• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II BIOGRAFI HAMKA

C. Karya-karyanya

majalah dan tafsir.

BAB III Tinjauan Tafsir Al-Azhar

A. Penamaan Tafsir al-Azhar, yang meliputi: faktor yang melatarbelakangi tersusunnya Tafsir al-Azhar, dan sebab dinamai

Tafsir al-Azhar.

B. Karakteristik Penafsiran Tafsir al-Azhar, yang meliputi: landasan penafsiran Tafsir al-Azhar, metode penafsiran Tafsir al-Azhar,

corak penafsiran Tafsir al-Azhar dan langkah-langkah penafsiran

Tafsir al-Azhar.

C. Karya Hamka Tentang Budi Pekerti Selain Dalam Tafsir al-Azhar.

BAB IV Nilai-Nilai Pendidikan Budi Pekerti

A. Tinjauan Konseptual Tentang Budi Pekerti, yang meliputi: persamaan serta perbedaan moral, etika, akhlak, budi pekerti dan pengertian akhlak maupun budi pekerti menurut para ahli.

B. Pemikiran Hamka tentang Nilai-nilai Pendidikan Budi Pekerti. C. Relevansi Pemikiran Hamka tentang Nilai-nilai Pendidikan Budi

Pekerti dengan Pendidikan Saat Ini. BAB V Penutup berisi Kesimpulan dan Saran.

BAB II

BIOGRAFI HAMKA

A. Konteks Internal

1. Aspek Geneologis

Hamka adalah singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah, lahir pada tanggal 17 Februari 1908 bertepatan dengan (14 Muharram 1329 H) di Kampung Molek, Minangkabau, Sumatera Barat. Dia lahir sebagai anak pertama dari tujuh bersaudara dan dibesarkan dalam keluarga yang taat melaksanakan ajaran agama Islam (http://id.wikipedia.org/wiki/Haji_Abdul_Malik_Karim_Amrullah, diakses 24 Maret 2014).

Hamka merupakan keturunan dari seorang ulama terkenal yang berasal dari Maninjau bernama Abdullah Saleh murid dari Tuanku Pariaman Panglima Perang Tuanku Imam Bonjol. Ayah Hamka bernama Syekh Haji Abdul Karim Amrullah yang lebih dikenal dengan panggilan Haji Rasul yang terlahir pada 10 Februari 1879 M di Kepala Kebun, Betung Panjang, Nagari Sungai Batang,

Maninjau, Minangkabau

(http://hajibuyahamka.blogspot.com/2009/07/mengenang-28-tahun-wafatnya-buya-hamka.html, diakses 17 Mei 2014).

Ayah Hamka adalah pelopor gerakan pembaharuan Islam di Minangkabau. Saat berusia 17 tahun, dia dibawa ke Makkah untuk memperdalam pengetahuannya pada ulama-ulama di tanah suci. Pada tahun 1941 ayahnya ditangkap dan diasingkan oleh pihak Belanda ke Sukabumi

karena fatwa-fatwa yang dikeluarkannya dianggap mengganggu keamanan dan

keselamatan umum pada masa itu

(http://hajibuyahamka.blogspot.com/2009/07/mengenang-28-tahun-wafatnya-buya-hamka.html, diakses 17 Mei 2014).

Akhirnya, ayah Hamka wafat di Jakarta pada tanggal 21 Juni 1945, dua bulan sebelum proklamasi. Pada tahun 1976 makamnya dipindahkan ke kampung halamannya, Muara Pauh, Sungai Batang, Maninjau

(http://hajibuyahamka.blogspot.com/2009/07/mengenang-28-tahun-wafatnya-buya-hamka.html, diakses 17 Mei 2014).

