• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komposisi Dan Potensi Karbon Tersimpan Pada Tegakan Di Hutan Resort Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Komposisi Dan Potensi Karbon Tersimpan Pada Tegakan Di Hutan Resort Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

KOMPOSISI DAN POTENSI KARBON TERSIMPAN

PADA TEGAKAN DI HUTAN RESORT BUKIT LAWANG

TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER

TESIS

Oleh :

S O I M I N

087030023

PROGRAM STUDI MAGISTER BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

KOMPOSISI DAN POTENSI KARBON TERSIMPAN PADA

TEGAKAN DI HUTAN RESORT BUKIT LAWANG

TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Magister Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

S O I M I N

087030023/BIO

PROGRAM STUDI MAGISTER BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul penelitian : KOMPOSISI DAN POTENSI KARBON TERSIMPAN PADA TEGAKAN DI HUTAN RESORT BUKIT LAWANG TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER.

Nama : SOIMIN

Nomor Pokok : 087030023

Program Studi : BIOLOGI

Menyetujui Komisi Pembimbing :

Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS. Dr. Budi Utomo, SP. MP. Ketua Anggota

Mengetahui :

Ketua Program Studi

Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc.

Dekan FMIPA

Dr. Sutarman, M.Sc.

(4)

Telah diuji pada :

Tanggal 26 Agustus 2010

PANITIA PENGUJI TESIS :

Ketua : 1. Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS

Anggota : 2. Dr. Budi Utomo, SP. MP.

(5)

PERNYATAAN

Komposisi dan Potensi Karbon Tersimpan Pada Tegakan di Hutan Resort

Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis ini adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Medan, Agustus 2010

Penulis

(6)

ABSTRACT

Soimin. 2010, Composition and Carbon sink Potency On Tree at Resort Bukit Lawang Forest, Leuser’s Montain National Park. Under Academic Supervition of: Prof. Dr. Retno Widhiastuti and Dr. Budi Utomo, SP. MP.

Tree's composition at Bukit Lawang's Forest up to now haven't at knows. Such too about potency amount carbon sink Bukit Lawang forest really backs up of ecology, environmentally, ecoturism and reduces / protected Green House Effect, or Global Worming.

The objective of this research was to know trees composition and carbon sink potency on tree at protected forest. This research is executed at Station Rehabilitates Orangutan, Bukitr Lawang's resort, Leuser's Mountain national park Bohorok's district, Langkat's regency, North Sumatra Province. This research was carried out at April until July 2010. Vegetation survey was conducted by using band mettod and sampling based” sistematic sampling with random start” on 8 observing bands 30 plots with plots; for pole (10 m x 10 m) and tree (20 m x 20 m). The research at Station area Rehabilitates Orangutan, Bukit Lawang's resort, Leuser's Mountain national park Bohorok's district, Langkat's regency, found consisting of 75 genus tree in 30 family and 43 genus pole in 19 family In the tree stage Castanopsis tungurut were dominant spesies with IVI were 28,38% and in the pole stage Shorea sp.were dominant spesies with IVI 39,21 %. Diversity Index (H’) were 3,92 in the tree stage and 3,5 in the pole stage. Average of Carbon sink in Station area Resort Bukit Lawang forest were 201,2 ton/ha and Carbon sink that axiest in Station area Resort Bukit Lawang forest, Leuser Montain National Park is 40.240 ton.

Key words: Analysis, Vegetation, Tree Composition, Carbon sink, Bukit Lawang, TNGL.

(7)

ABSTRAK

Soimin. 2010, Komposisi dan Potensi Karbon Tersimpan Pada Tegakan di Hutan Resort Bukit Lawang, Taman Nasional Gunung Leuser. Dibimbing oleh : Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS. dan Dr. Budi Utomo, SP. MP.

Komposisi Tegakan di Hutan Bukit Lawang hingga kini belum diketahui. Demikian pula tentang jumlah potensi karbon tersimpan perlu dikaji. Kelestarian hutan Bukit Lawang sangat mendukung dan menjaga ekologi, lingkungan, ekowisata dan umumnya turut mengurangi/ menahan Efek Rumah Kaca, atau Global Warming.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi dan potensi karbon tersimpan pada tegakan di hutan kawasan Stasiun Rehabilitasi Orangutan, Resort Bukit Lawang, Taman Nasional Gunung Leuser Kecamatan Bohorok, Kabupaten Langkat, Propinsi Sumatera Utara. Penelitian dilakukan pada bulan April sampai Juli 2010. Penelitian ini menggunakan “Metode Sistematik Sampling with random start”.

Pengambilan data digunakan “Metode Kombinasi antara Metode Jalur dan Metode

Garis Berpetak” pada 8 jalur pengamatan 30 plot dengan plot-plot, tiang (10 m x 10 m ) dan pohon (20 m x 20 m). Hasil dari penelitian ditemukan 75 jenis tingkat pohon yang termasuk dalam 30 famili dan 43 jenis tingkat tiang dalam 19 Famili. Jenis yang

mendominasi di hutan Resort Bukit Lawang adalah Castanopsis tungurut, dengan

nilai INP 28,38 % untuk tingkat pohon, dan untuk tingkat tiang di dominasi oleh

Shorea sp, dengan nilai INP 39,21 %. Indeks Keanekaragaman (H’) sebesar 3,92 pada tingkat pohon, dan 3,5 pada tingkat tiang. Indeks Kemerataan (E) sebesar 0,91 pada tingkat pohon, dan 0,93 pada tingkat tiang. Kandungan karbon tersimpan pada tegakan adalah 201,2 ton/ha, dan kandungan karbon tersimpan pada tegakan di kawasan Hutan Stasiun Rehabilitasi Orangutan Resort Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser adalah 40.240 ton.

Kata Kunci: Analisis, vegetasi, komposisi tegakan, karbon tersimpan, Bukit Lawang, TNGL.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala Rahmat dan HidayahNya

sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang merupakan tugas akhir dalam

menempuh Magister Sains pada Program Studi Magister Biologi Fakultas

Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara .

Tema penelitian ini adalah tentang ;” Komposisi dan Potensi Cadangan

Karbon Tersimpan pada Tegakan di kawasan Stasiun Rehabilitasi Orangutan Resort

Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser Kecamatan Bohorok Kabupaten

Langkat.”

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS. dan Dr. Budi Utomo, SP. MP. yang telah

membimbing penulis dalam penulisan dan penyempurnaan tesis ini.

2. Prof. Ir. Zulkifli Nasution, MSc, PhD dan Dr. Suci Rahayu, MSi. selaku Dosen

Penguji yang telah memberi masukan dan saran pada penyempurnaan tesis ini.

3. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang telah memberi beasiswa kepada

penulis.

4. Kawan-kawan di Program Studi Magister Biologi tahun 2008, adinda Mahya

Ihsan asisten Laboratorium Taksonomi Tumbuhan FMIPA Universitas Sumatera

Utara.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan maupun penyajian

dalam tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena penulis menerima kritik

dan saran yang membangun dari semua pihak. Semoga karya ini bermanfaat bagi

kehidupan serta perkembangan ilmu pengetahuan.

Medan, Agustus 2010

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis, lahir di Desa Kota Datar Kecamatan Hamparan Perak Kabupaten Deli

Serdang, tanggal 2 September 1965 dari seorang ibu bernama Jeminah (alm) dan

Manio Kromo (alm) yang bekerja sebagai buruh tani. Lulus Sekolah Dasar Negeri

No. 104193 tahun 1980, lulus SMP Swasta Melati Desa Tandam Hilir II Kecamatan

Hamparan Perak tahun 1983 dan lulus SMA Percontohan (sekarang SMA Negeri 1)

Stabat tahun 1986. Tahun 1988 melanjutkan pendidikan Diploma III Kependidikan

FMIPA USU di Medan dan lulus tahun 1992. Setelah lulus ditempatkan pada SMA

Negeri 1 Kecamatan Symtalira Bayu Kabupaten Aceh Utara Provinsi Daerah

Istimewa Aceh (sekarang Nangroe Aceh Darussalam).

Tahun 1999 mengikuti kuliah penyetaraan S1 pada Program Dikdasmen

di Universitas Negeri Medan dan tamat tahun 2000. Tahun 2004 pindah tugas di

SMA Negeri 2 Binjai hingga sekarang ini. Tahun 2008 penulis mengikuti kuliah S2

Biologi pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara atas bantuan dari

BAPEDA Sumatera Utara.

(10)

DAFTAR ISI

2.6.Analisis Komunitas Tumbuhan…….……… 15

2.6.1 Parameter Kualitatif dalam Analisis Komunitas Tumbuhan……... 16

22.7 Kondisi Komunitas Tumbuhan Hutan…... 17

22.8.Analisis tegakan... 18

2.9.Komposisi tegakan….…………... ... 19

III BAHAN DAN METODE... 20

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian…….……… 20

3.2 Deskripsi Area ………..……… 21

3.3 Bahan dan Alat... 21

3.4 Metode Penelitian... 22

3.5 Teknik pengukuran diameter pohon... 23

3.6 Analisa data... 25

3.6.1 Analisis vegetasi... 25

3.6.2 Karbon tersimpan……… 27

(11)

4.1 Kekayaan jenis tegakan... 30

4.2 Dominansi jenis tegakan...……….... 33

4.3 Indeks Keanekaragaman dan Indeks Kemerataan ... 37

4.4.Stratifikasi tegakan ... 38

4.5.Karbon tersimpan………...…….... 40

V KESIMPULAN DAN SARAN... 42

5.1. Kesimpulan... 42

5.2. Saran... 43

V DAFTAR PUSTAKA... 44

. LAMPIRAN... 50

(12)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

1. Daftar nama tegakan yang ditemukan di kawasan Stasiun

Rehabilitasi Orangutan Resort Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser... 29

2 Data faktor fisik rata-rata pada lokasi penelitian Stasiun

Rehabilitasi Orangutan Resort Bukit Lawang, TNGL... .

