Udang ronggeng yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari pasar ikan Muare Angke Jakarta Utara, dan merupakan hasil tangkapan nelayan yang berasal dari kepulauan Seribu. Karakteristik ukuran dan bobot udang ronggeng dapat dilihat pada Tabel 3. Data mentah ukuran, panjang, dan berat udang ronggeng dapat dilihat pada Lampiran 3.
Tabel 3. Ukuran panjang dan bobot udang ronggeng
No. Parameter Nilai (cm)
1. Panjang total 30,08 ± 1,59
2. Panjang baku 24,63 ± 1,68
3. Panjang toraks 5,09 ± 0,54
4. Panjang abdomen 10,95 ± 0,61
5. Panjang kepala 6,18 ± 0,82
6. Panjang ekor (telson) 4,00 ± 0,67
7. Lebar badan 5,53 ± 0,63 8. Lebar toraks 3,11 ± 0,34 9. Lebar kepala 3,92 ± 0,50 10. Panjang uropod 6,20 ± 0,53 11. Panjang thoracopod 1 6,44 ± 0,96 12. Panjang thoracopod 2 18,8 ± 1,21 13. Panjang thoracopod 3-5 6,44 ± 0,50
14. Panjang kaki jalan 4,95 ± 0,38
15. Panjang kaki renang 3,31 ± 0,51
16. Panjang gill 0,90 ± 0,17
17. Panjang gigi 1,28 ± 0,24
18. Panjang antena 1(tidak bercabang) 4,93 ± 0,26 19. Panjang antena 2 (bercabang) 8,65 ± 0,23
20. Panjang antena scale 3,98 ± 0,21
21. Bobot (g) 206,08 ± 10,8
xliii5 Tabel 3 menunjukkan bahwa udang ronggeng yang ditangkap oleh para nelayan dan didaratkan di pasar ikan Muara Angke telah memenuhi panjang rata-rata tangkapan yaitu dengan panjang total 30,08 cm, panjang baku 24,63 cm dan bobot rata-rata 206,08 gram. Udang ronggeng memiliki panjang maksimum 30-35 cm, dan hidup pada kedalaman 2-93 m pada kawasan sublitoral di daerah Selat Malaka. Habitat hidupnya di dasar yaitu, pasir berlumpur dan pasir halus (Lovett 1981).
Berdasarkan hasil wawancara nelayan, udang ini ditangkap pada saat kondisi gelombang laut tenang pada pukul 03.00 WIB dini hari dan didaratkan di tempat pelelangan ikan (TPI) pukul 09.00 WIB sehingga memerlukan penanganan intensif oleh nelayan. Udang ronggeng ditangkap menggunakan alat tangkap berupa jaring (gillnet), yaitu alat tangkap yang biasanya digunakan untuk menangkap ikan, kepiting, dan udang ronggeng. Proses penangkapan udang rongeng dilakukan setiap hari oleh nelayan dan hasilnya mencapai 1 kuintal perhari dalam satu kali periode penangkapan. Udang ronggeng yang baru ditangkap dengan jaring, langsung diberi penanganan suhu rendah dengan cara memasukkan udang ronggeng ke dalam palka yang berisi campuran air tawar dan es curai sehingga suhu pusat udang dan suhu media tetap dingin dibawah 4 ºC 4.2. Rendemen Udang Ronggeng
Rendemen merupakan bagian dari suatu komoditas yang diambil dan dimanfaatkan. Rendemen dapat memperkirakan efisiensi dari suatu produksi serta banyaknya bahan baku yang diperlukan untuk menghasilkan sejumlah produk akhir. Rendemen daging udang ronggeng dihitung secara by difference berdasarkan persentase perbandingan bobot daging yang sudah diambil dari karapas terhadap bobot udang mentah. Udang ronggeng yang digunakan pada penelitian ini memiliki rendemen yang berbeda berdasarkan perlakuan preparasi dalam keadaan segar dan preparasi setelah perebusan. Rendemen udang berupa daging, jeroan dan karapas. Nilai rendemen udang ronggeng segar dan rebus dapat dilihat pada Gambar 9 dan Gambar 10. Data mentah rendemen disajikan pada Lampiran 4.
xliv5 Gambar 9. Persentase rendemen udang ronggeng segar
Gambar 10. Persentase rendemen udang ronggeng rebus
Rendemen udang ronggeng segar berdasarkan Gambar 9 sebesar 41,13% (daging), 54,25% (cangkang) dan 4,62% (jeroan). Rendemen udang dipengaruhi oleh pola pertumbuhan udang tersebut. Pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu jenis kelamin, umur, faktor keturunan, dan ketersediaan makanan (Effendi 1997 dan Kayama 1999 diacu dalam Nurjanah et al. 2007). Gambar 10 menunjukkan bahwa rendemen daging udang ronggeng setelah perebusan adalah 20,08%, cangkang 45,32% dan jeroan 1,69%. Perlakuan perebusan menyebabkan terjadinya penyusutan atau kehilangan berat (lost) sebesar 32,90%. Perebusan merupakan salah satu proses pemanfaatan perlakuan panas yang penting dalam pengolahan udang melalui media air. Perlakuan
xlv5 perebusan bertujuan mempertahankan mutu udang yang diinginkan, perbaikan terhadap cita rasa dan tekstur, nilai gizi dan daya cerna. Pada waktu proses perebusan berlangsung, terjadi pengurangan kadar air pada daging udang ronggeng. Bersamaan dengan keluarnya air dari udang, komponen zat gizi lain juga berkurang yaitu protein, lemak, vitamin dan mineral. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya penurunan nilai rendemen pada daging, cangkang dan jeroan pada udang ronggeng rebus. Menurut Aitken dan Connel (1979), total berat yang hilang selama pemasakan berlangsung dapat berkisar antara 20-30%.