Sementara ibu Hamka, bernama Siti Shafiyah berasal dari keturunan seniman di Minangkabau. Adapun kakek Hamka dari ayahnya, yakni Muhammad Amrullah dikenal sebagai ulama pengikut Tarekat Naqsyabandiyah.(http://id.wikipedia.org/wiki/Haji_Abdul_Malik_Karim_Amru llah, diakses 24 Maret 2014).

2. Aspek Pendidikan

a. Lembaga pendidikan yang pernah dimasuki

Hamka mengikuti pendidikan formal hanya sampai kelas 2 Sekolah Dasar. Setelah kelas 2 Sekolah Dasar, dia tidak pernah bersekolah formal lagi. Hamka lebih suka belajar sendiri. Dalam usia 6 tahun (1914) dia dibawa ayahnya ke Padang Panjang. Dari ayahnya, Hamka mendapat pendidikan agama, seperti nahwu, sharaf, hadis, dan fikih sehingga beliau lebih cepat pandai daripada kawan sebayanya (Pramuko, 2001: 9).

Sewaktu berusia 7 tahun ia dimasukkan ke sekolah desa dan malamnya belajar mengaji al-Qur‟an dengan ayahnya sendiri hingga khatam. Dari tahun 1916 sampai tahun 1923 dia telah belajar agama pada

sekolah-sekolah Diniyah School dan Sumatera Thawalib di Padang Panjang dan di Parabek (Hamka, 1985: XV).

b. Guru-guru yang pernah mengajarnya

Pada tahun 1916 sampai tahun 1923 Hamka bersekolah di Diniyah School dan Sumatera Thawalib, guru-gurunya waktu itu ialah Syekh Ibrahim Musa Parabek, Engku Mudo Abdul Hamid dan Zainuddin Labay. Padang Panjang waktu itu ramai dengan penuntut ilmu agama Islam, di bawah pimpinan ayahnya sendiri (Hamka, 1985: XV).

Pada tahun 1924, Hamka berkunjung ke tanah Jawa selama kurang lebih satu tahun, yang menurut Hamka sendiri telah mampu memberikan semangat baru baginya untuk mempelajari Islam. Perantauan mencari ilmu dari tanah Jawa ia mulai dari kota Yogyakarta. Dalam kesempatan ini Hamka bertemu dengan Ki Bagus Hadi Kusumo, di mana Hamka mendapatkan pelajaran tafsir al-Qur‟an darinya. Ia juga bertemu dengan

H.O.S Tjokroaminoto dan mendengar ceramahnya tentang Islam dan sosialisme. Hamka juga mendapat kesempatan untuk bertukar pikiran dengan beberapa tokoh penting lainnya, seperti Haji Fakhruddin dan Syamsul Rijal, tokoh Jong Islamieten Bond, suatu organisasi yang bertujuan mempelajari Islam dan mengajarkan agar ajaran-ajarannya dilaksanakan, serta mengembangkan rasa simpatik kepada Islam dan pengikutnya, di samping juga menunjukkan rasa toleran terhadap pemeluk agama lain (Hakim dan Thalhah, 2005: 26).

3. Aspek Karir dan Peran

Hamka memulai pengabdian pada ilmu pengetahuan dengan menjadi guru agama Islam pada 1927 M di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan. Pada

tahun 1929 M, ia juga menekuni profesi guru agama di Padang Panjang (Ghofur, 2008: 209).

Pada tahun 1930 kongres Muhammadiyah ke-4 berlangsung di Bukit Tinggi dan Hamka tampil sebagai pemateri dengan judul “Agama Islam dan

Adat Minangkabau.” Dan ketika Muktamar Muhammadiyah ke-20 di

Yogyakarta pada tahun 1931, Hamka tampil dengan materi yang berjudul

“Muhammadiyah di Sumatera”.Setahun kemudian atas kepercayaan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Hamka diutus ke Makasar menjadi mubaligh. Pada tahun 1933 ia menghadiri Muktamar Muhammadiyah di Semarang. Tahun 1934 ia diangkat menjadi anggota tetap majelis Muhammadiyah Sumatera Tengah (Al-Kumayi, 2004: 25).