33

3. Indeks Nilai Penting (INP) 10 Tingkat Pohon di kawasan Stasiun

Rehabilitasi Orangutan Resort Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser... 34

4. Indeks Keanekaragaman dan Kemerataan Pohon dan Tiang di

kawasan Stasiun Rehabilitasi Orangutan Resort Bukit Lawang

Taman Nasional Gunung Leuser... 37

5. Sttratifikasi tingkat Pohon dan tingkat Tiang di kawasan Stasiun Rehabilitasi Orangutan Resort Bukit Lawang Taman Nasional

Gunung Leuser... 39

6. Daftar kandungan Biomasa tegakan (ton/ha) dan karbon

tersimpan pada tegakan di kawasan Stasiun Rehabilitasi Orangutan, Resort Bukit Lawang, Taman Nasional Gunung

(13)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman

1. Peta lokasi penelitian di Stasiun rehabilitasi Orangutan, resort Bukit

Lawang Taman Nasional Gunung Leuser………..……… 20

2. Jalur penelitian dalam blok penelitian bukit lawang, Taman Nasional

Gunung Leuser………... 23

3 Skematis cara penentuan ketinggian pengukuran dbh pohon yang

tidak beraturan bentuknya (Weyerhaeuser dan Tennigkeit, 2000)……….. .

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1. Tabel jumlah, diameter, tinggi, BJ kayu dan biomasa tegakan

tingkat pohon...

49

2. Tabel jumlah,diameter, tinggi, BJ kayu dan biomasa tegakan

tingkat pohon... 53

3. Tabel estimasi pohon menggunakan persamaan allometrik... 55

4. Contoh pengukuran biomassa... 56

5. Rumus allometrik untuk mengukur biomasa bagian atas

beberapa spesies pohon……….. 57

6. .Tabel data faktor fisik pada lokasi penelitian………... 58

7. Tabel jumlah individu, jumlah, radius, K, KR, F, FR, LBD, D, DR, dan INP pada tingkat tiang...……….

59

8. Tabel jumlah individu, jumlah, radius, K, KR, F, FR, LBD, D,

DR, dan INP pada tingkat pohon………... 62

9 Hasil Identifikasi Herbarium Laboratorium Taksonomi

Tumbuhan FMIPA USU ………... 64

(15)

ABSTRACT

Soimin. 2010, Composition and Carbon sink Potency On Tree at Resort Bukit Lawang Forest, Leuser’s Montain National Park. Under Academic Supervition of: Prof. Dr. Retno Widhiastuti and Dr. Budi Utomo, SP. MP.

Tree's composition at Bukit Lawang's Forest up to now haven't at knows. Such too about potency amount carbon sink Bukit Lawang forest really backs up of ecology, environmentally, ecoturism and reduces / protected Green House Effect, or Global Worming.

The objective of this research was to know trees composition and carbon sink potency on tree at protected forest. This research is executed at Station Rehabilitates Orangutan, Bukitr Lawang's resort, Leuser's Mountain national park Bohorok's district, Langkat's regency, North Sumatra Province. This research was carried out at April until July 2010. Vegetation survey was conducted by using band mettod and sampling based” sistematic sampling with random start” on 8 observing bands 30 plots with plots; for pole (10 m x 10 m) and tree (20 m x 20 m). The research at Station area Rehabilitates Orangutan, Bukit Lawang's resort, Leuser's Mountain national park Bohorok's district, Langkat's regency, found consisting of 75 genus tree in 30 family and 43 genus pole in 19 family In the tree stage Castanopsis tungurut were dominant spesies with IVI were 28,38% and in the pole stage Shorea sp.were dominant spesies with IVI 39,21 %. Diversity Index (H’) were 3,92 in the tree stage and 3,5 in the pole stage. Average of Carbon sink in Station area Resort Bukit Lawang forest were 201,2 ton/ha and Carbon sink that axiest in Station area Resort Bukit Lawang forest, Leuser Montain National Park is 40.240 ton.

Key words: Analysis, Vegetation, Tree Composition, Carbon sink, Bukit Lawang, TNGL.

(16)

ABSTRAK

Soimin. 2010, Komposisi dan Potensi Karbon Tersimpan Pada Tegakan di Hutan Resort Bukit Lawang, Taman Nasional Gunung Leuser. Dibimbing oleh : Prof. Dr. Retno Widhiastuti, MS. dan Dr. Budi Utomo, SP. MP.

Komposisi Tegakan di Hutan Bukit Lawang hingga kini belum diketahui. Demikian pula tentang jumlah potensi karbon tersimpan perlu dikaji. Kelestarian hutan Bukit Lawang sangat mendukung dan menjaga ekologi, lingkungan, ekowisata dan umumnya turut mengurangi/ menahan Efek Rumah Kaca, atau Global Warming.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi dan potensi karbon tersimpan pada tegakan di hutan kawasan Stasiun Rehabilitasi Orangutan, Resort Bukit Lawang, Taman Nasional Gunung Leuser Kecamatan Bohorok, Kabupaten Langkat, Propinsi Sumatera Utara. Penelitian dilakukan pada bulan April sampai Juli 2010. Penelitian ini menggunakan “Metode Sistematik Sampling with random start”.

Pengambilan data digunakan “Metode Kombinasi antara Metode Jalur dan Metode

Garis Berpetak” pada 8 jalur pengamatan 30 plot dengan plot-plot, tiang (10 m x 10 m ) dan pohon (20 m x 20 m). Hasil dari penelitian ditemukan 75 jenis tingkat pohon yang termasuk dalam 30 famili dan 43 jenis tingkat tiang dalam 19 Famili. Jenis yang

mendominasi di hutan Resort Bukit Lawang adalah Castanopsis tungurut, dengan

nilai INP 28,38 % untuk tingkat pohon, dan untuk tingkat tiang di dominasi oleh

Shorea sp, dengan nilai INP 39,21 %. Indeks Keanekaragaman (H’) sebesar 3,92 pada tingkat pohon, dan 3,5 pada tingkat tiang. Indeks Kemerataan (E) sebesar 0,91 pada tingkat pohon, dan 0,93 pada tingkat tiang. Kandungan karbon tersimpan pada tegakan adalah 201,2 ton/ha, dan kandungan karbon tersimpan pada tegakan di kawasan Hutan Stasiun Rehabilitasi Orangutan Resort Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser adalah 40.240 ton.

Kata Kunci: Analisis, vegetasi, komposisi tegakan, karbon tersimpan, Bukit Lawang, TNGL.

(17)

I. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Bukit Lawang merupakan salah satu bagian dari kawasan Taman Nasional

Gunung Leuser (TNGL), merupakan zona pemanfaatan untuk pariwisata dan

penelitian Orangutan (Pongo pygmeus abilli). Ekosistemnya dikonservasi untuk

kepentingan konservasi, penelitian, pendidikan, kebudayaan, ekowisata dan rekreasi.

Bukit Lawang adalah sub seksi atau resort dari wilayah III Bohorok, di mana Seksi

Bohorok terdiri dari empat resort, yaitu: Resort Bukit Lawang, Resort Bohorok,

Resort Marike dan Resort Bekancan. Berdasarkan administratif pemerintahan,

berada dalam dua Propinsi, yaitu; sebagian besar berada di Propinsi Nanggroe Aceh

Darussalam (Kabupaten Aceh Tenggara dan Kabupaten Aceh Singkil) dan sebagian

lainya di Propinsi Sumatera Utara yaitu; Kabupaten Langkat dan Kabupaten Tanah

Karo. Resort Bukit Lawang berada di Kecamatan Bohorok Kabupaten Langkat

Propinsi Sumatera Utara dengan jarak ± 85 km dari kota Medan dan dapat ditempuh

melalui jalur darat, yaitu, Medan – Binjai – Bukit Lawang ± 85 km.

Tanggal 30 Oktober 1938, SK No.138 / 35 dibagi menjadi dua kawasan yaitu

kawasan Suaka margasatwa Langkat Barat 51.000 ha dan Suaka Margasatwa Langkat

Selatan adalah 75.175 ha sedang yang dipakai untuk pelestarian Orangutan adalah

(18)

maupun pemerintah, karena selain sebagai hutan lindung juga sebagai agroforestry,

konservasi, pendidikan, penelitian dan ekowisata (Dephut, 1990).

Undang-Undang No 41 tahun 1999, Pasal 1 ayat 8 mendefinisikan Hutan

lindung sebagai kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan

sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir,

mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah.

Untuk melestarikan keanekaragaman hayati di suatu ekosistem cara yang

paling efektif adalah melestarikan komunitas hayati secara utuh. Konservasi pada

tingkat komunitas merupakan satu-satunya cara yang efektif untuk melestarikan

spesies. Hal ini terutama mengingat alam situasi penangkaran dan sumber

pengetahuan yang kita miliki hanya dapat menyelamatkan sebagian kecil saja spesies

yang ada di bumi (Widhiastuti, 2008).

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PP.No.18 Tahun 1994),

menyatakan bahwa potensi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya tersebut perlu

dikembangkan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat melalui

upaya konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, sehingga tercapai

keseimbangan antara perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan secara lestari.