Faktor-faktor yang menyebabkan udang kehilangan berat selama proses pemasakan (perebusan) berlangsung adalah lama perebusan, suhu yang diterapkan, luas permukaan udang yang dimasak, jenis udang, penambahan garam dan tingkat kerusakan fisik pada daging udang sebelum udang dimasak (Aitken dan Connel 1979). Kehilangan berat pada udang ronggeng juga dipengaruhi oleh ukuran sampel dan struktur protein pada udang tersebut selama perebusan berlangsung. Selain itu, lamanya post mortem pada udang juga mempengaruhi penurunan nilai rendemen pada udang yang direbus (Lassen 1965 diacu dalam Harikedua 1992).
Daging udang ronggeng belum banyak dimanfaatkan sebagai bahan pangan oleh masyarakat, hanya merupakan hasil tangkapan sampingan yang dikonsumsi sebagian kecil masyarakat. Namun, udang ronggeng banyak dimanfaatkan sebagai komoditi ekspor ke negara bagian Asia yaitu, Jepang, Singapura, dan Hongkong. Bagian cangkang udang ronggeng yang mencapai 40-50% dapat dimanfaatkan secara optimal sebagai bahan baku pembuatan kitin dan kitosan (Okuzumi dan Fujii 2000), dan digunakan sebagai hiasan ataupun pernak-pernik yang bernilai seni. Selain itu, rendemen sisa yaitu air perebusan dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan flavor yaitu flavor yang dihasilkan dari limbah kulit dan kepala udang sehingga prinsip zero waste dapat diterapkan. 4.3. Tingkat Kesegaran Udang Ronggeng
Pengamatan mutu udang ronggeng dilakukan secara organoleptik oleh 30 orang panelis semi terlatih menggunakan score sheet menurut SNI 01-2346-2006 dengan mengamati penampakan, tekstur dan bau. Nilai organoleptik kesegaran udang ronggeng dapat dilihat pada Lampiran 5. Pengamatan mutu organoleptik
xlvi5 mempunyai peranan dan makna yang sangat besar dalam penilaian mutu produk pangan, baik sebagai bahan mentah industri maupun produk pangan olahan (Soekarto 1990). Pengamatan mutu kesegaran udang ronggeng ditentukan dengan analisis statistika pendugaan parameter bagi nilai tengah dan simpangan baku dengan rumus P ( x – (1,96. s /√n )) ≤ ( x + (1,96. s /√n )). Berdasarkan analisis statistika, dihasilkan nilai organoleptik udang ronggeng adalah P (7,16 ≤ μ ≤ 7,63). Interval nilai organoleptik udang ronggeng segar adalah 7,16–7,63 dan untuk penulisan nilai akhir organoleptik udang segar diambil nilai terkecil adalah 7,16 dan dibulatkan menjadi 7,0. Menurut SNI 01-2346-2006, nilai organoleptik berkisar antara 7-9 menyatakan bahwa udang ronggeng masih dalam kondisi segar.
Adapun ciri-ciri udang ronggeng dalam keadaan segar adalah penampakan utuh, cangkang masih kelihatan bercahaya dan sedikit bening, antar ruas toraks dan abdomen masih kokoh, kulit agak keras, kulit tidak mudah lepas dari daging, dan tidak terdapat noda hitam pada kulit, serta sambungan kepala dan toraks masih kuat. Udang ronggeng yang masih segar akan memperlihatkan tekstur daging kompak dan padat, namun kurang elastis, serta menunjukkan bau segar spesifik jenis netral dan tidak menimbulkan bau indol.
Cara penanganan di laut dapat menentukan mutu kesegaran udang ronggeng, karena selama penanganan di laut mutu udang ditentukan oleh beberapa faktor yaitu faktor biologis (karakteristik fisik udang yang mudah busuk), faktor lingkungan (suhu air laut), daerah penangkapan (fishing ground), teknik penangkapan serta jenis alat tangkap yang digunakan. Handling di atas geladak dan penyimpanan di dalam palka akan mempengaruhi mutu udang, termasuk kemungkinan cacat fisik pada udang tersebut (Purwaningsih 2000).
Prinsip penanganan udang segar di darat dilakukan dengan menerapkan rantai dingin atau suhu rendah seperti pemakaian es, pendinginan dalam ruang pendingin, atau dengan air yang didinginkan, menerapkan sanitasi dan higiene yang berlaku, serta memperhatikan faktor waktu. Oleh karena itu, setiap tempat yang berhubungan langsung dengan penanganan udang harus dilengkapi dengan sarana dan prasarana agar udang tetap segar seperti air bersih, es, wadah penanganan dan penyimpanan. Selain itu, pelayanan pembongkaran hasil
xlvii5 tangkapan harus dilaksanakan dengan segera untuk kemudian diangkat ke tempat pelelangan ikan (TPI) dan jarak antara pelabuhan dengan tempat pelelangan diusahakan sedekat mungkin untuk mencegah terjadinya losses yang lebih besar (Junianto 2003).