• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

F. Kasus Transplantasi di Indonesia

Teknologi kedokteran sangat pesat kemajuannya, hal ini terlihat dari keberhasilan dalam teknologi transplantasi organ yang banyak dilakukan dewasa ini. Namun keberhasilan tersebut tidaklah bebas dari masalah-masalah yuridis dalam pelaksanaannya.16 Dalam dunia kedokteran timur maupun barat, pada umumnya diyakini bahwa setiap penyakit ada obatnya. Ada penyakit yang dapat diobati dengan hanya pemberian obat yang sederhana, tetapi ada juga yang memerlukan pengobatan yang relatif rumit, seperti transplantasi organ.

Contohnya Seorang yang menderita penyakit gagal ginjal terminal misalnya, hanya punya 3 alternatif pengobatan: yaitu menjalani hemodialisis (cuci darah) secara rutin, melakukan transplantasi ginjal atau meninggal. Pada saat ini jumlah pasien gagal ginjal yang membutuhkan transplantasi ginjal di Indonesia mencapai 40.000 orang. Mereka yang menjalani perawatan medis sangat sedikit karena biaya perawatan yang mahal dan jangka panjang. Di Indonesia, transplantasi ginjal pertama kali dilakukan di RSCM pada tahun 1977. Sampai saat ini, hanya 500 pasien yang telah menjalani cangkok ginjal di Indonesia, di mana 200 diantaranya dilakukan di RS PGI Cikini. Kesulitan mencari donor membuat penderita gagal ginjal harus mencari ginjal sampai ke China.

Beberapa tahun belakangan ini, banyak pasien dari Indonesia yang pergi berobat ke China untuk melakukan transplantasi organ tubuh seperti ginjal.17

Zhejiang Hospital Cina dipililih sebagai institusi untuk melakukan transfer ilmu dan teknologi yang kredibel dan terpercaya di Cina dan dunia mengenai transplantasi hati, Zhejiang Hospital juga telah menangani kasus/

16 Suwasti Nyoman, “Aspek Yuridis Transplantasi Organ Dalam Hubungannya dengan UU Kesehatan”, dalam Majalah Ilmiah Fakultas Hukum UNUD. ( Bali: Kertha Patrika, 1994), h.

257.

17 Trini Handayani. Fungsionalisasi Hukum Pidana Terhadap Perdagangan Organ Tubuh Manusia. (Bandung: Mandar Maju, 2012), h. 72.

32

penyakit hati, pankreas dan kandung empedu dan terkenal dengan kesuksesannya melakukan lebih dari 1000 operasi cangkok hati. RSPI Group Merupakan RS Swasta pertama di Indonesia yang berhasil melakukan transplantasi hati (14 dan 17 Desember 2010 ).18

Contoh kasus lainnya pada tahun 2018 tiga orang perempuan penerima organ dari pendonor yang sama yaitu seorang perempuan 53 tahun yang meninggal pada 2007 akibat penyakit stroke. Perempuan ini menyumbangkan ginjal, paru-paru, jantung, dan livernya pada beberapa pasien. Namun, mereka meninggal akibat kanker payudara yang menyebar di organ sehat mereka setelah mendapatkan donor organ tersebut. pasien pertama yang jatuh sakit dari transplantasi ini adalah seorang wanita 42 tahun yang menerima paru-paru. Pasien tersebut meninggal pada 2009 setelah kanker yang dimulai dari paru-paru menyebar ke tulang dan hatinya.19

Bank Mata mencatat, ada 3 persen penduduk Indonesia yang mengalami kebutaan. Dari seluruh pasien, 80 persennya merupakan penderita katarak, sementara 4,5 persen lainnya mengalami kerusakan kornea. RS Mata Cicendo di Bandung, Jawa Barat, yang ditunjuk jadi pusat mata nasional, mencatat jumlah pendonor mata mencapai 13.000 orang. Angka ini seolah besar, namun berbeda dengan donor darah, donor mata hanya dilakukan ketika pendonor meninggal dunia. Sehingga, bagi 794 calon penerima yang dicatat Bank Mata, ketersediaan kornea donor tidak dapat ditentukan. Pada tahun 2018 Bank Mata berhasil memasang 99 pasang kornea dari pendonor.20

18Transplantasi hati, https://www.rspondokindah.co.id/id/news/transplantasi-hati-sukses-dilaksanakan-di-rs-puri-indah (diakses 25 Januari 2021)