Sekembalinya dari Makasar, Hamka mendirikan Kulliyatul Mubalighin di Padang Panjang dan aktif sebagai mubaligh. Kemudian pada tahun 1936 Hamka pindah ke Medan, di kota ini Hamka bersama Dr. Yunan Nasution menerbitkan majalah “Pedoman Masyarakat.” Majalah yang menurut Yunan Nasution memberikan pengaruh besar bagi hasil karyanya di masa depan (Al-Kumayi, 2004: 26).

Pada tahun 1946, berlangsung konferensi Muhammadiyah di Padang Panjang, dan Hamka terpilih sebagai ketuanya. Situasi ini sangat menguntungkan Hamka, sehingga bakatnya sebagai penulis dan penceramah bertambah populer (Hakim dan Thalhah, 2005: 27).

Hamka merupakan figur terkemuka dalam perjuangan revolusioner merebut kemerdekaan nasional di Sumatera Barat dari tahun 1945 sampai 1949. Pada tahun 1950, ia pindah ke Jakarta dan diangkat sebagai pejabat tinggi Departemen Agama, Hamka memanfaatkan sebagian besar waktunya untuk

mengajar, menulis dan menyunting serta menerbitkan jurnal Panji Masyarakat. Pada tahun 1955, Hamka terpilih menjadi anggota konstituante mewakili partai politik modern Islam, Masyumi. Karir politik berakhir dengan dibubarkannya majelis ini oleh presiden Sukarno (Hakim dan Thalhah, 2005: 27).

Di saat Hamka menjadi pejabat tinggi dan penasehat Departemen Agama, kedudukan tersebut memberikan peluang baginya untuk mengikuti konferensi di luar negeri. Pada tahun 1952, pemerintah Amerika Serikat mengundangnya untuk menetap selama empat bulan. Selama kunjungan tersebut, Hamka mempunyai pandangan yang lebih terbuka terhadap negara-negara non-Islam. Sekembalinya dari Amerika Serikat, secara berturut-turut Hamka menjadi anggota misi kebudayaan di Muangthai (1953), mewakili Departemen Agama untuk menghadiri peringatan mangkatnya Budha di Birma (1954), menghadiri Konferensi Islam di Lahore (1958) dan menghadiri undangan Universitas Al-Azhar Kairo untuk memberikan ceramah tentang pengaruh Muhammad Abduh di Indonesia (Hakim dan Thalhah, 2005: 27).

Hamka merupakan salah seorang tokoh yang sangat berjasa dalam dunia keilmuan, beliau dikaruniai gelar kehormatan (Doktor Honoris Causa) dari Universitas al-Azhar pada tahun 1958 M. Karena karir intelektualnya yang cemerlang, pada tahun 1957 M-1958 M, ia dilantik sebagai dosen Universitas Muhammadiyah Padang Panjang. Jabatan prestisius sebagai rektor juga pernah dipegangnya pada Perguruan Tinggi Islam Jakarta. Pada tahun 1960 beliau terpilih menjadi imam besar masjid Al-Azhar. (Ghofur, 2008: 210).

Setelah dibebaskan dari tahanan, beberapa tahun kemudian Hamka memperoleh Gelar (Doktor Honoris Causa) dari Universitas Kebangsaan

Malaysia pada tahun 1974 M. Gelar Datuk Indono dan Pangeran Wiroguno juga diterimanya dari pemerintah Indonesia (Ghofur, 2008: 212).

