enclave penting, yang sangat berpengaruh terhadap arah manajemen, yaitu Gumpang dan Marpunge di wilayah SKW 1 Blangkejeren. Menurut sejarahnya, faktor yang menjadi penarik perhatian masyarakat untuk berpindah ke kawasan SM Gunung Leuser, adalah dibukanya jaringan jalan oleh Kolonel Van Dallen dalam operasinya ke
66
pedalaman Gayo, yang membelah Suaka Margasatwa Kappi dan Suaka Margasatwa Leuser. Jaringan jalan tersebut telah dimanfaatkan oleh masyarakat dalam melakukan hubungan perdagangan antara Tanah Alas dan Gayo.
Berawal dari semakin ramainya hubungan antara Tanah Gayo dan Tanah Alas, maka dikabarkan bahwa tanah antara dua daerah tersebut sebagian dapat dijadikan areal pertanian dan pemukiman, sehingga secara perlahan tetapi pasti, mulai terjadi perpindahan penduduk dari daerah Blangkejeren, Rikit Gaib dan Kuta Panjang, dan secara perlahan, pertumbuhan penduduk di sepanjang jalur kawasan hutan tersebut mulai merambat naik seiring dengan terbentuknya beberapa dusun, seperti kantong penduduk di Gumpang dan kantong penduduk di Marpunge. Sejalan dengan itu, isu kehutanan semakin marak dengan dideklarasikannya status kawasan tersebut menjadi TN. Gunung Leuser, pada tahun 1980. Selanjutnya kedua pemukiman tersebut ditetapkan menjadi enclave,
agar penduduk yang tinggal dalam enclave tidak lagi memperluas lahan garapan mereka di luar batas yang telah ditetapkan. Perlu diketahui bahwa di antara Gumpang-Marpunge, terdapat kawasan TNGL sepanjang 12 km yang dialokasikan untuk koridor satwa. Demikian pula, antara Gumpang-Agusan, juga merupakan jalur atau koridor yang ditetapkan sebagai lintasan satwa, dalam hal ini gajah.
Penetapan desa dalam kawasan TNGL menjadi enclave, yaitu Enclave
Gumpang dan Enclave Marpunge didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Pertanian No.697/kpts/um/12/1976 tentang Tata Batas Enclave Gumpang dan Marpunge. Batas enclave juga telah direkonstruksi pada tahun 1998, dengan melibatkan semua unsur pemerintah dan masyarakat. Semetara itu saat ini desa
enclave tersebut sudah dimekarkan menjadi sebuah kecamatan yaitu kecamatan Putri Betung, dan berkembang beberapa desa di kecamatan tersebut yang termasuk dalam kawasan TNGL.
4.3.3. Hutan Lindung
Deliniasi kawasan lindung di Gayo Lues dilakukan berdasarkan Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung. Kondisi tutupan lahan pada hutan lindung Gayo Lues disajikan pada Tabel 25.
67
Tabel 25. Kondisi Tutupan Lahan Hutan Lindung
No Jenis Tutupan Lahan Luas (ha) %
1. Hutan primer 198.242,94 87,50
2. Hutan sekunder 19.156,39 8,46
3. Hutan pinus 3.008,30 1,33
4. Hutan kemiri 933,24 0,41
5. Lahan terbuka/semak belukar 3.523,88 0,56
6. Pertania lahan kering 820,76 0,36
7. Badan air 874,49 0,39
Total 226.560,00 100,00
Sumber: Analisis Citra Landsat Tahun 2009
Berdasarkan data pada Tabel 25, terlihat bahwa secara umum keberadaan hutan lindung di Gayo Lues 87,50 % merupakan sebagai hutan primer, sedang hutan sekunder, hutan pinus dan tutupan lahan lainnya secara keseluruhan hanya dibawah 2,5 %. Hal ini menunnjukkan bahwa kondisi hutan lindung tersebut masih tergolong sangat baik.
4.3.4. Hutan Produksi
Keberadaan hutan produksi di Gayo Lues seluas 45.190 ha, dilihat dari jenis vegetasinya terdiri dari tegakan pinus alam dan hutan alam campuran, kondisi tutupan lahan hutan produksi Gayo Lues disajikan pada Tabel 26.
Berdasarkan data pada Tabel 26, terlihat bahwa 54,71 % merupakan hutan primer (hutan alam campuran), 20 % dari luas hutan produksi merupakan hutan pinus alam, dan 16,96 % merupakan hutan sekunder (khusus hutan alam campuran), serta 6,63 % merupakan lahan terbuka/semak belukar. Sedangkan tutupan lahan yang lain secara keseluruhan dibawah 2 %. Hal ini menunjukkan bahwa lebih kurang 25 % hutan produksi Gayo Lues sudah mengalami kerusakan, yang tentunya perlu dilakukan kegiatan rehabilitasi.
Tabel 26. Kondisi Tutupan Lahan Hutan Produksi
No Jenis Tutupan Lahn Luas (ha) %
1. Hutan primer 24.721,48 54,71
2. Hutan sekunder 7665,46 16,96
3. Hutan pinus 9.037,66 20,00
4. Hutan kemiri 414,83 0,92
5. Lahan terbuka/semak belukar 2.995,69 6,63
6. Sawah 80,48 0,18
7. Badan air 274,40 0,61
Total 45.190,00 100,00
68