• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kasus Manipulasi Laporan Keuangan PT KAI

Dalam dokumen Tugas Makalah Bukti Audit dan KKP (Halaman 32-39)

PT KAI Menerapkan proses GCG (Good Corporate Governance) dalam suatu perusahaan bukan suatu proses yang mudah. Diperlukan konsistensi, komitmen, dan pemahaman yang jelas dari seluruh stakeholders perusahaan mengenai bagaimana seharusnya proses tersebut dijalankan. Namun, dari kasus-kasus yang terjadi di BUMN ataupun Perusahaan Publik dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa penerapan proses GCG belum dipahami dan diterapkan sepenuhnya. Pembedahan kasus-kasus yang telah terjadi di perusahaan atas proses pengawasan yang efektif akan menjadi pembelajaran yang menarik dan kiranya dapat kita hindari apabila kita dihadapkan pada situasi yang sama. Salah satu contohnya adalah kasus audit umum yang dialami oleh PT. Kereta Api Indonesia (PT. KAI). Kasus ini menunjukkan bagaimana proses tata kelola yang dijalankan dalam suatu perusahaan dan bagaimana peran dari tiap-tiap organ pengawas dalam memastikan penyajian laporan keuangan tidak salah saji dan mampu menggambarkan keadaan keuangan perusahaan yang sebenarnya. Kasus PT. KAI berawal dari perbedaan pandangan antara Manajemen dan Komisaris, khususnya Ketua Komite Audit dimana Komisaris menolak menyetujui dan menandatangani laporan keuangan yang telah diaudit oleh Auditor Eksternal. Komisaris meminta untuk dilakukan audit ulang agar laporan keuangan dapat disajikan secara transparan dan sesuai dengan fakta yang ada. Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya kasus PT. KAI adalah rumitnya laporan keuangan PT. KAI.

Perbedaan pandangan antara manajemen dan komisaris tersebut bersumber pada perbedaan mengenai:

1. Masalah piutang PPN. Piutang PPN per 31 Desember 2005 senilai Rp. 95,2 milyar, menurut Komite Audit harus dicadangkan penghapusannya pada tahun 2005 karena diragukan kolektibilitasnya, tetapi tidak dilakukan oleh manajemen dan tidak dikoreksi oleh auditor.

2. Masalah Beban Ditangguhkan yang berasal dari penurunan nilai persediaan. Saldo beban yang ditangguhkan per 31 Desember 2005 sebesar Rp. 6 milyar yang merupakan penurunan nilai persediaan tahun 2002 yang belum diamortisasi,

menurut Komite Audit harus dibebankan sekaligus pada tahun 2005 sebagai beban usaha.

3. Masalah persediaan dalam perjalanan. Berkaitan dengan pengalihan persediaan suku cadang Rp. 1,4 milyar yang dialihkan dari satu unit kerja ke unit kerja lainnya di lingkungan PT. KAI yang belum selesai proses akuntansinya per 31 Desember 2005, menurut Komite Audit seharusnya telah menjadi beban tahun 2005.

4. Masalah uang muka gaji. Biaya dibayar dimuka sebesar Rp. 28 milyar yang merupakan gaji Januari 2006 dan seharusnya dibayar tanggal 1 Januari 2006 tetapi telah dibayar per 31 Desember 2005 diperlakukan sebagai uang muka biaya gaji, yang menurut Komite Audit harus dibebankan pada tahun 2005.

5. Masalah Bantuan Pemerintah Yang Belum Ditentukan Statusnya (BPYDBS) dan Penyertaan Modal Negara (PMN). BPYDBS sebesar Rp. 674,5 milyar dan PMN sebesar Rp. 70 milyar yang dalam laporan audit digolongkan sebagai pos tersendiri di bawah hutang jangka panjang, menurut Komite Audit harus direklasifikasi menjadi kelompok ekuitas dalam neraca tahun buku 2005. Beberapa hal yang direfentifikasi turut berperan dalam masalah pada laporan keuangan PT. KAI Indonesia:

1. Auditor internal tidak berperan aktif dalam proses audit, yang berperan hanya auditor Eksternal.

2. Komite audit tidak ikut serta dalam proses penunjukkan auditor sehingga tidak terlibat proses audit.

3. Manajemen (tidak termasuk auditor eksternal) tidak melaporkan kepada komite audit dan komite audit tidak menanyakannya.

