• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karakteristik

2.1.1. Remaja Dilihat dari Usia

Remaja adalah merupakan masa peralihan seorang anak terlihat adanya perubahan-perubahan pada bentuk tubuh yang disertai dengan perubahan struktur dan fungsi fisiologis. Secara anatomis berarti alat-alat kelamin khususnya dan keadaan tubuh pada umumnya memperoleh bentuknya yang sempurna. Secara faali, alat-alat kelamin tersebut sudah berfungsi secara sempurna pula yang ditandai dengan haid pada wanita dan mimpi basah pada laki-laki (Sarwono, 2006).

Menurut WHO dalam Poltekkes Depkes Jakarta I (2010), yang dikatakan usia remaja adalah antara 10-19 tahun. Tetapi berdasarkan penggolongan umur, masa remaja terbagi atas:

1) Masa remaja awal (10-13 tahun)

Pada tahapan ini, remaja mulai fokus pada pengambilan keputusan, baik di dalam rumah ataupun di sekolah. Remaja mulai menunjukkan cara berpikir logis, sehingga sering menanyakan kewenangan dan standar di masyarakat maupun di sekolah. Remaja juga mulai menggunakan istilah-istilah sendiri dan mempunyai pandangan, seperti: olahraga yang lebih baik untuk bermain, memilih kelompok bergaul, pribadi seperti apa yang diinginkan, dan mengenal cara untuk berpenampilan menarik.

2) Masa remaja tengah (14-16 tahun)

Pada tahapan ini terjadi peningkatan interaksi dengan kelompok, sehingga tidak selalu bergantung pada keluarga dan terjadi eksplorasi seksual. Dengan menggunakan pengalaman dan pemikiran yang lebih kompleks, pada tahap ini remaja sering mengajukan pertanyaan, menganalisis secara lebih menyeluruh, dan berpikir tentang bagaimana cara mengembangkan identitas “Siapa saya?” Pada masa ini remaja juga mulai mempertimbangkan kemungkinan masa depan, tujuan, dan membuat rencana sendiri.

3) Masa remaja akhir (17-19 tahun)

Pada tahap ini remaja lebih berkonsentrasi pada rencana yang akan datang dan meningkatkan pergaulan. Selama masa remaja akhir, proses berpikir secara kompleks digunakan untuk memfokuskan diri masalah-masalah idealisme, toleransi, keputusan untuk karier dan pekerjaan, serta peran orang dewasa dalam masyarakat.

Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa. Masa ini sering disebut dengan masa pubertas. Masa pubertas atau disebut juga masa puber berawal dari haid atau mimpi basah yang pertama. Akan tetapi pada usia berapa tepatnya masa puber ini dimulai, sulit ditetapkan. Hal ini karena cepat lambatnya haid atau mimpi basah sangat tergantung pada kondisi tubuh masingmasing individu. Seiring dengan membaiknya gizi sejak masa kanak-kanak dan dengan meningkatnya informasi melalui media massa menyebabkan menurunnya usia kematangan seksual. Sehingga usia rata-rata haid pertama mengalami penurunan.

Di Inggris, usia haid pertama menurun dari rata-rata empat belas tahun menjadi dua belas tahun sembilan bulan (Sarwono, 2006).

Usia kematangan seksual diikuti dengan meningkatnya aktivitas seksual pada usia dini. Berdasarkan hasil laporan dari Fury (1980) (dalam Sarwono, 2006), tercatat 33% anak perempuan dan 50% anak laki-laki di bawah usia enam belas tahun telah melakukan hubungan seks. Di Indonesia beberapa hasil penelitian juga menunjukkan adanya penurunan batas usia hubungan seks pertama kali. Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Iskandar et al. (1998) (dalam Sarwono, 2006), sebanyak 18% responden di Jakarta berhubungan seks 10 pertama di bawah usia delapan belas tahun dan usia termuda tiga belas tahun.