Pada tahun 1975, Hamka dipercaya menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI). Tak mengherankan karena Hamka dikenal alim, pemberani, teguh dalam pendirian, juga ikhlas dalam memperjuangkan Islam. Dua bulan sebelum wafatnya, Hamka yang sejak tahun 1975 menjadi ketua MUI mengundurkan diri dari jabatan tersebut. Hal ini disebabkan oleh masalah perayaan Natal yang dilakukan bersama dengan penganut agama lainnya, termasuk umat Islam. MUI yang diketuai Hamka telah mengeluarkan fatwa bahwa haram hukumnya bagi seorang Muslim untuk mengikuti perayaan Natal, di mana fatwa tersebut mendapat kecaman dari Menteri Agama Alamsyah Ratu Prawira Negara dan meminta untuk mencabutnya (Hakim dan Thalhah, 2005: 28).

B. Konteks Eksternal

1. Aspek Sosial Politik

Pada awal abad ke-19, Tanah Minangkabau sebagai tanah kelahiran Hamka, telah disorot sebagai suatu gerakan kebangkitan Islam yang disebut dengan Gerakan Paderi, gerakan yang belum terorganisir dengan baik serta didukung dengan militerisme yang tinggi. Kebangkitan ini dipelopori oleh empat tokoh, yakni Syeikh Taher Djamaluddin, Syeikh Muhammad Djamil Djambek, Dr. Haji Abdul Karim Amrullah (ayah Hamka) dan Haji Abdullah Ahmad. Walaupun Syeikh Taher Djamaluddin bermukim di Singapura, namun beliau berpengaruh besar terhadap ketiga tokoh terakhir yang merupakan muridnya. Pengaruh tersebut tersalur melalui majalah al-Imam (1906-1909)

yang membuat artikel-artikel masalah keagamaaan, peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di dunia Islam, serta pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh dan juga melalui sekolah al-Iqbal al-Islamiyah (Hakim dan Thalhah, 2005: 29).

Langkah-langkah pembaharuan yang dilakukan oleh tiga serangkai, Syeikh Muhammad Djamil Djambek melalui organisasi Samaratul Ikhwan, Syeikh Abdul Karim Amrullah melalui bukunya Qati‟u Razbi al-Mulhidun, dan haji Abdullah Ahmab melalui majalah al-Munir, mendapat reaksi yang cukup keras, terutama dari kalangan Ulama Kaum Tua. Tindakan mereka dalam

memberantas paham bid‟ah, takhayul dan khurafat, dipandang oleh Ulama Tua

mendesak posisi mereka ke kawasan pinggiran. Kenyataan ini mengindikasikan betapa tingginya intensitas perdebatan masalah-masalah keagamaan di Minangkabau pada awal abad ke-20, yang menurut Taufik Abdullah hal ini telah menciptakan polarisasi sosial. Kondisi tersebut bertambah keras ketika para Ulama Kaum Muda memunculkan lembaga-lembaga pendidikan dan juga melahirkan sebuah organisasi politik yang dikenal dengan PERMI (Persatuan Muslimin Indonesia) sebagai proses lanjutan kaderisasi Sumatera Thawalib (Hakim dan Thalhah, 2005: 29).

Ketegangan sosial dalam bentuk polarisasi Kaum Tua dan Kaum Muda, serta ditambah dengan konflik Kaum Adat dan pemerintah kolonial Belanda, telah memunculkan sikap kritis yang begitu tajam dalam pemikiran Kaum Agama di Minangkabau, dan menimbulkan sikap kultural yang mengidentikkan Minangkabau dengan Islam. Di tengah latar belakang sosial demikianlah Hamka lahir dan dibesarkan oleh orang tua dan kakek-neneknya (Hakim dan Thalhah, 2005: 30).

Pada tahun 1959, tidak lama setelah berfungsinya masjid Al-Azhar, suasana politik yang digambarkan terdahulu mulai muncul. Agitasi pihak PKI dalam mendiskreditkan orang-orang yang tidak sejalan dengan kebijaksanaan mereka bertambah mengikat, masjid Al-Azhar pun tidak luput dari kondisi tersebut. Masjid ini dituduh menjadi pusat “Neo Masyumi” dan “Hamkaisme”.

