BAB III : GAMBARAN UMUM DALAM PERKEMBANGAN HAM
C. Kasus Pelanggaran HAM Yang Disidangkan Di Pengadilan
perwakilan dari 160 negara dan disaksikan 250 organisasi non pemerintah (Non-Govermental
Organizations/Ngo), mengadakan pertemuan yang membahas perjanjian untuk mendirikan mahkamah pidana internasional yang bersifat permanen.
Akhirnya tanggal 17 Juli 1998, ditetapkan sebagai tanggal persetujuan Statuta Roma. Namun, Statuta ini akan berlaku apabila Negara yang ke 60 telah
meratifikasinya. Pada tanggal 1 Juli 2002, Mahkamah Pidana Internasional mulai berlaku efektif berdasarkan pasal 126 Statuta Roma. Dimana pada tanggal 11 April 2002, Negara ke 60 telah maratifikasi Statuta Roma sebagai syarat pemberlakuan.
Berlakunya Statuta Roma dan Mahkamah Pidana Internasional (ICC), diharapkan dapat mengadili para pelaku kejahatan kemanusiaan dan memutuskan rantai kekebalam hukum (impunity) demi menjada keamanan dan perdamaian dunia.
Maraknya pelanggaran HAM yang mendapat perhatian masyarakat luas baik dalam skala nasional maupun internasional, yang dapat kita ambil salah satu kasus di Indonesia yakni kausu operasional militer yang ada di Aceh yang disebut DOM, kasus tanjug priok pada tahun 1984 yang ada di Jakarta, dan kasus pelanggaran HAM yang ada di Timor-Timor tahun 1999. Dan kasus ini mendapat perhatian yang cukup serius adalah kasus pelanggaran HAM di Timor-Timor yang terjadi sebelum dan sesudah adanya referendum di bulan September tahun 1999 yang dipantau oleh PBB melalui United Nations Missions in Fast Timor (UNAMED)93
91
. Dan referendum ini dilakukan untuk menentukan apakah
on the establishment of an international criminal court
92 Leila Nadya Sadat and S.Richard Carden, 2000, The new intnernational criminal Court : an uneasy revolution, George Town Law Journal, hal. 1
Timor tetap bertahan untuk bergabung dalam Kesatuan Republik Indonesia (NKGRI), atau memilih merdeka untuk menentukan nasib sendiri (self Determination). Dan kemudian dari hasil terakhir, dimana rakyat Timor-Timor memilih untuk merdeka agar dapat memisahkan diri dari Negara Republik Indonesia.
Untuk itu maka PBB membentuk United Nations Transitional administration in East Timor (UNTAET) atau dikenal dengan pemerintahan transisi Timor-Timor, dimana pemerintahan transisi ini berada dibawah pengawasan PBB, dan Pemerintahan Timor-Timor yang sudah dibentuk itu dapat berdiri sendiri dan merdeka dari kebebasan Negara lain.
