• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.7. Karotenoid

Karotenoid sebagai salah satu komponen mikro didalam minyak sawit mempunyai beberapa sifat nutrisi atau fungsi biokimiawi yang bermanfaat bagi tubuh manusia. Kata karotenoid diturunkan dari komponen utama penyusunnya, yaitu β- karoten, pigmen oranye yang diisolasi pertama kali dari wotel (Daucus carota) oleh Wackenroder pada tahun 1831 (Gross 1991). Meskipun karotenoid, terutama β-karoten terdapat dalam beberapa minyak nabati mentah, sumber karotennoid yang paling besar adalah minyak sawit merah. Menurut Pulungan et al. (2000), minyak sawit merah mempunyai keunggulan dibandingkan dengan minyak nabati lainnya, yaitu biaya produksi rendah, komposisi asam lemak jenuh dan tidak jenuh yang berimbang, serta mengandung senyawa-senyawa minor yang bermanfaat bagi kesehatan. Minyak sawit merah mengandung karotenoid sebanyak 678,7 mg/kg yang terdiri dari fitoen, fitofluen, α-karoten, β-karoten, -karoten ζ-karoten, neuroperon, α-zeakaroten dan likopen (Oi et al. 1993)

Karotenoid, teristimewa β-karoten telah lama diketahui mempunyai aktivitas provitamin A karena secara in vivo dapat diubah menjadi vitamin A. Beberapa hasil penelitian memperlihatkan bahwa karotenoid minyak sawit dapat berfungsi sama dengan vitamin A. Menurut Olson (1991), tubuh akan mengkonversi β-karoten menjadi vitamin A dalam jumlah secukupnya saja, selebihnya akan tetap tersimpan sebagai β- karoten. Sifat inilah yang menyebabkan β-karoten berperan sebagai sumber vitamin A yang aman. Jadi tidak seperti suplemen vitamin A yang bisa menyebabkan keracunan jika diberikan secara berlebihan. Linder (1991) menyatakan bahwa β-karoten akan diabsorbsi mukosa usus tetap dalam bentuk utuh, sedangkan 75% sisanya diubah menjadi retinol (vitamin A) dengan bantuan enzim 15, 15’ β-karoten dioksigenase.

Karotenoid dapat berperan sebagai antioksidan karena struktur molekulnya mempunyai ikatan ganda yang sangat mudah mengalami oksidasi secara acak menurut kinetika reaksi ordo pertama (Lenfant et al. 1996). Jacques et al. (1991) mengamati bahwa orang yang mempunyai konsentrasi karoten plasma yang tinggi (lebih dari 3,3 μmol/L) mempunyai prevalensi katarak 20% lebih rendah dibandingkan dengan orang yang memiliki karoten plasma kurang dari 1,7 μmol/L.

The National Institute of Health di Amerika serikat telah mengidentifikasi β- karoten sebagai salah satu dari sepuluh besar bahan pencegah kanker. Studi reprospektif

dan prospektif menyatakan bahwa asupan pangan yang mengandung karotenoid berasosiasi dengan resiko kanker paru-paru. Berbagai hasil penelitian memperlihatkan bahwa β-karoten mempunyai kemampuan sebagai pemusnah oksigen singlet yang efektif (Choo et al. 1994). Disamping β-karoten , likopen dilaporkan juga sebagai pemusnah spesies oksigen yang reaktif dan efektif. Studi tentang oksidasi lemak dan kolesterol dan lipoprotein densitas rendah memperlihatkan sifat-sifat karotenoid sebagai pemusnah radikal bebas. Khasiat selanjutnya, riset juga mengindikasikan bahwa β- karoten mempunyai efek positif dalam mereduksi plaque dalam pembuluh nadi sehingga β-karoten bersifat antiarterosklerosis (Gaziano et al. 1990). Kemampuan ini menyebabkan β-karoten dapat digunakan untuk mencegah penyakit kardiovaskular.