Tanpa diduga sebelumnya, pada hari senin 12 Ramadhan 1382 yang bertepatan dengan 27 Januari 1964, sesaat setelah Hamka memberikan pengajian di hadapan kurang lebih dari seratus orang Kaum Ibu di masjid Al-Azhar, ia ditangkap oleh penguasa Orde lama, lalu dijebloskan ke dalam tahanan. Sebagai tahanan politik, Hamka di tempatkan di beberapa rumah peristirahatan di kawasan puncak, yakni Bungalow Herlina, Harjuna, Bungalow Brimob Mega Mendung dan kamar tahanan polisi Cimacan. Di rumah tahanan inilah Hamka mempunyai kesempatan yang cukup untuk menulis Tafsir al-Azhar. Akhirnya setelah Orde lama jatuh, kemudian Orde baru bangkit di bawah pimpinan Suharto dan kekuatan PKI pun telah dirampas, Hamka dibebaskan dari tuduhan. Kesempatan ini dipergunakan Hamka untuk memperbaiki serta menyempurnakan Tafsir al-Azhar yang pernah ia tulis di beberapa rumah tahanan sebelumnya (Hakim dan Thalhah, 2005: 31).

2. Aspek Sosial Keagamaan

Setelah peristiwa 1965 dan berdirinya pemerintahan Orde Baru, Hamka secara total berperan sebagai ulama. Ia meninggalkan dunia politik dan sastra. Tulisan-tulisannya di Panji Masyarakat sudah merefleksikannya sebagai seorang ulama, dan ini bisa dibaca pada rubrik Dari Hati Ke Hati yang sangat bagus penuturannya. Keulamaan Hamka lebih menonjol lagi ketika dia menjadi

ketua MUI pertama tahun 1975 (http://Biografi_Buya_Hamka-Biografi_Web.html diakses 17 Mei 2014).

Hamka dikenal sebagai seorang moderat. Tidak pernah beliau mengeluarkan kata-kata keras, apalagi kasar dalam komunikasinya. Beliau lebih suka memilih menulis roman atau cerpen dalam menyampaikan pesan-pesan moral Islam (http://Biografi_Buya_Hamka-Biografi_Web.html diakses 17 Mei 2014).

Ada satu yang sangat menarik dari Hamka, yaitu keteguhannya memegang prinsip yang diyakini. Inilah yang membuat semua orang menyeganinya. Sikap independennya itu sungguh bukan hal yang baru bagi Hamka. Pada zamam pemerintah Soekarno, Hamka berani mengeluarkan fatwa haram menikah lagi bagi Presiden Soekarno. Otomatis fatwa itu

membuat sang Presiden berang ’kebakaran jenggot’. Tidak hanya berhenti di

situ saja, Hamka juga terus menerus mengkritik kedekatan pemerintah dengan PKI waktu itu. Maka, wajar saja kalau akhirnya dia dijebloskan ke penjara oleh

Soekarno. Bahkan majalah yang dibentuknya ”Panji Masyarat” pernah dibredel

Soekarno karena menerbitkan tulisan Bung Hatta yang berjudul ”Demokrasi Kita” yang terkenal itu. Tulisan itu berisi kritikan tajam terhadap konsep demokrasi terpimpin yang dijalankan Bung Karno. Ketika tidak lagi disibukkan dengan urusan-urusan politik, hari-hari Hamka lebih banyak diisi dengan kuliah subuh di Masjid Al-Azhar, Jakarta Selatan (http://Biografi_Buya_Hamka-Biografi_Web.html diakses 17 Mei 2014).

