BAB III : METODE PENELITIAN
4.1. Kasus Responden I
Nama : Dandi. Y. Hutabarat
Umur : 5 tahun
Agama : Kristen Protestan
Suku : Batak
Pendidikan : (belum sekolah) Anak ke : 4 dari 5 bersaudara Jumlah Saudara Kandung : 4 orang, 3 Pr dan 1 Lk Pekerjaan bapak : Tidak menentu
Pekerjaan ibu : -
Pelaku KDRT terhadap responden I : R. Marpaung (52 tahun), yang merupakan uwak dari responden I (kakak I dari Ibu responden I)
4.1.2. Proses Pengumpulan Data
Pada hari Senin 14 Januari 2008, penulis mendatangi Yayasan Pusaka Indonesia yang berada di Medan, untuk menanyakan perihal korban kekerasan dalam rumah tangga yang mereka tangani saat ini. Penulis mendatangi lembaga ini adalah karena saran dari Biro Pemberdayaan Perempuan Setdapropsu yang menjadi lokasi penelitian awal penulis. Melalui ibu Elisabeth (salah satu staf dari Yayasan Pusaka Indonesia), penulis mendengar kisah tentang korban kekerasan
dalam rumah tangga yang sekarang masih mereka tangani, yaitu kasus Dandi, anak berumur 5 tahun yang dianiaya oleh uwaknya sendiri.
Ibu Elisabeth menceritakan bagaimana kronologis terungkapnya kasus Dandi, dan tentang pelaku kekerasan ini yang sampai saat ini belum tertangkap. Ibu Elisabeth menjelaskan:
“Dandi disiksa uwaknya, selama disiksa Dandi dititip di rumah teman uwaknya ini, Dandi nggak dikasih keluar rumah selama disana. Untung saja ada warga setempat yang curiga karena tanpa sengaja melihat kondisi Dandi yang mengenaskan, dan berinisiatif melaporkan pada kepling setempat, kalau tidak, kita nggak tau bagaimana kondisi Dandi saat ini.”
Beliau memberikan pada penulis foto-foto Dandi pada waktu masih mengalami luka-luka serius akibat penganiayaan yang dilakukan oleh pelaku. Ibu ini menceritakan bahwa sebenarnya, pemicu awal keberantakan rumah tangga E. Hutabarat (ayah Dandi) adalah faktor ekonomi. Ibu Elisabeth berkata:
“Ibu Dandi yang berasal dari keluarga mewah sering menganggap rendah suaminya, juga keluarga dari pihak ibunya ini nggak pernah suka dengan ayah Dandi, karena dianggap tidak becus mencari nafkah. Ayah Dandi yang sering kesal karena tidak dihargai pihak keluarga istrinya, melampiaskan kekesalannya itu ke ibunya Dandi. Makanya mereka sering terlibat pertengkaran.”
Keramahan bu Elisabeth membuat penulis menjadi cepat akrab bercerita tentang kasus Dandi dengan ibu itu. Setelah mengetahui banyak informasi tentang kasus Dandi darinya, penulis mengatakan bahwa penulis ingin mengadakan wawancara secara langsung kepada Dandi maupun keluarga yang sekarang mengasuhnya. Akhirnya penulis disuruh datang 3 hari lagi ke Yayasan Pusaka Indonesia untuk mendapatkan dampingan dari pihak lembaga ini ketika melakukan wawancara langsung dengan Dandi, penulis menyanggupi.
Pertama kali penulis bertemu dengan responden adalah pada tanggal 17 Januari 2008 di rumah kakek korban dari pihak ayah. Sebelumnya penulis telah menyusun daftar pertanyaan-pertanyaan yang akan penulis tanyakan terkait kasus
kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa Dandi. Penulis saat itu didampingi oleh salah seorang staf dari Pusaka Indonesia, karena menurut pihak lembaga ini, responden dan keluarganya tidak akan mau diwawancarai tanpa dampingan dari pihak Pusaka Indonesia selaku LSM yang turut menangani kasus Dandi.
