• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III : METODE PENELITIAN

4.2. Kasus Responden II

Nama : Dewi

Umur : 10 tahun

Agama : Kristen Protestan

Suku : Batak

Pendidikan : SD

Anak ke : 2 dari 2 bersaudara Jumlah saudara kandung : 1 Lk

Jumlah saudara tiri : 1 Pr

Pekerjaan bapak kandung : Tukang becak Pekerjaan bapak tiri : Guru Agama Pekerjaan ibu : Wiraswasta

Pelaku KDRT terhadap responden II : E. Aritonang (ayah tiri responden II)

4.2.2. Proses Pengumpulan Data

Penulis mengetahui tentang kasus responden II adalah dari pihak PKPA (Pusat Kajian dan Perlindungan Anak), dan ketika penulis mendengar tentang gambaran umum kasus yang menimpa responden II dari salah seorang staf PKPA, penulis langsung tertarik menjadikannya sebagai salah satu dari 3 responden penulis. Pihak PKPA sebagai LSM yang menangani kasus responden II, mengatakan bersedia mendampingi penulis pada pelaksanaan wawancara I (pertama) yang akan dilakukan nantinya.

Kak Poppy sebagai salah satu staf di PKPA berkata:

“Kami ada menangani banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga, termasuk kasus Dewi ini, dia korban pencabulan ayah tirinya sendiri.”

Melalui Kak Poppy, penulis mendapatkan banyak informasi mengenai kasus pencabulan yang menimpa Dewi, dan mengenai di mana saat ini Dewi tinggal, Kak Poppy berkata:

“Dewi bersama abang dan adik tirinya sekarang tinggal di rumah neneknya dari pihak ibu, sedangkan ayah tirinya masih mendekam di penjara.”

Pada pertengahan bulan Januari 2008, penulis bersama salah seorang staf PKPA mendatangi rumah nenek responden II, tempat dimana saat ini responden II tinggal, sejak ibunya meninggal dunia dan ayah tirinya dipenjara karena perbuatannya mencabuli responden II juga melakukan pemalsuan tahun pernikahannya dengan ibu responden II untuk menguasai harta mendiang ibu responden II, karena penulis mendatangi mereka pada sore hari setelah membuat kesepakatan waktu bertemu dengan pihak responden II, maka penulis berhasil mendapati responden II bersama neneknya di rumah.

Penulis memperkenalkan diri pada keluarga responden II, lalu menyampaikan maksud kedatangan penulis kepada mereka, yaitu ingin mewawancarai responden II beserta keluarga yang saat ini bersamanya terkait kasus pencabulan yang menimpa responden II. Nenek responden II setuju saja apabila cucunya dimasukkan dalam daftar responden yang kasusnya akan penulis analisa dalam skripsi penulis, tapi nenek responden II meminta agar berita tentang kasus pencabulan yang menimpa cucunya tidak disebarkan lagi secara luas di masyarakat, karena responden II sudah mengalami dampak dari dimasukkannya kasus yang menimpa dirinya ke dalam surat kabar (koran), yang membuatnya

ketika pergi ke suatu tempat atau sedang berada dimanapun selalu menjadi pusat perhatian orang-orang yang mengetahui tentang kasus pencabulan yang menimpanya, tidak jarang diantara orang-orang tersebut menanyai tentang kasus itu langsung kepada responden II, sehingga responden II menjadi risih dan malu. Nenek korban (M. Pasaribu) berkata:

“Kami mau saja membantu tapi jangan diberitakan pada orang-orang, apalagi dimasukkan ke koran, Dewi jadi malu kalau disuruh kemana-mana karena pernah masuk koran, kemana pun dia pergi selalu saja ada yang mengenali, dan tidak jarang dia ditanyai soal pencabulan yang dilakukan bapaknya itu.”

Penulis meyakinkan nenek responden II dengan menerangkan bahwa penulis bukanlah seorang wartawan atau pencari berita untuk konsumsi publik melainkan seorang mahasiswa yang sedang berusaha menyelesaikan skripsi yang mengangkat judul tentang kasus kekerasan dalam rumah tangga, dan tertarik menjadikan cucunya yang bernama Dewi sebagai salah satu responden penulis, untuk memperlengkap kasus yang ingin dianalisa oleh penulis. Akhirnya penulis berjanji akan menyamarkan identitas responden II supaya tidak dikenal orang.