2.1.2. Karakteristik Perkembangan pada Masa Remaja

Hurlock (1994) mengemukakan berbagai ciri dari remaja sebagai berikut: a. Masa remaja adalah masa peralihan.

Yaitu peralihan dari satu tahap perkembangan ke perkembangan berikutnya secara berkesinambungan. Pada masa ini remaja bukan lagi seorang anak dan juga bukari seorang dewasa. Masa ini merupakan masa yang sangat strategis, karena memberi waktu kepada remaja untuk membentuk gaya hidup dan menentukan pola perilaku, nilai-nilai, dan sifat-sifat yang sesuai dengan yang diinginkannya.

b. Masa remaja adalah masa terjadi perubahan.

Sejak awal remaja, perubahan fisik terjadi dengan pesat; perubahan perilaku dan sikap juga berkembang. Ada empat perubahan besar yang terjadi pada remaja,

yaitu perubahan emosi, peran, minat, pola perilaku (perubahan sikap menjadi ambivalen).

c. Masa remaja adalah masa yang penuh masalah.

Masalah remaja sering menjadi masalah yang sulit untuk diatasi. Hal ini terjadi karena remaja belum terbiasa menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa meminta batuan orang lain. Akibatnya, terkadang terjadi penyelesaian yang tidak sesuai dengan yang diharapkan.

d. Masa remaja adalah masa mencari identitas.

Identitas diri yang dicari remaja adalah berupa kejelasan siapa dirinya dan apa peran dirinya di masyarakat. Remaja tidak puas dirinya sama dengan kebanyakan orang, ia ingin memperlihatkan dirinya sebagai individu, sementara pada saat yang sama ia ingin mempertahankan dirinya terhadap kelompok sebaya.

e. Masa remaja sebagai masa yang menimbulkan kekuatan.

Ada stigma dari masyarakat bahwa remaja adalah anak yang tidak rapi, tidak dapat dipercaya, cenderung berperilaku merusak, sehingga menyebabkan orang dewasa harus membimbing dan mengawasi kehidupan remaja. Stigma ini akan membuat masa peralihan remaja ke dewasa menjadi sulit, karena orang tua yang memiliki pandangan seperti ini akan selalui mencurigai remaja, sehingga menimbulkan pertentangan dan membuat jarak antara orang tua dengan remaja.

f. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistis.

Remaja cenderung memandang keliidupan melalui kaca matanya sendiri, baik dalam melihat dirinya maupun melihat orang lain, mereka belum melihat apa adanya, tetapi menginginkan sebagaimana yang ia harapkan.

g. Masa remaja adalah ambang masa dewasa.

Dengan berlalunya usia belasan, remaja yang semakin matang berkembang dan berusaha memberi kesan sebagai seseorang yang hampir dewasa. Ia akan memusatkan dirinya pada perilaku yang dihubungkan dengan status orang dewasa, misalnya dalam berpakaian dan bertindak.

2.1.3. Jenis Kelamin

Jenis kelamin diartikan sebagai jenis seks yaitu laki-laki atau perempuan. Remaja perlu untuk memahami anatomi alat reproduksi dan fungsinya. Berikut ini akan diuraikan beberapa fungsi fisiologis dari masing-masing alat reproduksi laki-laki dan perempuan (Poltekkes Depkes Jakarta I, 2010).

1. Alat reproduksi pria a) Testis

Pria memiliki dua buah testis untuk memproduksi sperma yang dibungkus oleh lipatan kulit berbentuk kantung yang disebut skrotum. Dimulai sejak masa puber, sepanjang masa hidupnya pria akan memproduksi sperma. Selain itu, testis juga menghasilkan hormon testosteron. Di sisi belakang masing-masing testis terdapat epididimis, yaitu tempat sperma mengalami

pematangan. Saluran selanjutnya adalah vas deferens, saluran ini masuk ke vesika seminalis sebagai tempat penampungan sperma.