Setelah mengadakan perkenalan dengan semua anggota keluarga pihak responden, penulis mencoba membuka pembicaraan dengan menyampaikan terlebih dahulu tentang ketertarikan penulis terhadap kasus Dandi, juga tujuan penulis menjadikan Dandi sebagai salah satu responden penulis untuk mendukung proses penyelesaian skripsi penulis. Dimana skripsi penulis mengangkat judul tentang kasus kekerasan dalam rumah tangga, yaitu faktor-faktor apa yang memicunya dan bagaimana dampaknya terhadap korban. Sampai akhirnya penulis membuka pembicaraan mengenai keingintahuan penulis tentang kasus kekerasan yang menimpa Dandi dengan bertanya: bagaimana awal terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa Dandi, dan bagaimana hal itu bisa sampai terjadi? Yang menjawab keingintahuan penulis adalah kakek responden sendiri, jawabnya:
“Kalau ditanya bagaimana hal ini bisa terjadi ya kita tidak tau, karena pelakunya belum tertangkap sampai sekarang. Alasan uwaknya itu menyiksa Dandi pun belum diketahui sampai sekarang, ada kemungkinan uwaknya ini mengalami penyakit kejiwaan, kalau tidak bagaimana mungkin dia tega melakukan perbuatan sekejam itu pada Dandi yang masih anak-anak. Perbuatan salah apa sih yang bisa dilakukan anak umur 5 tahun seperti Dandi? Seandainya pun Dandi salah, seberat apa salah Dandi sehingga disiksa seperti itu? Apakah masih bisa dianggap waras orang sekejam uwaknya itu?”
Beliau banyak bercerita tentang bagaimana kehidupan keluarga Dandi jauh sebelum terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa Dandi terjadi. Beliau juga menerangkan satu persatu bagaimana bentuk bekas luka pada tubuh Dandi sebelum sembuh, sambil menunjukkan foto-foto responden ketika
masih dalam kondisi mengenaskan, yang diambil pada saat proses penyidikan pihak kepolisian pada bulan Mei 2007. Kakek korban berkata:
“Ini kondisi Dandi waktu difoto pihak kepolisian untuk bukti, kondisinya parah sekali, kita tidak tau ada manusia yang bisa berbuat sekejam ini pada anak-anak, apa namanya kalau bukan orang tidak waras?”
Penulis semakin tertarik untuk menanyakan tentang kasus Dandi, apalagi setelah melihat kondisi Dandi yang memang sangat memprihatinkan. Penulis bertanya:
“Kalau menurut Dandi sendiri Pak, bagaimana uwaknya menyiksa dia sehingga mengakibatkan adanya luka-luka parah ditubuhnya?”
Pak A. Hutabarat menjawab:
“Kalau Dandi bilang tumit kakinya itu sedemikian parah karena disuruh nginjak sabut kelapa yang dibakar, trus giginya dicabut pake tangan, tapi kalau kita pikir secara logika itu tidak mungkin dicabut hanya pake tangan, pasti ada alatnya. Bibirnya ini Dandi tidak tau diapain, dia hanya bilang kalau bibirnya pernah dijahit sama uwaknya, kuku-kukunya ini dicabuti. Namanya anak kecil yang masih berumur 5 tahun, belum bisa mengungkapkan dengan jelas apa yang dialaminya.”
Meski keadaan luka Dandi sudah sembuh, tapi keadaan fisiknya sudah terlanjur memiliki bekas luka yang masih tampak jelas dan bersifat permanen (tidak bisa hilang lagi), yang mungkin saja bisa membuat Dandi merasa minder dalam bergaul. Karena ada bagian tubuh Dandi yang sudah tidak bisa lagi kembali utuh seperti bentuk awal, seperti jari dan bentuk mulut korban yang tidak bisa lagi kembali kebentuk normalnya seperti semula.
