• Tidak ada hasil yang ditemukan

harus menyesuaikan diri terhadap

gagasan MB dan implementasinya”.

sendiri akibatnya”

c. Memojokkan, berkhotbah, dan menggurui

“Kamu harus selalu menghormati kakak kelas”

d. Memberikan jalan keluar, nasihat, dan saran

“Saran saya kamu bicara dulu sama wali kelas”

e. Mengajari dan menyampaikan alasan yang masuk akal

“Sebagai siswa baru, kamu harus berbaur, supaya diterima teman lain”.

f. Memberi keputusan, kritik, dan menyalahkan

“Dalam hal ini kamu salah besar”

(diterjemahkan penulis dari Gordon, 2000: 49-50)

Selaku guru apakah Anda pernah menyampaikan satu-dua ujaran yang di-tabu-kan kepada peserta didik? Bila jawabannya “ya” berarti secara potensial Anda telah menutup inisiatif dan kreativitas peserta didik, di samping tidak mengakui kesetaraan peserta didik dengan diri Anda.

3. Berbicara asertif

Asertif diartikan sebagai bertindak tegas namun tidak mengakibatkan orang lain tersinggung atau sakit hari.

Jadi bila konsep asertif ini diterapkan secara konsekuen dalam hubungan antarpribadi sehari-hari, maka diharapkan tidak akan terjadi konflik antara yang menegur dan yang ditegur. Oleh karena kedua belah pihak yang bermasalah merasa nyaman.

Untuk membantu pemahaman konsep asertif, berikut penulis sampaikan sebuah ilustrasi hubungan guru-peserta didik. Seandainya Anda selaku guru menemukan tulisan tangan peserta didik yang buruk, apa yang akan Anda

4. Mendengar aktif

Mendengarkan keluhan atau masalah siswa secara aktif (active listening) menunjukkan hasil yang jauh lebih efektif daripada mendengarkan secara pasif (passive listening), (Gordon, 2020).

Sebab, pada mendengar aktif kedua belah pihak–pengirim dan penerima pesan–saling menjajagi, menggali, dan mendalami topik pembicaraan sampai diperoleh kejelasan. Seandainya peserta didik mengeluhkan bahwa orangtuanya lebih memperhatikan adiknya, lalu respons guru: “Oh, itu biasa nanti juga akan beres”. Respons guru seperti ini jelas bukan dari guru pendengar aktif karena tidak mendalami masalah, apakah hal itu benar benar masalah, dan mengabaikan perasaan peserta didik, serta tidak ada niat membantu menyelesaikan masalah yang dikemukakan.

5. Bersikap toleran

Istilah toleran diartikan sebagai menerima pendapat orang lain yang berbeda dengan lapang dada. Guru yang menjunjung toleransi akan

Ucapan guru Akibat bagi siswa Tindakan siswa (a) “Tulisan tangan

kamu sulit dibaca, seperti tulisan ceker ayam” (ucapan melecehkan)

Siswa sakit hati

karena dilecehkan Malas memperbaiki

hormat, merasa bebas, dan tidak ragu untuk menyampaikan pendapat apa pun. Dalam menjalankan tugasnya sehari hari, guru menghadapi beragam peserta didik dengan pendapatnya yang berbeda beda, sehingga bagaimana pun guru harus bersikap toleran bila guru mau “diterima” peserta didik

6. Menunjukkan empati

Empati diartikan sebagai kemampuan individu untuk menempatkan diri pada kondisi orang lain. Seandainya guru mengetahui peserta didik yang tidak beruntung karena orangtuanya bercerai, misalnya, maka guru yang berempati akan mencoba menghayati masalah peserta didik, membayangkan bila peristiwa itu terjadi pada anaknya, mengajak diskusi, memberi nasihat dan saran yang meringankan beban peserta didik.

