• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN SUMBER PENCIPTAAN

H. Tema, Bentuk, Bahan, dan Teknik Dalam Seni Lukis

I. Karya – Karya Pembanding

Disini terdapat beberapa karya seniman baik dari dalam maupun luar negeri yang digunakan sebagai acuan pembanding dan sumber inspirasi penciptaan karya dalam penyusunan tugas akhir karya seni ini. Acuan disini lebih menitikberatkan kepada aspek teknis visualisasi dimana saya sedikit banyak terpengaruh oleh gaya visualisasi dan konsep berkarya yang mereka gunakan sehingga diharapkan akan dapat terlihat posisi karya saya dan sekaligus melihat keunikan dan kekuatan karya lukis saya, karya tersebut antara lain:

a. Made Supena

Made Supena adalah seorang perupa Ekspresionisme-Abstrak yang tumbuh subur di bali sejak tahun 1990-an, Made Supena merupakan perupa lulusan ISI Denpasar yang sekarang tergabung dalam sanggar dewata Indonesia, antara lain Made Wianta, Made Bhudiana, Nyoman Erawan,

commit to user

Wayan Sika, dan banyak lagi perupa-perupa yang lebih muda. Untuk membedakan diri dengan pelukis-pelukis abstrak dari Yogyakarta, Bandung dan Jakarta, para pionir ini terus-menerus bereksperimen mendedahkan ikon-ikon budaya Bali pada karya-karya lukisnya, sebagai suatu upaya memperkenalkan identitas lokal (ke-Bali-an). Dari sini kemudian bermunculan lukisan-lukisan abstrakisme dan ekspresionisme-abstrak dengan ”rasa Bali.” Seperti pendedahan ikon kain poleng (hitam-putih-abu), garis-garis yang mengacu pada rerajahan (gambar-gambar magis untuk ritual dan jimat), dominasi warna merah-hitam-putih-kuning, pembagian ruang atau bidang yang mengacu pada filosofis sekala (nyata)-niskala (maya) dan rwe bhineda (dua unsur yang berlawanan, namun mengharmoniskan), dan sebagainya.

Gambar 1

Karya Made Supena berjudul : ”Tebing” Acrylic on canvas, 120 x 150 cm, 1990

Pada lukisannya kita bisa menikmati aneka rupa warna yang bersusun-susun, berlapis-lapis, berkelindan, membentuk berbagai komposisi harmoni. Supena berupaya menafsirkan dan merepresentasikan realitas alam yang memikat jiwanya ke dalam gubahan lukisan-lukisan abstrak. Pelukis kelahiran Singapadu-Gianyar, 12 Januari 1970 ini menggali ilham dari alam karena alam memang menyediakan banyak visual yang cenderung abstrak bila diamati dari sudut tertentu. Misalnya langit pagi menjelang fajar atau langit senja saat matahari tenggelam, bentangan hijau sawah, liku-liku sungai yang airnya

commit to user

berwarna coklat, longsoran pasir, batu-batu akik, kerak-kerak kayu, tebing-tebing sungai, ngarai, lembah yang diterpa cahaya sore, gejolak laut biru, lapisan pasir hitam pantai yang digerus air laut, dan sebagainya.

Yang menarik adalah lukisan berjudul ”Tebing” di mana Supena memperlihatkan kecenderungan abstraknya yang agak lain dari lukisan-lukisannya terdahulu. Pada lukisan ini Supena menafsirkan tebing kedalam lukisan abstrak dengan pengolahan warna merah, kuning, oker yang berlapis-lapis. Di pinggiran tebing yang berbatasan dengan air itu kita menjumpai tujuh segitiga yang meruncing ke bawah membentuk bayang-bayang pada air biru pekat.Lukisan-lukisan abstrak Supena mirip seperti puisi-puisi Cina klasik yang memuji keindahan dan keagungan alam. Berbeda dengan pelukis ekspresionisme-abstrak yang menciprat-cipratkan atau mengayunkan kuas dalam semangat action painting, Supena malah terkesan sangat hati-hati alias alon-alon asal kelakon dalam menyusun elemen-elemen rupa yang membentuk lukisan abstraknya. Pembubuhan warna, pelapisan, pembentukan tekstur, pencahayaan, pengolahan komposisi dilakukan penuh dengan berbagai pertimbangan dan perhitungan estetika. Dengan elemen-elemen rupa itu, Supena seperti sedang menyusun puisi-puisi liris pada bidang-bidang kanvasnya.