2.7.1 Sifat Fisik dan Kimia Karotenoid

Karotenoid merupakan pigmen alami yang tersebar luas di alam. Karotenoid berkontribusi memberikan warna kuning, oranye, dan ungu pada pangan nabati maupun hewan. Lebih dari 650 karotenoid telah ditemukan dan diisolasi dari berbagai sumber namun hanya 60 jenis yang tersedia dalam pangan dan hanya 20 karotenoid yang dapat dideteksi dalam plasma dan jaringan pada manusia (During & Harrison 2004).

Karotenoid adalah kelompok senyawa yang tersusun dari unit isopren atau turunannya. Berdasarkan unsur-unsur penyusunnya, karotenoid dibagi menjadi dua golongan utama yaitu: (a) golongan hidrokarbon karotenoid yang tersusun oleh unsur- unsur atom C dan H seperti α, β, dan -karoten dan (b) golongan oksi karotenoid atau xantofil yang tersusun oleh unsur-unsur atom C, H, OH seperti lutein, violaxantin, neoxantin, zeaxantin dan kriptoxantin. Dari total karotenoid, kadar karoten hidrokarbon umumnya lebih tinggi (60-70%) dibandingkan dengan kadar oksi karotenoid (Bauernfeind et al. 1981).

Jenis karotenoid yang paling banyak dijumpai pada bahan pangan adalah β- karoten. β-karoten merupakan molekul asimetris dimana separuh bagian kiri merupakan bayangan cermin dari bagian kanannya. β-karoten mempunyai 40 atom karbon yang terdiri dari 8 unit isoprene, 11 ikatan rangkap dan mempunyai 2 cincin β-ionone yang terletak masing-masing satu cincin pada ujung molekulnya (Furr dan Clark 1997). α- karoten mempunyai satu cincin β-ionone dan satu cincin α-ionone sedangkan -karoten hanya mengandung satu cincin β-ionone dan lainnya merupakan cincin terbuka. α-

karoten dan -karoten mempunyai aktivitas biologis kira-kira setengah dari nilai β- karoten. Karotenoid bersifat stabil di alam. Namun isolatnya mudah mengalami perubahan molekul, isomerisasi dan degradasi oleh panas, cahaya, oksigen, trace element, dan asam (Bauernfeind et al. 1981).

Karotenoid memiliki banyak ikatan rangkap sehingga mudah mengalami degradasi oksidasi. Oksidasi ini terbagi atas oksidasi kimia, autooksidasi, oksidasi cahaya (photooxidation) dan oksidasi enzimatik. Proses oksidasi secara kimia terjadi karena berbagai oksidan seperti oksigen, ozone, alkalin permanganat, asam kromat dan lain-lain. Hasil degradasi tergantung pada lokasi terjadinya kerusakan. Pada ozonolisis terjadi pemotongan ikatan-ikatan karbon sehingga membentuk asam karboksilat yang akhirnya menentukan sifat akhir karotenoid. Autooksidasi merupakan reaksi oksidasi spontan antara suatu senyawa dengan oksigen dan atau sinar UV pada suhu kamar, dimana akan terbentuk peroksida dan hidroperoksida. Photooksidasi merupakan reaksi oksidasi yang diinduksi oleh cahaya. Reaksi yang dapat terjadi adalah: 1) kehilangan satu atau lebih elektron dari suatu senyawa kimia sebagai hasil dari photoeksitasi senyawa tersebut dan 2) reaksi antara suatu senyawa dengan oksigen yang dipengaruhi oleh adanya cahaya. Oksidasi enzimatik yang terjadi secara in vivo dikatalis oleh berbagai enzim. Lipoksigenase merupakan salah satu enzim oksidatif utama pada tanaman. Enzim ini dikatalis oleh molekul oksigen asam lemak tidak jenuh yang mengandung cis,cis-1,4-pentadiene menjadi cis,trans-conjugated hydroperoxida. Enzim ini mengubah pigmen pada jaringan sayuran seperti klorofil dan karotenoid (Gross 1991).