Hamka merupakan sosok intelektual yang unik. Keunikannya terletak pada latar belakang lembaga pendidikannya yang tradisional, namun ia mempunyai wawasan generalistik dan modern. Keberadaan Hamka merupakan sebuah kontiniuitas intelektual Melayu yang sudah tidak ada lagi di zaman modern ini. Kemampuannya berkomunikasi sesuai dengan kemelayuan baik melalui bahasa lisan maupun tulisan telah menempatkan dirinya pada kedudukan khusus dalam sejarah intelektual Islam di kawasan rumpun Melayu. Bukan hanya karena beliau banyak menulis buku-buku sejarah, khususnya sejarah Islam di nusantara termasuk biografi, melainkan pemikiran Hamka telah dapat mengisi kekosongan khazanah peradaban Islam di nusantara. Kemasyhuran pemikiran dan intelektualitasnya melampaui batas tanah air bahkan menyebar sampai ke negeri-negeri Islam baik di kawasan kelompok Melayu maupun Timur Tengah. Dalam konteks ini Hamka dapat dikatakan sebagai pewaris dan penyambung intelektual Islam Melayu klasik (

http://ulama-minang.blogspot.com/2011/10/hamka-dan-islam-dalam-konteks-sosio.html diakses 19 Agustus 2014).

Jaringan intelektual Hamka bukan hanya terbatas di Indonesia saja akan tetapi juga merambah ke kawasan negara-negara rumpun Melayu khususnya Malaysia dan Singapura bahkan sampai ke Timur Tengah. Di Malaysia, buku-buku karya Hamka beredar secara luas dan mendapat tempat di kalangan masyarakat Melayu. Bahkan beberapa di antaranya dijadikan sebagai rujukan dan buku teks pada beberapa lembaga pendidikan. Beberapa karya tersebut telah dicetak ulang di Kuala Lumpur. Bagi orang-orang Melayu, Hamka adalah putra besar alam Melayu yang tampil pada saat umat mengalami ketegangan dalam menangani berbagai persoalan berat yang diakibatkan oleh penjajah

( http://ulama-minang.blogspot.com/2011/10/hamka-dan-islam-dalam-konteks-sosio.html diakses 19 Agustus 2014).

Sebagai seorang ilmuwan, Hamka memberikan perhatian serius terhadap isu-isu kemelayuan dan keislaman. Sebagai seorang putra Melayu, Hamka sangat mencintai seluruh bumi Melayu tanpa dihalangi oleh batas-batas wilayah. Sebagai seorang yang mempunyai kesadaran sejarah dan budaya, Hamka tidak dapat melepaskan pola pikirnya dari ikatan kemelayuan yang seagama, dan sebudaya. Tingginya penghargaan masyarakat Melayu terhadap pemikiran Hamka, telah mengantarkan dirinya sebagai sosok yang dikagumi dan dicintai oleh berbagai kalangan ( http://ulama-minang.blogspot.com/2011/10/hamka-dan-islam-dalam-konteks-sosio.html

diakses 19 Agustus 2014).

4. Pemikiran-pemikiran yang Berpengaruh

Hamka selain dipengaruhi oleh pemikiran para tokoh, seperti Muhammad Abduh, Sayyid Quthb, H. O. S Cokroaminoto, A. R. Sutan Mansur dan lainnya, pemikiran Hamka juga dipengaruhi oleh kondisi sosial politik yang terjadi semasa hidupnya, baik di dalam maupun di luar negeri. Semisal karyanya,

Tafsir al-Azhar, yang di dalamnya banyak dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa kontemporer dan sejarah perjuangan bangsa Indonesia, yang telah disatu-alurkan dengan kerangka pemikiran yang terdapat dalam dalil-dalil al-Qur‟an

dan al-Hadis, ditambah dengan corak pemikiran-pemikirannya yang diekspresikan ketika dalam tahanan yang sedikit banyak telah memberikan warna pemikiran yang dijiwai oleh semangat perjuangan keras dalam upaya melawan ketidakadilan ataupun kekerasan yang dilakukan oleh Orde lama, sehingga terasa lazim dan inovatif bila Hamka mengaitkan penafsirannya

dengan berbagai peristiwa kontemporer dan sejarah perjuangan bangsa Indonesia pada waktu itu (Hakim dan Thalhah, 2005: 32).