4. Adanya ketidakyakinan manajemen akan laporan keuangan yang telah disusun, sehingga ketika komite audit mempertanyakan manajemen merasa tidak yakin. Terlepas dari pihak mana yang benar, permasalahan ini tentunya didasari oleh tidak berjalannya fungsi check and balances yang merupakan fungsi substantif dalam perusahaan. Yang terpenting adalah mengidentifikasi kelemahan yang ada sehingga dapat dilakukan penyempurnaan untuk menghindari munculnya permasalahan yang sama di masa yang akan datang.

Berikut ini beberapa solusi dan rekomendasi yang disarankan kepada PT KAI untuk memperbaiki kondisi yang telah terjadi:

1. Apabila Dewan Komisaris ini merasa direksi tidak capable (mampu) memimpin perusahaan, Dewan Komisaris dapat mengusulkan kepada pemegang saham untuk mengganti direksi.

2. Diperlukannya kebijaksanaan (wisdom) dari Anggota Dewan Komisaris untuk memilah-milah informasi apa saja yang merupakan private domain.

3. Komunikasi yang intens sangat diperlukan antara Auditor Eksternal dengan Komite Audit.

4. Komite Audit sangat mengandalkan Internal Auditor dalam menjalankan tugasnya untuk mengetahui berbagai hal yang terjadi dalam operasional perusahaan.

5. Komite Audit tidak memberikan second judge atas opini Auditor Eksternal, karena opini sepenuhnya merupakan tanggung jawab Auditor Eksternal.

6. Harus ada upaya untuk membenarkan kesalahan tahun-tahun lalu, karena konsistensi yang salah tidak boleh dipertahankan.

7. Komite Audit tidak berbicara kepada publik karena esensinya Komite Audit adalah organ Dewan Komisaris sehingga pendapat dan masukan Komite Audit harus disampaikan kepada Dewan Komisaris. Apabila Dewan Komisaris tidak setuju dengan Komite Audit, tetapi Komite Audit tetap pada pendiriannya, Komite Audit dapat mencantumkan pendapatnya pada Laporan Komite Audit yang terdapat dalam laporan tahunan perusahaan.

8. Manajemen menyusun laporan keuangan secara tepat waktu, akurat dan full disclosure.

9. Komite Audit dan Dewan Komisaris sebaiknya melakukan inisiatif untuk membangun budaya pengawasan dalam perusahaan melalui proses internalisasi, sehingga pengawasan merupakan bagian tidak terpisahkan dari setiap organ dan individu dalam organisasi.

Kaitan kasus dengan bukti audit

a. Bukti pada kasus PT. KAI dikaitkan dengan Pendekatan dalam audit: 1. Bukti audit top-down

Dalam laporan keuangan PT KAI tahun 2005, perusahaan BUMN itu dicatat meraih keutungan sebesar Rp 6,9 Miliar. Padahal apabila diteliti dan dikaji lebih rinci, perusahaan seharusnya menderita kerugian sebesar Rp 63 Miliar.

2. Bukti audit bottom-up

Ditemukan adanya kejanggalan dari laporan keuangan PT. KAI tahun 2005. Pajak pihak ketiga sudah tiga tahun tidak pernah ditagih, tetapi dalam laporan keuangan itu dimasukkan sebagai pendapatan PT KAI selama tahun 2005. Kewajiban PT. KAI untuk membayar surat ketetapan pajak (SKP) pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar Rp 95,2 Miliar yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak pada akhir tahun 2003 disajikan dalam laporan keuangan sebagai piutang atau tagihan kepada beberapa pelanggan yang seharusnya menanggung beban pajak itu, padahal ia tidak dapat dikelompokan dalam bentuk pendapatan atau asset. Dengan demikian, kekeliruan dalam pencatatan transaksi atau perubahan keuangan telah terjadi disini.

Penurunan nilai persediaan suku cadang dan perlengkapan sebesar Rp 24 Miliar yang diketahui pada saat dilakukan inventarisasi tahun 2002 diakui manajemen PT KAI sebagai kerugian secara bertahap selama lima tahun. Pada akhir tahun 2005 masih tersisa saldo penurunan nilai yang belum dibebankan sebagai kerugian sebesar Rp 6 Miliar, yang seharusnya dibebankan seluruhnya dalam tahun 2005.

b. Berdasarkan kompetensi bukti audit

 Sumber Bahan Bukti dan Kualifikasi Orang yang Memberikan Informasi terhadap Bukti

Sumber temuan bukti berasal dari Komite Audit dimana Komisaris menolak menyetujui dan menandatangani laporan keuangan yang telah diaudit oleh Auditor Eksternal karena merasa terdapat kejanggalan.