Perubahan iklim global yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan terganggunya

keseimbangan energi antara bumi dan atmosfir. Keseimbangan tersebut dipengaruhi

antara lain oleh peningkatan gas-gas asam arang atau karbondioksida (CO2). Vegetasi

dapat mengubah CO2 menjadi O2 melalui proses fotosintesis. Faktor utama yang

(19)

rumah kaca (GRK) di atmosfir, yaitu karbon dioksida (CO2), methane (CH4), Nitrous

Oksida (N2O), Hydro Fluoro Carbon (HFCs), Perfluorocarbon (PFCs) dan Sulfur

hexafluoride (SF6) (Protokol Kyoto,1998)

Penebangan hutan akan menyebabkan terbukanya permukaan tanah terhadap

radiasi dan cahaya matahari. Dampak langsungnya adalah meningkatnya suhu tanah

dan turunnya kadar air tanah. Dampak langsung lainnya dari kegiatan penebangan

hutan adalah menurunnya cadangan karbon atas-permukaan (above-ground carbon

stocks) dan selanjutnya akan mempengaruhi penyusutan cadangan karbon bawah-permukaan (Murdiyarso, et al., 2004).

Kawasan Stasiun Rehabilitasi Orangutan Resort Bukit Lawang Taman Taman

Nasional Gunung Leuser Kecamatan Bahorok Kabupaten Langkat merupakan salah

satu tipe hutan dataran rendah yang masih baik dan memiliki keanekaragaman jenis

pohon yang tinggi dan besar serta memiliki cadangan karbon tersimpan yang cukup

besar. Namun sejauh ini belum pernah dilakukan penelitian untuk mendapatkan

informasi dan data mengenai keadaan komposisi tegakan pohon dan kandungan

karbon yang tersimpan di kawasan hutan tersebut.

1.2 Perumusan masalah.

a. Bagaimana Komposisi Tegakan di Stasiun Rehabilitasi Orangutan Resort Bukit

Lawang TNGL.

b. Berapa besar potensi Cadangan karbon tersimpan pada tegakan di Stasiun

(20)

1.3 Tujuan

a. Mengetahui komposisi tegakan di hutan Stasiun Rehabilitasi Orangutan, Resort

Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser, Kecamatan Bahorok, Kabupaten

Langkat.

b. Mengetahui potensi karbon tersimpan pada tegakan di hutan Stasiun Rehabilitasi

Orangutan, Resort Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser, Kecamatan

Bahorok, Kabupaten Langkat.

1.4.Manfaat penelitian.

Diharapkan dari penelitian ini dapat memberi manfaat sebagai tambahan

informasi bagi TNGL, peneliti dan instansi terkait dalam rangka pengelolaan dan

pengembangan mengenai keadaan dan keanekaragaman di Stasiun Rehabilitasi

Orangutan, Resort Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser, Kecamatan

Bahorok, Kabupaten Langkat. Dapat diperoleh informasi data komposisi dan potensi

karbon tersimpan pada tegakan yang dapat digunakan sebagai acuan perbandingan

(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan

Menurut UU RI No.41 Tahun 1999, hutan merupakan sumberdaya alam

berupa suatu ekosistem. Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan

lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan

alam lingkungannya, satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (Pamulardi, 1999)

Hutan hujan tropis merupakan ekosistem yang klimaks.Tumbuh-tumbuhan

yang terdapat di dalam hutan ini tidak pernah menggugurkan daunnya secara

serentak, kondisinya sangat bervariasi seperti ada yang sedang berbunga, ada yang

sedang berbuah, ada yang dalam perkecambahan atau berada dalam tingkatan

kehidupan sesuai dengan sifat atau kelakuan masing-masing jenis tumbuh-tumbuhan

tersebut. Hutan hujan tropis memiliki vegetasi yang khas daerah tropis basah dan

menutupi semua permukaan daratan yang memiliki iklim panas, curah hujan cukup

banyak serta tersebar secara merata (Irwan, 1992).

Daniel, et al, (1992) menyatakan bahwa hutan memiliki beberapa fungsi bagi kehidupan manusia antara lain: (1) pengembangan dan penyediaan atmosfir yang baik

dengan komponen oksigen yang stabil, (2) produksi bahan bakar fosil (batu bara), (3)

pengembangan dan proteksi lapisan tanah, (4) produksi air bersih dan proteksi daerah

aliran sungai terhadap erosi, (5) penyediaan habitat dan makanan untuk binatang,

serangga, ikan, dan burung, (6) penyediaan material bangunan, bahan bakar dan hasil

(22)

taman. Semua manfaat tersebut kecuali produksi bahan bakar fosil, berhubungan

dengan pengolahan hutan.

Menurut Vickery (1984), hutan hujan tropis merupakan salah satu type

vegetasi hutan tertua yang telah menutupi banyak lahan yang terletak pada 10o LU

dan 10o LS. Ekosistem hutan hujan tropis terbentuk oleh vegetasi klimax pada daerah

dengan curah hujan 2000 sampai 4000 mm pertahun, rata-rata temperatur 25o C

dengan perbedaan temperatur yang kecil sepanjang tahun dan kelembaban udara 80

%.

Hutan alami merupakan penyimpan karbon tertinggi bila dibandingkan

dengan system penggunaan lahan pertanian, dikarenakan keragaman pohon yang

tinggi. Hutan alami dengan keanekaragaman jenis pepohonan yang berumur panjang

dan serasah yang banyak merupakan gudang penyimpanan C tertinggi. (Hairiah dan

Rahayu, 2007).

Hutan-hutan Indonesia menyimpan jumlah karbon yang sangat besar. Menurut

(FAO, dalam FWI, 2003), jumlah total vegetasi hutan Indonesia meningkat lebih dari 14 miliar ton biomassa, jauh lebih tinggi daripada Negara-negara lain di Asia dan

setara dengan 20% biomassa di seluruh hutan tropis di Afrika. Jumlah biomassa ini

secara kasar menyimpan 3,5 milliar ton karbon.

.

2.2 Hutan Dataran Rendah

Menurut Pamulardi (1999) Hutan dataran rendah merupakan salah satu dari tiga

(23)

Indonesia. Ekosistem dataran rendah merupakan bagian terbesar hutan dan mencakup

kawasan yang paling luas di Indonesia, terletak pada ketinggian 0 – 1000 meter dari

permukaan laut.

Menurut Indriyanto (2006); Direktorat Jendral Kehutanan, (1976) berdasar

ketinggian tempat dari permukaan laut, hutan hujan tropis dibedakan menjadi tiga

zona atau wilayah sebagai berikut :

1. Zona 1 dinamakan hutan hujan bawah, karena terletak pada daerah dengan

ketinggian tempat 0 – 1.000 meter.

2. Zona 2 dinamakan hutan hujan tengah karena terletak pada daerah dengan

ketinggian tempat 1.000 – 3.300 meter dari permukaan laut.

3. Zona 3 dinamakan hutan hujan atas karena terletak pada daerah dengan

ketinggian tempat 3.300 – 4.100 dari permukaan laut.

Selanjutnya Irwan (1992), menyatakan hutan hujan tropis sangat menarik, karena

merupakan ekosistem yang klimaks. Tumbuh-tumbuhan dalam hutan hujan tropis

tidak pernah menggugurkan daun.

Hutan dataran rendah ditandai oleh perbedaan biomasa yang sangat besar dan

jumlah ini dapat diukur dalam jumlah karbon yang ada. Dari jumlah biomassa hutan

dataran rendah hanya 1-2 % terdapat dalam serasah tumbuhan, kira-kira 40 % dalam

tanah, tetapi kira-kira 60 % dalam tumbuhan. Hutan type ini ditandai juga dengan

adanya secara nyata tumbuh-tumbuhan pemanjat pohon yang banyak dan lebat,

pohon-pohon berbanir besar dan banyak pohon-pohon dengan batang yang tinggi

(24)

Hutan alam di Indonesia sebagian besar merupakan hutan hujan tropis basah,

karena Indonesia merupakan negara kepulauan dan berada di wilayah khatulistiwa,

merupakan negara yang mempunyai keanekaragaman tinggi. Di hutan bawah banyak

terdapat spesies pohon anggota family; Dipterocarpaceae terutama anggota genus

Shorea, Dipterocarpus, Hopea, Vatica, Dryobalonops, dan Cotylelobium. Dengan demikian, hutan hujan bawah disebut juga :hutan Dipterocarpaceae. Selain terdapat pohon famili Dipterocarpaceae juga terdapat anggota family Lauraceae, Myrtaceae, Miristicaceae, dan Ebenaceae serta pohon-pohon anggota genus Agathis, Kompassia,

Altingia, Duabanga, Gosanepinus, Octomeles, dan Dyera (Soerianegara 1998)

2.3 Pohon

Sebagian besar hutan-hutan di Indonesia termasuk dalam Hutan Hujan Tropis,

yang merupakan masyarakat yang kompleks, tempat yang menyediakan pohon dari

berbagai ukuran. Di dalam kanopi iklim mikro berbeda dengan keadaan sekitarnya;

cahaya lebih sedikit, kelembaban sangat tinggi, dan temperatur lebih rendah.

Pohon-pohon kecil berkembang dalam naungan Pohon-pohon yang lebih besar, di dalam iklim

mikro inilah terjadi pertumbuhan. Di dalam lingkungan pohon-pohon dengan iklim

mikro dari kanopi berkembang juga tumbuhan yang lain seperti pemanjat, epifit,

tumbuhan pencekik, parasit dan saprofit (Withmore, 1984).

Pohon-pohon menjadi organisme dominan di hutan tropis, bentuk kehidupan

pohon berpengaruh pada fisiognomi umum, produksi dasar dan lingkaran keseluruhan

(25)

terdapat ciri-ciri tertentu dan kebiasaan bercabang, dedaunan, buah-buahan dan

system akar yang jarang dan tidak pernah dijumpai di bagian bumi lain (Longman

dan Jenik, 1987).

Hutan sebagai ekosistem harus dapat dipertahankan kualitas dan kuantitasnya

dengan cara pendekatan konservasi dalam pengelolaan ekosistem hutan. Pemanfaatan

ekosistem hutan akan tetap dilaksanakan dengan mempertimbangkan kehadiran

keseluruhan fungsinya. Pengelolaan hutan yang hanya mempertimbangkan salah satu

fungsi saja akan menyebabkan kerusakan hutan.