Rantai poliene konjugasi yang terdapat pada senyawa karotenoid mempengaruhi karakteristik warna senyawa tersebut yang sangat bervariasi mulai dari kurang berwarna (phytoene), kuning (4.4’-diaponeurosporene), orange (β-karoten), merah (capsanthin), merah muda (bacterioruberin), dan akan berwarna biru dengan semakin meningkatnya jumlah ikatan rangkap konjugasi (Krinsky et al. 2004).

2.7.2 Pencernaan, Penyerapan dan Metabolisme Karotenoid

Karotenoid merupakan molekul yang larut dalam lemak sehingga proses penyerapannya mengikuti jalur penyerapan lemak pangan. Pada proses awal pencernaan, karotenoid akan dilepaskan dari matriks pangan dengan adanya aksi asam

lambung dan enzim pencernaan. Pelepasan karotenoid dari matriks pangan tergantung pada senyawa lain yang membentuk kompleks dengan karotenoid seperti protein dan juga tergantung pada bentuk keberadaannya seperti bentuk kristal pada wortel atau bentuk terlarut seperti pada minyak jagung (Deming dan Erdman 1999). Diet yang mengandung karotenoid provitamin A sebagian dilepaskan dari protein matriks makanan oleh kerja enzim pepsin lambung dan berbagai enzim proteolitik dalam saluran usus bagian atas. Selama proses dalam saluran pencernaan, karotenoid terdispersi dalam usus bagian atas oleh asam-asam empedu. Sebagian karotenoid telah mengalami esterifikasi dan sisanya masih dalam bentuk karotenoid bebas. Ester-ester karotenoid, karotenoid bebas dan vitamin A yang terdispersi dalam emulsi lipida membentuk kilomikron dengan bantuan asam empedu, berdifusi ke dalam lapisan glikoprotein membran mikrofili sel-sel epitel usus (Linder 1989). Proses penyerapan terjadi dengan cara difusi pasif. Proses ini membutuhkan kelarutan misel dalam lapisan air di sekitar membran sel mikrofili enterosit. Misel akan berdifusi ke dalam membran dan melepaskan karotenoid dan komponen lipid lainnya pada sitosol sel.

Setelah penyerapan selesai, β-karoten dan karotenoid provitamin A lainnya diubah menjadi vitamin A (retinal) oleh enzim β-karoten-15,15’-dioxygenase (βC- 15,15’-DIOX). Retinal kemudian direduksi menjadi retinol. Efisiensi penyerapan karotenoid dipengaruhi oleh ada tidaknya komponen lain dalam pangan seperti lemak dan protein (Shiau et al. 1990). Makanan yang mengandung asam lemak tidak jenuh dilaporkan dapat meningkatkan aktivitas βC-15,15’-DIOX dan cellular retinol-binding protein tipe II (CRBP II) pada mukosa instestinal tikus. Kecepatan pemecahan tergantung pada status vitamin A dalam tubuh dan berbeda untuk setiap jenis organisme. Penyerapan karotenoid ke dalam enterosit tidak menjamin seluruh karotenoid tersebut akan dimetabolisme dan diserap oleh tubuh. Karotenoid tersebut dapat hilang pada lumen saluran pencernaan akibat perubahan fisiologi sel mukosa (Deming dan Erdman 1999). Menurut Rodriguez dan Kimura (2004), beberapa faktor yang mempengaruhi penyerapan dan pemanfaatan karotenoid antara lain jumlah, tipe karotenoid dalam makanan (bentuk kristal atau terlarut), lemak, vitamin E, serat, status protein dan zink, keberadaan penyakit tertentu dan adanya parasit.