19Donor organ tubuh mayat, https://sains.kompas.com/read/2018/09/13/173500123/dapat-organ-dari-pendonor-yang-sama-tiga-orang-tertular-kanker (diakses 5 Februari 2021)

20 Bank Mata Indonesia, https://bankmataindonesia.org/donor-mata (diakses 5 Februari 2021)

33 BAB III

FATWA NAHDLATUL ULAMA TENTANG TRANSPLANTASI ORGAN TUBUH MAYAT

A. Nahdlatul Ulama

1. Sejarah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama

Di kalangan Nahdlatul Ulama, Bahtsul Masail merupakan tradisi intelektual yang sudah berlangsung lama. Sebelum nahdlatul ulama berdiri dalam bentuk organisasi formal, aktivitas batsul masail telah berlangsung sebagai praktek yang hidup di tengah masyarakat muslim nusantara, khususnya kelangan pesantren NU kemudian melanjutkan tradisi itu dan mengadopsinya sebagai bagian kegiatan keorganisasian. Batsul masail sebagai bagian aktivitas formal organisasi pertama dilakukan tahun 1926, beberapa bulan setelah NU berdiri. Tepatnya pada kongres 1 NU (kini bernama Muktamar), tanggal 21-23 september 1926. Selama beberapa decade, forum Batsul masail ditempatkan sebagai salah satu komisi yang membahas materi muktamar. Belum diwadahi organ tersendiri.1

Setelah lebih dari setengah abad NU berdiri, Batsul masail baru dibuatkan organ tersendiri bernama Lajnah Batsul Masail diniyah. Hal itu dimulai dengan adanya rekomendasi muktamar ke-28 di Yogyakarta tahun 1989. Komisi 1 muktamar 1989 itu merekomendasikan PBNU untuk membentuk lajnah Batsul Masail diniyah, sebagai lembaga permanen.

Untuk memperkuat wacana pembentukan lembaga permanen itu, pada januari 1990, berlangsung halaqah (saraehan) di pesantren mamba’ul ma’arif Denanyar Jombang, yang juga merekomendasikan pembentukan lajnah Batsul Masail diniyah. Pada muktamar 2004, status “lajnah”

ditingkatkan menjadi “lembaga”, sehingga bernama lembaga Batsul Masail Nahdlatul Ulama.2

1 H.Soelemain Fadeli, ANTOLOGI NU: Sejarah Istilah Uswah Cet. II, (Surabaya: Khalista Perbruari, 2008). h. 7-11

2 H.Soelemain Fadeli, ANTOLOGI NU: Sejarah Istilah Uswah Cet. II, h. 7-11

34

2. Pengambilan Fatwa Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama

Batsul Masail Nahdlatul Uama sebagai jam’iyyah sekaligus gerakan diniyah islamiyah sejak awal berdirinya telah menjadikan faham Ahlusunnah waljamaah sebagai basis teologi, (dasar beraqidah) dan menganut salah satu madzhab sebagai pegangan dalam berfiqih, yaitu imam Syafi’i. NU dalam kesehariannya lebih banyak menggunakan fiqih masyarakat Indonesia yang bersumber dari madzhab imam Syafi’i. hampir dapat dipastikan bahwa fatwa, petunjuk, dan keputusan hukum yang diberikan oleh ulama NU dan kalangan pesantren selalu bersumber dari Imam Syafi’i. hanya kadang-kadang dalam keadaan tertentu, untuk melawan budaya konfensional, berpaling ke madzhab lain. Para ulama NU mengarahkan orientasinya dalam pengambilan hukum kepada aqwa al-mujtahidin (pendapat para mujtahid) yang mutlak maupun muntashib. Bila terjadi perbedaan pendapat (Khilaf) maka diambil yang paling kuat sesuai dengan pentarjihan ahli tarjih. Dalam memutuskan sebuah forum yang dinamakan Batsul Masail yang bertugas mengambil keputusan tentang hukum-hukum islam. Dalam menggali hukum menggunakan metode istinbath yaitu menggali dari teks asal atau dasar maupun ilhaq (qiyas).

Pengertian istinbath dikalangan NU bukan mengambil langsung dari sumber aslinya Qur’an dan Hadist, akan tetapi sesuai dengan sikap dasar bermadzhab mentathbiqkan (memberlakukan secara dinamis nash-nash fuqoha dalam konteks permasalahan yang dicari hukumnya).3

Prosedur penjawaban masalah NU disusun dalam urutan sebagai berikut :4 1) Dalam kasus ketika jawaban bisa dicakupi oleh ibarat kitab dan disana

terdapat hanya satu qaul atau wajah, maka dipakailah qaul/wajah sebagaimana diterangkan dalam ibarat tersebut.

