takut pada
perubahan.
Page 24
Home at Last
Saya dahulu adalah gambaran sempurna pribadi yang seperti itu dengan mentalitas pecundang. Saya melihat dunia dari kacamata negatif pesimis. Saya selalu curiga dan iri hati atas keberhasilan orang lain karena di alam bawah sadar saya, saya membenci keberhasilan. Saya berusaha mencari penerimaan dan pengakuan ketika pada saat yang sama sebenarnya saya malah mengharapkan penolakan. Saya memang tidak akan mengakui bahwa saya berharap penolakan, tapi semua dibuktikan ketika saya ditolak, maka saya akan lari ke kamar saya, mengambil bantal, dan menangis tersedu-sedu. Pola yang sama terus berulang dan saya akan selalu menyalahkan faktor keadaan dan orang lain sebagai sumber masalah saya, tanpa menyadari bahwa saya sendirilah yang perlu dibenahi. Pertanyaan dasarnya, jika benar itu salah orang lain atau keadaan yang tidak mendukung, mengapa saya harus merasa bersalah? Mengapa saya harus menyesali apa yang telah saya lakukan? Itu karena sebenarnya di alam bawah sadar pikiran saya ada perasaan bersalah. Blaming atau menyalahkan orang lain dan keadaan adalah remedy atau obat yang saya coba pakai untuk mengobati perasaan bersalah tersebut.
Namun masalah tidak selesai, karena sebenarnya yang sedang saya lakukan ialah kecanduan pada sikap menghukum diri sendiri. Ketika kita terjebak pada pola penghukuman diri sendiri, kita selalu berusaha mengobati rasa sakit yang kita alami dengan rasa sakit lainnya dengan dosis yang lebih tinggi. Kita akan bertingkah semakin konyol dan aneh karena kita tahu itu akan menyebabkan penolakan yang lebih besar. Kita coba melucu, kita coba membual, kita coba bertingkah ‘preman’, kita coba melakukan hal-hal gila, atau bahkan menyakiti fisik kita, semua karena kita berusaha menjadi seperti gambaran pribadi yang ada di alam benak kita. Karena rasa bersalah yang berujung pada penghukuman diri sendiri dan citra diri negatif, kita pun memprogram diri kita menjadi seperti orang yang jelek, kasar, konyol, dan berbagai karakter negatif lainnya, demi sebuah penolakan yang lebih besar. Kita tahu jika kita memukul tangan kita dengan tongkat di tempat yang sama terus-menerus lama-kelamaan akan menimbulkan kebal rasa dan itulah juga yang sering kita coba gunakan untuk mengatasi rasa bersalah kita.
Page 25
Home at Last
Kita berharap suatu ketika rasa sakit itu akan hilang jika kita berhasil berteman dengan rasa sakit pada level yang paling tinggi. Kebenaran yang saya dapatkan beberapa tahun lalu ialah bahwa semua pergumulan citra diri pada dasarnya hanya terjadi dalam pikiran kita seorang. Lupakan dulu orang lain, lupakan dulu keadaan, dan bayangkan diri Anda ada seorang diri saja di sebuah pulau terpencil tanpa siapapun juga disana. Apakah Anda merasa nyaman dengan diri Anda sendiri
dalam kesendirian? Banyak
orang begitu takut pada dirinya sendiri sehingga tidak bisa hidup tanpa ditemani. Mereka merasa begitu tergantung pada orang-orang di sekitar mereka sehingga menuntut perhatian yang berlebih padahal masalah dasarnya ialah mereka takut pada diri mereka sendiri sehingga butuh kehadiran orang lain untuk membuat pikiran mereka merasa nyaman karena masih merasa diterima. Kembali ke pertanyaan tadi: Apakah Anda nyaman dengan diri anda sendiri? Ketika kita melihat diri kita ke cermin, apakah timbul rasa puas atau malah rasa benci?
Masalah citra diri ini bisa dialami siapapun tanpa peduli dia cantik atau jelek, kaya atau miskin, pintar atau bodoh. Sumbernya kembali ke perasaan tidak nyaman dengan diri kita sendiri yang pada ujungnya kita menggantungkan seluruh citra diri kita pada penerimaan dan pengakuan dari sumber lain. Ingat kisah Snow White ? Sang ratu yang juga ibu tiri sebenarnya sudah memiliki segalanya : kecantikan, kekayaan, kekuasaan. Namun dia masih buang-buang waktu setiap hari untuk menatap ke cermin dan bertanya siapa yang paling cantik. Ketika sang cermin memberikan jawaban yang tidak dia harapkan, dia pun mulai kalap dan berusaha membunuh orang yang sebenarnya tidak perlu dia bunuh. Mengapa pula seorang ratu harus merasa tersaingi oleh seorang anak kecil? Kita juga seringkali melupakan segala kebaikan hidup yang telah kita terima dan bukannya bersyukur kepada Tuhan, kita malah menggantungkan seluruh konsep citra diri kita pada sumber yang lain. Pertanyaan yang lebih penting dalam kehidupan bukanlah apakah kita diterima tetapi apakah kita puas? Kepuasan adalah faktor utama kebahagiaan.
Page 26
Home at Last
Yang ingin saya sampaikan disini ialah kita sebenarnya tidak perlu merasa bersalah. Kita tidak perlu menghukum diri sendiri. Kita tidak perlu memiliki citra diri yang negatif pesimis. Semua hal tersebut sebenarnya adalah semu dan tidak nyata karena hanya berlangsung di pikiran kita saja. Jika kita bisa berpikir negatif, maka kita juga bisa berpikir positif. Jika kita bisa merasa pesimis, maka kita juga bisa merasa optimis. Semua kendali ada pada pikiran kita dan ketika kita memutuskan untuk berubah maka segala sesuatu akan berubah dengan seketika.
Ada pepatah kuno yang
mengatakan kita tidak bisa mencegah burung untuk terbang di atas kepala kita namun kita bisa mencegah mereka membuat sarang di kepala kita. Kita tidak bisa mencegah emosi-emosi negatif untuk timbul, namun kita bisa menolak untuk tidak mengendapinya sehingga berujung pada rasa bersalah dan pola menghukum diri sendiri. Kita tinggal mengambil remote control dan menyetel channel televisi yang lain. Ketika kita memiliki citra diri yang positif maka kita akan by
default memiliki emosi-emosi yang
positif optimis.
Pikirkan sekali lagi, ketika kita merasa tertolak apakah semua orang akan seheboh kita dalam menanggapinya? Ketika orang lain mengalami masalah yang sama seperti kita, apakah mereka akan
se-lebay kita dalam
menanggapinya? Itu semua
bersumber dari default system di otak kita dan yang perlu kita lakukan sebenarnya hanya mengatur ulang setting pada pola pikir kita. Ketika kita menerima diri kita apa adanya, maka penerimaan dari orang lain pun akan datang. Ketika kita menyukai diri kita, maka kita akan mulai disukai oleh orang lain juga.