Karotenoid yang telah bergabung dengan sel mukosa intestinal menjadi kilomikron akan dilepas ke dalam limfa. Kilomikron kemudian dicerna secara cepat

oleh lipase lipoprotein dan sisa kilomikron dengan cepat dipindahkan ke hati dan jaringan lainnya. Very Low Density Lipoprotein (VLDL) selanjutnya merupakan pembawa utama karotenoid sehingga low density lipoprotein (LDL) menunjukkan konsentrasi tertinggi karotenoid di dalam plasma. Karotenoid juga ditemukan pada berbagai jaringan. Walaupun konsentrasi tinggi ditemukan pada kelenjar adrenal dan corpus luteum namun tempat penyimpanan utama karotenoid adalah pada hati dan jaringan adiposa. Karotenoid pangan yang tidak terserap akan dieksresikan melalui feces. Beberapa metabolit karotenoid juga terdeteksi pada feces. Walaupun metabolit polar karotenoid kemungkinan terdapat dalam bentuk konjugasi dan dapat dikeluarkan melalui urin, namun informasi mengenai hal tersebut sangat terbatas (Olson 1994).

Estimasi waktu paruh dilaporkan 11-12 hari untuk likopen, β-karoten, α-karoten, lutein dan zeaxantin (Miccozzi et al. 1992). Karena itu perlu dipahami bahwa kemampuan penyerapan karotenoid dan perubahannya menjadi vitamin A tidak sama untuk setiap jenis karotenoid. Karotenoid provitamin A hanya dapat diubah jika dibutuhkan oleh tubuh sehingga mencegah potensi toksisitas akibat kelebihan dosis vitamin A (Dutta et al. 2005).

2.7.3 Efek Biologis Karotenoid

Karotenoid memiliki aktivitas sebagai provitamin A. Sifat ini terutama dimiliki oleh β-karoten, α-karoten dan β-kriptoxantin (Olson 1989). Di dalam tubuh karotenoid provitamin A akan diubah menjadi vitamin A aktif. Terdapat tiga bentuk aktif vitamin A yaitu retinol (vitamin A alkohol), retinal (vitamin A aldehid) dan asam retinoat (vitamin A asam). Secara spesifik retinal berperan pada penglihatan, retinol berperan pada aktivitas reproduksi dan asam retinoat digunakan untuk fungsi lain dari vitamin A. Kekurangan retinol menyebabkan kerusakan pada struktur epitel secara umum. Umumnya sel epitel mengeluarkan mucus namun pada defisiensi vitamin A terdapat pengurangan sekresi mucus. Sel tersebut digantikan oleh keratin yang dihasilkan sel pada jaringan tubuh secara khusus pada conjuntiva dan kornea mata, trakea, kulit dan jaringan ectodermal lainnya. Vitamin A juga dibutuhkan untuk pertumbuhan tulang yang normal. Bila kekurangan vitamin A, pemanjangan tulang akan terhambat. Oleh sebab itu anak-anak yang kekurangan vitamin A akan mengalami pertumbuhan yang terganggu. Bila diberikan suplemen, anak-anak akan memperoleh berat tubuh yang

lebih baik dan memiliki tubuh yang lebih tinggi. Vitamin A juga penting untuk pembentukan enamel pada pertumbuhan gigi (Olson 2001).

Molekul β-karoten dapat membentuk dua molekul retinol sedangkan α-karoten dan β-kriptoxantin hanya sebagian yang aktif sebagai vitamin A. Nilai Internasional Unit (IU) aktivitas vitamin A didasarkan pada hasil evaluasi biologis kemampuan suatu senyawa untuk mendukung pertumbuhan hewan coba dalam kondisi defisiensi vitamin A (1 IU= 10.47 nmol retinol = 0.3 μg retinol bebas atau 0.344 μg retinil asetat). Karena absorpsi karoten yang relatif rendah dan metabolisme yang tidak sempurna untuk menghasilkan retinol maka 6 μg β-karoten dinyatakan sama dengan 1 μg retinol ekuivalen (RE) dimana ratio molar dari 3.2 mol β-karoten ekuivalen dengan 1 mol retinol. Saat ini dikenal pula istilah retinol activity equivalent (RAE) yang ditetapkan oleh Institut Medicine (2001). 1 RAE = 1 μg all-trans retinol, 12 μg β-karoten dan 24 μg α-karoten atau β-kriptoxantin. Pada basis ini 1 IU aktivitas vitamin A = 3.6 μg β- karoten atau 7.2 μg karotenoid provitamin A lainnya (Bender 2003).

