• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.9. Radikal Bebas dan Kerusakan Sel

Radikal bebas adalah senyawa oksigen reaktif yang merupakan senyawa dengan elektron yang tidak berpasangan. Senyawa atau atom tersebut berusaha mencapai

keadaan stabil dengan jalan menarik elektron lain sehingga terbentuk radikal baru. Reaksi radikal bebas ini berlangsung secara berantai (cascade reaction) (Jakus 2002).

Radikal bebas dapat berasal dari sumber endogenus yaitu pada reaksi reduksi oksidasi normal dalam mitokondria, peroksisom, detoksifikasi senyawa senobiotik, metabolisme obat-obatan dan fagositasi. Sedangkan radikal bebas dari sumber eksogenus berasal dari asap rokok, radiasi, inflamasi, latihan olahraga berlebihan, diet tinggi asam lemak tidak jenuh, dan karsinogen (Langseth 1995).

Radikal bebas dapat bersifat positif dan negatif. Sifat positifnya antara lain dalam jumlah terkontrol berperan dalam proses fungsi biologis, misalnya dalam bakterisidal dan bakteriolisis. Juga beperan sebagai mediator respon terhadap infeksi patogen, sebagai signal apoptosis sel atau jalur signal tranduksi, second messenger serta berperan pada sintesis eikosanoid. Sifat negatif radikal bebas adalah dapat menyebabkan stres oksidatif. Hal ini terjadi karena terjadi ketidakseimbangan antara radikal bebas dengan antioksidan. Radikal bebas dalam jumlah berlebihan sementara jumlah antioksidan seluler lebih sedikit sehingga dapat menyebabkan kerusakan sel (Costa et al. 2005). Pengukuran radikal bebas dalam sistem biologi dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Teknik pengukuran langsung yaitu RPE Resonan Paramagnetik Elektronik (RPE) dan Proton Magnetik Resonansi Resolusi Tinggi (PMRRT). Teknik tersebut menggunakan senyawa yang dapat menangkap sinyal radikal bebas pada sistem in vivo. Pengukuran secara langsung sangat sulit dilakukan karena radikal bebas bereaksi sangat cepat, sehingga sering dilakukan dengan metode pengukuran tidak langsung melalui pengukuran produk turunan seperti malondialdehida (MDA) dan 4-hidroksinonenal. Dua turunan tersebut sering digunakan untuk pengukuran reaksi radikal bebas lipid (Nabet 1996).

2.9.2 Kerusakan Sel

Kerusakan sel merupakan gangguan atau perubahan yang dapat mengurangi viabilitas dan fungsi esensial sel. Target kerusakan sel yaitu: (1) lipida melalui oksidasi PUFA (poly unsaturated fatty acid) dengan tahapan inisiasi, propagasi dan terminasi; (2) protein (glikoprotein) melalui inaktivasi enzim, mengikat protein atau reseptor; (3) DNA melalui perusakan penyusun DNA (asam nukleat), lipoprotein, dan karbohidrat pada tahap mutasi, inisiasi dan promosi kanker (Costa et al. 2005).

Stres oksidatif merupakan suatu keadaan yang timbul akibat reaksi metabolik yang menggunakan O

2, yang mengakibatkan terganggunya sistim oksidan-antioksidan sel. Atau dapat pula didefinisikan sebagai suatu keadaan yang terjadi karena peningkatan kadar radikal bebas di dalam tubuh, yang dapat terjadi karena pembentukannya yang meningkat atau pembuangannya yang berkurang (Pratap et al. 2004). Stres oksidatif dapat menyebabkan kematian sel baik secara apoptosis maupun nekrosis. Kematian sel secara apoptosis mencakup proses otodestruksi seluler aktif yang ditandai dengan penyusutan sel, kerusakan membran, dan fragmentasi DNA inti. Sedangkan nekrosis merupakan kematian sel akibat kerusakan yang ditandai dengan kerusakan struktur seluler secara menyeluruh diikuti dengan lisisnya sel (Forrest et al. 1994).