Untuk memperkaya pembahasan isu kualitas guru yang diharapkan, berikut dikemukakan kesimpulan hasil penelitian Tausch dan Tausch (1979). Mereka menemukan tiga kualitas guru yang mendasar dan berlaku di semua jenjang pendidikan, yaitu:

1. Guru mendengar dengan empati, realitas psikologis yang dialami peserta didik.

2. Guru peduli dan menaruh hormat pada peserta didik

3. Guru dengan tulus terbuka

(genuineness transparency) dan peduli pada peserta didik; tidak menutup-nutupi.

Demikianlah sejumlah perilaku guru pada saat mengajar yang diperkirakan dapat merangsang peserta didik berpikir bebas, berbeda pendapat, berani mengemukakan pendapat, berpikir argumentatif, dan bertanggung-jawab serta yang paling penting peserta didik menjadi self-regulated student.

Penutup

Pada bagian penutup, penulis akan

mengemukakan beberapa kendala dan saran berkenaan dengan MB.

1. Jangkauan MB sangat luas, yaitu menyangkut dua juta guru seluruh Indonesia.

2. Diperlukan program pemahaman atau sosialisasi MB secara benar terhadap pemangku kepentingan yang relevan, khususnya di awal introduksi MB.

3. Diperlukan pelibatan atau partisipasi dari mereka yang secara potensial mempunyai kemampuan mensukseskan MB, seperti pakar pendidikan, psikologi, sosiologi, antropologi, komunikasi dan yang akan memberikan dukungan secara politis, legal, dan finansial, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat.

4. Diperlukan pelatihan mengenai aspek psikologis yang harus dimiliki guru menyangkut materi sebelum dan pada saat para guru mengajar, sehingga ada standarisasi aspek psikologis yang diharapkan dari guru.

5. Para guru sebagai agen perubahan (change agent) secara nyata harus merasa bahwa pemerintah sebagai pengambil kebijakan (change agency) memang menaruh kepedulian besar dan nasib para guru.

6. Bagaimana keberlanjutan MB?.

Pertanyaan ini dikemukakan mengingat di Indonesia berlaku “tradisi”, yakni

“ganti menteri ganti kebijakan”

Rawamangun, 17 Juli 2020

Ucapan Terima Kasih

Terima kasih yang tak terhingga kepada Dr.

Bagus Takwin, M.Hum. atas masukannya terhadap makalah ini.

Daftar Pustaka

Budihardjo, A. (2014). Organisasi menuju pencapaian kinerja optimum. Jakarta:

Prasetya Mulya Publishing Cross, J. (2007). Informal learning. San

Fransisco: John Wiley & Sons, Inc.

Eichholtz, G., & Rogers, E. M. (1969). School teacher’s commitment and similarities to agricultural innovation. Dalam Zaltman, et al. (1972), Creating social change. New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc.

Gordon, T. (2000). Parent effectiveness training.

New York: Three Rivers Press.

Kotler, P., & Leo, N. R. (2008). Social

marketing. Los Angeles: Sage Publications.

Makarim, N. A. (2020). Laju Mas Menteri di ujung Sudirman. Jakarta: Tempo, 9-15 Maret 2020

Marten, R. (1987). Coaches guide to sport psychology. Champaign, IL: Human Kinetics Publishers, Inc.

Papalia, D. E. et al (2004). Human development (9th ed.). Boston: McGraw Hill.

Rogers, E. M., & Shoemaker, F. F. (1971).

Communication of innovation (2nd ed.).

New York: The Free Press

Sirota, D., Mischkind, L. A., & Meltzar, M. I.

(2005). The enthusiastic employee. Upper Sadle River: Wharton Publishing.

Soebandono, J. P. (2011). Peran rasa bangga, kepercayaan, rasa aman dan nilai kerja pribadi dalam keterikatan kerja karyawan.

Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Tausch, R. (1986). Encouragement of personal learning by the teacher: A necessity for personal and subject learning by the pupil. Tübingen:

Georg Hauser, Metzingen.