2.7.4 Bioavailabilitas Karotenoid

Definsi bioavailabilitas menurut FDA (Food and Drug Administration) adalah kecepatan atau tingkat penyerapan senyawa aktif yang terkandung dalam obat (Shi dan Le Maguer 2000). Definisi ini juga berlaku buat senyawa aktif atau nutrisi yang terdapat dalam pangan. Jackson (1997) menjelaskan bahwa bioavailabilitas merupakan fraksi nutrisi tercerna dari pangan yang dapat diserap oleh usus halus, dimetabolisme dan disimpan dalam tubuh. Hal ini dijelaskan pula oleh Boyer dan Liu (2004) bahwa walaupun seluruh nutrisi dapat dikonsumsi, namun pada kenyataannya selama pencernaan tidak ada nutrisi yang secara keseluruhan dapat diubah menjadi bentuk yang dapat diserap

Bioavailabilitas nutrisi biasanya ditentukan dalam plasma darah manusia (in vivo assay) sehingga terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi antara lain keragaman individu, kondisi fisiologi, dosis, dan adanya komponen makanan lainnya (Faulks dan Southon 2005). Bioavailabilitas karotenoid bervariasi dari 10% pada bahan segar hingga 50% pada minyak dan produk komersial (Deming dan Erdman 1999). Papas (1999) menjelaskan bahwa bioavailabilitas karotenoid dari bahan pangan, ekstrak atau produk sintetik sangat beragam karena dipengaruhi oleh proses pengolahan dan penyimpanan pangan.

Penentuan bioavailabilias dapat dilakukan secara in vivo dengan menggunakan manusia atau secara in vitro yang menirukan kondisi yang terjadi di dalam tubuh. Metode in vivo secara langsung memberikan data bioavailabilitas dan biasanya digunakan untuk pangan dan nutrisi yang memiliki keragaman atau variasi yang tinggi. Respon ditentukan setelah manusia atau hewan percobaan mengkonsumsi nutrisi tunggal (alami atau sintetik) yang kemudian dibandingkan dengan dosis nutrisi yang sama yang berasal dari sumber pangan (Yeum dan Russel 2002).

Zakaria et al. (2000) melaporkan bahwa pada pengujian bioavailabiltas karotenoid bahan pangan karbohidrat tinggi dengan berbagai cara pengolahan, nilai FAR (faktor akumulasi retinol) yang merupakan nilai konversi provitamin A mendekati atau melebihi nilai FAR vitamin A sintetik (1/5.9). Nilai FA terbaik adalah pada kelompok tikus yang diberikan diet pisang dengan perlakuan kering beku yaitu sebesar 1/2.09. Hal ini berarti dari 2.09 μg β-karoten pisang yang dikonsumsi akan dihasilkan 1 μg retinol.

Pengujian biovailabilitas karotenoid produk bahan pangan lainnya dilaporkan oleh Meridian (2000) yang melakukan pengujian terhadap minuman emulsi karoten minyak sawit dengan nilai FAR sebesar 1/9.09. Wylma (2003) menjelaskan pula bahwa pengujian bioavailabilitas karotenoid terhadap bubuk daun cincau hijau menunjukkan nilai FAR sebesar 1/13.21.

2.7.5 Mekanisme Karotenoid sebagai Antioksidan

Karotenoid yang dikonsumsi baik dari makanan maupun dari suplemen dapat bersifat sebagai antioksidan melalui quenching singlet oxygen dan scavenging free radical. β-karoten merupakan quencher (peredam) singlet oksigen yang paling baik. Menurut Foote (1976), 1 molekul β-karoten dapat meredam 250-1000 molekul singlet oksigen pada kecepatan 1.3x1010 M-1S-1. Transfer energi dari singlet oksigen ke peredamnya akan menghasilkan pembentukan triplet oksigen dan triplet-state quencher dengan reaksi berikut :

1 O 2 * + CAR 3O 2 + 3

CAR*(Halliwell & Gutteridge 1999).