b) Penis

Penis adalah alat reproduksi yang membawa cairan mani ke dalam vagina. Di dalam penis ada saluran uretra. Jika ada rangsangan seksual, maka darah di dalam penis akan terpompa. Akibatnya, penis menjadi tegang dan mengeras, lalu cairan semen yang mengandung sperma keluar dari vesika seminalis dan melalui uretra terpancar keluar. Proses tersebut dikenal sebagai ejakulasi. 2. Alat reproduksi wanita

1. Ovarium

Setiap wanita memiliki sepasang ovarium, yang setiap bulan secara bergantian mengeluarkan satu sel telur (ovum) yang matang. Ovarium juga menghasilkan hormone estrogen dan progesteron.

2. Tuba falopii

Sepasang tuba falopi menghubungkan ovarium dengan rahim pada sisi kiri dan kanan.

3. Uterus

Uterus (rahim) adalah tempat tertanamnya ovum yang telah dibuahi, yang selanjutnya akan tumbuh dan berkembang menjadi janin. Bila tidak terjadi pembuahan, maka ada lapisan uterus yang terkelupas dan terjadi perdarahan yang disebut menstruasi. Bagian akhir dari uterus yang berhubungan dengan vagina disebut serviks.

4. Vagina

Vagina adalah saluran yang menghubungkan uterus dengan alat reproduksi bagian luar. Vagina merupakan tempat masuknya penis saat melakukan hubungan seksual.

Sehubungan dengan perbedaan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan alat reproduksi di atas, hormon merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi seksual. Dari website informasi kesehatan reproduksi Indonesia (2008), diungkapkan bahwa hormon adalah zat kimia yang diproduksi oleh kelenjar endokrin yang mempunyai efek tertentu pada aktifitas organ-organ lain dalam tubuh. Hormon seks merupakan zat yang dikeluarkan oleh kelenjar seks dan kelenjar adrenalin langsung ke dalam aliran darah. Mereka secara sebagian bertanggungjawab dalam menentukan jenis kelamin janin dan bagi perkembangan organ seks yang normal. Mereka juga memulai pubertas dan kemudian memainkan peran dalam pengaturan perilaku seksual.

Berdasarkan penelitian BPS (2004), diketahui bahwa wanita yang menyetujui hubungan seks pranikah lebih sedikit dibandingkan dengan pria. Dalam penelitian Damayanti menyebutkan perilaku laki-laki dan perempuan hingga berciuman bibir masih sama, akan tetapi perilaku laki-laki lebih agresif dibandingkan remaja perempuan (Heru, 2007). Penelitian Triratnawati (1999), menunjukkan bahwa remaja laki-laki memang cenderung mempunyai seks yang agresif, terbuka, gigih, terang-terangan serta lebih sulit menahan diri dibandingkan remaja perempuan.

2.1.4. Remaja Ditinjau dari Pengaruh Lingkungan

Perkembangan remaja tidak hanya dipengaruhi oleh satu faktor, tetapi banyak faktor di dalam kehidupan remaja. Dalam pertumbuhan dan perkembangan juga dipengaruhi oleh keluarga, teman sebaya, teman sekolah, lingkungan agama, dan masyarakat di lingkungan tempat tinggal mereka.

Gambar 2.1 Bronfenbrenner’s Ecological System (Paquette & Ryan, 2001)

Teori ini memandang perkembangan remaja di dalam konteks sistem hubungan yang membentuk lingkungan remaja. Menurut teori Ecological System

yang dikembangkan oleh Bronfenbrenner’s menyatakan bahwa anak remaja tidak tumbuh dalam suatu isolasi, remaja berkembang dengan lingkungan yang luas. Pada lapisan yang paling dalam adalah remaja yang memiliki temperamen, kesehatan fisik, ilmu dan kemampuannya masing-masing. Lapisan selanjutnya adalah merupakan lingkungan mikrosistem. Struktur pada mikrosistem meliputi keluarga, sekolah, teman

sebaya, lingkungan agama. Pada tingkat ini, hubungan yang ada memiliki akibat dalam dua arah baik dari remaja maupun ke remaja (Paquette & Ryan, 2001).

