• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan iklim global yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan karena terganggunya keseimbangan energi antara bumi dan atmosfir. Keseimbangan tersebut dipengaruhi antara lain oleh peningkatan gas-gas karbondioksida (CO2), metana (CH4) dan nitrogen oksida (N2O) yang lebih dikenal dengan gas rumah kaca (GRK) Kenaikan konsentrasi CO2 dan GRK lain di atmosfer dapat terjadi secara alamiah, misalnya dari erupsi gunung berapi yang melepaskan sekitar 130-200 juta ton CO2

per tahun. Namun pada kenyataannya, pasca revolusi industri emisi CO2 yang dihasilkan manusia mencapai 27-30 milyar ton per tahun, lebih dari 130 kali lipat dibandingkan emisi dari gunung berapi (Hairiah dan Rahayu, 2007). Gas-gas tersebut memiliki kemampuan menyerap radiasi gelombang panjang yang bersifat panas sehingga suhu bumi akan semakin panas jika jumlah gas-gas tersebut meningkat di atmosfer (Najiati, et al., 2005).

Menurut Hairiah dan Rahayu, (2007), konsentrasi GRK di atmosfer

meningkat sebagai akibat adanya pengelolaan lahan yang kurang tepat, antara lain adanya pembakaran vegetasi hutan dalam skala luas pada waktu yang bersamaan dan adanya pengeringan lahan gambut. Kegiatan-kegiatan tersebut umumnya dilakukan pada awal alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian. Kebakaran hutan dan lahan serta gangguan lahan lainnya telah menempatkan Indonesia dalam urutan ketiga negara penghasil emisi CO2 terbesar di dunia. Indonesia berada di bawah Amerika Serikat dan China, dengan jumlah emisi yang dihasilkan mencapai dua miliar ton CO2 pertahunnya atau menyumbang 10 % dari emisi CO2 di dunia.

Tumbuhan memerlukan sinar matahari, air H2O dan gas asam arang CO2, melalui proses fotosintasis, CO2 di udara diserap oleh tanaman dan diubah menjadi karbohidrat, kemudian disebarkan ke seluruh tubuh tanaman dan akhirnya ditimbun dalam tubuh tanaman berupa daun, batang, ranting, bunga dan buah. Proses penimbunan C dalam tubuh tanaman hidup dinamakan proses sekuestrasi (C sequestration). Dengan demikian mengukur jumlah C yang disimpan dalam tubuh

tanaman hidup (biomasa) pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO2 di atmosfir yang diserap oleh tanaman (Hairiah dan Rahayu, 2007)

Lebih lanjut Hairiah dan Rahayu, (2007), menyatakan tanaman atau pohon berumur panjang yang tumbuh di hutan maupun di kebun campuran (agroforestry)

merupakan tempat penimbunan atau penyimpanan C (rosot C =C sink) yang jauh

lebih besar daripada tanaman semusim. Oleh karena itu, hutan alami dengan keragaman jenis pepohonan berumur panjang merupakan gudang penyimpanan C tertinggi. Bila hutan diubah fungsinya menjadi lahan-lahan pertanian atau perkebunan atau ladang pengembalaan maka C tersimpan akan merosot. berkenaan dengan upaya pengembangan lingkungan bersih, maka jumlah CO2 di udara harus dikendalikan

dengan jalan meningkatkan jumlah serapan CO2 oleh tanaman sebanyak mungkin

dan menekan pelepasan (emisi) CO2 ke udara serendah mungkin. Jadi, minimal dengan mempertahankan keutuhan hutan alami, menanam pepohonan pada lahan-lahan pertanian dan melindungi lahan-lahan gambut sangat penting untuk mengurangi jumlah CO2 yang berlebihan di udara. Jumlah ”C tersimpan” dalam setiap penggunaan lahan tanaman, seresah dan tanah, biasanya disebut juga sebagai

gginya emisi CO2 dari kendaraan bermotor dan aktivitas manusia lainnya (Channel,1996)

”cadangan karbon C”.

Perbedaan penambahan carbon tersebut diduga disebabkan oleh perbedaan kandungan CO2 di udara. Peningkatan CO2 di atmosfer akan meningkatkan karbon tersimpan (sinker CO2). Kandungan karbon di jalur hijau jalan lebih tinggi dibandingkan dengan jalur hijau sungai dan pantai diduga karena tin

Hutan berperan dalam upaya penyerapan CO2 dimana dengan bantuan cahaya matahari dan air dari tanah, vegetasi yang berklofil mampu menyerap CO2 dari atmosfer melalui proses fotosintesis. Hasil fotosisntasis ini antara lain disimpan dalam bentuk biomasa yang menjadikan vegetasi tumbuhan menjadi besar dan tinggi (Adinugroho, et al., 2009).