Nenek responden II akhirnya setuju, apalagi setelah pihak PKPA yang mendampingi penulis ikut membantu meyakinkannya bahwa kasus cucunya tidak akan disebarkan di koran atau ditayangkan di TV, melainkan hanya akan dijadikan sebagai kasus yang akan dianalisa oleh penulis untuk menyelesaikan skripsi yang menjadi syarat utama terselesaikannya pendidikan penulis di bangku perkuliahan dalam rangka pengambilan gelar Strata Satu (S1), sehingga penulis membutuhkan banyak informasi penting yang langsung didapat dari korban kekerasan dalam rumah tangga itu sendiri, maupun dari pihak keluarga yang saat ini dekat dengan korban.

Penulis mencoba bertanya mengenai kehidupan keluarga responden II sebelum terjadinya kasus pencabulan yang menimpa responden II. Nenek korban

mulai menceritakan secara panjang lebar tentang bagaimana kehidupan keluarga putrinya (ibunya responden II) yang sering bertengkar dengan suami pertamanya, karena ayah kandung responden II seorang pemalas dan hanya mau bekerja sesuai dengan keinginan hati, sementara ibu korban bekerja banting tulang seharian, karena tidak berterima dengan sikap suami pertamanya akhirnya ibu korban geram dan sering memarahi ayah kandung korban, sehingga mereka menjadi sering bertengkar dan akhirnya memilih untuk bercerai. Nenek Dewi menjelaskan:

“Bapak kandung Dewi orangnya pemalas, jadi mamanya Dewi sering memarahinya. Wajar dia dimarahi, mama Dewi sudah capek-capek kerja banting tulang, dia malah enak-enak di rumah, kadang dia mau narik becak, tapi itu dilakukannya kalau lagi rajin saja, kalau lagi tidak ingin narik becak, seharian dia pasti tidak bekerja. Mereka bercerai tahun 1997, karena sering berantam.”

Setelah banyak mendengar dan memperoleh data-data yang dibutuhkan mengenai kehidupan rumah tangga ibu korban dengan suaminya yang pertama, penulis pun mencoba menanyakan mengenai suami korban yang kedua. Nenek responden II (korban) bercerita bahwa awalnya sikap menantunya itu baik dan ramah, juga agak pendiam, makanya mereka tidak ada yang menyangka bahwa ayah tiri korban ini bisa melakukan perbuatan bejat pada responden II dan memiliki maksud jahat ingin menguasai harta istrinya yang sudah meninggal. Nenek korban berkata:

“Selama ini kami mengenali si Aritonang sebagai orang yang baik, ramah tapi agak pendiam memang, makanya kami tidak menyangka dia tega berbuat cabul pada Dewi. Apalagi setelah putri saya meninggal, si Aritonang ini suka-sukanya mengelola harta peninggalan putri saya, entah untuk kepentingan apa, dia mau menjuali satu persatu barang berharga peninggalan mama Dewi. Dia juga kedapatan memalsukan akta nikah untuk menguasai seluruh harta peninggalan anak saya.”

Penulis mencatat informasi-informasi penting yang diperoleh dari nenek responden II, sebagai salah satu informan penting penulis, terkait kasus responden

II. Satu persatu pertanyaan yang sebelumnya telah penulis siapkan, akhirnya terjawab sesuai keinginan penulis.

Wawancara ke 2 (dua) terjadi seminggu kemudian. Penulis kembali mendatangi rumah nenek responden II. Proses wawancara kembali terjadi, dengan menggunakan catatan kecil, penulis mengadakan pengumpulan data selama kurang lebih 4 (empat) jam. Pada proses wawancara ke 2 (dua) ini, hubungan keluarga responden II dengan penulis sudah mulai akrab. Nenek responden II kembali bercerita panjang lebar tentang dampak perbuatan ayah tirinya terhadap perubahan sikap Dewi (responden II). Dimana responden II menjadi pemarah dan mudah tersinggung. Sambil melakukan penelitian, penulis melengkapi data-data yang diperoleh melalui percakapan-percakapan yang terjadi, penulis juga memperhatikan bagaimana tingkah laku responden II selama proses wawancara terjadi, responden II kelihatan lebih banyak diam dan mau menjawab hanya ketika ditanya saja. Nenek korban menerangkan:

“Dewi sekarang jadi lebih pemarah dan mudah tersinggung, dia selalu memarahi abang atau adiknya kalau melakukan hal yang tak sesuai dengan yang diinginkannya, dia juga suka marah kalau saya nasehati, kalau saya bentak dia mau langsung menangis.”

Setelah pertemuan ini, penulis tidak pernah lagi bertemu dengan keluarga responden II, karena penulis memang tidak mendatangi mereka lagi, penulis merasa data-data yang dibutuhkan penulis sudah cukup dan tinggal diolah (dianalisa) saja. Disamping data-data atau informasi yang diperoleh dari keluarga responden II, penulis juga banyak memperoleh informasi tambahan dari pihak PKPA yang ikut menangani kasus ini. Pihak PKPA yang sudah memahami dan mengetahui banyak tentang kasus ini, telah menerangkan secara umum maupun khusus tentang keluarga responden II, dan mengenai kasus incest yang menimpa

responden II. Sehingga data-data yang dibutuhkan penulis akhirnya terpenuhi dan bertambah lengkap.

4.2.3. Deskripsi Kasus

Dewi lahir dari pasangan M. Sianturi dengan istrinya M. Sibarani. Pasangan suami istri ini, bukan termasuk pasangan harmonis, diantara keduanya sering terjadi pertentangan yang diteruskan dengan pertengkaran diantara ayah dan ibu Dewi. Pemicu pertengkaran mereka adalah kesenjangan pendapatan, ibu M. Sibarani lebih banyak pendapatannya daripada M. Sianturi. Apalagi M. Sianturi sering tidak bekerja, sementara istrinya sibuk mencari nafkah berjualan pakaian. Pada tahun 1997, ayah kandung Dewi dan ibunya M. Sibarani terlibat percekcokan (pertengkaran) yang akhirnya berujung perceraian diantara keduanya. Hak asuh kedua anak mereka jatuh ke tangan ibu M. Sibarani. Pendapatan M. Sibarani sebagai seorang wiraswasta mampu mencukupi kebutuhan anak-anaknya, sedangkan M. Sianturi sama sekali tidak perduli dengan keadaan anak-anaknya setelah perceraiannya dengan istrinya. Nenek Dewi berkata:

“Bapak kandung anak-anak tidak pernah perduli sama mereka, jangankan memberi uang pada anak-anak, mengunjungi mereka saja tidak pernah semenjak bercerai.”

Pada tahun 2001, M. Sibarani menikah lagi dengan E. Aritonang yang bekerja sebagai seorang guru agama. Semasa hidup istrinya E. Aritonang mampu menjadi ayah yang baik dimata anak-anaknya. Dewi dengan abangnya cepat akrab dengan ayah tirinya tersebut. E. Aritonang juga mau memberi mereka uang saku dan membelikan makanan sepulang dari mengajar. Dewi yang sebelumnya tidak pernah merasakan kasih sayang dari seorang ayah dari ayah kandungnya yang

meninggalkannya ketika dia masih berumur beberapa bulan, akhirnya bisa menemukan sosok ayah pada diri E. Aritonang (ayah tirinya). Dewi dengan abangnya H. Sianturi menjadi cepat merasa akrab dengan E. Aritonang yang pada saat itu memang baik pada mereka. Hal ini sesuai dengan penjelasan Dewi yang mengatakan:

“Selama ini bapak baik sama kami, dia mau ngasih jajan, dan membawakan kami makanan kalau pulang ke rumah.”