Dengan ramah kakek korban yang menjadi informan utama pada wawancara ini menjelaskan dan menjawab satu persatu keingintahuan penulis. Melalui pembicaraan yang makin lama makin serius, dengan wajah sedih kakek korban menceritakan bagaimana awalnya beliau tidak menyetujui pernikahan antara anaknya (E. Hutabarat) dengan ibu Dandi, bagaimana dulunya beliau sangat mengharapkan keberhasilan anaknya, dan bagaimana kecewanya hatinya
melihat anaknya tidak menjadi orang berhasil seperti yang diharapkannya. Penjelasan tentang itu diawali dengan pertanyaan penulis yang menanyakan tentang apa pekerjaan ayah dan ibu Dandi ? Kakek korban menjelaskan:
“Itulah masalahnya, ayah Dandi tidak memiliki pekerjaan tetap, tapi setahu kami dia selalu berusaha mencari pekerjaan, menjadi supir angkot pun dia pernah, meskipun berusaha seperti itu tetap saja keluarga Marpaung tidak menyukainya, dia dianggap tidak becus mencari nafkah. Namanya tidak memiliki gelar, mencari kerja pasti sulit, tapi mau diapain lagi itu memang karena kesalahan anak kami juga, tahun 1990 kami menguliahkannya di Bogor ngambil jurusan informatika, harusnya dia sudah tamat tahun 1997, tapi ternyata dia sudah menikah sebelum menyelesaikan kuliahnya pada tahun 1996 dengan M. Marpaung ini yang dikenalnya di sana. Kami yang tidak tahu dia menikah tetap mengirimkan biaya bulanan seperti biasanya, bahkan pemintaan pengiriman uang makin sering terjadi, karena ingin anak kami tidak mengalami hambatan apa-apa dalam perkuliahan terutama soal administrasi, ya kami tetap memenuhi permintaannya. Ternyata tahun 1998 anak kami pulang sudah bawa istri dan satu anak, sejak awal kami sudah tidak suka dengan M. Marpaung, apalagi setelah tahu kalau dia sudah pernah kawin cerai sebelum sama anak kami. Pernikahan ini membuat kuliah anak kami tidak selesai, ternyata sejak tahun 1996, dia sudah tidak pernah kuliah lagi Sebagai orangtua tentunya saya pribadi sangat kecewa, tapi mau bagaimana lagi? Kalau ibunya Dandi memang tidak mau kerja, dia selalu saja minta bantuan dari pihak keluarganya, gaya hidupnya mewahlah, maklum keluarganya memang kaya raya.”
Dandi yang pada saat itu juga sedang berada di rumah, sesekali datang mencomot kue yang tersedia di meja. Ketika penulis berniat mengajaknya bicara, anak itu selalu menghindar dan tidak mau bicara dengan penulis. Sampai akhirnya nenek korban memberitahukan bahwa Dandi memang tidak mau berbicara dengan orang yang baru dikenalnya, mungkin karena masih takut akibat kekerasan yang dialaminya. Nenek korban berkata:
“Dandi memang tidak mau bicara sama orang yang baru dikenalnya, mungkin karena masih takut, tapi nanti kalau sudah dikenalnya dia pasti bisa akrab apalagi sama orang yang baik sama dia.”
Mendengar hal itu, penulis tertarik menanyakan tentang bagaimana sikap Dandi dalam bergaul dengan teman-temannya? Apakah dia minder atau biasa saja? Kakek korban (A. Hutabarat) menjawab:
“Kalau minder sudah pasti, dia sering mengadu sama kami kalau dia sering diejek teman-temannya, katanya dia diejek berwajah aneh dan penyakitan. Di gereja pun kalau dia kalau beribadah di hari Minggu, dia sering cerita kalau dia malu selalu saja dilihat-lihat orang, juga ditanya-tanyai dengan pertanyaan macam-macam tentang bentuk bibirnya yang memang cacat, ini membuat dia malu dan menjadi menolak kalau disuruh ke gereja. Dandi lebih suka bermain di dalam rumah bersama kakak dan adik-adiknya.”
Ada sekitar 4 jam proses berlangsungnya wawancara, semua pertanyaan yang telah penulis susun sebelumnya sudah terjawab satu persatu oleh keterangan kakek korban yang memang sebelumnya mengatakan bahwa beliau bersedia membantu penulis semampu beliau. Setelah semua keingintahuan penulis terjawab, penulispun memutuskan untuk mengakhiri dulu proses wawancara. Penulis permisi untuk pulang, setelah sebelumnya meminta agar diijinkan datang lagi untuk wawancara berikutnya seandainya masih ada data yang kurang atau yang masih penulis perlukan nantinya. Kakek dan nenek korban sambil tersenyum ramah menyatakan mereka masih bersedia untuk diwawancarai dan memberi keterangan semampu mereka jika diperlukan, asalkan membuat janji dulu dengan mereka melalui telepon, penulis menyanggupi untuk menghubungi mereka dulu sebelum datang jika memang penulis ingin mengadakan wawancara lanjutan.
Penulis mencoba menyempurnakan data-data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan informan utama yaitu kakek korban dengan menggabungkan juga mencocokkannya dengan informasi yang didapat dari ibu Elisabeth sebelumnya. Setelah data terkumpul, penulis memulai untuk menganalisa kasus kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa Dandi. Ternyata dalam proses penganalisaan kasus ini, masih ada informasi yang penulis butuhkan, dan belum
ada pada data-data yang sudah dikumpulkan penulis, untuk melengkapi data yang kurang ini penulis memutuskan untuk mewawancarai informan II saja yaitu ibu Elisabeth melalui telepon. Pada saat itu penulis bertanya mengenai bagaimana uwak korban bisa dijadikan sebagai tersangka utama, apakah memang sudah pasti dia pelakunya?