Kemudian pemerintahan transisi terbentuk makan muncul kepermukaan adanya akan terjadinya pelanggaran HAM di Timor-Timor selama25 tahun dibawah naungan Indonesia, bahwa pelanggaran yang terjadi sebalum dan sesudah Referendum hal ini dilaporkan oleh sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Non-Govermental Organization (Ngo) seperti human rights watch (HRW, elsam, dan beberapa lainnya. Akhirnya PBB mengirimkan wakilnya melalui thematic Special Rapporteurs ke Timor-Timor untuk menelusuri lebih lanjut. Laporan yang diberikan oleh wakil PBB itu menyebutkan telah terjadi pelanggaran HAM seperti pembunuhan, penghilangan paksa, beberapa tindakan kekerasan seksual, dan memaksa perpindahan penduduk untuk mengungsi. Tindakan pelanggaran HAM ini dilakukan oleh TNI dan beberapa Milisi Timor-Timor yang pro-intrgrasi yang dipimpin oleh Eurico Gutteres. Setidaknya 1000-2000 orang kehilangan kehidupannya, dan 500.000 orang dipaksa untuk mengungsi. Oleh sebab itu maka pemerintahan transisi membentuk
Serious Crimes Investigation Unit (SCIU) untuk menindaklanjuti pelanggaran HAM yang terjadi di beberapa daerah seperti di Dili, Liquisa dan Suai.94
Presiden Timor-Timor yang dipilih yakni Xanana Gusmao telah menyerahkan laporan yang mendokumentasikan pelanggaran HAM secara besar-besaran selam 24 tahun kependudukan Indonesia di Negara Timor-Timor kepada PBB. Dalam laporannya Xanana Gusmao menuduh militer Indonesia melakukan penyiksaan, bom api, dan kelaparan sebagai senjata perang.95
Dengan adanya pengadilan HAM (Ad Hoc) memutuskan untuk 10 orang dibebaskan dari tuntutan dan 3 orang dinyatakan bersalah atas kejadian/peristiwa yang terjadi di Timor-Timur dan Putusan Pengadilam HAM (Ad Hoc) ini banyak membuat kerancauan bahkan kekecewaan dikalangan berbagai pihak baik terjadi Adanya kecaman dan datangnya beberapa kritikan dari berbagai kelompok masyarakat baik nasional atau internasional, yang memaksa agar dibentuknya suatu pengadilan untuk memeriksa, menyelidiki dan memutuskan pelanggaran HAM di Timor-Timur kepada pemerintah Indonesia, dan PBB melalui sekjen PBB Kofi Annan menyetujui dan menyatakan kepada masyarakat luas agar bersabar seraya memberikan kepada pemerintah Indonesia untuk membuat persidangan, karena waktu terjadinya pelanggaran adalah pada saat Timor-Timur berada dalam kekuasaan pemerintahan Indonesia, sehingga akhirnya setelah terbentuknya Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM di Indonesia, maka peradilan HAM dengan sebutan Ad Hoc di Jakarta dapat memulai siding pelanggaran HAM di Timor-Timur yang dimulai pada tahun 2002.
94
95
dikalangan dalam negeri maupun di luar lingkungan nasional (luar negeri). Dan 3 orang yang dinyatakan bersalah yakni Abilio Soares dan pada saat itu yang menjabat sebagai gubernur Timor-timur, dan eurico Gutteres sebagai pemimpin/penguasa dari milisi pro-integrasi, serta Ajun Komisaris Polisi Hulman Gultom. Abilio Soares diputuskan bersalah karena kapasitasnya sebagai Gubernur tidak dapat meredam dan menghentikan terhadap penyerangan yang terjadi di daerah Dili, Liquisa dan Suai, dimana dakwaan terhadap Abilio Suares adalah melakukan pelanggaran HAM berat dan kejahatan terhadap kemanusiaan sesuai dengan pasal 42 ayat 2 huruf (a) dan (b), pasal 7 huruf (b), pasal 9 huruf (a), dan pasal 37 undang-undang pengadilan HAM No. 26 Tahun 2000, tuduhan dan dakwaan yang kedua berdasarkan atas pasal 42 ayat 2 huruf (a) dan (b) pasal 7 huruf (b), pasal 9 huruf (h), pasal 49 Undang-Undang Pengadilan HAM No. 26 Tahun 2000, maka tuntutan jaksa penuntut Ad Hoc tarhadap Abilio Suares adalah 10 tahun 6 bulan, ternyata pengadilan HAM Adhoc menjatuhkan vonis terhadap Abilio Suares hanya dikenakan putusan 3 tahun hukuman penjara, maka pandangan sebahagian pakar hukum tidak sesuai putusan tersebut.