Ayah tiri dan ibu korban termasuk pasangan suami istri yang kurang harmonis. Mereka mau bertengkar karena adanya kesenjangan pendapatan diantara keduanya. M. Sibarani memiliki pendapatan yang lebih dominan dibandingkan ayah tiri Dewi. Ayah tiri Dewi juga kadang mau memukul atau menampar ibu M. Sibarani di hadapan anak-anak, tapi karena jarang kejadian seperti itu terjadi, anak-anak tidak trauma dengan sikap kasar ayah tiri mereka terhadap ibu kandungnya. Pemenuhan kebutuhan dalam rumah tangga tidak pernah mereka abaikan. Perekonomian rumah tangga mereka tergolong berkecukupan. Bahkan mereka mampu membeli mobil dan motor untuk kelancaran alat transportasi mereka dalam menjalankan aktivitas masing-masing. Keduanya masih mampu mempertahankan keutuhan rumah tangga mereka, bahkan ibu M. Sibarani melahirkan seorang anak lagi buah hasil perkawinan mereka.

M. Sibarani (ibu korban) tarnyata memiliki penyakit komplikasi, karena penyakitnya ini M. Sibarani akhirnya meninggal dunia pada tanggal 13 Oktober 2006. Pada saat itu Dewi sudah duduk di bangku kelas 5 SD, abangnya duduk di kelas 6 SD dan adik mereka masih belum bersekolah. Kejadian itu tentunya membuat Dewi dengan saudara-saudaranya tidak akan mendapatkan lagi kasih

sayang tulus seperti yang ibu mereka berikan pada mereka. Mereka hanya akan diasuh oleh ayah tiri mereka.

Dewi yang masih berduka atas meninggalnya ibunya, terpaksa harus menerima kenyataan pahit akibat perbuatan ayah tirinya sendiri. E. Aritonang tega mencabuli Dewi setelah 7 hari meninggalnya istrinya. Dewi berkata:

“Pada saat itu kami menonton TV bersama abang kandung saya di kamar tidur, ayah datang ke kamar dan menyuruh abang saya keluar dari dalam kamar itu. Tidak lama kemudian saya tertidur di tempat tidur dan jatuh dari tempat tidur setelah bermimpi dimarahi oleh mendiang ibu saya, lalu ayah mengangkat saya kembali ke atas tempat tidur sambil mengkusuk-kusuk kaki saya dan mengelus-elus sambil membuka celana saya.”

Ayah tiri yang sudah disayanginya dan dianggapnya seperti ayah kandungnya ternyata tega berbuat cabul pada Dewi. Padahal seharusnya E. Aritonang (ayah tiri korban) melindungi si anak dari berbagai kemungkinan bahaya yang membahayakan dan berusaha membuat anak-anaknya merasa aman. Apalagi korban masih berumur 10 tahun dan masih duduk di bangku SD, dan yang paling menyedihkan adalah ibu korban baru saja meninggal pada saat itu.. Jadi ayah korban seharusnya menghibur dan memberi kekuatan pada anak-anak bukan malah menjadi pelaku kekerasan (kejahatan) itu sendiri.

Pada saat kejadian itu, Dewi yang masih anak-anak hanya pasrah pada perbuatan ayah tirinya, dia tidak berani untuk melakukan perlawanan, apalagi berteriak karena takut pada ayah tirinya tersebut. E. Aritonang menyuruh Dewi agar tidak memberitahukan kejadian itu pada siapapun..

Tapi sehari setelah peristiwa pencabulan itu, ketika ayahnya tidak sedang berada di rumah, Dewi menelepon tantenya dan menceritakan tentang kejadian pencabulan yang dilakukan oleh ayah tirinya. Tante korban (E. Sibarani) tidak melaporkan hal ini pada siapapun untuk menjaga nama baik keluarga. E. Sibarani merasa apabila dia melaporkan kejadian itu pada pihak yang berwajib, maka

perbuatan yang menjadi aib keluarga itu akan terbongkar dan tersebar pada semua orang, sehingga keluarga besar mereka menjadi malu. Makanya E. Sibarani merasa lebih baik untuk mendiamkan kejadian yang diceritakan oleh Dewi ini. Nenek korban berkata:

“Anak saya memilih mendiamkan kasus ini, karena takut mencemarkan nama baik keluarga. Dia takut hal ini menyebar kemana-mana sehingga membuat keluarga malu.”