Kemudian buku Di Bawah Lindungan Ka‟bah, yang ditulis berdasarkan pengalamannya di Makkah selama enam bulan, dan juga karyanya yang berjudul Empat Bulan di Amerika, yang ditulis berdasarkan pengalamannya sewaktu berkunjung ke Amerika selama empat bulan, yang telah memberikan wawasan luas tentang pluralitas budaya yang ada, dan memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap kemajuan sistem pemikiran bangsa Indonesia di berbagai bidang, terutama bidang pendidikan (Hakim dan Thalhah, 2005: 32).

C. Karya-karyanya

1. Buku dibidang sastra, yaitu: a. Si Sabariyah, (1928).

b. Laila Majnun (1932) di terbitkan oleh Balai Pustaka.

c. Mati mengandung malu (Salinan Al-Manfaluthi), (1934).

d. Di Bawah Lindungan Ka‟bah, Haji Agus Hakim, Alumni Kulliyyatul Muballighin, yang didirikan Hamka di Padang Panjang, menceritakan bahwa naskah buku di atas telah ditulis pada tahun 1935 di Medan, akan tetapi oleh Balai Pustaka diterbitkan pada tahun 1937.

e. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, buku ini menurut pengalaman Hamka, dikarang sebab inspirasi ketika beliau menjadi muballigh PB. Muhammadiyah di Makasar. Buku ini diterbitkan pada tahun 1936 di Medan.

f. Merantau ke Deli, cerita roman ini dikarang berdasar inspirasi yang beliau tangkap ketika beliau menjadi guru agama di perkebunan Bajalingge. Buku ini diterbitkan pada tahun 1938 di Medan.

g. Didalam Lembah Kehidupan. Dalam buku ini banyak disinggung tentang kemudharatan pernikahan poligami yang kurang perhitungan. Buku ini diterbitkan pada tahun 1939 oleh Balai Pustaka.

h. Dijemput Mamaknya (1939). i. Keadilan Ilahi (1939) di Medan. j. Tuan Direktur (1939).

k. Terusir (1940) di Medan.

l. Margaretta Gauthier, 1940 (Hakim dan Thalhah, 2005: 33). m. Dibantingkan Ombak Masyarakat (1946).

n. Di Tepi Sungai Nil (1950) di Jakarta. o. Di Tepi Sungai Dajlah (1950) di Jakarta. p. Mandi Cahaya di Tanah Suci (1950) di Jakarta. q. Ayahku (1950) di Jakarta.

r. Pribadi (1950).

s. Kenang-Kenangan Hidup 1, autobiografi sejak lahir 1908 sampai pada tahun 1950.

t. Kenangan-kenangan hidup 2.

u. Kenangan-kenangan hidup 3.

v. Kenangan-kenangan hidup 4.

w. 1001 Soal Hidup (Kumpulan karangan dari Pedoman Masyarakat, dibukukan 1950).

x. Empat Bulan di Amerika jilid 1 dan 2 (1953) di Jakarta (http:// Daftar Karya Buya Hamka.htm, diakses 10 Mei 2014).

2. Buku dibidang politik dan budaya, yaitu:

a. Negara Islam diterbitkan pada tahun 1935 di Padang Panjang, Sumatera Barat.

b. Islam dan Demokrasi diterbitkan pada tahun 1935 di Padang Panjang, Sumatera Barat.

c. Revolusi Fikiran diterbitkan pada tahun 1935 di Padang Panjang, Sumatera Barat.

d. Revolusi Agama diterbitkan pada tahun 1935 di Padang Panjang, Sumatera Barat.

e. Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi diterbitkan pada tahun 1935 di Padang Panjang, Sumatera Barat.

f. Dari Lembah Cita-cita diterbitkan pada tahun 1935 di Padang Panjang, Sumatera Barat.