Menurut Sutarno dan Soedarsono (1997) pohon hutan merupakan tumbuhan

yang berawakan pohon, batangnya tunggal berkayu, tegak, biasanya beberapa meter

dari tanah tidak bercabang mempunyai tajuk dengan percabangan dan daun

berbentuk seperti kepala. Menurut Witmore (1986), dalam Tamin (1991), pohon

tumbuh secara alami di hutan dalam bentuk yang dominan dalam hutan hujan, bahkan

tumbuhan bawah sebagian besar terdiri dari tumbuhan berkayu yang mempunyai

bentuk pohon.

Pada saat ini daerah hutan hujan tropis yang memiliki keanekaragaman jenis

pohon yang terbesar dan masih cukup baik berada di Asia Tenggara, terutama di

Indonesia dijumpai di pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua (Haeruman,

1980). Keanekaragaman jenis yang tinggi terdapat di hutan hujan tropis yang menurut

Polunin (1997) memiliki struktur yang sangat kompleks dibandingkan dengan jenis

(26)

Di Asia Tenggara umumnya ditemukan lebih dari seratus jenis spesies pohon

yang berbeda tiap hektarnya, tidak termasuk tingkat seedling (semai) walaupun

beberapa dugaan terdahulu menyatakan bahwa kadang-kadang jumlah keseluruhan

spesies pohon mungkin hampir 400 spesies per-hektar. Daerah hutan tropis yang

relatif paling sedikit adalah Afrika, dimana lebih sedikit dari 100 spesies pohon

perhektarnya merupakan endemik (Longman dan Jenik, 1974).

Untuk keperluan inventarisasi, Kusmana (1997) membedakan vegetasi hutan

sebagai berikut:

a. Seedling (semai) yaitu permudaan mulai kecambah sampai setinggi 1,5 m

b. Sapling (pancang, sapihan) yaitu permudaan yang tingginya 1,5 m dan lebih

sampai pohon-pohon muda yang berdiameter kurang dari 10 cm

c. Tiang yaitu pohon-pohon muda yang berdiameter 10 - 20 cm

d. Pohon dewasa yaitu pohon yang berdiameter lebih dari 20 cm yang diukur 1,3

meter dari permukaan tanah.

2.4 Karbon tersimpan.

Perubahan iklim global yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan karena

terganggunya keseimbangan energi antara bumi dan atmosfir. Keseimbangan tersebut

dipengaruhi antara lain oleh peningkatan gas-gas karbondioksida (CO2), metana

(CH4) dan nitrogen oksida (N2O) yang lebih dikenal dengan gas rumah kaca (GRK)

Kenaikan konsentrasi CO2 dan GRK lain di atmosfer dapat terjadi secara alamiah,

(27)

per tahun. Namun pada kenyataannya, pasca revolusi industri emisi CO2 yang

dihasilkan manusia mencapai 27-30 milyar ton per tahun, lebih dari 130 kali lipat

dibandingkan emisi dari gunung berapi (Hairiah dan Rahayu, 2007). Gas-gas tersebut

memiliki kemampuan menyerap radiasi gelombang panjang yang bersifat panas

sehingga suhu bumi akan semakin panas jika jumlah gas-gas tersebut meningkat di

atmosfer (Najiati, et al., 2005).

Menurut Hairiah dan Rahayu, (2007), konsentrasi GRK di atmosfer

meningkat sebagai akibat adanya pengelolaan lahan yang kurang tepat, antara lain

adanya pembakaran vegetasi hutan dalam skala luas pada waktu yang bersamaan dan

adanya pengeringan lahan gambut. Kegiatan-kegiatan tersebut umumnya dilakukan

pada awal alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian. Kebakaran hutan dan lahan

serta gangguan lahan lainnya telah menempatkan Indonesia dalam urutan ketiga

negara penghasil emisi CO2 terbesar di dunia. Indonesia berada di bawah Amerika

Serikat dan China, dengan jumlah emisi yang dihasilkan mencapai dua miliar ton

CO2 pertahunnya atau menyumbang 10 % dari emisi CO2 di dunia.

Tumbuhan memerlukan sinar matahari, air H2O dan gas asam arang CO2,

melalui proses fotosintasis, CO2 di udara diserap oleh tanaman dan diubah menjadi

karbohidrat, kemudian disebarkan ke seluruh tubuh tanaman dan akhirnya ditimbun

dalam tubuh tanaman berupa daun, batang, ranting, bunga dan buah. Proses

penimbunan C dalam tubuh tanaman hidup dinamakan proses sekuestrasi (C

(28)

tanaman hidup (biomasa) pada suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO2 di

atmosfir yang diserap oleh tanaman (Hairiah dan Rahayu, 2007)

Lebih lanjut Hairiah dan Rahayu, (2007), menyatakan tanaman atau pohon

berumur panjang yang tumbuh di hutan maupun di kebun campuran (agroforestry)

merupakan tempat penimbunan atau penyimpanan C (rosot C =C sink) yang jauh

lebih besar daripada tanaman semusim. Oleh karena itu, hutan alami dengan

keragaman jenis pepohonan berumur panjang merupakan gudang penyimpanan C

tertinggi. Bila hutan diubah fungsinya menjadi lahan-lahan pertanian atau perkebunan

atau ladang pengembalaan maka C tersimpan akan merosot. berkenaan dengan upaya

pengembangan lingkungan bersih, maka jumlah CO2 di udara harus dikendalikan

dengan jalan meningkatkan jumlah serapan CO2 oleh tanaman sebanyak mungkin

dan menekan pelepasan (emisi) CO2 ke udara serendah mungkin. Jadi, minimal

dengan mempertahankan keutuhan hutan alami, menanam pepohonan pada

lahan-lahan pertanian dan melindungi lahan-lahan gambut sangat penting untuk mengurangi

jumlah CO2 yang berlebihan di udara. Jumlah ”C tersimpan” dalam setiap

penggunaan lahan tanaman, seresah dan tanah, biasanya disebut juga sebagai

gginya emisi

CO2 dari kendaraan bermotor dan aktivitas manusia lainnya (Channel,1996) ”cadangan karbon C”.

Perbedaan penambahan carbon tersebut diduga disebabkan oleh perbedaan

kandungan CO2 di udara. Peningkatan CO2 di atmosfer akan meningkatkan karbon

tersimpan (sinker CO2). Kandungan karbon di jalur hijau jalan lebih tinggi

(29)

Hutan berperan dalam upaya penyerapan CO2 dimana dengan bantuan cahaya

matahari dan air dari tanah, vegetasi yang berklofil mampu menyerap CO2 dari

atmosfer melalui proses fotosintesis. Hasil fotosisntasis ini antara lain disimpan

dalam bentuk biomasa yang menjadikan vegetasi tumbuhan menjadi besar dan tinggi

(Adinugroho, et al., 2009).

Dampak konversi hutan menjadi lahan pertanian baru terasa apabila diikuti

dengan degradasi tanah dan hilangnya vegetasi, serta berkurangnya proses

fotosintesis akibat munculnya gedung-gedung bertingkat serta bangunan-bangunan

dari aspal sebagai pengganti tanah atau rumput. Masalah utama yang terkait dengan

alih guna lahan adalah perubahan jumlah cadangan karbon. Pelepasan karbon ke

atmosfir akibat konversi hutan berjumlah sekitar 250 Mg ha-1 C (Mg = mega gram =

106 g = ton) yang terjadi selama penebangan dan pembakaran, sedangkan penyerapan

kembali karbon menjadi vegetasi pohon relatif lambat, hanya sekitar 5 Mg ha-1 C.

Penurunan emisi karbon dapat dilakukan dengan: (a) mempertahankan cadangan

karbon yang telah ada dengan cara mengelola hutan lindung, mengendalikan

deforestasi, menerapkan praktek silvikultur yang baik, mencegah degradasi lahan

gambut dan memperbaiki pengelolaan cadangan bahan organik tanah,

(b)meningkatkan cadangan karbon melalui penanaman tanaman berkayu dan

(c)mengganti bahan bakar fosil dengan bahan bakar yang dapat diperbaharui secara

langsung maupun tidak langsung (angin, biomasa, aliran air), radiasi matahari, atau

(30)

Polunin (1997) mengatakan bahwa hutan hujan tropis mempunyai biomasa

lazimnya 450 (dengan kisaran 60-800) Ton per hektar, tergantung pada tipe vegetasi

dan tipe tanah. Dan kebanyaan biomas ini terdapat dalam batang – batang pohon.

Palm, at al. menyatakan bahwa pohon hutan menyimpan 50-80 karbon namun

akumulasinya dipengaruhi oleh, jenis, iklim, tanah dan managemen.

Cadangan karbon pada suatu sistem penggunaan lahan dipengaruhi oleh

jenis tegakannya. Suatu sistem penggunaan lahan yang terdiri dari pohon dengan

spesies yang mempunyai nilai kerapatan kayu tinggi, biomasanya akan lebih tinggi

bila dibandingkan dengan lahan yang mempunyai spesies dengan nilai kerapatan

kayu rendah. Biomasa pohon (dalam berat kering) dihitung menggunakan "allometric

equation" berdasarkan pada diameter batang setinggi 1,3 m di atas permukaan tanah

(Rahayu, et al., 2007).