Dampak konversi hutan menjadi lahan pertanian baru terasa apabila diikuti dengan degradasi tanah dan hilangnya vegetasi, serta berkurangnya proses fotosintesis akibat munculnya gedung-gedung bertingkat serta bangunan-bangunan dari aspal sebagai pengganti tanah atau rumput. Masalah utama yang terkait dengan alih guna lahan adalah perubahan jumlah cadangan karbon. Pelepasan karbon ke atmosfir akibat konversi hutan berjumlah sekitar 250 Mg ha-1 C (Mg = mega gram = 106 g = ton) yang terjadi selama penebangan dan pembakaran, sedangkan penyerapan kembali karbon menjadi vegetasi pohon relatif lambat, hanya sekitar 5 Mg ha-1 C. Penurunan emisi karbon dapat dilakukan dengan: (a) mempertahankan cadangan karbon yang telah ada dengan cara mengelola hutan lindung, mengendalikan deforestasi, menerapkan praktek silvikultur yang baik, mencegah degradasi lahan gambut dan memperbaiki pengelolaan cadangan bahan organik tanah, (b)meningkatkan cadangan karbon melalui penanaman tanaman berkayu dan (c)mengganti bahan bakar fosil dengan bahan bakar yang dapat diperbaharui secara langsung maupun tidak langsung (angin, biomasa, aliran air), radiasi matahari, atau aktivitas panas bumi (Rahayu, et al., 2007).

Polunin (1997) mengatakan bahwa hutan hujan tropis mempunyai biomasa lazimnya 450 (dengan kisaran 60-800) Ton per hektar, tergantung pada tipe vegetasi dan tipe tanah. Dan kebanyaan biomas ini terdapat dalam batang – batang pohon. Palm, at al. menyatakan bahwa pohon hutan menyimpan 50-80 karbon namun akumulasinya dipengaruhi oleh, jenis, iklim, tanah dan managemen.

Cadangan karbon pada suatu sistem penggunaan lahan dipengaruhi oleh

jenis tegakannya. Suatu sistem penggunaan lahan yang terdiri dari pohon dengan spesies yang mempunyai nilai kerapatan kayu tinggi, biomasanya akan lebih tinggi bila dibandingkan dengan lahan yang mempunyai spesies dengan nilai kerapatan kayu rendah. Biomasa pohon (dalam berat kering) dihitung menggunakan "allometric equation" berdasarkan pada diameter batang setinggi 1,3 m di atas permukaan tanah (Rahayu, et al., 2007).

2.5 Vegetasi

Vegetasi yaitu kumpulan dari beberapa jenis tumbuhan yang tumbuh bersama-sama pada satu tempat di mana antara individu-individu penyusunnya terdapat interaksi yang erat, baik di antara tumbuh-tumbuhan maupun dengan hewan-hewan yang hidup dalam vegetasi dan lingkungan tersebut. Dengan kata lain, vegetasi tidak hanya kumpulan dari individu-individu tumbuhan melainkan membentuk suatu kesatuan di mana individu-individunya saling tergantung satu sama lain, yang disebut sebagai suatu komunitas tumbuh-tumbuhan (Soerianegara dan Indrawan,1978).

2.6. Analisis Komunitas Tumbuhan

Analisis komunitas tumbuhan merupakan suatu cara mempelajari susunan

atau komposisi jenis dan bentuk atau struktur tegakan. Dalam ekologi hutan, satuan vegetasi yang dipelajari atau diselidiki berupa komunitas tumbuhan yang merupakan asosiasi konkret dari semua spesies tetumbuhan yang menempati suatu habitat. Oleh karena itu, tujuan yang ingin dicapai dalam analisis komunitas adalah untuk mengetahui komposisi spesies dan struktur komunitas pada suatu wilayah yang dipelajari (Indriyanto, 2006).

Hasil analisis komunitas tumbuhan disajikan secara deskripsi mengenai

komposisi spesies dan struktur komunitasnya. Struktur suatu komunitas tidak hanya dipengaruhi oleh hubungan antar spesies, tetapi juga oleh jumlah individu dari setiap spesies organisme (Soegianto, 1994). Lebih lanjut Soegianto, (1994) menjelaskan, bahwa hal yang demikian itu menyebabkan kelimpahan relatif suatu spesies dapat mempengaruhi fungsi suatu komunitas, distribusi individu antarspesies dalam komunitas, bahkan dapat memberikan pengaruh pada keseimbangan sistem dan akhirnya akan berpengaruh pada stabilitas komunitas.

Struktur komunitas tumbuhan memiliki sifat kualitatif dan kuantitatif. Dengan demikian, dalam deskripsi struktur komunitas tumbuhan dapat dilakukan secara kualitatif dengan parameter kualitatif atau secara kuantitatif dengan parameter kuantitatif. Namun persoalan yang sangat penting dalam analisis komunitas adalah bagaimana cara mendapatkan data terutama data kuantitatif dari semua spesies tumbuhan yang menyusun komunitas, parameter kuantitatif dan kualitatif apa saja

yang diperlukan, penyajian data, dan interpretasi data, agar dapat mengemukakan komposisi floristik serta sifat-sifat komunitas tumbuhan secara utuh dan menyeluruh (Gopal dan Bhardwaj, 1979).