Dalam pandangan lain yang dinyatakan bersalah adalahn Ajun Komisaris Polisi Hulman Gultom yang pada saat itu menjabat sebagai Kapolres Dili, persidangan yang dilakukan pengadilan HAM (Ad Hoc) di Pengadilan Jakarta Pusat pada tanggal 20 Januari 2003 dan menjatuhkan Vonis hukuman penjaran 3 tahun kepada Hulman Gultom96
1. Brigjen Polisi Timbul Silaen, Mantan Kepala Kepolisian Timor-Timur , padahal sebagian besar terdakwa lain dinyatakan bebas, dan mereka ini dapat kita katakan
2. Koloel Inf. Herman Sugiono, Mantan Bupati Kofa
3. Kolonel Inf. Liliek Kusardianto, mantan pelaksana harian komandan Kodim di Suai.
4. Mayor Inf. Ahmad Samsudin, Mantan Kepala Staf Kodim Suai. 5. Letkol. TNI Asep Kuswani, Mantan Koramil di Liquica
6. Ajun Komisaris Polisi Adios Salopa, Mantan Kapolres Liquica 7. Leoneto Martem, Mantan Bupati di Liquica dll/.
Perbuatan adanya kejahatan di Timor-Timur berupa pembantaian, pembunuhan, penyiksaan yant terjadi di kediaman Uskup Bello (Dili), Greja AV Maria (Suai) dan yang menarik perhatian bagi kita adalah saksi yang dihadirkan pada proses pemeriksaan terhadap saksi-saksi tersebut yang dilakukan pada bulan April, dan tidak ada satupun yang merupakan saksi dari si korban. Sedangkan pasal 160 ayat 1 sub B (KUHAP), menyatakan bahwa harus diperiksa terlebih dahulu sebagai saksi yang sah datang dari si korban, dan saksi yang dihadirkan adalah adanya terdakwa lain dalam berkas perkara berbeda terhadap Pelanggaran HAM di Timor-timur, bahkan mereka yang masih memiliki hubungan dengan para terdakwa baik sebagai atasan maupun sebagai hubungan bawahan.97 Dalam surat dakwaan itu juga tidak menunjukkan bahwa pembunuhan dan penganiayaan serta penyiksaan yang terjadi yang dapat memenuhi unsur delik pidana, karena tidak mampu menunjukkan akibat dari peristiwa berdasarkan fakta. Begitu juga terhadap elemen secara sistematis, dimana Jaksa dalam menyusun Dakwaan tidak mampu mendeskripsikan atau menyimpulkan apa yang dimaksud dengan “suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan kebijakan penguasa atas kebijakan yang berkaiatan dengan organisasi atau kelembagaan.98
Dalam kasus lain dapat kita lihat, yakni pelanggaran HAM di Aceh Barat pada bulan Juli 1999 bahwa kasus pelanggaran HAM ini memakai peradilan
Koneksitas, dimana dilakukan persidangan gabungan, yakni warga sipil dan militer, pembantaian atas Tengku Bantaqiah dan 57 orang di Pesantren Milik Tengku Bantaqiah, dimana sebanyak 24 Personil tentara dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman penjara berkisar 8 bulan dan setengah tahun, tetapi tidak ada satupun para petinggi militer maupun para pejabat pemerintahan dinyatakan
97
Dalam Pengadilan HAM Ad Hoc Kasus Timor-Timur Tidak sesuai KUHAP
terlibat atau bersalah terhadap kekacauan yang pernah terjadi dan dilakukan di Aceh Barat tersebut.99
BAB IV
Hal ini akan memberikan suatu catatan penting bagi kita yang seharusnya suatu keadilan itu dapat ditegakkan tentu tujuan mengungkapkan kebenara, tanpa melihat status kedudukan seseorang yang diduga telah melakukan kesalahan (bersalah). Dan membuat rantai impunity terhadap kekebalan hukum kepada mereka yang tidak dapat diputuskan atau dijatuhkan vonis. Bahkan kita katakana secara fakta tidak mungkin seseorang atau bebarapa orang bawahan dapat
bertindak sendiri tanpa adanya campur tangan dari pihak atasan. Dan dalam dunia internasional memang terus menyoroti serta memperhatikan Indonesia, oleh karena maraknya pelanggaran HAM yang tidak dapat diungkap dan diselesaikan. Dan disinilah harapan kita peran para penegak hukum termasuk jaksa dan hakim untuk dapat mewujudkan serta memberikan keadilan seperti menyelidiki dan mengungkap kebenaran terhadap bukti-bukti yang diperoleh dan didapat untuk dikumpulkan dengan maksud mendapatkan suatu kepastian adanya kesalahan dan kejahatan.