2.5 Vegetasi

Vegetasi yaitu kumpulan dari beberapa jenis tumbuhan yang tumbuh

bersama-sama pada satu tempat di mana antara individu-individu penyusunnya

terdapat interaksi yang erat, baik di antara tumbuh-tumbuhan maupun dengan

hewan-hewan yang hidup dalam vegetasi dan lingkungan tersebut. Dengan kata lain, vegetasi

tidak hanya kumpulan dari individu-individu tumbuhan melainkan membentuk suatu

kesatuan di mana individu-individunya saling tergantung satu sama lain, yang disebut

(31)

2.6. Analisis Komunitas Tumbuhan

Analisis komunitas tumbuhan merupakan suatu cara mempelajari susunan

atau komposisi jenis dan bentuk atau struktur tegakan. Dalam ekologi hutan, satuan

vegetasi yang dipelajari atau diselidiki berupa komunitas tumbuhan yang merupakan

asosiasi konkret dari semua spesies tetumbuhan yang menempati suatu habitat. Oleh

karena itu, tujuan yang ingin dicapai dalam analisis komunitas adalah untuk

mengetahui komposisi spesies dan struktur komunitas pada suatu wilayah yang

dipelajari (Indriyanto, 2006).

Hasil analisis komunitas tumbuhan disajikan secara deskripsi mengenai

komposisi spesies dan struktur komunitasnya. Struktur suatu komunitas tidak hanya

dipengaruhi oleh hubungan antar spesies, tetapi juga oleh jumlah individu dari setiap

spesies organisme (Soegianto, 1994). Lebih lanjut Soegianto, (1994) menjelaskan,

bahwa hal yang demikian itu menyebabkan kelimpahan relatif suatu spesies dapat

mempengaruhi fungsi suatu komunitas, distribusi individu antarspesies dalam

komunitas, bahkan dapat memberikan pengaruh pada keseimbangan sistem dan

akhirnya akan berpengaruh pada stabilitas komunitas.

Struktur komunitas tumbuhan memiliki sifat kualitatif dan kuantitatif. Dengan

demikian, dalam deskripsi struktur komunitas tumbuhan dapat dilakukan secara

kualitatif dengan parameter kualitatif atau secara kuantitatif dengan parameter

kuantitatif. Namun persoalan yang sangat penting dalam analisis komunitas adalah

bagaimana cara mendapatkan data terutama data kuantitatif dari semua spesies

(32)

yang diperlukan, penyajian data, dan interpretasi data, agar dapat mengemukakan

komposisi floristik serta sifat-sifat komunitas tumbuhan secara utuh dan menyeluruh

(Gopal dan Bhardwaj, 1979).

2.6.1 Parameter Kuantitatif Dalam Analisis Komunitas Tumbuhan

Menurut Gopal dan Bhardwaj (1979), untuk kepentingan deskripsi suatu

komunitas tumbuhan diperlukan minimal tiga macam parameter kuantitatif antara

lain: densitas/kerapatan, frekuensi, dan dominansi. Kusmana (1997) mengemukakan

bahwa untuk keperluan deskripsi vegetasi tersebut ada tiga macam parameter

kuantitatif yang penting, antara lain densitas, frekuensi, dan kelindungan.

Kelindungan yang sebenarnya sebagai bagian dari parameter dominansi.

Kelindungan adalah daerah yang ditempati oleh tetumbuhan dan dapat

dinyatakan dengan salah satu atau kedua-duanya dari penutupan dasar (basal cover) dan penutupan tajuk (canopy cover). Adapun parameter umum dari dominansi yang dikemukakan oleh Gopal dan Bhardwaj (1979), meliputi kelindungan, biomassa, dan

produktivitas. Kusmana (1997) mengemukakan bahwa dalam penelitian ekologi

hutan pada umumnya para peneliti ingin mengetahui spesies tetumbuhan yang

dominan yang memberi ciri utama terhadap fisiognomi suatu komunitas hutan.

Spesies tumbuhan yang dominan dalam komunitas dapat diketahui dengan mengukur

dominansi tersebut. Ukuran dominansi dapat dinyatakan dengan beberapa parameter,

antara lain biomassa, penutupan tajuk, luas basal area, indeks nilai penting, dan

(33)

Meskipun demikian, masih banyak parameter kuantitatif yang dapat

digunakan untuk mendeskripsikan komunitas tumbuhan, baik dari segi struktur

komunitas maupun tingkat kesamaannya dengan komunitas lainnya. Parameter yang

dimaksud untuk kepentingan tersebut adalah indeks keanekaragaman spesies dan

indeks kesamaan komunitas (Soegianto, 1994).

2.7 Kondisi Komunitas Tumbuhan Hutan

Komunitas tumbuhan hutan memiliki dinamika atau perubahan, baik yang

disebabkan oleh adanya aktifitas alam maupun manusia. Aktifitas manusia yang

berkaitan dengan upaya memanfaatkan hutan sebagai salah satu faktor penyebab

terjadinya perubahan kondisi komunitas tumbuhan yang ada di dalamnya. Aktifitas

manusia di dalam hutan dapat bersifat merusak, juga bersifat memperbaiki kondisi

komunitas tumbuhan hutan, yang bersifat merusak komunitas tumbuhan misalnya

penebangan pohon, pencurian hasil hutan, peladangan liar, pengembalaan liar,

pembakaran hutan, dan perambahan dalam kawasan hutan. Adapun aktifitas manusia

yang bersifat memperbaiki kondisi komunitas tumbuhan hutan adalah kegiatan

reboisasi dalam rangka merehabilitasi areal kosong bekas penebangan, areal kosong

bekas kebakaran, maupun reboisasi dalam rangka pembangunan hutan tanaman

industri (Indriyanto, 2006).

Untuk mengetahui kondisi komunitas hutan harus dilakukan survey

vegetasi dengan menggunakan salah satu dari beberapa metode pengambilan contoh

(34)

dapat dideskripsikan berdasarkan parameter yang diperlukan dan dianalisis untuk

menginterpretasi perubahan yang terjadi. Dengan demikian, kajian kondisi komunitas

hutan akan sangat berguna dalam menerapkan sistem pengelolaan hutan (Indriyanto,

2006).

Potensi dan keadaan hutan yang selalu berubah karena pertumbuhan dan

kematian yang terjadi maupun karena penebangan yang dilakukan manusia,

menyebabkan perlu adanya informasi hutan setiap jangka waktu tertentu. Informasi

ini tidak hanya dilakukan terhadap tegakan baru atau tegakan yang mengalami

perubahan besar saja, tetapi terhadap seluruh tegakan yang ada (Simon, 2007).

2.8 Analisis Tegakan

Menurut Soerianegara dan Indrawan (1978) yang dimaksud analisis vegetasi

atau studi komunitas adalah suatu cara mempelajari susunan (komposisi jenis) dan

bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan.

Cain dan Castro (1959) dalam Soerianegara (1978), menyatakan bahwa

penelitian yang mengarah pada analisis vegetasi, titik berat penganalisisan terletak

pada komposisi jenis. Struktur masyarakat hutan dapat dipelajari dengan mengetahui

sejumlah karakteristik tertentu di antaranya, kepadatan, frekuensi, dominansi dan

(35)

2.9. Komposisi Tegakan

Salah satu ciri hutan hujan tropik yang juga dapat disaksikan di hutan

pegunungan (Rifai, 1993). Lapisan-lapisan ini dibedakan atas lapisan tajuk (kanopi)

(A dan B) dan lapisan bawah (C dan D), kanopi merupakan atap hutan. Rata-rata

ketinggiannya adalah 20 sampai 35 meter, tumbuh rapat, sehingga tajuknya saling

bertautan membentuk kesinambungan dan menjadi atap hutan. Lapisan B dihuni oleh

pohon-pohon yang masih muda dan kecil. Ketinggian rata-rata 4 sampai 20 meter.

Lapisan C dan D adalah lapisan semak dan lapisan penutup tanah (Hafild dan Aniger,

1984).

Komposisi hutan merupakan penyusun suatu tegakan atau hutan yang

meliputi jumlah jenis ataupun banyaknya individu dari suatu jenis tumbuhan

(Wirakusuma, 1990). Komposisi hutan sangat ditentukan oleh faktor-faktor

kebetulan, terutama waktu-waktu pemencaran biji dan perkembangan bibit. Pada

daerah tertentu komposisi hutan berkaitan erat dengan ciri habitat dan topografi

(36)

III. BAHAN DAN METODE

3.1.Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di kawasan hutan Stasiun rehabilitasi Orangutan Resort

Bukit Lawang Taman Nasional Gunung Leuser, Kecamatan Bahorok, Kabupaten

Langkat. Pelaksanaan penelitian dilaksanakan April hingga Juli 2010. Lokasi

penelitian dapat dilihat pada gambar 1;

Sumber : Dirjen Perlindungan Pelestarian Alam TNGL

Gambar 1.Peta lokasi penelitian di Kawasan Bukit Lawang, TNGL.

(37)

3.2.Deskripsi Area.

Kawasan Bukit Lawang merupakan kawasan pusat penelitian Orangutan dan

pariwisata terutama ekowisata. Dari segi pengelolalaan hutanya, kawasan hutan Bukit

Lawang, Bahorok termasuk dalam kawasan kerja wilayah Langkat Selatan Taman

Nasional Gunung Leuser. Secara geografis kawasan ini terletak pada 3030 LU– 3045

LU dan 9800 BT – 98015 BT Batas-batasnya adalah sebelah utara dengan sungai

Bohorok, dan sebelah timur berbatasan dengan sungai Bohorok sedangkan sisi-sisi

lainya terus berbatasan dengan kawasan TNGL. Hutan Taman Nasional Gunung

Leuser rehabilitasi Orangutan Resort Bukit Lawang, Bohorok luasnya adalah 200 ha,

yang menyimpan keanekaragaman hayati flora dan fauna. Topografi secara umum

topografi kawasan hutan Bukit Lawang adalah datar, bergelombang dan daerah

berbukit. Kawasan hutan Bukit Lawang pada ketinggian 100 m – 700 m dari

permukaan laut (dpl ), dengan kemiringan mencapai 40 0 (Dephut, 1990). Dengan

curah hujan rata-rata 10 tahun terakhir 4913,5 mm per-tahun (BMG, 2010) serta suhu

24 0C, Intensitas cahaya 944,3 Lux meter, kelembaban 91,4 %, suhu tanah 24,57 0C

dan pH 6,2.