b. Made Budhiana

Made Budhiana adalah seorang perupa Ekspresionisme-Abstrak yang tumbuh subur di Bali sejak tahun 1990-an, Made Supena merupakan perupa lulusan ISI Denpasar yang sekarang tergabung dalam sanggar dewata Indonesia, antara lain Made Wianta, Made Bhudiana, Nyoman Erawan, Wayan Sika, dan banyak lagi perupa-perupa yang lebih muda. Spirit alam adalah kebebasan. Mereka yang tak percaya bahwa manusia dilahirkan ke dunia bersama hak untuk hidup merdeka, rasanya perlu kembali menengok alam. Di mata alam, semua boleh dicatat, segalanya mendapat tempat. Baik-buruk, gelap - terang, kekerasan dan kelembutan. Semua menyatu dalam paduan harmoni hidup yang ajaib dan mempesona. Keragaman, kontradiksi, konflik atau bahkan pertentangan, bukan semata pertanda khaos yang carut-marut

commit to user

tanpa makna, sepanjang itu dihidupi dalam koridor hakikatnya yang tak saling menaklukkan. Namun sebaliknya, justru memperkaya dan memperdalam nuansa khazanah kemanusiaan. Persepsi dan penafsiran terhadap denyut realitas bagi masing-masing orang memang boleh, bahkan perlu, berbeda.

Bagi dia, sumber penciptaan yang tak akan pernah habis digali keindahannya adalah alam, baik itu alam natural, alam benda (man-made nature), maupun masyarakat dan tradisi yang hidup didalamnya. Ia gampang tergerak oleh lingkungan di sekitarnya. Kesemuanya itu - alam, manusia dan budaya - senantiasa ditatapnya sebagai sebuah perayaan, sekaligus peristiwa estetis. Keyakinan seperti inilah yang membedakan karya Budhi dari kebanyakan pelukis abstrak yang lain. Dalam lukisan-lukisan abstraknya, realitas hidup keseharian tetap menjadi acuan utama. Yang berbeda hanya caranya dalam memilih perspektif, mempersepsi, dan akhirnya merepresentasikan realitas itu lewat tafsir imajinasi di atas kanvas. Budhi terhadap realitas banyak dipengaruhi arus emosi yang bergejolak dari konflik batin yang dialaminya. Itulah sebabnya lukisan Budhi selalu menghadirkan nuansa kegelisahan yang liar. Sapuan kuas yang bebas-lepas, penuh warna-warni yang kontras disertai goresan-goresan tajam, semburan dan pelototan cat dalam ritme cepat, seolah melabrak segala batasan tradisi, material, style maupun teknik dan teori lukis standar. Dalam sejumlah lukisannya, ekspresi liar Budhi tampak jelas dan teknik melukisnya yang membiarkan percikan-percikan cat meleleh sendiri, dan seakan "membebaskan" lukisan itu untuk memilih bentuknya sendiri.

commit to user

Gambar 2

Karya Made Budhiana berjudul : “Untitle” Acrylic on canvas, 150 x 200 cm, 1997

Jika ditelusuri lebih dalam, karya Budhi masih kuat menembuskan vitalitas napas tradisi masyarakat Bali di tengah kedahsyatan getaran gempa modernisme saat ini. Dibandingkan periode terdahulu yang mengeksplorasi aspek magis seni gambar tradisional rerajahan Bali, karya-karyanya yang belakangan lebih bersemangat menyerap roh tradisi itu dalam pesona warna-warni yang dinamis, meriah, serta kadang terkesan seronok - bahkan carut-marut - seperti halnya ragam gerak, piranti etnik maupun musik tradisional Bali. Kendati demikian, sebagaimana maestro abstrak-ekspresionisme Amerika, Jackson Pollock, muaranya tetaplah pada "konsistensi-dalam" (inner consistency). Artinya, kontemplasi dalam sistem harmoni total yang universal dan membebaskan.

c. Didik Dhnardono

Nama Didik Dhnardono merupakan salah seorang pelukis yang cukup aktif bekegiatan seni di Yogyakarta. Didik lahir di Pacitan Jawa Timur dan mendapatkan pendidikan di Universitas Negeri Yogyakarta, jurusan seni rupa. Karya Didik secara umum menampilkan karya abstrak ekspresif dengan suasana suram dengan dominasi warna-warna merah terang, mencitrakan ledakan-ledakan lewat garis-garis yang tercipta secara spontan . Didik berkarya

commit to user

tidak pada mengkonstruksi citra namun justru membiarkan unsur alami membentuk citra itu sendiri, Didik membiarkan lelehan cat acrylic bercampur air, mengikuti irama diatas permukaan kanvas yang telah diberi genangan air sembari mengatur gerakannya agar tidak menjadi liar. Penjelajahannya menghasilkan citraan yang spontan , namun dengan mengandalkan intuisi.