2.6.1 Parameter Kuantitatif Dalam Analisis Komunitas Tumbuhan

Menurut Gopal dan Bhardwaj (1979), untuk kepentingan deskripsi suatu komunitas tumbuhan diperlukan minimal tiga macam parameter kuantitatif antara lain: densitas/kerapatan, frekuensi, dan dominansi. Kusmana (1997) mengemukakan bahwa untuk keperluan deskripsi vegetasi tersebut ada tiga macam parameter kuantitatif yang penting, antara lain densitas, frekuensi, dan kelindungan. Kelindungan yang sebenarnya sebagai bagian dari parameter dominansi.

Kelindungan adalah daerah yang ditempati oleh tetumbuhan dan dapat

dinyatakan dengan salah satu atau kedua-duanya dari penutupan dasar (basal cover) dan penutupan tajuk (canopy cover). Adapun parameter umum dari dominansi yang dikemukakan oleh Gopal dan Bhardwaj (1979), meliputi kelindungan, biomassa, dan produktivitas. Kusmana (1997) mengemukakan bahwa dalam penelitian ekologi hutan pada umumnya para peneliti ingin mengetahui spesies tetumbuhan yang dominan yang memberi ciri utama terhadap fisiognomi suatu komunitas hutan. Spesies tumbuhan yang dominan dalam komunitas dapat diketahui dengan mengukur dominansi tersebut. Ukuran dominansi dapat dinyatakan dengan beberapa parameter, antara lain biomassa, penutupan tajuk, luas basal area, indeks nilai penting, dan perbandingan nilai penting (summed dominance ratio).

Meskipun demikian, masih banyak parameter kuantitatif yang dapat digunakan untuk mendeskripsikan komunitas tumbuhan, baik dari segi struktur komunitas maupun tingkat kesamaannya dengan komunitas lainnya. Parameter yang dimaksud untuk kepentingan tersebut adalah indeks keanekaragaman spesies dan indeks kesamaan komunitas (Soegianto, 1994).

2.7 Kondisi Komunitas Tumbuhan Hutan

Komunitas tumbuhan hutan memiliki dinamika atau perubahan, baik yang

disebabkan oleh adanya aktifitas alam maupun manusia. Aktifitas manusia yang berkaitan dengan upaya memanfaatkan hutan sebagai salah satu faktor penyebab terjadinya perubahan kondisi komunitas tumbuhan yang ada di dalamnya. Aktifitas manusia di dalam hutan dapat bersifat merusak, juga bersifat memperbaiki kondisi komunitas tumbuhan hutan, yang bersifat merusak komunitas tumbuhan misalnya penebangan pohon, pencurian hasil hutan, peladangan liar, pengembalaan liar, pembakaran hutan, dan perambahan dalam kawasan hutan. Adapun aktifitas manusia yang bersifat memperbaiki kondisi komunitas tumbuhan hutan adalah kegiatan reboisasi dalam rangka merehabilitasi areal kosong bekas penebangan, areal kosong bekas kebakaran, maupun reboisasi dalam rangka pembangunan hutan tanaman industri (Indriyanto, 2006).

Untuk mengetahui kondisi komunitas hutan harus dilakukan survey vegetasi dengan menggunakan salah satu dari beberapa metode pengambilan contoh untuk analisis komunitas tumbuhan. Kemudian, kondisi komunitas tumbuhan hutan

dapat dideskripsikan berdasarkan parameter yang diperlukan dan dianalisis untuk menginterpretasi perubahan yang terjadi. Dengan demikian, kajian kondisi komunitas hutan akan sangat berguna dalam menerapkan sistem pengelolaan hutan (Indriyanto, 2006).

Potensi dan keadaan hutan yang selalu berubah karena pertumbuhan dan kematian yang terjadi maupun karena penebangan yang dilakukan manusia, menyebabkan perlu adanya informasi hutan setiap jangka waktu tertentu. Informasi ini tidak hanya dilakukan terhadap tegakan baru atau tegakan yang mengalami perubahan besar saja, tetapi terhadap seluruh tegakan yang ada (Simon, 2007).

2.8 Analisis Tegakan

Menurut Soerianegara dan Indrawan (1978) yang dimaksud analisis vegetasi atau studi komunitas adalah suatu cara mempelajari susunan (komposisi jenis) dan bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan.

Cain dan Castro (1959) dalam Soerianegara (1978), menyatakan bahwa

penelitian yang mengarah pada analisis vegetasi, titik berat penganalisisan terletak pada komposisi jenis. Struktur masyarakat hutan dapat dipelajari dengan mengetahui sejumlah karakteristik tertentu di antaranya, kepadatan, frekuensi, dominansi dan indeks nilai penting.

Dokumen terkait