3.4 Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah, batang, spesimen

daun dan bunga serta buah yang digunakan untuk identifikasi pohon, alkohol 70%

yang digunakan sebagai pengawet spesimen dari lokasi penelitian. Alat-alat yang

(38)

phi-band, meteran panjang 50 meter, tali kambing, gunting tanaman, hagameter, alat

tulis, tally sheet, label, dan spidol dan alat-alat lainya.

3.5. Metode Penelitian.

Penetapan lokasi penelitian dilakukan dilakukan secara purposive, sementara

peletakan unit comtohnya dilakukan dengan cara ”sistematik sampling with random start”. Teknik ini merupakan penentuan lokasi penelitian secara sengaja yang dianggap representatif. Metode analisis yang digunakan adalah kombinasi antara

metode jalur dan metode garis berpetak dengan plot-plot 20 m x 20 m untuk tingkat

pohon dan 10 m X 10 m untuk tingkat Tiang Kusmana (1997). Penelitian dilakukan

pada blok III dengan dasar transek pinggir sungai dengan memotong kontur. Jumlah

petak pengamatan dalam jalur ditentukan kurva lengkung area sehingga diperoleh

jumlah petak 3 sampai 7 plot pengamatan per-jalur. Jarak antar plot 100 m sedang

jarak antar jalur 150 m sebanyak 8 jalur sehingga di dapat sebanyak 30 plot. Dalam

setiap plot dibuat pencatatan pohon dan diukur diameter batang setiap pohon pada

ketinggian 1,3 meter dari permukaan tanah, kemudian diukur tinggi pohon dan dicatat

(39)

Ke te ra n g a n :

3.6. Tehnik Pengukuran diameter pohon :

Identifikasi dilakukan pada tingkat tiang dan pohon dengan keriteria sebagai

berikut:

a. Tiang, yaitu pemudaan dengan diameter batang 10 cm s/d 20 cm, di

identifikasi pada petak ukur 10 m x 10 m.

b. Pohon, yaitu tumbuhan berkayu dengan diameter batang > 20 cm.

Diidentifikasi pada petak ukur 20 m x 20 m (Kusmana, 1997).

Parameter yang diamati meliputi jenis, jumlah individu pada tiap petak ukur,

bercabang atau tidak bercabang, dan diameter setinggi dada (dbh = diameter at breast height = 1,3 m dari permukaan tanah), yang diukur dengan menggunakan phi-band (pita diameter). Untuk jenis tegakan yang sudah dikenali langsung diidentifikasi

(40)

kemudian diidentifikasi di Laboratorium Taksonomi Tumbuhan, FMIPA, Universitas

Sumatera Utara, Medan.

Untuk menentukan ketinggian pengukuran diameter umumnya dilakukan pada

ketinggian 1,3 m dari permukaan tanah (diameter setinggi dada atau diameter at breast height = dbh), dengan ketentuan sebagai berikut :

1. Bila pohon di lereng, diameter diukur pada ketinggian 4,5 kaki dari permukaan

tanah atau 1,3 m diatas permukaan tanah sebelah atas.

2. Bila pohon membentuk cabang tepat pada ketinggian 1,3 m maka pohon tersebut

dianggap sebagai satu individu dan bila di bawah 1,3 m dari permukaan tanah

maka batang tersebut dianggap individu masing-masing.

3. Bila pohon berakar papan tidak normal melebihi setinggi dada, maka pengukuran

diameter dilakukan diatas batas batang dari bentuk tidak normal.

4. Sesuai dengan informasi yang diinginkan, diameter pohon yang diukur bisa

merupakan diameter diluar kulit pohon atau diameter dekat kulit pohon.

(41)

3.6. Analisis Data

3.6.1 Analisis Vegetasi

Data vegetasi yang dikumpulkan dianalisis untuk mendapatkan nilai

Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR), Dominansi Relatif (DR), Indeks

Nilai Penting (INP), Indeks Keanekaragaman, Indeks Kemerataan, dari

masing-masing lokasi penelitian. Untuk analisis vegetasi pohon, nilai INP terdiri dari KR,

FR, dan DR, suatu keanekaragaman dianalisis menurut buku acuan Metode Survey

Vegetasi (Kusmana. 1997).

Jumlah individu

a. Kerapatan (K) =

Luas petak contoh

K suatu jenis

Kerapatan relatife (KR) = x 100%

K total seluruh jenis

Jumlah petak contoh ditemukannya suatu spesies

b. Frekuensi (F) =

Jumlah seluruh petak contoh

F suatu spesies

Frekuensi relatif (FR) = x 100 %

(42)

Luas bidang dasar suatu spesies.

c. Dominansi (D) =

Luas petak contoh

D suatu spesies

Dominansi relatif = x 100% D seluruh spesies

Luas Bidang Dasar suatu spesies = π r2

1

= 4 π d2

( π = 3,14)

d. Indeks nilai penting (INP) = KR + FR + DR

e. Indeks Keanekaragaman

H1 = - ∑pi ln pi

ni

pi = — N

Keterangan : ni = jumlah individu suatru jenis N = jumlah total individu seluruh jenis

(43)

e. Indeks Kemerataan

H1

E =

H maks

Keterangan: E = Indeks kemerataan.

H1 = Indeks keanekaragaman

H maks = Indeks kemerataan maksimum, sebesar Ln S S = jumlah genus/jenis

h. Stratifikasi Vegetasi

Stratifikasi diukur berdasarkan tinggi tegakan vegetasi menurut Indriyanto,

(2006) sebagai berikut :

1. Stratum A : Tinggi tegakan ≥ 30 m

2. Stratum B : Tinggi tegakan 20-30 m

3. Stratum C : Tinggi tegakan 4 - 20 m

4. Stratum D : Tinggi tegakan 1 - 4 m

(44)

3.6.2 Karbon Tersimpan

Karbon tersimpan dianalisis berdasarkan Persamaan Allometrik Ketterings

(Hairiah dan Rahayu, 2007).

BK : 0,11 x ρ x D2,62

Keterangan : BK : Berat kering

ρ : Berat jenis kayu (g cm-3)

D : Diameter pohon (cm)

Total Biomassa = BK1 + BK2 + ...BKn.

Total Biomassa Biomassa per satuan luas =

Luas area (m2)

Karbon tersimpan = Biomassa per satuan luas x 0,46

Nilai ρ masing-masing pohon, dapat dilihat dari ;

- ” Wood Densiity Data Base ” (World Agroforesty Center). - Zanne et al.” Global wood density database”. Datadryad.

- ”Wood Density Fhase 1 (National Carbon Accounting System) dan - ”Jenis-jenis pohon disusun berdasarkan nama daerah dan nama

(45)

    

IV.

  

HASIL

 

DAN

 

PEMBAHASAN

 

4.1. Kekayaan Jenis Pohon

Berdasarkan analisis vegetasi hasil penelitian yang dilakukan di kawasan

Stasiun Rehabilitasi Orangutan Resort Bukit Lawang, Taman Nasional Gunung

Leuser, Kecamatan Bohorok, Kabupaten Langkat, ditemukan tegakan (Tingkat

pertumbuhan pohon dan tiang), sebanyak 86 jenis, yang termasuk dalam 35 famili,

lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Bako (2009) yang melaporkan di hutan

lindung Kabupaten Pakpak Barat sebanyak 46 jenis dalam 31 famili. Daftar jumlah

jenis tegakan di hutan kawasan Stasiun Rehabilitasi Orangutan Resort Bukit Lawang,

TNGL dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1.Daftar nama tegakan yang ditemukan di kawasan hutan Stasiun Rehabilitasi Orangutan, Resort Bukit Lawang, TNGL.

Tkt. Pertumbuhan

No Famili Nama Jenis

Tiang Pohon

1 Anacardiaceae Mangifera foetida - 1

2 Anacardiaceae Mangifera grasialis hook. 3 -

3 Anacardiaceae Mangifera longifes 1 1

4 Anacardiaceae Semecarpus 1

5 Anacardiaceae Semecarpus sp. - 2

6 Anacardiaceae Swintonia sp. 1 -

7 Annonaceae Polyanthia glauca - 1

8 Araliaceae Arthropylum diversifolium - 1

9 Araliaceae Brassaiopsis glomerulata - 1

10 Bombacaceae Durio sp. - 2

11 Burseraceae Canarium comune L. 1 -

12 Burseraceae Santiria rubiginosa 1 5

13 Clusiaceae Garcinia burkilii 1 1

14 Combretaceae Vernonia arborea - 1

15 Dipterocarpaceae Anisoptera magistocarpa 4 5

(46)