Pengaruh radikal bebas yang diketahui paling awal adalah oksidasi lipid. Oleh sebab itu kerusakan oksidatif karena oksidasi lipid ini paling sering diteliti. Produk oksidasi lipid banyak ditemukan dalam cairan biologis, dapat diukur dengan berbagai cara yaitu :(a) aldehida dalam plasma seperti MDA, TBARs dan 4-hidroksinonenal, (b) penurunan PUFA dalam plasma, (c) diena terkonjugasi dalam plasma, (d) hidroperoksida dalam plasma (Winklhofer-Roob et al. 1995).

2.10 Uji Kesehatan Hati

Hati merupakan salah satu organ terbesar pada manusia dengan bobot sekitar 1,5 kg pada orang dewasa. Beberapa pembuluh darah masuk dan keluar dari hati, seperti vena hepatika dan arteri hepatika. Walaupun bobot hati hanya sekitar 2-3% dari bobot tubuh, namun hati terlibat dalam 25-30% pemakaian oksigen (Koolman 1995). Fungsi hati adalah untuk membentuk kantong empedu dan isinya, menyimpan dan melepaskan karbohidrat, membentuk urea, metabolisme kolesterol, membentuk protein plasma, melakukan banyak fungsi yang berhubungan dengan metabolisme lemak, menginaktivasi beberapa hormon polipeptida, mengurangi dan menghubungkan hormon steroid adrenokortikal dan gonad, menyintesis 25-hidroksikolekalsiferol, dan melakukan detoksifikasi berbagai obat dan racun (Ganong 1991).

Hati mempunyai sistem enzim yang aktif untuk menyintesis triasilgliserol,

fosfolipid, kolesterol, dan lipoprotein plasma. Selain itu, enzim hati juga aktif mengubah asam-asam lemak menjadi benda-benda keton (Martin 1984). Menurut

Koolman (1995), hati dapat mengatur konsentrasi asam amino dalam plasma. Jadi, hati dapat memecahkan kelebihan asam amino dengan cara mengubah nitrogen menjadi urea dan mentranspornya ke ginjal. Banyak protein dan peptida plasma dibentuk dan dipecah di dalam hati. Hepatosit juga berfungsi menyintesis protein albumin serum (Sadikin 2001). Jumlah fosfatidilkolin mikrosom hati dapat mempengaruhi kemampuan hati untuk memetabolisasi obat (Gibson 2006).

Terganggunya fungsi hati biasanya ditandai dengan menguningnya warna kulit, membran mukosa, dan naiknya konsentrasi bilirubin (50 mg/L), enzim ALT, AST, dan GGT dalam darah (Lu 1995). Banyak sekali jenis penyakit hati, di antaranya sirosis hati, hepatitis, penyakit kuning, sindrom Reye, penyakit Wilson, dan tumor hati (Kaplan 1989). Laporan National Cancer Institute menyatakan bahwa laki-laki yang terkena penyakit hati jumlahnya dua kali lipat lebih banyak daripada wanita. Selain itu, manusia dengan usia lebih dari 55 tahun terkena penyakit hati beberapa kali lipat lebih banyak daripada manusia dengan usia kurang dari 55 tahun. Gangguan pada hepatosit akan mengganggu proses sintesis albumin serum. Akan tetapi, konsentrasi albumin serum yang rendah belum tentu disebabkan oleh terganggunya fungsi hati (Sadikin 2001).

Pada sirosis hati, koagulasi intravaskuler hampir selalu disertai dengan fibrinolisis (99,86%), sedangkan kemungkinan fibrinolisis tanpa disertai koagulasi intravaskuler ditemukan sebanyak 70% (Tambunan 1993). Organ hati yang telah rusak dapat ditanggulangi dengan cara transplantasi hati. Namun, transplantasi hati masih termasuk operasi yang paling berbahaya (Calne 1985). Faktor-faktor yang menyebabkan gangguan fungsi hati, yaitu kekurangan nutrisi (sistein, tokoferol, dan vitamin B kompleks), konsumsi alkohol yang berlebihan, virus, obat-obatan (parasetamol, CCl4, dan aspirin), dan aflatoksin (Lu 1995).