“Ibu pernah menanyakan pada Dandi tentang siapa yang melakukan kekerasan padanya, Dandi menjawab uwaknya, ibu juga menanyakan apakah H. Sagala ikut menyiksanya, Dandi bilang tidak ikut, H. Sagala melihati saja ketika Dandi disiksa, tapi sampai sekarang masih dilakukan pemeriksaan terhadap H. Sagala, bagaimana pun dia sudah ikut terlibat dalam kasus ini.”
Penulis bertanya lagi mengenai, apakah setelah diambil dari rumahnya, Dandi langsung dititipkan di rumah H. Sagala, atau sebelumnya dibawa dulu ke rumah nenek dari pihak ibunya yang juga merupakan tempat tinggal pelaku. Ibu Elisabeth menjawab:
“Kalau menurut nenek korban dari pihak ibu, Dandi ini tidak pernah dibawa ke rumahnya, jadi menurut dugaan Dandi dibawa langsung ke tempat H. Sagala.”
Proses wawancara melalui telepon ini berlangsung sekitar 20 menit, dan akhirnya informasi yang penulis butuhkan dapat terjawab semuanya. Dengan mengucapkan terimakasih terlebih dahulu, penulis mengakhiri proses wawancara. Ini merupakan proses wawancara terakhir penulis dengan informan yang membantu proses penyelesaian skripsi penulis terkait kasus kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa Dandi.
4.1.3. Deskripsi kasus
Dandi Hutabarat adalah seorang anak yang berbadan kurus dan memiliki kulit kuning langsat. Dandi juga anak yang ceria, yang bermain dengan penuh tawa dengan saudara-saudaranya. Sekilas kita akan berpikir Dandi tidak memiliki masalah dalam pergaulannya, melihat keceriaannya ketika bermain dengan kakak-kakak dan adiknya, padahal sebenarnya dia minder dan malu bergaul dengan teman-teman di luar rumahnya, karena setiap bermain dengan mereka, Dandi selalu diejek.oleh teman-teman sepermainannya.
Dandi terlahir dari pasangan Bapak E. Hutabarat dan Ibu M. Marpaung. Ayah dan ibu Dandi ini menikah pada tahun 1996 tanpa diketahui oleh orangtua dari pihak ayah Dandi. Yang mereka ketahui adalah bahwa E. Hutabarat (ayah Dandi) masih kuliah di Bogor dan seharusnya wisuda pada tahun 1997. Karena belum mengetahui anaknya telah menikah, maka pengiriman biaya bulanan untuk perkuliahan dan biaya hidup anaknya masih tetap berjalan normal seperti bulan-bulan sebelumnya. Bahkan permintaan pengiriman semakin meningkat frekwensinya, uang yang diminta pun semakin bertambah jumlahnya. Padahal kenyataannya, uang yang dikirim oleh orangtuanya dipergunakan oleh E. Hutabarat untuk memenuhi kebutuhan keluarga baru yang dibangunnya bersama M. Marpaung (mama Dandi). Karena menurut sepengetahuan mereka, uang yang dikirimnya dipergunakan oleh E. Hutabarat untuk keperluan kuliah, pengiriman uang bulanan tetap lancar. Apapun mereka lakukan, asal anaknya tidak kekurangan, dan tidak memiliki hambatan dalam perkuliahan karena biaya yang kurang. Jadi berapapun yang E. Hutabarat minta saat itu, mereka berusaha memenuhinya, meski kadang terbesit kecurigaan karena permintaan uang bulanan yang terus meningkat, bahkan kadang sampai dua kali lipat dari pengiriman
biasanya. Hal ini terus berlanjut sampai akhirnya pada tahun 1998, E. Hutabarat dan istrinya M. Marpaung pulang ke Medan setelah mereka sudah memiliki seorang anak perempuan, mereka memutuskan untuk memberitahu tentang pernikahan mereka pada orangtua dari E. Hutabarat, yang memang tidak mengetahui hal ini sama sekali. Mengetahui anaknya tidak menyelesaikan kuliahnya sesuai dengan harapan, orangtuanya sangat kecewa. Mereka sempat tidak bisa menerima kenyataan ini dan tidak memiliki rasa suka atau rasa simpati sedikitpun pada M. Marpaung, wanita yang mau tidak mau harus mereka terima sebagai menantunya. Orangtua E. Hutabarat merasa M. Marpaung bukanlah wanita yang seperti mereka inginkan untuk menjadi menantunya, mereka juga merasa bahwa M. Marpaung bukanlah wanita yang tepat untuk dijadikan istri oleh anaknya. Karena bagaimanapun wanita ini telah menghambat jalannya proses penyelesaian pendidikan anaknya dalam perkuliahan. Apalagi setelah mereka mengetahui bahwa M. Marpaung pernah menikah dengan lelaki lain tetapi sudah bercerai sebelum punya anak, didukung lagi oleh perbedaan agama pada keluarga kedua belah pihak, menambah daftar alasan ketidaksukaan mereka pada M. Marpaung. Tetapi melihat cucunya yang telah lahir, kedua orangtua E. Hutabarat pun akhirnya luluh. Meski sampai detik ini beliau tidak pernah menyukai menantunya itu.