3 Budi Setiawan, http://setiarahma20.blogspot.com/2009/12/metode-istinbath-hukum-majelistarjih.html?m=1, diakses pada 29 september 2021

4 Aziz Masyuri. Ahmad, Masalah Keagamaan: Hasil Mukhtamar dan Munas Ulama Nahdlatul Ulama ke-1 Tahun 1926 s/d ke-29 tahun 1994, (Surabaya: RMI dan Dinamika Press, 1997), h. 365

2) Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dan di sana terdapat lebih dari satu qaul-wajah, maka dilakukan taqrir jama’i untuk memilih satu qaul/wajah.

3) Dalam kasus tidak ada qaul/wajah sama sekali yang memberikan penyelesaian, maka dilakukan ilhaq al-masa-il bi nadhairha secara jama’I oleh para ahlinya.

4) Dalam kasus tidak ada qaul/wajah sama sekali dan tidak mungkin dilakukan ilhaq al-masa-il bi nadhairiha, maka bisa dilakukan istinbath jama’I dengan prosedur bermadzhab secara manhaji oleh para ahlinya.

Yang dimaksud dengan kitab adalah al-kutub al-mu’tabarah, yaitu kitab-kitab tentang ajaran islam yang sesuai dengan aqidah ahlussunnah wa al-jama’ah. Bermadzhab secara qauli dalam kutipan di atas adalah mengambil pendapat yang sudah jadi dalam madzhab tertentu, dan bermadzhab secara manhaji atau metodologis adalah mengambil jalan pikiran madzhab tersebut.

Sedangkan qaul adalah suatu pendapat imam madzhab, dan wajh adalah pendapat ulama madzhab. Sementara itu ilhaq al-masa-il bi nadhairiha adalah menyamakan hukum satu masalah yang tidak dibahas oleh buku tertetu dengan kasus serupa yang telah dibahas oleh buku lain.5 Hal ini mirip dengan penetuan hukum melalui qiyas atau analogi, tetapi pada qiyas hukum yang diserupakan adalah kepada hukum yang sudah jelas dalam teks agama (Al-Qur’an dan As-Sunnah).

B. Fatwa Nahdlatul Ulama Tentang Transplantasi Organ Tubuh Mayat 1. Nahdlatul Ulama pertama kali menjelaskan permasalahan ini pada Putusan

Muktamar ke-23 di Solo, 29 Rajab - 3 Sya’ban 1382 H. / 25 - 29 Desember 1962 M, Masalah nomor 315 diputuskan bahwa haram mengambil bola mata mayit, walaupun mayit itu tidak terhormat (ghair muhtaram) seperti mayitnya orang murtad. Demikian pula haram menyambung anggota tubuh

5 Aziz Masyuri, Ahmad, Masalah Keagamaan: Hasil Mukhtamar dan Munas Ulama Nahdlatul Ulama ke-1 Tahun 1926 s/d ke-29 tahun 1994, h. 364

36

dengan anggota tubuh lain, karena bahayanya buta itu tidak sampai melebihi bahayanya merusak kehormatan mayit.6

Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Hasyiyah Rasyidi ‘ala Fath al-Jawad7:

َك ٍم َرَتْحُم َرْيَغ ْوَل َو ِجَهْنَمْلا ىَلَع ُّيِبَلَحْلا َلاَق اَمَك ِمَدَعْلاَك ٍذِئَنْي ِح ُهُد ْوُج ُوَف ُّيِمَدَلأْا اَّمَا ُم ُرْحَيَف ٍ يِب ْرَح َو ٍدَت َّرُم

ُهُع ْزَن ُب ِجَي َو ِهِب ُلْص َوْلا Adapun (jasad) manusia, maka adanya sama dengan tidak adanya sebagaimana yang dinyatakan Halabi dalam catatannya atas kitab al-Manhaj, walaupun tidak terhormat, seperti orang murtad dan kafir harbi.

Karenanya maka haram tranplantasi (dengan organ mereka) dan harus dicopot kembali.