Perbuatan mereka yang mendiamkan kejadian itu membuat E. Aritonang tidak diproses secara hukum. Tapi tingkah laku E. Aritonang yang mengelola harta peninggalan ibu kandung korban dengan sangat bebas membuat keluarga dari pihak ibu korban curiga dan tidak menyukainya. Akhirnya kecurigaan mereka terbukti, E. Aritonang juga memalsukan akta nikah yang seharusnya pada tahun 2001 menjadi tahun 1994 dengan tujuan untuk menguasai harta peninggalan istrinya. Hal ini membuat keluarga dari pihak ibu korban menjadi tidak menyukai E. Aritonang, dan khirnya memicu tante korban (E. Sibarani) menceritakan tentang kasus itu pada paman korban yaitu J. Sibarani yang tinggal di Jawa Barat. Paman korban tidak terima keponakannya diperlakukan seperti itu, karenanya paman korban langsung datang ke Medan dan bersama E. Sibarani mengadukan kasus pencabulan ini pada pihak yang berwajib. Pelaku akhirnya ditangkap, dan mengakui perbuatannya.

Tersangka yang merupakan seorang guru agama di sebuah sekolah swasta di Medan dinilai cukup bejat karena nekat mencabuli anak tirinya, bahkan yang lebih kejinya lagi karena diduga juga ingin menguasai warisan istrinya dengan mengabaikan hak-hak yang seharusnya didapatkan anak-anaknya.

Nenek Dewi (M. Pasaribu) yang sudah berumur 66 tahun sangat menyesalkan perbuatan menantunya itu, dia mengharapkan cucunya terutama

Dewi mendapatkan perlindungan hukum dan pelaku pencabulan (ayah tiri korban) dihukum sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Sekarang Dewi, abangnya juga saudara tirinya tinggal bersama neneknya. Sedangkan ayah kandung korban tidak mau tahu dengan kejadian yang menimpa putrinya. Sekilas nenek korban menuturkan bahwa sejak berumur 1 tahun korban tidak pernah bertemu lagi dengan ayah kandungnya yang sebenarnya masih menetap di Medan sampai saat ini. M. Sianturi sama sekali tidak pernah menemui anak-anaknya, terutama Dewi untuk ikut mengusahakan keadilan bagi putrinya tersebut terkait kasus pencabulan yang dialaminya.

4.2.4. Analisa Kasus

4.2.4.1.Penyebab Terjadinya Tindak Kekerasan Terhadap Responden II

Penyebab terjadinya tindak kekerasan pada responden II dilihat dari pembahasan pada deskripsi kasus adalah dimulai sejak ibunya Dewi yang meninggal karena menderita penyakit komplikasi, tentunya akan membuat suami (pelaku) tidak dapat memenuhi kebutuhan seksualnya, sehingga ketika keinginan untuk melakukan hubungan intim (seksual) itu muncul, pelaku akan berusaha mencari cara untuk melampiaskannya. Dewi yang saat itu sedang menonton dengan abangnya di kamar, menjadi sasaran pelaku untuk melampiaskan nafsu bejatnya dengan terlebih dahulu menyuruh abang korban keluar dari kamar.

Dewi menceritakan tentang kejadian pencabulan yang menimpanya pada tantenya (E. Sibarani), tante korban tidak langsung mengadukan tentang kejadian itu pada siapa-siapa, apalagi pada pihak kepolisian, karena tante korban menganggap kejadian itu akan membuat seluruh keluarga besar mereka menjadi malu, karena perbuatan bejat E. Aritonang terhadap Dewi merupakan aib

keluarga, yang apabila tersebar beritanya di kalangan masyarakat akan mencoreng nama baik keluarga. Sikap ini membuat pelaku tidak langsung diproses secara hukum, dan malah menambah kejahatan dengan berniat menguasai seluruh harta istrinya. M. Sibarani yang semasa hidupnya bekerja sebagai wiraswasta, memiliki penghasilan yang relatif besar, sehingga ketika dia meninggal, dia meninggalkan banyak harta. Status sosial ekonomi pelaku yang lebih rendah dari M. Sibarani, membuat pelaku ingin menguasai harta peninggalan istrinya, supaya status sosial ekonominya terangkat, dan dia yang menjadi pemilik harta itu secara keseluruhan.