2.10.1 Enzim Transaminase dan Alkalin Fosfatase (ALP)

Letak AST di mitokondria organ hati, jantung, dan ginjal. Sedangkan ALT terdapat di sitosol hati saja dan jumlahnya pun lebih sedikit dibandingkan jumlah AST. Jadi, di antara kedua enzim ini yang lebih mencerminkan fungsi hati adalah ALT. Enzim ALT dan AST penting dalam diagnosis kerusakan hati. Kerusakan sel-sel hati menyebabkan enzim-enzim ini bocor dari sel yang rusak ke dalam aliran darah. Pengukuran konsentrasi enzim AST dan ALT di dalam serum darah dapat memberikan

informasi tentang tingkat kerusakan hati (Lehninger 2005). Pada keadaan fungsi hati yang terganggu, peningkatan aktivitas ALT biasanya lebih banyak daripada AST (Kaplan 1989).

Enzim ALT dan AST juga penting di dalam obat-obatan industrial untuk menentukan apakah orang-orang yang terpapar tetraklorida, kloroform, atau pelarut lain yang digunakan dalam industri kimia menderita kerusakan hati. Pelarut-pelarut ini menyebabkan degenerasi hati, yang mengakibatkan kebocoran berbagai enzim ke dalam darah dari sel hati yang terluka. Transaminase, yang sangat aktif di dalam hati dan yang aktivitasnya dapat dideteksi dalam jumlah sangat kecil, sangat bermanfaat dalam pemantauan serum darah orang-orang yang terpapar senyawa kimia industri. Analisis berbagai aktivitas enzim di dalam serum darah memberikan informasi diagnostik yang berharga bagi berbagai gangguan hati (Lehninger 2005).

Menurut Kaplan (1989), selain enzim AST dan ALT, ada empat enzim lagi yang dapat dijadikan indikator terganggunya fungsi hati, yaitu alkalin fosfatase (EC 3.1.3.1), Gamma-glutamiltransferase (EC 2.3.2.2), 5’-nukleotidase (EC 3.1.3.5), dan laktat dehidrogenase (EC 1.1.1.27). Semuanya sudah umum digunakan. Namun, AST dan ALT tetap lebih baik karena paling cepat keluar dari hati yang terganggu dibanding keempat enzim lainnya. Beberapa penelitian sebelumnya menggunakan enzim AST dan ALT sebagai indikator fungsi hati. Marliana (2005) menganalisis fungsi hati dengan enzim-enzim ini setelah hati tikus yang digunakannya dirusak dengan induksi parasetamol. Setelah rusak, tikus dicekoki dengan ekstrak daging buah mahkota dewa. Tujuannya adalah ingin mengetahui potensi tumbuhan ini sebagai hepatoprotektor. Firmansyah (2007) menganalisis khasiat hepatoproteksi ekstrak daun sangitan dengan konsep metode yang sama seperti Marliana (2005). Pada manusia, nilai normal enzim ALT berkisar antara 5-25 U/L, sedangkan AST adara 5-35 U/L (Baron 1992).

Alkalin fosfatase merupakan sekelompok enzim yang berperan mempercepat hidrolisis fosfat organik dengan melepaskan fosfat anorganik. Enzim ini terdapat dalam banyak jaringan,terutama berasal dari hati dan tulang, mucosa usus dan plasenta. Aktivitas enzim ini lebih tinggi pada laki-laki juga pada anak-anak karena pertumbuhan tulangnya aktif. Alkalin fosfatase meningkat bila terjadi kolestasis. Pada keadaan obstruksi intrabiliar maupun ekstrabiliarkadar enzim ini meningka 3-10 kalo dari nilai normal sebelum timbul ikterus dengan transaminase yang sedikit meningkat. Kadar

enzim alkalin fosfatase diatas 180 U/L (biasanya diikuti dengan peningkatan bilirubin plasma) menunjukkan kemungkinan terjadinya sirosis biliaris primer. Peningkatan yang mencapai 150 U/L khas pada virus hepatitis. Kadar enzim ALP normal pada orang dewasa adalah 20-95 U/L (Baron 1992). Rataan kadar enzim alkalin fosfatase kontrol adalah 71,04 IU/L sementara setelah diberi CCl4 meningkat menjadi 128,11 IU/L (Venukumar dan Latha 2002).