BEBERAPA MASALAH PELANGGARAN HAM
TERHADAP MASYARAKAT UKRAINA DILIHAT
MENURUT HUKUM INTERNASIONAL
A. Bentuk-Bentuk Masalah Pelanggaran HAM Terhadap Masyarakat Ukraina
Ukraina merupakan sebuah negara pecahan dari Uni Soviet yang terletak di Eropa Timur. Dalam bahasa Slavia, Ukraina dapat berarti "daerah perbatasan". Ukraina berbatasan langsung dengan Rusia di sebelah timur laut; Belarus di utara;
Polandia, Slowakia dan Hongaria di barat; Rumania dan Moldavia di barat daya; dan Laut Hitam serta Laut Azov di selatan. Ibu kota dan sekaligus kota terbesar di Ukraina adalah Kiev (Kyiv).
Pada abad ke-9, kaum Varangians mendirikan sebuah negara yang diberi nama Kievan Rus atau Kyivan Rus. Negara tersebut adalah salah satu negara terkuat pada abad pertengahan. Sayangnya negara Kievan Rus tak bertahan lama. Pada abad ke-12, Kievan Rus akhirnya bubar akibat disintegrasi.
Pada pertengahan abad ke-14, wilayah Ukraina dikuasai oleh tiga penguasa besar. Penguasa-penguasa tersebut adalah, Golden Horde yang beranggotakan orang-orang Mongol, Grand Duchy of Lithuania (cikal-bakal negara Lithuania yang terbentuk pada abad ke-12 hingga berakhir pada tahun 1569), dan Kerajaan Polandia.
Namun, setelah terjadi Perang Besar di Timur (Great Northern War, 1700-1721), Ukraina dibagi menjadi beberapa wilayah. Kekaisaran Tsar Rusia yang berhasil mengalahkan dominasi Kekaisaran Swedia pada saat itu menguasai wilayah dengan porsi paling luas. Sedangkan wilayah lainnya berdiri di bawah otoritas penguasa Austro-Hungaria.
Setelah mengalami perjalanan yang cukup panjang akhirnya Ukraina kembali mengalami gejolak dan kali ini menuntun pada sebuah perubahan yang cukup mempengaruhi perkembangan negara-negara tersebut pada tahun-tahun berikutnya. Pada tahun 1917 hingga 1921, Ukraina mengalami sebuah
pemberontakan untuk memerdekakan diri. Usaha tersebut ikut terpengaruh akibat meletusnya Perang Dunia Kedua dan Perang Sipil Rusia.
Pada tahun 1922, Ukraina menjalani sebuah perubahan besar. Pada tanggal 30 Desember di tahun yang sama, Republik Sosialis Ukraina Soviet menjadi salah satu pencetus penting dalam terbentuknya Negara Uni Soviet. Namun 46 tahun kemudian, Negara Uni Soviet runtuh. Ukraina kembali berdiri sendiri hingga saat ini.
Krisis di Ukraina berawal saat Presiden Ukraina saat itu, Viktor Yanukovych dilengserkan dari jabatannya. Dia dilengserkan oleh aksi para demonstran yang meminta agar Ukraina bergabung dengan Uni Eropa. Padahal
selama ini Viktor dikenal lebih dekat dengan Rusia. Perbedaan inilah yang membuat letupan sehingga terjadi krisis di Ukraina. Setelah Viktor lengser, presiden Ukraina digantikan oleh Petro Poroshenko. Presiden baru ini lebih cenderung mendekatkan Ukraina ke Uni Eropa.
Karena tak ingin kehilangan pengaruhnya, Rusia kemudian menguasai Semenanjung Krimea di Ukraina selatan dan daerah di bagian timur Ukraina. Daerah itu dikenal wilayah pro-Rusia.