17 Dipterocarpaceae Dipterocarpus opterus - 1 Lanjutan Tabel 1……..

Tkt. Pertumbuhan

No Famili Nama Jenis

Tiang Pohon

18 Dipterocarpaceae Dipterocarpus sp. 1 1

19 Dipterocarpaceae Dryobalanops aromatica - 1

20 Dipterocarpaceae Hopea sangal - 3

21 Dipterocarpaceae Parashorea sp. 2 1

22 Dipterocarpaceae Shorea acuminata - 1

23 Dipterocarpaceae Shorea lepidota - 8

24 Dipterocarpaceae Shorea leprosula - 5

25 Dipterocarpaceae Shorea multiflora 1 7

26 Dipterocarpaceae Shorea ovalis - 1

27 Dipterocarpaceae Shorea ovata - 3

28 Dipterocarpaceae Shorea platyclados 6 14

29 Dipterocarpaceae Shorea retinodes 1 -

30 Dipterocarpaceae Shorea scabrida 2 6

31 Dipterocarpaceae Shorea sp. 8 11

32 Dipterocarpaceae Sorea materialis - 2

33 Ebenaceae Diospyros malam 2 7

34 Elaeocarpaceae Elaeocarpus obtusus - 1

35 Euphorbiaceae Antidesma montanum - 2

36 Euphorbiaceae Baccaurea sp. - 1

37 Fabaceae Pongamia pinnata - 3

38 Fagaceae Castanapsis tungurut - 12

39 Fagaceae Lithocarpus benetti 1 -

40 Fagaceae Lithocarpus sp. - 2

41 Fagaceae Quercus sp. - 1

42 Hammamelidaceae Altingia sp. - 1

43 Hammamelidaceae Blukandia populnea R.Wbrown - 1

44 Lauraceae Alseodaphne foetida. - 1

45 Lauraceae Alseodaphne sp. 4 6

46 Lauraceae Ardisia lurida 1 1

47 Lauraceae Cinnamomum cassia 1 1

48 Lauraceae Cinnamomum sundairicum - 1

49 Lauraceae Commersonia barthramia - 1

50 Lauraceae Lindera sp. 1 1

51 Lauraceae Litsea amara - 2

52 Lauraceae Litsea sp. 1 1

53 Lauraceae Persea sp. 3 1

54 Leguminosae Koompassia malaccensis - 3

55 Leguminosae Parkia - 2

56 Leguminosae Pithecellobium sp. 2 -

57 Magnoliaceae Michelia montana - 1

(47)

59 Meliaceae Aglaia glabiflora - 2

61 Meliaceae Dysoxilum arborecens 2 1

62 Meliaceae Lansium sp. 2 2

63 Moraceae Arthocarpus sp. - 1

64 Moraceae Ficus sp. 1 6

65 Myristicaceae Horsfieldia irya 2 -

66 Myristicaceae Knema sp. 1 1

67 Myrtaceae Eugenia cumingiana - 1

68 Myrtaceae Eugenia garcinifolia - 1

69 Myrtaceae Eugenia grandis 2 6

70 Myrtaceae Eugenia griffithi - 3

71 Myrtaceae Eugenia sp. - 1

72 Rubiaceae Ixora blumei 1 3

73 Rutaceae Acronychia sp. 1 1

74 Rutaceae Evodia sp. - 3

75 Sapindaceae Arytera litoralis - 2

76 Sapotaceae Palaquium rostratum 1 1

77 Sapotaceae Palaquium sp. 1 2

78 Sterculeaceae Pterospermum diversifolium 1 -

79 Sterculeaceae Scaphium sp. 4 6

80 Styracaceae Styrax benzoin - 1

81 Styraxaceae Styrax paralelloneurum 1 -

82 Symarobaceae Euricoma longifolia 6 1

83 Theaceae Adinandra dumosa - 2

84 Theaceae Eurya acuminata 1 2

85 Theaceae Eurya nitida 1 1

86 Ulmaceae Gironiera subaequlis PLANCH - 1

Jumlah individu 81/ 0,3 ha 192/ 1,2 ha

(270 / ha) (160 / ha)

Jumlah jenis 43 75

Jumlah Famili 19 30

Dari Tabel 1 diketahui bahwa pada penelitian yang dilakukan tercatat 75 jenis

tingkat pohon yang termasuk ke dalam 30 famili dan 43 jenis tingkat tiang yang

termasuk ke dalam 19 famili. Hal ini lebih rendah dibandingkan hasil laporan Dirjen

(48)

92 jenis tingkat pohon yang termasuk dalam 31 famili dan 107 jenis tingkat tiang

dalam 32 famili. Lebih rendahnya jenis hasil penelitian kemungkinan karena

pengambilan sampel yang diidentifikasi oleh Dephut jauh lebih luas, sedangkan

peneliti hanya meneliti seluas 200 ha, atau akibat kompetisi sehingga ada beberapa

spesies yang kalah dan musnah, atau mungkin juga karena lokasi penelitian dekat

dengan pemukiman penduduk maka diambil oleh penduduk sekitar karena

bermanfaat sebagai obat.

Berdasarkan data yang dikumpulkan bahwa kawasan Stasiun Rehabilitasi

Orangutan Resort Bukit Lawang, Taman Nasional Gunung Leuser memiliki jumlah

jenis pohon cukup tinggi, bila dibandingkan dengan hasil; Silalahi (1995) yang

melaporkan di kawasan Lae Ordi Dairi ditemukan 32 jenis pohon dengan jumlah

individu 163.47 indvidu/ha; Sagala (1997), yang melaporkan di kawasan hutan

Gunung Sibayak II Bukit Barisan ditemukan 46 jenis pohon yang termasuk dalam 30

famili dengan jumlah individu sebanyak 591 individu/ha serta Bakri (2009),

melaporkan di kawasan hutan Wisata Taman Eden, hanya ditemukan sebanyak 18

jenis tingkat pohon yang termasuk dalam 12 Famili saja dan lebih rendah

dibandingkan dengan hasil penelitian Susilo (2004) yang melaporkan di kawasan

Hutan Tangkahan, Stasiun Resort Tangkahan Subseksi Langkat Sikundur Taman

Nasional Gunung Leuser, ditemukan 159 jenis tingkat pohon yang termasuk dalam 35

famili. Tinggi rendahnya jumlah spesies pada suatu hutan selain dipengaruhi oleh

kondisi habitat dan faktor lingkungan juga tingkat gangguan baik dari hewan dan

(49)

Pada lokasi penelitian didapat faktor fisik yang berpengaruh terhadap

jenis-jenis vegetasi tersebut sehingga mampu beradaptasi dengan keadaan lingkungan

tersebut dan dapat tumbuh dengan baik. Berdasarkan pengamatan di lapangan,

didapat suhu rata-rata 24 0C, kelembaban udara rata 91,4 % dan Intensitas

rata-rata 944,33 Lux meter. Demikian juga dengan keadaan tanah, dimana pada lokasi

penelitian pH tanah berkisar 6,42, suhu tanah 24,57 0C. Untuk lebih jelas dapat

dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Data faktor fisik rata-rata pada Lokasi Penelitian Stasiun Rehabilitasi Orangutan Resort Bukit Lawang TNGL.

Ketinggian

Daniel, et al, (1992), menyatakan bahwa pertumbuhan tumbuhan dipengaruhi oleh faktor tanah, iklim, mikroorganisme, kompetisi dengan organisme lainnya dan

juga dipengaruhi oleh zat-zat organik yang tersedia, kelembaban dan sinar matahari.

4.2. Dominansi Jenis Tegakan.

Dominansi spesies menunjukkan tingkat kehadiran dan penguasaan suatu

jenis dalam ekosistem. Jenis dominansi disuatu tempat adalah jenis yang dapat

memanfatkan lingkungan secara lebih efisien dibandingkan dengan jenis-jenis

lainnya Smith (1977). Dominansi jenis tegakan diperoleh dari hasil perhitungan

Indeks Nilai Penting (INP). Jenis yang dominan adalah jenis yang memiliki INP

(50)

dan produktifitas yang besar pula. Menurut Odum (1971) jenis yang dominan

memiliki produktifitas yang besar. Menurut Hortshon (1976) dalam Yefri (1987) bahwa yang paling berpengaruh dalam menentukan besarnya diameter batang adalah

jenis dan umur pohon. Famili Dipterocarpaceae dan Anacardiaceae merupakan

famili yang jenis-jenisnya pada umumnya memiliki diameter batang yang besar.

Indeks Nilai Penting menyatakan kepentingan suatu jenis tumbuhan serta

memperlihatkan peranannya dalam komunitas, Indeks Nilai Penting tersebut pada

tingkatan pohon didapat dari hasil penjumlahan kerapatan relatif (KR), frekuensi

relatif (FR) dan dominansi relatif (DR). Dari analisis data didapatkan Indeks Nilai

Penting dari tegakan pohon berkisar antara 1,28 % - 28,38 %, sedang pada tingkat

tiang berkisar antara 3,11 % - 39,21 %. Indeks Nilai Penting tertinggi terdapat pada

jenis Castanapsis tungurut dengan nilai sebesar 28.38 %. Indeks Nilai Penting tertinggi kedua setelah Castanapsis tungurut, terdapat pada jenis Shorea platyclados

dengan nilai sebesar 23,07 %. Lebih jelas dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Indeks Nilai penting 10 Tingkat pohon dan Tingkat Tiang di kawasan hutan Stasiun Rehabilitasi Orangutan Resort Bukit Lawang TNGL.

Tingkat

pertumbuhan No Nama Latin Family

INP (%) Pohon

1 Castanapsis tungurut Fagaceae 28.38

2 Shorea platyclados Dipterocarpaceae 23.07

3 Shorea sp. Dipterocarpaceae 19.86

4 Alseodaphne sp. Lauraceae 16.62

5 Shorea lepidota Dipterocarpaceae 11.95

6 Shorea multiflora Dipterocarpaceae 11.56

7 Scaphium sp. Sterculeaceae 9.98

8 Diospyros malam Ebenaceae 9.43

9 Santiria rubiginosa Burseraceae 9.34

(51)

Lanjutan Tabel 3……..