Kecepatan quenching singlet oxygen oleh karotenoid sangat tergantung pada jumlah ikatan konjugasinya. Faktor lainnya yang berpengaruh adalah jenis dan jumlah gugus fungsi pada bagian cincin molekul karotenoid yang berpengaruh terhadap

kelarutan karotenoid. Kobayashi dan Sakamoto (1999) membandingkan aktivitas quenching dari β-karoten dan astaxanthin, kemudian melaporkan bahwa aktivitas quenching astaxanthin menurun dengan meningkatnya sifat hidrofobik, dan sebaliknya terjadi peningkatan quenching β-karoten. Lebih lanjut Lee dan Min (1990) mengevaluasi efektivitas 5 karotenoid dalam quenching terhadap klorofil dengan sensitizer photooksidasi pada minyak kedelai. Data yang diperoleh menunjukkan efektivitas quenching meningkat dengan semakin banyaknya ikatan rangkap pada karotenoid dan jumlah karotenoid yang ditambahkan. Menurut Beutner et al. (2000), karotenoid dengan 7 atau lebih sedikit ikatan rangkap kurang efektif sebagai quencher karena tidak dapat menerima energi dari singlet oksigen.

Proses autooksidasi seperti peroksidasi lipid berhubungan dengan reaksi rantai radikal yang melibatkan radikal peroksil (ROO ). Antioksidan pemutus rantai tersebut seperti halnya karotenoid dapat menghambat kecepatan dan efisiensi pengikatan (scavenging) radikal bebas dengan reaksi sebagai berikut:

Initiator + RH R (Tahap inisiasi) R + O

2ROO (Tahap propagasi) ROO + RH ROOH + R

ROO + ROO Produk (Terminasi)

ROO + CAR ROOH + CAR (Penghambatan oleh karotenoid)

Hasil radikal turunan antioksidan (CAR) tidak sesuai untuk propagasi reaksi. Hal ini antara lain disebabkan oleh tidak terjadinya reaksi abstraksi atom H atau reaksi dengan oksigen membentuk radikal peroksil lainnya (Krinsky et al. 2004).

Packer et al. (2005) melaporkan bahwa terdapat hubungan antara struktur karotenoid dan kemampuannya untuk bereaksi dengan radikal bebas yang diuji secara in vitro. Diduga diwali dengan pembukaan cincin β-ionone, kemudian penambahan gugus kimia pada cincin β-ionone atau pergantian cincin β-ionone dengan gugus fungsi dapat mengubah kapasitas antioksidan. Setelah mengevaluasi aktivitas antioksidan dengan kemampuan menangkap kation radikal 2,2’-azino-bis-(3-ethyl-benzthiazoline-6- sulfonate) diammonium salt (ABTS), karoten dengan 11 ikatan rangkap konjugasi lebih aktif menangkap radikal dibandingkan dengan xantofil (kecuali pada β-kriptoxantin).

Pengikatan radikal secara in vivo akan berhubungan dengan pencegahan beberapa penyakit. Konsumsi pangan kaya karotenoid seperti buah-buahan dan sayur- sayuran dapat menurunkan resiko perkembangan tipe kanker tertentu. Ziegler (1989) melaporkan bahwa konsentrasi β-karoten plasma yang tinggi dapat menurunkan resiko penyakit kanker paru-paru. Menurut Bendich dan Olson (1989), pada pengujian in vivo dan in vitro, β-karoten menunjukan efek proteksi membran lipid, LDL (Low Density Lipoprotein) dan lipid hati dari oksidasi yang diinduksi oleh radikal bebas karbon tetraklorida.

Dokumen terkait