Gambar 3

Karya Didik Dhnardono berjudul : White Crow Acrylic on canvas, 120 x 170 cm, 2006

Karya berjudul “White Crow” memvisualisasikan sesosok burung gagak berwarna putih dengan background warna merah memakai teknik blok, sepintas terlihat gagak tersebut sedang terbang menuju kearah bawah, mungkin Didik hendak menggambarkan sosok gagak yang sedang menukik dengan menampilkan goresan ekspresif dan warna putih, untuk mendapatkan efek gerak yang diinginkan.

d. Pramono

Pramono adalah salah satu perupa abstrak dengan karya lukisnya yang bisa dikatakan cukup eksis di Yogyakarta. Karyanya banyak menampilkan spontanitas dengan banyak pilihan warna kuning, orange, merah, coklat, serta sedikit pilihan objek sehingga banyak didominasi goresan-goresan ekspresif yang menghasilkan visualisasi manis. Pramono dilahirkan di Sleman, suatu desa di Jombor, daerah perkampungan sawah, dengan suasana tenang yang mengkondisikan dia menghasilkan karya-karya abstrak penuh ketenangan.

commit to user

Pendidikan seni rupanya diperoleh dengan cara otodidak, melalui pencarian sendiri maupun pegaulannya dengan sesama seniman.

Visualisasi karyanya banyak menanpilkan suasana desa, seperti suasana matahari terbit pagi, matahari tenggelam sore, hujan di persawahan, dan lain-lain dengan objek-objek khas pedesaan seperti ngarai, persawahan, gunung, dan lain-lain yang disulapnya dalam goresan-goresan ekspresif yang manis.

Gambar 4

Karya Pramono berjudul : Sunrise Oil on Canvas, 120 x 170 cm, 2005

Karya Pramono banyak menghadirkan tema-tema suasana pedesaan, salah satunya adalah karya yang berjudul Sunrise yang secara tenang menggambarkan suasana matahari terbit pagi hari di pedesaan. Lukisannya menampilkan goresan yang sederhana dengan banyak bidang kosong serta goresan spontan dan simbolik yang cukup mewakili banyak arti. Pramono mengatakan bahwa lukisannya lebih bersifat kecintaannya terhadap alam dimana ia dibesarkan. Secara utuh karya Sunrise dapat dibaca sebagai upaya Pramono untuk mengingatkan bahwa manusia sebenarnya hidup diantara keindahan dan wajib untuk mensyukurinya.

commit to user

e. Hermann Nitsch

Hermann Nitsch, lahir tahun 1938 adalah seorang seniman kelahiran Austria yang banyak bekerja dengan media-media eksperimental dan multimedia karyanya mengeksplorasi tema-tema kekerasan. Ia berkaitan erat dengan kelompok Vienna Actionist yang karya-karyanya berada diluar katagori genre seni tradisional. Hermann mengerjakan karya-karyanya melalui serangkaian performance art dengan memakai simbol-simbol ritual keagamaan terutama yang berkaitan dengan ritual pengorbanan, mempertanyakan etika moral dan teologi. Dengan keseniannya ia mencari pencerahan melalui ritual pengorbanan, penyaliban dan penyembelihan binatang yang mengingatkan kepada ritual tradisional paganistik. Karya lukisannya yang dihasilkan melalui performance yang dilakukannya (action painting) juga merekam sedemikian rupa jejak “kekerasan” yang melandasi proses berkaryanya, berupa semacam leleran dan ceceran darah yang didominasi warna merah yang seolah mengindikasikan adanya mutilasi organis. Karyanya yang biasa digolongkan kedalam katagori actionism konon hadir sebagai ikon suci signifikasi metafisik yang menampilkan kecantikan dari kengerian itu sendiri, sebuah kontemplasi kehidupan yang sublim tentang kekuasaan, transgresi, dan ekstremisitas

Berikut adalah salah satu karyanya yang berjudul Six Day Play yang merupakan sebuah karya terakhir dari salah satu proyek seninya yang dimulai sejak tahun 1957. Karya ini dimaksudkannya sebagai cerita penciptaan yang berkaitan dengan dekadensi humanisme.

commit to user

Gambar 5

Karya Hermann Nitsch berjudul : Six Day Play Oil and acrylic on Canvas, 200 x 300 cm, 1998

Six Day Play secara umum menampilkan “jejak kekerasan” melalui warna dan corak lukisan yang didominasi leleran cat berwarna merah darah, memenuhi bidang kanvas mulai dari bidang atas sampai kebagian bawah yang dengan mudah mengasosiasikan pikiran kita dengan percikan darah. Karya ini terasa bertambah “berat” melalui ukurannya yang cukup spektakuler yakni 200 x 300 cm. Dengan jalan ini Hermann Nitsch menemukan jalan yang tepat untuk merepresentasikan konsep dan gagasannya.

commit to user

Dokumen terkait