Lingkungan mesosistem merupakan lapisan kedua yang menyediakan hubungan antar struktur mikrosistem remaja. Sebagai contoh hubungan antara guru remaja dengan orangtuanya, antara tempat ibadah dengan remaja dengan lingkungan di sekitarnya. Lapisan selanjutnya merupakan lingkungan makrosistem, lapisan ini dianggap sebagai lapisan paling luar pada lingkungan anak. Lapisan ini terdiri dari nilai budaya, adat, hukum, mass media, ekonomi. Faktor-faktor ini mempengaruhi perkembangan dan dampak secara tidak langsung terhadap kehidupan remaja. Semua lapisan mempunyai pengaruh di dalam pertumbuhan dan perkembangan remaja (Paquette & Ryan, 2001).

Secara umum dapat dikatakan bahwa perkembangan yang sehat adalah bilamana anak tumbuh menjadi seorang remaja yang sehat fisik maupun psikologis serta terhindar dari cacat sosial seperti kecanduan narkoba, tindakan kriminal dan lain-lainnya. Secara seksual perkembangan yang dianggap berhasil meliputi membangun hubungan antar remaja yang akrab dan kasih tanpa sampai terjadi kehamilan yang tidak dikehendaki atau terjangkit penyakit menular seksual (Duarsa, 2007).

Perkembangan moral dan religi merupakan bagian yang cukup penting dalam jiwa remaja. Sebagian orang berpendapat bahwa moral dan religi bisa mengendalikan tingkah laku anak yang beranjak dewasa. Dengan demikian remaja tidak melakukan hal-hal yang merugikan atau bertentangan dengan kehendak atau pandangan

masyarakat. Di sisi lain, tiada moral dan religi ini seringkali dituding sebagai faktor penyebab meningkatnya kenakalan remaja (Sarwono, 2006). Dari semua faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupan remaja dapat disimpulkan bahwa, faktor orang tua dan teman sebaya merupakan salah satu faktor yang terdekat dengan kehidupan remaja. Untuk lebih jelasnya diungkapkan sebagai berikut :

a). Orang tua

Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi perkembangan anak. Usia 4-5 tahun dianggap sebagai titik awal proses identifikasi diri menurut jenis kelamin, sehingga peran ibu dan ayah atau orang tua pengganti (nenek, kakek, dan orang dewasa lainnya) sangat besar. Apabila proses identifikasi ini tidak berjalan dengan lancer, maka dapat timbul proses identifikasi yang salah. Lingkungan keluarga yang dapat berpengaruh terhadap perkembangan jiwa remaja adalah sebagai berikut (Poltekkes Depkes Jakarta I, 2010).

1) Pola asuh keluarga

Proses sosialisasi sangat dipengaruhi oleh pola asuh keluarga, diantaranya sebagai berikut :

1. Sikap orang tua yang otoriter (mau menang sendiri, selalu mengatur, semua perintah harus diikuti tanpa memperhatikan pendapat dan kemauan anak) akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian remaja. 2. Sikap orang tua yang permisif (serba boleh, tidak pernah melarang, selalu

ketergantungan dan sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial di luar keluarga.

3. Sikap orang tua yang selalu membandingkan anak-anaknya, akan menumbuhkan persaingan tidak sehat dan saling curiga antara saudara. 4. Sikap orang tua yang berambisi dan terlalu menuntut anak-anaknya akan

mengakibatkan anak cenderung mengalami frustasi, takut gagal, dan merasa tidak berharga.

5. Orang tua yang demokratis, akan mengikuti keberadaan anak sebagai individu dan makhluk sosial, serta mau mendengarkan dan menghargai pendapat anak.