Para milisi yang pro-Rusia ini kemudian menduduki gedung-gedung pemerintahan, bahkan menuntut pemisahan dari Ukraina. Sejak saat itulah, wilayah darat dan udara di Ukraina selatan dan timur menjadi rawan. Terutama wilayah udara timur Ukraina paling rawan dilintasi penerbangan sipil.
Hal inilah yang mengawali perang panjang antara pemerintahan ukrania dengan golongan sparatis pro rusia. Area pertempuran meluas ke daerah-daerah pemukiman padat penduduk terutama di daerah perkotaan Kremia dan daerah-daerah lainnya.
Menurut data PBB, paling tidak 6.000 orang telah tewas sejak konflik merebak di Ukraina timur pada April 2014.100
Simonovic mengatakan partisipasi yang meningkat dari para petempur asing dalam konflk itu, mengacu pada pasukan Rusia dan para petempur relawan. Laporan itu menuduh separatis pro-Rusia melakukan pelanggaran hak asasi Sementara itu sumber lain menyebutkan bahwa Sejumlah 2.593 orang termasuk warga sipil serta pasukan Ukraina dan kelompok separatis tewas dalam
petempuran di Ukraina Timur sejak kontak senjata meletus pertengahan April, kata seorang pejabat hak asasi manusia PBB, Jumat."
Kecenderungan itu jelas berbahaya. Ada peningkatan penting dalam jumlah korban tewas di wilayah Ukraina Timur," kata Ivan Simonovic, Asisten Sekjen PBB untuk Hak Asasi Manusia kepada wartawan."Jumlah korban tewas sekarang 2.593 orang, mendekati 3.000 orang jika digabungkan dengan 298 korban dari pesawat (maskapai penerbangan Malaysia MH17) yang jatuh di daerah Ukraina Timur," katanya.Simonovoc, yang menyampaikan laporan misi pemantau PBB, mengatakan korban di pihak sipil akan terus meningkat "karena masing-masing pihak meningkatkan kekuatannya, melalui mobilisasi, organisasi yang lebih baik dan senjata-senjata yang lebih canggih dan dukungan dari luar".
Jumlah korban tewas hampir 400 lebih banyak ketimbang yang disampaikan dalam dalam laporan itu, yang mencakup periode sampai 17 Agustus.
100 http://www.voaindonesia.com/content/rusia-kecam-peran-as-dalam-konflik-ukraina-/2780047.html
manusia yang luas termasuk pembunuhan, penculikan dan penyiksaan, dan mengatakan mereka menerima satu "pasokan tetap" senjata-senjata canggih dan amunisi. Laporan itu, yang disiapkan oleh kantor hak-hak asasi manusia PBB di Jenewa juga mengutip laporan-laporan pelanggara hak asasi manusia oleh pasukan militer Ukraina dan batalyon-batalyon khusus yang dipimpin Kementerian Dalam Negeri.
"Kelompok-kelompok bersenjata terus melakukan pembunuhan, penculikan, penyiksaan fisik dan psikologi, perlakuan yang buruk, pengeksekusian dan pelanggaran serius hak asasi manusia lainnya," kata laporan itu, dan
menambahkan pelanggaran-pelanggaran itu adalah sasaran sipil yang tidak pada tempatnya.
"Militer Ukraina dilaporkan menembak dari wilayah (Rusia) dan menggunakan ranjau darat yang ilegal di wilayah Ukraina.
Berkat usaha Jerman dan Perancis mencari solusi damai konflik Ukraina, di timur Ukraina muncul setitik harapan. Pasukan pemerintah dan separatis pro-Rusia menyepakati gencatan senjata kemanusiaan selama 7 jam hari Jumat (06/02/15) di kota Debaltseve untuk evakuasi warga sipil.
Debaltseve adalah kota strategis penting pertemuan jalur kereta yang menghubungkan dua kota kubu pemberontak Lugansk dan Donetsk. Sejak beberapa hari terakhir milisi separatis pro-Rusia terus menggempur kota itu dengan tembakan artileri berat. Sementara pasukan pemerintah Ukraina juga tetap bertahan di sisi lain. Akibat pertempuran itu puluhan warga sipil dilaporkan tewas.