Pengaruh konsumsi minyak sawit merah pada aktivitas enzim pada plasma yang digunakan sebagai marker pada investigasi fungsi organ pada tikus. Tikus diberi perlakuan suplementasi (10% dan 20% minyak sawit merah dari total lemak dari ransumnya) dengan kadar lemak pada ransum 4,6% dari total ransum dan kontrol tanpa suplementasi dengan sumber lemak ransum hanya dari minyak jagung selama 28 hari. Kelompok tikus yang diberi perlakuan suplementasi dengan minyak sawit merah mengalami penurunan aktivitas enzim lipase, alkalin fosfatase, alanin transaminase, aspartat transaminase dibandingkan dengan kontrol (P<0,005). Aktivitas enzim lipase, ALP, ALT dan AST dari kelompok tikus yang disuplementasi minyak sawit merah sebanyak 20% lebih rendah dibandingkan dengan kelompok tikus yang disuplementasi minyak sawit merah sebanyak 10%. Kesimpulannya adalah konsumsi minyak sawit merah pada level moderat mampu menjaga agar aktivitas enzim berada pada batas normal (Edem dan Akpanabiatuk 2006).

Aktivitas enzim Alkalin fosfatase (ALP), Alanin transaminase (ALT), Aspartate transaminase (AST) pada serum kelompok tikus yang diberikan 15% dari total ransumnya minyak sawit yang telah dioksidasi termal selama 18 minggu, meningkat secara signifikan (P<0,05) dibandingkan dengan kelompok tikus yang diberikan 15% dari ransumnya minyak sawit segar serta kelompok tikus yang tidak diberi perlakuan penambahan minyak sawit pada ransumnya. Perlakuan pemberian minyak sawit sebanyak 15% dari total ransum selama 18 minggu baik yang segar maupun yang telah teroksidasi termal mampu meningkatkan aktivitas enzim ALP, ALT dan AST jika dibandingkan dengan kontrol (p<0,05-0,01) (Owu et al. 1997).

2.11 Program SawitA

Program sawit A merupakan suatu program yang dilakuakn oleh Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor bekerjasama dengan PT Smart Tbk. Program ini melibatkan 37 mahasiswa Institut Pertanian Bogor dan 79 orang kader

posyandu sebagai fasilitator dan dilakukan di 10 desa yang ada di wilayah kecamatan Dramaga. Tujuan program ini adalah untuk mengatasi masalah kekurangan vitamin A di Indonesia melalui pemberian produk minyak sawit merah. Program ini bersifat terapan yang menghasilkan produk baru berbasis minyak sawit merah yang secara alamiah mengadung provitamin A dan Vitamn E yang sangat tinggi dengan harga yang sangat terjangkau (Zakaria et al. 2011).

Program SawitA ini memprioritaskan kepada masyarakat prasejahtera karena masyarakat tersebut tidak mempunyai kemampuan untuk membeli alternatif vitamin A alami seperti buah-buahan. Kegiatan program dilaksanakan secara bertahap dan bergilir di masyarakat bekerjasama dengan pemerintah daerah dan dinas kesehatan kabupaten dan lembaga desa terkait khususnya Posyandu. Pada tahap pertama program ini dilaksanakan di Kabupaten Bogor yang nantinya diharapkan dapat dijadikan model untuk penerapan pada Kabupaten yang lain. Produk dibagikan secara cuma-cuma selama dua bulan kepada 2142 responden di Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor dari Keluarga prasejahtera sesuai dengan data desa setempat dan disertai dengan penyuluhan tentang manfaat, cara penggunaan dan berbagai resep penggunaan minyak sawit (Zakaria et al. 2011).

Produk yang dihasilkan oleh Program SawitA bernama SawitA yang berarti minyak sawit yang mengandung vitamin A. Ada beberapa macam produk berbasis minyak sawit mmerah yang dihasilkan oleh Program SawitA, yaitu SawitA manis merupakan minyak sawit yang ditambahkan dengan larutan gula, SawitA Tumis MSMn dan SawitA Tumis Minyak Sawit Merah Tanpa Fraksinasi (Zakaria et al. 2011).

Dokumen terkait