4.2.4.2.Kekerasan Yang Dialami Responden II

Kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh responden II (Dewi) adalah sebagai berikut:

1. Kekerasan Psikologis. Dewi tidak melawan ketika dicabuli oleh ayah tirinya, disamping karena takut atau sama sekali tidak berani untuk melawan, sikap pasrah Dewi adalah karena pelaku pencabulan terhadap dirinya adalah ayah tirinya sendiri yang merupakan orang yang sudah dipercayainya selama ini.

2. Kekerasan Seksual

3.

. Dewi mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh ayah tirinya padanya, yaitu perbuatan mencabuli Dewi tanpa dikehendaki sama sekali oleh korban.

Kekerasan Ekonomi. Sejak istrinya meninggal dunia, tingkah laku E. Aritonang berubah, dia mengelola harta peninggalan istrinya dengan sesuka hati dan juga memalsukan akta nikah yang seharusnya pada tahun 2001 menjadi tahun 1994 untuk menguasai harta peninggalan istrinya dengan mengabaikan hak-hak yang seharusnya didapatkan

anak-anaknya. Hal ini menunjukkan bahwa E. Aritonang tidak tulus menyayangi Dewi dan abangnya, dia hanya berusaha berbuat baik di depan istrinya karena ada maunya, yaitu keinginan untuk menguasai harta istrinya tersebut.

4.2.4.3. Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pada Responden II

Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang paling adaptif, artinya mampu melakukan penyesuaian diri dalam segala situasi dan segala medan. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa masing-masing individu adalah berbeda dan unik, sehingga kemampuan adaptasinya juga berbeda-beda. Suatu kejadian luar biasa yang menimpa seseorang mungkin menyebabkan trauma bagi orang lain. Dengan demikian dampak peristiwa traumatik tidak selalu sama antara satu orang dengan orang lain. Dampak yang lebih fatal yang mungkin terjadi adalah dampak jangka panjang yaitu apabila korban kekerasan seksual tidak mendapat penanganan dan bantuan (konseling psikologis) yang memadai, korban akan dapat memiliki sikap atau persepsi negatif terhadap laki-laki ataupun terhadap seks (Nurhayati, 2000).

Dampak kekerasan yang dialami oleh Dewi akibat perbuatan ayah tirinya ada pada kondisi psikisnya, untuk saat ini dampak yang paling kelihatan adalah pada perubahan sikap Dewi, sikap yang dulu lembut dan ramah, sekarang menjadi lebih kasar dan suka melawan. Dewi menjadi sangat sensitif dan mudah marah pada siapapun. Dia akan cepat marah apabila orang yang berada disekitarnya tidak mau menuruti kemauannya, jika disuruh mengerjakan sesuatu dan jika dinasehati oleh orang lain. Dewi menjadi sangat mudah tersinggung dan mau melampiaskan kemarahannya pada orang lain tanpa sebab yang jelas, sehingga membuat orang

lain menjadi tidak suka lagi berteman dengannya. Perubahan sikap Dewi ini terjadi mungkin karena Dewi masih memendam kemarahan, kekecewaan dan kebenciannya pada ayah tirinya yang tega mencabuli dirinya, sehingga pelampiasan kemarahannya itu disalurkan pada siapapun yang membuatnya kesal meskipun pada waktu dan alasan yang kurang tepat.

Dewi juga mengaku malu pada teman-temannya, karena pernah ada diantara teman-temannya tersebut yang mengejeknya dan mengatainya sebagai korban cabul ayah tirinya sendiri. Hal ini membuat Dewi menjadi menarik diri dari lingkungan teman sepermainannya di luar rumah. Dewi tidak memiliki sahabat atau teman kompak di sekolahan maupun di lingkungan sekitar rumahnya. Disamping itu sikap Dewi yang mudah sekali tersinggung dan marah-marah juga membuat teman-temannya kurang menyukai Dewi dan cenderung menjauhinya. Sehingga Dewi lebih senang bermain bersama abang dan adiknya di rumah maupun disekitar rumah mereka.

4.3. KASUS RESPONDEN III

Dokumen terkait