Saksi mata melaporkan konvoi sedikitnya 30 bus kosong dikawal
pengamat OSCE telah dikirim ke Debaltseve untuk mengungsikan penduduk sipil yang terkepung di front pertempuran ke lokasi yang lebih aman. Kantor Berita Reuters juga melaporkan puluhan bus lainnya dikawal tentara Ukraina juga telah diberangkatkan dari timur kota tersebut. Lebih 5000 warga terbunuh dalam
konflik berkepanjangan antara pemerintah di Kiev yang pro-Barat dan separatis di Krimea yang pro-Rusia.
Dan genjatan senjata berlanjut untuk kawasan timur Ukraina. Walau rapuh kesepakatan genjatan senjata ini adalah langkah pertama ke arah perdamaian. Bagi rakyat di kawasan konflik.. Setelah mulai berlakunya gencatan senjata hari
Minggu 15 Februari 2015.
Tetapi harus diakui, gencatan senjata itu amat ringkih. Terutama jika tidak seluruh poin kesepakatannya dijalankan secara konsekuen. Pelanggaran sudah terjadi kurang dari 48 jam setelah kesepakatan Minsk itu diterapkan. Di kota Debaltseve tidak ada pihak yang bertikai yang bersedia mundur ke garis
demiliteriasi. Bahkan 8.000 serdadu Ukraina dilaporkan masih dikepung separatis pro-Rusia, yang menganggap kesepakatan tidak mencakup kota kecil yang
strategis penting itu.
Pada saat 48 jam setelah kesepakatan gencatan senjata berlaku, semua senjata berat harusnya mulai ditarik dari kawasan konflik. Pengamat dari organisasi untuk keamanan dan kerjasama di Eropa-OSCE harusnya bisa
mengontrol pelaksanaan kesepakatan Minsk, dan memiliki akses tanpa hambatan ke semua pelosok di zona pertempuran. Tapi hingga kini, izin akses OSCE itu masih terus dirundingkan dengan alot.
Ketakutan dan harapan bercampurbaur di kalangan rakyat di kawasan konflik di timur Ukraina. Semua pihak yang terlibat pertempuran juga tahu persis, bahwa gencatan senjata akan stabil, jika seluruh tank tempur, panser dan peluncur rudal ditarik dari kawasan konflik. Tapi realita menunjukkan, kelompok separatis pro-Rusia sejauh ini selalu menyalahgunakan gencatan senjata untuk makin mendorong gerak majunya dengan dibantu peralatan teknik militer dari Rusia.
Tema senjata dari kelompok pemberontak pro-Rusia merupakan titik paling lemah dalam kesepakatan gencatan senjata Minsk. Sebab jalan bagi pemasokan logistik bagi kaum separtis melintasi perbatasan Rusia hingga kini masih tetap terbuka. Sebab Kiev tetap tidak diizinkan mengontrol pintu perbatasan ini hingga akhir tahun ini. Terdapat ketakutan, akan makin banyak senjata yang dimasukkan ke kawasan konflik, hingga keputusan dapat ditentukan lewat front pertempuran.
Dalam perundingan maraton di ibukota Belarusia Minsk banyak hal dibahas. Termasuk kondisi di kota Debalzeve yang terus diperebutkan. Sesuai kesepakatan, baik pasukan Ukraina maupun kaum separatis yang didukung Rusia, harus menarik senjata beratnya juga dari Debaltseve. Tapi tidak terlihat ada pertanda gerakan dan perang terus berlanjut. Kini, kota kecil Debaltseve seolah menjadi penentu dari perang atau damai di kawasan timur Ukraina.101
Asisten Sekretari Jenderal untuk Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, Ivan Simonovic mengatakan, korban tewas dalam konflik Ukrania Timur mecapai 3.543 jiwa, termasuk 298 korban pada kecelakaan pesawat Malaysia Airlines. “Selama enam bulan terakhir, kami melihat kasus di Ukrania, korban tewas
Namun kedua belah pihak yang bertikai yaitu Pasukan Pemerintah Ukraina dan pasukan sparatis pro Rusia selanjutnya melakukan pelanggaran-pelanggaran atas kesepakatan tersebut yang mengakibatkan perang kembali berlanjut.