Keluarga E. Hutabarat memutuskan untuk menetap di Medan, mereka tinggal di rumah pemberian dari orangtua M. Marpaung yang juga tinggal di Medan. Keluarga yang dibentuk oleh ayah dan ibu Dandi bukanlah keluarga yang harmonis, karena kerap kali terjadi pertengkaran antara ayah dan ibu Dandi. Pertengkaran itu selalu ada, tapi mereka masih berusaha mempertahankan keutuhan rumah tangga mereka, hingga satu persatu anak mereka lahir. Mereka
memiliki 5 orang anak, Dandi adalah anak yang ke 4. Sekitar bulan Juni tahun 2006, pertengkaran itu terulang lagi, akibat pertengkaran ini E. Hutabarat diadukan oleh istrinya M. Marpaung kepada pihak yang berwajib, karena telah melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Ayah Dandi tidak berhasil ditangkap oleh polisi karena sudah lebih dulu melarikan diri dan hingga kini belum diketahui keberadaannya dimana.
Pada bulan November tahun 2006, yaitu selang 5 bulan dari kasus kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa keluarganya, M. Marpaung (ibu Dandi) malah menambah masalah baru dalam keluarga mereka, yaitu ditangkap oleh polisi karena kasus narkoba. Akibat perbuatan kedua orangtuanya, keadaan kelima anaknya menjadi tidak terurus (terlantar). Mereka tinggal berlima saja di rumah itu, tanpa ada yang menemani, menjaga dan memberikan kasih sayang pada mereka. Meskipun salah satu uwak Dandi (salah satu dari kakak ibunya) yang kebetulan tinggal bersebelahan rumahnya dengan rumah yang ditempati oleh Dandi dan saudara-saudaranya saat itu sesekali mendatangi mereka untuk melihat bagaimana keadaan mereka, tapi kondisi Dandi dan saudara-saudaranya tetap memprihatinkan, kurus-kurus seperti kekurangan vitamin karena tidak terurus. Tidak ada yang betul-betul memperhatikan keadaan mereka, memenuhi kebutuhan secara menyeluruh dan memberikan kasih sayang yang sesungguhnya sangat mereka butuhkan saat itu. Hal ini sesuai dengan penjelasan kakek korban sebagai berikut:
“Dandi dan yang lainnya kurus-kurus sekali waktu itu, seperti anak jalanan gitulah, tidak terurus, maklum hanya si Putri kakak pertama Dandi yang menjagai dan mengurusi keperluan adik-adiknya, tapi kami tidak bisa bilang apa-apa, keluarga Marpaung ini keberatan kalau kami yang mengurus Putri dan adik-adiknya, mereka bilang mereka masih sanggup mengurus anak-anak.”