Dalam hal ini, komisaris yang merangkap sebagai komite audit PT. KAI yaitu Hekinus Manao berbicara kepada publik dan menolak menyetujui laporan keuangan PT. KAI tahun 2005 yang telah diaudit oleh akuntan publik karena setelah diteliti dengan seksama mengenai ditemukan adanya kejanggalan dari laporan keuangan PT. KAI tahun 2005. Ketiadaan tata kelola yang baik itu juga membuat komite audit (komisaris) PT. KAI baru bisa dibuka akses terhadap laporan keuangan setelah diaudit akuntan publik.

c. Data akuntansi yang mendasari Catatan akuntansi

Berupa catatan akuntansi tahun 2002 yang membebankan kerugian akibat penurunan persediaan berupa suku cadang sebesar Rp 24 M.

d. Bukti penguat 1) Bukti analitis

Bukti analitis salah satunya adalah dengan melihat data catatan kerugian penurunan persediaan berupa suku cadang tahun 2002 sebesar 24 miliar yang harus dibebankan bertahap selama 5 tahun. Pada tahun 2005, masih tersisa kerugian sejumlah Rp 6 Miliar, namun tidak dicatat.

2) Bukti dokumenter

Bukti documenter berupa surat ketetapan pajak (SKP) pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar Rp 95,2 Miliar yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak pada akhir tahun 2003 Catatan akuntansi

3) Bukti lisan

Bukti lisan berupa pernyataan manajemen PT. KAI pada tahun 1998-2003 tidak melakukan pencadangan kerugian terhadap kemungkinan tidak tertagihnya kewajiban pajak.

Kaitan Kasus dengan Kertas Kerja Pemeriksaan Susunan kertas kerja pemeriksaan terdiri dari 1. Draf laporan audit

2. Laporan keuangan auditan

3. Ringkasan informasi bagi penelaah 4. Program audit

5. Laporan keuangan atas neraca lajur yang dibuat klien 6. Ringkasan jurnal penyesuaian

7. Working trial balance 8. Daftar Utama

9. Daftar pendukung

Dalam kasus manipulasi laporan keuangan PT KAI pada tahun 2005, PT KAI salah saji dalam pelaporan keuangan. Akan tetapi setelah pelaksanaan proses audit, di antaranya pembuatan kertas kerja, auditor memberikan opini wajar. Namun berdasarkan temuan dari Komite Audit, terdapat banyak kejanggalan dalam audit laporan keuangan yang dilakukan oleh auditor eksternal. Sehingga Komite Audit meminta untuk dilakukan audit ulang. Oleh karena itu kertas kerja pemeriksaan yang sudah dibuat oleh auditor mengindikasikan bahwa adanya kesalahan perhitungan dan penyajian. Hal tersebut disebabkan karena dalam penyusunan KKP didasarkan atas bukti-bukti audit yang dikumpulkan, salah satunya yaitu laporan keuangan PT KAI. Tetapi auditor tidak menunjukkan adanya kesalahan dalam penyajian laporan keuangan tersebut.

BAB III PENUTUP

Kesimpulan

Bukti audit adalah semua informasi yang digunakan oleh auditor untuk menyatakan opini audit. Tujuan audit laporan keuangan adalah untuk memberikan pendapat atas kewajaran laporan keuangan klien. Untuk mendasari pemberian pendapat tersebut, auditor harus memperoleh dan mengevaluasi bukti. Bukti audit yang mendukung laporan keuangan terdiri dari data akuntansi dan semua informasi penguat (corroborating information) yang tersedia bagi auditor.

Kertas kerja merupakan sumber yang penting bagi akuntan dan merupakan jembatan penghubung antara catatan klien dengan laporan akuntan. Pengumpulan kertas kerja akuntan sangat memperhatikan kondisi sistem pengendalian intern. Makin baik sistemnya maka semakin berkurang kertas kerjanya. Kertas kerja meliputi semua bukti-bukti yang dikumpulkan akuntan untuk membuktikan bahwa pemeriksaan telah dilakukan, metode dan prosedur pemeriksaan telah dilaksanakan dan kesimpulan (temuan) telah diberikan.

Dalam kasus di atas dapat disimpulkan bahwa auditor dalam mengumpulkan bukti-bukti audit harus jujur sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, karena dari bukti-bukti audit tersebut akan dijadikan dasar dalam penyusunan kertas kerja pemeriksaan. Sehingga auditor dalam menyampaikan opininya harus sesuai dengan temuan bukti.

Dalam dokumen Tugas Makalah Bukti Audit dan KKP (Halaman 32-39)

Dokumen terkait