101
sampai 21 September mencapai 3543 orang termasuk 298 korban kecelakaan pesawar Malaysia ,”kata Ivan Simonovic dilaporkan World Bulletin dan dikutip Mi’raj Islamic News Agency.102
Disamping korban tewas, konflik yang terjadi di Ukrania mengakibatkan sekitar 1.3 juta jiwa mengalami krisis air bersih, hampir 1,4 juta orang telah mengungsi di Ukraina, termasuk setidaknya 174.000 anak-anak.
103
Dampak dan akibat konflik yang terjadi di Ukrania tidak hanya dirasakan oleh warga Ukrania tetapi juga oleh masyarakat internasional dimana pada tanggal 17 Juli 2014 Pesawat Malaysia Airlines MH17 Boeing 777-200ER dinyatakan hilang diperbatasan Rusia dengan 283 penumpang dan 15 awak kabin dari berbagai Negara. Pesawat ini dikabarkan jatuh 50 to 80 kilometres (31 to 50 mi) sebelum memasuki ruang udara Rusia. Laporan awal Reuters menyatakan bahwa pemerintah Ukraina menduga pesawat ini ditembak jatuh ole
Pelanggaran HAM yang secara besar-besaran telah terjadi di Ukraina. Baik yang dilakukan oleh pemerintahan Ukraina maupun oleh para kaum sparatis pro rusia. Konflik militer antara separatis pro Rusia dengan pasukan Ukraina telah menyebabkan sebanyak 6.000 orang kehilangan nyawanya. Dan tidak kurang dari 10.000 warga sipil kehilangan tempat tinggalnya.
ketinggian 10,000 metre.104
Pada 20/10 Amnesty International melaporkan memiliki bukti kuat bahwa kedua pihak telah melakukan pembunuhan sewenang-wenang. Dua organisasi HAM internasional menuduh bahwa pelanggaran HAM dan kejahatan perang telah terjadi di Ukraina Timur tahun ini, di mana bentrokan antara separatis
Pesawat tersebut yang tengah menjalani rute dari Amsterdam menuju Kuala Lumpur, mengangkut 295 orang di dalamnya, jatuh di dekat perbatasan Ukraina dan Rusia. Pesawat itu sedang terbang dekat kota Shaktarsk di wilayah Donetsk yang dikuasai pemberontak pro-Rusia, ketika hilang dari radar dan tim penolong sedang menuju ke wilayah itu.
102 24 September 2014 103 Kamis 20 Agustus 2015
dukungan Rusia dan pasukan pro-Kiev telah menewaskan sedikitnya 3.500 orang sejak April lalu.
Hari Senin (20/10), Amnesty International melaporkan memiliki bukti kuat bahwa kedua pihak telah melakukan pembunuhan sewenang-wenang. Di salah satu kasus, para penyelidik menemukan sembilan mayat dalam kuburan massal. Lima di antaranya tampaknya adalah separatis pro-Rusia yang tewas dalam pertempuran, sedangkan empat lainnya korban pembunuhan sewenang-wenang yang dilakukan pasukan pro-Kyiv.
Human Rights Watch hari Senin (20/10) juga menyatakan bahwa setelah penyelidikan sepekan di Ukraina Timur, organisasi ini mendokumentasikan penggunaan meluas bom rumpun dalam bentrokan antara kelompok separatis dan pasukan pemerintah.
Organisasi internasional itu juga menyatakan tidak dapat menentukan pihak mana yang menggunakan roket-roket tersebut. Tetapi Human Rights Watch menambahkan, bukti mengarah pada tanggung jawab pasukan pemerintah Ukraina atas serangan-serangan bom rumpun terhadap kubu pertahanan separatis di Donetsk105
Pelanggaran lainnya adalah laporan mengenai penggunaan senjata berat di