g. Sesudah Naskah Renville diterbitkan di Sumatera Barat. h. Dilamun Ombak Masyarakat diterbitkan di Sumatera Barat. i. Merdeka diterbitkan di Sumatera Barat.

j. Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga Maret, (1947).

k. Urat Tunggang Pancasila diterbitkan pada tahun 1950 di Jakarta.

l. Dari Perbendaharaan Lama, 1963 dicetak oleh M. Arbie, Medan; dan 1982 oleh Pustaka Panjimas, Jakarta.

m. Ekspansi Ideologi (Alghazwul Fikri), 1963, Bulan Bintang.

n. Sayid Jamaluddin Al-Afhany 1965, Bulan Bintang. o. Fakta dan Khayal Tuanku Rao, (1970).

p. Urat Tunggang Pancasila (http:// Daftar Karya Buya Hamka.htm, diakses 10 Mei 2014).

3. Buku dibidang keagamaan Islam, yaitu:

a. Khathibul Ummah (1925) di Padang Panjang. b. Agama dan Perempuan (1929).

c. Pembela Islam(Tarikh Saidina Abu Bakar Shiddiq), (1929).

d. Ringkasan Tarikh Ummat Islam (1929).

e. Adat Minangkabau dan Agama Islam (1929). f. Kepentingan Tabligh (1929).

g. Ayat-ayat Mi‟raj (1929).

h. Arkanul Islam (1932) di Makassar.

i. Pedoman Mubaligh Islam,Cetakan 1 1937; Cetakan ke 2 tahun 1950.

j. Falsafah Hidup (1938) di Medan. k. Lembaga Hidup (1938) di Medan.

l. Pedoman Muballigh Islam (1938) di Medan. m. Tasauf Moderen (1938) di Medan.

n. Lembaga Budi (1938) di Medan. o. Agama dan Perempuan, (1939).

p. Sejarah Islam di Sumatera(Zaman Jepang, 1943).

q. Semangat Islam diterbitkan (Zaman Jepang, 1943).

r. Muhammadiyah Melalui Tiga Zaman (1946) di Padang Panjang, Sumatera Barat.

s. Menunggu Beduk Berbunyi, sedang Konferansi Meja Bundar di Bukittinggi, Sumatera Barat.

u. Keadilan Sosial dalam Islam 1950 (sekembali dari Mekkah).

v. Perkembangan Tasauf dari Abad ke Abad (1950) di Jakarta.

w. Lembaga Hikmat, (1953) oleh Bulan Bintang, Jakarta.

x. Sejarah Ummat Islam Jilid 1, ditulis tahun 1938 diangsur sampai 1950.

y. Sejarah Ummat Islam Jilid 2.

z. Sejarah Ummat Islam Jilid 3.

aa. Sejarah Ummat Islam Jilid 4 (1955). bb. Pelajaran Agama Islam (1955). cc. Pelajaran Agama Islam, 1956.

dd. Pandangan Hidup Muslim (1960).

ee. Soal jawab (1960), disalin dari karangan-karangan Majalah Gema Islam.

ff. Hak Asasi Manusia dipandang dari segi Islam (1968).

gg. Cita-Cita Kenegaraan dalam Ajaran Islam (Kuliah umum) di Universiti Kristan (1970).

hh. Islam dan Kebatinan, (1972); Bulan Bintang.

ii. Studi Islam (1973), diterbitkan oleh Panji Masyarakat.

jj. Kedudukan Perempuan dalam Islam, (1973).

kk. Doa-doa Rasulullah S.A.W, (1974).

ll. Himpunan Khutbah-khutbah.

mm.Bohong di Dunia.

nn. Muhammadiyah di Minangkabau (1975), (Menyambut Kongres Muhammadiyah di Padang).

oo. Akhlaqul Karimah diterbitkan pada tahun 1992 di Jakarta (http:// Daftar

Dokumen terkait