2) Kondisi Keluarga

Hubungan orang tua yang harmonis akan menumbuhkan kehidupan emosional yang optimal terhadap perkembangan kepribadian anak. Pendidikan moral dalam keluarga adalah upaya menanamkan nilai-nilai akhlak atau budi pekerti kepada anak di rumah. Pengertian budi pekerti mengandung nilai-nilai berikut ini :

1. Keagamaan

Pendidikan agama diharapkan dapat menumbuhkan sikap anak yang mampu menjauhi hal-hal yang dilarang dan melaksanakan perintah yang dianjurkan.

2. Kesusilaan

Meliputi nilai-nilai yang berkaitan dengan orang lain, misalnya sopan santun, kerja sama, tenggang rasa, saling menghayati, saling menghormati, menghargai orang lain, dan sebagainya.

3. Kepribadian

Memiliki nilai dalam kaitan pengembangan diri, misalnya keberanian, rasa malas, kejujuran, kemandirian, dan sebagainya.

Agar tercipta lingkungan yang kondusif bagi remaja sehingga tidak melakukan perbuatan yang membahayakan kesehatan, termasuk hubungan seksual pranikah, perlu upaya dari orang tua antara lain (Poltekkes Depkes Jakarta I, 2010). 1. Orang tua memberikan perhatian pada remaja dalam arti tidak mengekang

remaja, namun memberikan kebebasan yang terkendali. Misalnya, bila remaja mengadakan pesta, maka orang tua turut menghadiri pesta tersebut, pesta tidak dilakukan sampai larut malam, dan tidak menggunakan cahaya yang remang-remang.

2. Orang tua tidak memberikan fasilitas (termasuk uang saku) yang berlebihan. Penggunaan uang harus termonitor oleh orang tua. Orang tua mengarahkan dan memfasilitasi kegiatan yang positif melalui kelompok sebaya.

Menurut Madani (2003), faktor lingkungan termasuk salah satunya faktor orang tua dapat mempengaruhi perilaku seks menyimpang pada remaja. Hal tersebut dijelaskan sebagai berikut :

1. Ketidaktahuan orang tua akan pendidikan seks. Banyak orang tua yang tidak mengerti konsep pendidikan seks, sehingga mereka cenderung menyembunyikan masalah seks dari anak-anak, dan membiarkan mereka mencari informasi di luar rumah yang justru sering mengarahkan mereka pada solusi yang menjerumuskan. Para seksolog Barat menganjurkan agar anak dikenalkan dengan pendidikan seks sejak dini.

2. Rangsangan seksual dalam keluarga. Kebanyakan para orang tua kurang mampu menjaga perilaku seksualnya dihadapan anak, misalnya: Bermesraan di depan anak, berciuman di depan anak atau perilaku-perilaku kecil lainnya yang dapat menimbulkan rasa penasaran dan rangsangan seks pada anak. 3. Anak tidak terlatih untuk meminta izin. Masih banyak orang tua yang tidak

membiasakan anak untuk meminta ijin ketika masuk kamar orang tua, sehingga terkadang anak dapat melihat aktivitas seksual orang tua.

4. Tempat tidur yang berdekatan. Kebanyakan orang tua belum mengerti, bahwa membiarkan anak tidur dalam satu selimut dengan saudaranya, atau membiarkan anak laki-lakinya yang sudah remaja tidur dengan anak perempuannya dapat menyebabkan munculnya perilaku seks menyimpang. 5. Orang tua memandang remeh ciuman anak laki-laki dan perempuan pada

periode terakhir masa kanak-kanak, padahal hal ini juga dapat memicu munculnya perilaku seks penyimpang.

6. Keluarga mengabaikan pengawasan terhadap media informasi, sehingga anak mudah meniru perilaku-perilaku berciuman bermesraan dan lain sebagainya yang tidak jarang diperagakan oleh artis-artis di TV.