Kakek dan nenek Dandi dari pihak ayah melihat keadaan itu. berniat mengambil Dandi dan saudara-saudaranya untuk tinggal bersama mereka. Keinginan itu disampaikan kepada keluarga dari pihak ibu Dandi, tetapi pihak keluarga ini tidak menyetujui dan menentang niat mereka. Keluarga dari pihak ibu Dandi ini mengatakan bahwa mereka bisa menjaga dan mengurus segala kebutuhan Dandi dan saudara-saudaranya. Meskipun sudah berbagai usaha sudah dilakukan untuk membujuk keluarga Marpaung (keluarga ibu Dandi) agar mau memberikan cucu-cucunya untuk mereka asuh, tapi tetap saja keluarga dari pihak ibu Dandi tidak mengijinkan dengan alasan bahwa mereka bisa mengurus Dandi dan saudara-saudaranya, karena tidak ingin memperkeruh suasana, apalagi sejak awal pernikahan E. Hutabarat dan M. Marpaung, kedua keluarga ini seperti saling tidak menyukai satu sama lain, akhirnya keluarga dari pihak ayah Dandi mengalah. Ketidaktegaannya terhadap kondisi cucu-cucunya ini, membuat kakek dan nenek Dandi dari pihak ayah sering mengunjungi mereka, sambil membawa makanan-makanan dan membelikan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan oleh Dandi dan saudara-saudaranya.
Keluarga dari pihak ibu juga sebenarnya juga sering meninjau keadaan Dandi dan saudara-saudaranya, mengajak mereka jalan-jalan ke pusat perbelanjaan, dan ke tempat-tempat bermain anak, hanya saja yang benar-benar mengasuh, menemani dan memberikan kasih sayang pada mereka tidak ada, artinya tidak ada yang bersedia mengajak mereka untuk tinggal bersama. Tetap saja mereka hanya tinggal berlima di rumah itu, hingga pada suatu hari R. Marpaung (52 tahun) yaitu kakak pertama dari ibu mereka yang belum menikah datang mengunjungi mereka, dan ketika pergi lagi membawa Dandi ikut serta
bersamanya. Dandi yang polos dan tidak tau apa-apa tentang maksud dan tujuan uwaknya (R. Marpaung) menurut saja ketika dibawa.
R. Marpaung yang sehari-harinya tinggal bersama ibunya (nenek Dandi dari pihak ibu) ternyata tidak membawa Dandi ke rumah mereka, melainkan dibawa ke rumah temannya H. Sagala, dan dititipkan disana, kejadian ini terjadi pada awal bulan Mei 2007. Menurut dugaan disinilah Dandi dianiaya. Siksaan-siksaan diterimanya hari demi hari. Tidak ada yang mengetahui mengapa pelaku yang juga uwak korban tega memperlakukan Dandi sesadis itu.
Menurut Dandi, dia disuruh menginjak api yang berasal dari sabut kelapa yang sebelumnya disuruh untuk dibakarnya oleh R. Marpaung, giginya dicabut dengan menggunakan benda yang Dandi tidak tahu apa namanya. Begitu juga dengan kuku Dandi, dicabuti oleh pelaku, tanpa diketahui apa alasannya melakukan kekerasan itu sampai saat ini. Selama kurang lebih setengah bulan, Dandi disiksa dan disekap di rumah itu tanpa ada yang mengetahui selain H. Sagala yang juga pemilik rumah. Dandi tidak diperbolehkan keluar, dia hanya di rumah itu saja. Hingga akhirnya pada hari Kamis, tanggal 17 Mei 2007, tetangga H. Sagala tanpa sengaja melihat Dandi di teras rumah H. Sagala dengan kondisi tubuh mengenaskan. Tetangganya inipun memberitahukan tentang kecurigaannya pada tetangga-tetangga yang lain, lalu mereka sepakat untuk menjumpai kepala lingkungan setempat, memberitahukan keganjilan pada keberadaan anak di rumah H. Sagala yang sebelumnya belum pernah mereka lihat di lingkungan itu, juga menceritakan kondisi tubuh anak itu yang sangat memprihatinkan. Mereka curiga dengan parahnya luka-luka pada tubuh Dandi, yang dibiarkan sampai bernanah parah. Setelah sama-sama menyepakati, akhirnya mereka menghubungi pihak Polsek Deli Tua, untuk membuat laporan pengaduan tentang Dandi. Pada saat itu
juga pihak Polsek Deli Tua mendatangi TKP (Tempat Kejadian Perkara) dan langsung membawa H. Sagala besama dengan Dandi ke Polsek Deli Tua untuk mengambil keterangannya. Demikian juga beberapa warga setempat diikutsertakan ke Polsek Deli Tua untuk mendampingi Dandi, tapi arena kondisi kesehatan Dandi sangat diragukan dengan kondisi fisik mengenaskan, pihak Polsek Deli Tua merujuk ke RSU. Sembiring Deli Tua untuk meminta pihak RSU Sembiring mengambil visum sekaligus pengobatan secara medis kepada Dandi,