1 Shorea sp. Dipterocarpaceae 39.21

2 Shorea platyclados Dipterocarpaceae 32.70

3 Euricoma longifolia Symarobaceae 23.76

4 Alseodaphne sp. Lauraceae 18.33

5 Anisoptera magistocarpa Dipterocarpaceae 13.37

6 Scaphium sp. Sterculeaceae 15.42

7 Persea sp Lauraceae 10.53

8 Mangifera grasialis hook. Anacardiaceae 9.85

9 Eugenia grandis Myrtaceae 8.29

10 Diospyros malam Ebenaceae 6.28

Indeks Nilai Penting terendah pada jenis Altingia excelsa yang mempunyai nilai sebesar 1.28 % (Lampiran 7), sedangkan pada tingkat tiang Indeks Nilai Penting

tertinggi terdapat pada jenis Shorea sp.dengan nilai sebesar 39.27 %. Disusul Shorea platyclados dengan nilai sebesar 32,7 %. sedang yang mempunyai Indeks Nilai Penting terendah pada jenis Dipterocarpus grandiflorus 3.19 %. Eurya nitida, Knema

sp, Memecylon laevigatum, Pterospermum diversifolium, yang masing-masing 1 yaitu, 3.19 %(Lampiran 8).

Tingginya individu dari jenis Dipterocarpaceae, Fagaceae, Myrtaceae,

Lauraceae, dan Burseraceae, menunjukkan bahwa hutan Kawasan Stasiun Rehabilitasi Orangutan, Resort Bukit Lawang, Taman Nasional Gunung Leuser,

merupakan hutan hujan tropis dataran rendah dengan kondisi yang baik. Menurut

Soerianegara (1998), hutan alam di Indonesia sebagian besar merupakan hutan hujan

tropis basah, karena Indonesia merupakan negara kepulauan dan berada di wilayah

(52)

hutan bawah banyak terdapat spesies pohon anggota famili ; Dipterocarpaceae,

terutama anggota Shorea, Dipterocarpus, Hopea, Vatica, Dryobalonops, dan

Cotelobium. Selain Dipterocarpaceae juga terdapat Famili ; Fagaceae, Lauraceae, Myrtaceae, Miristicaceae, dan Ebenaceae serta pohon-pohon anggota Agathis, Kompassia, Altingia, Duabangga, Gossaneinus, Oktameles, dan Dyera.

Jenis Castanopsis tungurut merupakan jenis dari famili Fagaceae. Jenis famili Fagaceae dikenal memiliki kemampuan beradaptasi di berbagai tipe hutan tropik

Whitmore (1984). Lebih lanjut Riswa (1987) menyatakan famili Fagaceae memiliki kemampuan relatif tinggi beradaptasi pada berbagai kondisi lingkungan. Jenis ini

cukup toleran terhadap kebutuhan cahaya matahari. Buah dari jenis ini memiliki biji

yang sangat banyak. Jenis Castanapsis tungurut merupakan jenis yang mendominasi pada tingkat pohon tetapi tidak terdapat pada tingkat tiang. Hal ini mungkin terjadi

karena adanya faktor lingkungan.

Menurut Utomo (2006), bahwa ketidak konsistenan jenis dominan pada tingkat

pohon dengan pada tingkat tiang dapat disebabkan beberapa hal, yaitu :

1. Tidak diketahuinya awal mulai pertumbuhan pohon.

2. Biji pohon hutan secara umum bersifat rekalsitran sehingga saat biji jatuh

kelantai hutan, bila tidak segera berkecambah akan membusuk/mati oleh

tingginya kandungan air.

3. Kondisi lingkungan yang kompleks, seperti kemiringan tanah yang berbeda

dan kandungan batuan yang tinggi menyebabkan biji yang jatuh di tempat

(53)

4. Beberapa jenis pohon klimaks yang ada sangat jarang berbuah sehingga

produksi biji yang dihasilkan untuk membentuk semai lebih terbatas.

5. Beberapa jenis pohon hutan tertentu disukai satwa dan nilai ekonomis

sehingga sulit ditemukan di bawah pohon induk.

4.3. Indeks Keanekaragaman dan Indeks Kemerataan.

Untuk mengetahui keanekaragaman dan kemerataan pada lokasi penelitian

telah dilakukan analisa data dan didapat hasilnya sebagai berikut:

Tabel 4 Indeks Keanekaragaman dan Kemerataan tingkat pohon dan tingkat tiang di kawasan Stasiun Rehabilitasi Orangutan, Resort Bukit Lawang, TNGL.

Indeks Tiang Pohon

H' 3,5 3,92

E 0,93 0,91

Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa pada lokasi penelitian didapat indeks

keanekaragaman tingkat pohon sebesar 3.92 dan nilai Keanekaragaman tingkat tiang

sebesar 3,5. Hal ini menunjukkan jumlah jenis diantara jumlah total individu seluruh

jenis yang ada termasuk dalam kategori tinggi. Menurut Mason (1980), jika nilai

(54)

diantara 1-3 berarti keanekaragaman jenis sedang, jika lebih besar dari 3 berarti

keanekaragaman jenis tinggi.

Nilai indeks kemerataan didapat dengan membandingkan nilai H’ dengan total

jumlah jenis atau genus (ln S) yang terdapat pada suatu lokasi. Indeks Kemerataan

tingkat pohon sebesar 0,91, serta indeks Kemerataan tingkat tiang 0,93. Dari

nilai-nilai tersebut dapat dikategorikan bahwa nilai-nilai Kemerataan pada Stasiun Rehabilitasi

Orangutan Resort Bukit Lawang, TNGL, Kecamatan Bohorok termasuk dalam

kategori tinggi.

Menurut Sastrawidjaya (1991), ketersediaan nutrisi dan pemanfaatan nutrisi

yang berbeda menyebabkan nilai keanekaragaman dan nilai Indeks Kemerataan

bervariasi. Lebih lanjut Krebs (1985), menyatakan bahwa Indeks Kemerataan rendah

0<E<0,5 dan keseragaman tinggi apabila 0,5<E<1.

4.4. Stratifikasi Vegetasi

Stratifikasi atau pelapisan tajuk merupakan susunan tumbuhan secara vertikal

di dalam suatu komunitas tumbuhan atau ekosistem hutan. Menurut Soerianegara,

(1998), didalam masyarakat hutan, sebagai akibat persaingan, jenis-jenis tertentu

lebih berkuasa (dominan) daripada yang lain. Pohon-pohon yang tinggi dari stratum

(lapisan) teratas mengalahkan atau menguasai pohon yang lebih rendah, merupakan

jenis-jenis pohon yang mencirikan masyarakat hutan yang bersangkutan. Pada

(55)

Tiap lapisan dalam stratifikasi itu disebut dengan stratum. Di Stasiun rehabilitasi

Orangutan Resort Bukit Lawang TNGL Kecamatan Bohorok.

Tabel 5 Stratifikasi tingkat pohon dan tingkat tiang di kawasan Stasiun Rehabilitasi Orangutan, Resort Bukit Lawang, TNGL.

Stratum Pohon Tiang

A 113 3

B 42 13

C 37 65

Dari Tabel 5 tersebut dapat dilihat bahwa di Stasiun Rehabilitasi Orangutan

Resort Bukit Lawang, TNGL, Kecamatan Bohorok, stratifikasi tegakannya tersusun

atas stratum A, B dan C. Hal ini menjelaskan bahwa di hutan ini masih banyak

dijumpai pohon-pohon besar dan tinggi. Pada tingkat Pohon terdapat Stratum A

disusun oleh 113 Individu, stratum B tersusun atas 42 individu dan stratum C

tersusun atas 37 individu, dan pada tingkat Tiang terdapat Stratum A disusun oleh 3

individu, stratum B tersusun oleh 13 individu, serta stratum C disusun atas 65

individu dalam 1 ha areal. Dari data yang diperoleh hanya terdapat stratum A,B dan C

saja, sedang pada stratum D dan E tidak ada, karena penelitian ini hanya sampai

tingkat Pohon dan Tiang saja, sedang pada tingkat Sapihan dan tingkat Semai tidak

diteliti.

Seperti yang umum dijumpai, pada tegakan hutan alam di hutan hujan tropik

bahwa stratifikasi (pelapisan tajuk hutan) berkembang dengan baik sehingga hutan

hujan tropik yang sempurna akan memiliki lima strata atau lapisan tajuk hutan, yaitu

Gambar

Gambar 1.Peta lokasi penelitian di Kawasan Bukit Lawang, TNGL.
Gambar 3. Skematis cara menentukan ketinggian pengukuran dbh batang pohon yang bentuknya tidak teratur (Weyerhaeuser dan Tennigheit, 2000)
Tabel 1.Daftar nama tegakan yang ditemukan di kawasan hutan Stasiun Rehabilitasi Orangutan, Resort Bukit Lawang, TNGL
Tabel  2. Data faktor fisik rata-rata pada Lokasi Penelitian Stasiun Rehabilitasi  Orangutan Resort Bukit Lawang TNGL
+6

Referensi

Dokumen terkait

Permainan ini juga diberikan alat bantu untuk mempermudah penyelesaian dengan mencantumkan angka pada pojok kiri gambar atau video yang sedang diacak. Dengan permainan ini kita

[r]

Berdasarkan Berita Acara Hasil Pelelangan (BAHP) Nomor:BA-127/ULPD/WI.2/2016 Tanggal 16 Juli 2016 dan Penetapan Pemenang oleh Kelompok Kerja (Pokja) ULPD Kementerian Keuangan

Paket pengadaan ini terbuka untuk penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan Bidang Jasa Periklanan dengan terlebih dahulu melakukan registrasi pada Layanan

Panitia ULP/ Panitia Pengadaan pada Satker Direktorat Advokasi dan KIE akan melaksanakan Pelelangan Sederhana dengan pascakualifikasi untuk paket pekerjaan

Panitia ULP/ Panitia Pengadaan pada Satker Direktorat Advokasi dan KIE akan melaksanakan Pelelangan Umum dengan pascakualifikasi untuk paket pekerjaan

Dengan menggunakan bantuan sofware SPSS, maka diperoleh nilai signifikansi uji multikolinearitas untuk semua variabel penelitian yang dapat dilihat pada tabel

Mekanisme yang digunakan adalah forward chaining , sehingga proses deteksi dimulai dari input user tentang gejala penyakit yang dialami, untuk kemudian dihitung