Bila setiap orang tua dan keluarga memberikan perhatian yang cukup pada remaja dan turut serta mendukung terpeliharanya nilai-nilai moral dan etika, maka akan tercipta suasana sehat bagi kehidupan remaja. Penanaman nilai-nilai budi pekerti dalam keluarga dapat dilakukan melalui keteladanan orang tua atau orang dewasa lainnya, bacaan yang sehat, pemberian tugas, dan komunikasi efektif antar anggota keluarga. Sebaliknya, apabila keluarga tidak peduli terhadap hal ini, misalnya membiarkan anak tanpa komunikasi dan memperoleh nilai di luar moral dan sosial, membaca buku dan menonton VCD porno, bergaul bebas, minuman keras dan merokok, maka akan berakibat buruk terhadap perkembangan jiwa remaja (Poltekkes Depkes Jakarta I, 2010).

b). Teman Sebaya

Dalam perbincangan sehari-hari pun, topik seksualitas bukanlah topik yang umum dibicarakan, tidak terkecuali dalam perbincangan antara orang tua dan anak. Padahal menurut Sarwono (2006), komunikasi orang tua dan anak dapat menentukan seberapa besar kemungkinan anak tersebut melakukan tindakan seksual, semakin rendah komunikasi tersebut, maka akan semakin besar anak tersebut melakukan tindakan seksual. Rice (1999), menjelaskan bahwa pada usia remaja, kebutuhan emosional individu beralih dari orang tua kepada teman sebaya. Pada masa ini, teman sebaya juga merupakan sumber informasi. Tidak terkecuali dalam perilaku seksual,

sayangnya informasi yang diberikan oleh teman sebaya cenderung salah (Sarwono, 2006).

Teman sebaya memainkan peran yang signifikan dalam kehidupan remaja, tidak terkecuali dalam hal seksualitas. Newcomb, Huba, and Hubler (1986), mengatakan bahwa perilaku seksual juga dipengaruhi secara positif orang teman sebaya yang juga aktif secara seksual. Jika seorang remaja memiliki teman yang aktif secara seksual maka akan semakin besar pula kemungkinan remaja tersebut untuk juga aktif secara seksual mengingat bahwa pada usia tersebut remaja ingin diterima oleh lingkungannya.

Teman sebaya mendukung sebagai agen sosialisasi melalui reinforcement

(penguatan), modelling, tekanan langsung terhadap perilaku sosial anak untuk memenuhi tuntutan konformitas. Konformitas teman sebaya lebih erat pada awal masa remaja. Tapi bagaimanapun juga, teman sebaya jarang menuntut konformitas total, dan tekanan teman sebaya kebanyakan terfokus pada waktu yang singkat dan masalah harian seperti pakaian serta selera musik. Mereka tidak memiliki konflik yang menggunakan nilai orang dewasa. Dibandingkan teman sebaya, orangtua memiliki pengaruh yang lebih pada hal-hal yang mendasar seperti penanaman nilai dan rencana pendidikan

Remaja berusaha menemukan konsep dirinya didalam kelompok sebaya. Disini ia dinilai oleh teman sebayanya tanpa memperdulikan sanksi-sanksi dunia dewasa. Kelompok sebaya memberikan lingkungan, yaitu dunia tempat remaja dapat melakukan sosialisasi di mana nilai yang berlaku bukanlah nilai yang ditetapkan oleh

orang dewasa, melainkan oleh teman seusianya. Inilah letak berbahayanya bagi perkembangan jiwa remaja, apabila nilai yang dikembangkan dalam kelompok sebaya ini cenderung tertutup, di mana setiap anggota tidak dapat terlepas dari kelompoknya dan harus mengikuti nilai yang dikembangkan oleh pimpinan kelompok. Sikap, pikiran, perilaku, dan gaya hidupnya merupakan perilaku dan gaya hidup kelompoknya.

Dokumen terkait