Kemudian dijelaskan dalam Hadits Nabi Saw :

يَح ِه ِرْسَكَك ِتِ يَمْلا ِمْظَع ُرْسَك َلاَق ِالله َلوُس َر َّنَأ اَهْنَع ُالله َي ِض َر َةَشِئاَع ْنَع ِدَنْسُمْلا يِف ُدَمْحَأ ُها َو َر( ا

8 )َة َّجاَم ُنْبا َو ٍمِلْسُم ِط ْرَش ىَلَع ٍداَنْسِإِب َد ُواَد وُبَأ َو

“Dari Aisyah ra., sungguh Rasulullah Saw. telah bersabda: “memecahkan tulang orang mati itu sama dengan memecahkan tulangnya ketika masih hidup.” (HR. Ahmad dalam al-Musnad, Abu Dawud dengan standar sanad Muslim dan Ibn Majah)

َع َةَمَلَس ُّمُأ ْنَع )َةَّجاَم ُنْبا ُها َو َر( ِمْثِلإْا يِف ِ يَحْلا ِمْظَع ِرْسَكَك ِتِ يَمْلا ِمْظَع ُرْسَك َلاَق ِ يِبَّنلا ْن

9 ٌنَسَح ٌثْيِدَح

“Dari Ummu Sulaim, dari Nabi Saw., beliau berkata: “Memecah tulang orang mati itu sama dengan memecah tulangnya ketika masih hidup dalam hal dosanya.” (HR. Ibn Majah dari Ummu Salamah).

6 PBNU. Ahkamul Fuqaha. (Surabaya: Kalista-LTN PBNU, 2011), (masalah nomor 315)

7Syihāb Dīn Ahmad ibn Hamzah Ramlī, Hasyiyah Rasyidi ‘ala Fath al-Jawad, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmiah, 2005), h. 26-27

8 Abu Dawud, Shahih Sunan Abî Dawud Jilid II, no. 2797, (Riyadh: Maktabah al-ma’ârif, 2000), h. 422

9 Abdilah, Abu Muhammad bin Yazid, Matan Sunan Ibnu Majah jilid 1, no. 1616, (Amman:

baitul Afkar ad-Dauliyyah, 1999), h. 505

2. Keputusan munas alim ulama di Kaliurang Yogyakarta Pada Tanggal 30 Syawal 1401 H. / 30 Agustus 1981 M masalah nomor 332 tentang transplantasi kornea atau cangkok mata, serta masalah nomor 334 tentang transplantasi ginjal dan jantung. Ada dua pendapat tentang hukumnya, yaitu:

a. Haram, walaupun mayit itu tidak terhormat seperti mayitnya orang Demikian pula haram menyambung anggota manusia dengan anggota manusia lain, bahaya buta itu tidak sampai melebihi bahayanya merusak kehormatan mayit.

b. Boleh, disamakan dengan diperbolehkannya menambal dengan tulang manusia, asalkan memenuhi 4 syarat:

1) Karena dibutuhkan.

2) Tidak ditemukan selain dari anggota tubuh manusia.

3) Mata yang diambil harus dari mayit yang muhaddaraddam.

4) Antara yang diambil dan yang menerima harus ada persamaan agama.

Nahdlatul Ulama menjelaskan permasalahan ini dalam putusan muktamar nahdlatul ulama ke-28 Di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta Pada Tanggal 26 - 29 Rabiul Akhir 1410 H. / 25 - 28 Nopember 1989 M masalah nomor 383 yang isinya bahwa :

“bahwa hukum wasiat pencangkokan organ tubuh mayat adalah tidak sah atau batal karena tidak memenuhi syarat-syarat wasiat yang antara mutlaq al-milki. Menurut syara’ organ mayit itu hak Allah bukan milik seseorang.

Adapun pecangkokan organ tubuh manusia ada yang membolehkan dengan syarat:

- Karena diperlukan, dengan ketentuan tertib pengamanan.

- Tidak ditemukan selain organ tubuh manusia itu.

Nahdlatul Ulama dalam menggali dan menetapkan hukum dilakukan dengan mentatbiiqkan (menyelaraskan) secara dinamis nash-nash

38

fuqoha (teks-teks yang tersurat dalam kitab) dalam konteks permasalahan dicari hukumnya. Dalam Persoalan Transplantasi Nahdlatul Ulama menggunakan metode Qouly yaitu mengutip langsung dari naskah kitab rujukan. Suatu masalah hukum dipelajari lalu dicarikan jawabannya pada kitab-kitab fiqih yang menjadi rujukan (kutub al-Mu’tabarah) dari empat madzhab.

Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Ahkamul Fuqaha’10

ِإ اَهِلْص َوِل ِتِ يَمْلا ِةَقاَدَح ِذْخَأ ِزا َوَجِب ِةَّي ِرْصِمْلا ِراَيِ دلا ىِتْفُم ِءاَتْفا يِف ْمُكُل ْوَق اَم ٌةَلَأْسَم

“Permasalahan, bagaimana pendapat Anda sekalian tentang fatwa oleh Mufti Mesir yang memperbolehkan cangkok bola mata mayat untuk dipasangkan ke mata orang buta. Apakah fatwa ini benar apa tidak?

Muktamar menetapkan, bahwa fatwa itu tidak benar, dan bahkan haram mencangkok bola mata mayat meskipun dari orang yang tidak terhormat, seperti orang murtad dan orang kafir musuh. Haram pencangkokan dengan bagian-bagian tubuh manusia, karena bahaya kebutaan tidak melebihi kerusakan pencemaran kehormatan mayat.”

Kemudian dalam kitab Hasyiyah al-Rasyidi ‘ala Fath al-Jawad11

َك ٍم َرَتْحُم َرْيَغ ْوَل َو ِجَهْنَمْلا ىَلَع ُّيِبَلَحْلا َلاَق اَمَك ِمَدَعْلاَك ٍذِئَنْي ِح ُهُد ْوُج ُوَف ُّيِمَدَلأْا اَّمَأ ٍ دَت ْرُم

ُم ُرْحَيَف ٍ يِب ْرَح َو

ُهُع ْزَن ُب ِجَي َو ِهِب ُلْص َوْلا.

“Adapun tulang manusia, ketika kondisinya demikian (terdapat alternatif menyambung tulang dengan selain tulang najis dan selain tulang manusia) maka keberadaannya sama seperti tidak ada, sebagaimana

10Syihāb Dīn Ahmad ibn Hamzah Ramlī, Hasyiyah Rasyidi ‘ala Fath al-Jawad, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmiah, 2005), h. 26-27.

11 PBNU. Ahkamul Fuqaha., masalah nomor 315

dinyatakan oleh al-Halabi dalam penjelasannya atas kitab al-Manhaj.

Walaupun bukan orang terhormat seperti orang murtad dan orang kafir.

Maka haram menyambung tulang dengannya dan harus dicabut.”

Hadits Nabi Saw.

a. Riwayat Aisyah Ra.

12 َةَّجاَم ُنْبا َو َد ُواَد وُبَأ َو ِدَنْسُمْلا يِف ُدَمْحَأ ُها َو َر ا يَح ِه ِرْسَكَك ِتِ يَمْلا ِمْظَع ُرْسَك “Memecahkan tulang mayat sama seperti memecahkannya ketika masih hidup.” (HR. Ahmad dalam al-Musnad, Abu Dawud dan Ibn Majjah)

b. Riwayat Ummu Salamah Ra.

13 ٌنَسَح ٌثيِدَح )َةَّجاَم ُنْبا َو ُها َو َر( ِمْثِلإْا يِف ِ يَحْلا ِمْظَع ِرْسَكَك ِتِ يَمْلا ِمْظَع ُرْسَك “Memecahkan tulang mayat, dosanya sama dengan memecahkannya dalam keadaan masih hidup.” (HR. Ibn Majjah), hadits hasan.

Dibolehkannya mencangkok organ tubuh manusia karena dibutuhkan dan tidak ditemukan selain dari anggota tubuh manusia disamakan dengan diperbolehkannya menambal dengan tulang manusia, sebagaimana dijelaskan dalam kitab Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah Alfazh al-Minhaj14

ْو َّرلا َو ِح ْرَّشلا يِف ُهاَدَّيَق اَمَك ُهَرْيَغ ًةَتْيَم ْد ِجَي ْمَل اَذإ )ٍتِ يَم ٍ يِمَدآ ُلْكَأ( ِ رَطْضُمْلا ْيَأ )ُهَل َو(

َّنَ ِلأ ِةَض

ِتِ يَمْلا ِةَم ْرُح ْنِم ُمَظْعَأ ِ يَحْلا َةَم ْرُح (Dan dipebolehkan baginya) maksudnya adalah orang dalam kondisi darurat, (memakan manusia yang telah mati), ketika ia tidak menemukan bangkai selainnya, sebagaimana telah dibatasi oleh al-Rafi’i dan al-Nawawi

12 Abu Dawud, Shahih Sunan Abî Dawud Jilid II, no. 2797, (Riyadh: Maktabah al-ma’ârif, 2000), h. 422

13 Abdilah, Abu Muhammad bin Yazid, Matan Sunan Ibnu Majah jilid 1, no. 1616, (Amman: baitul Afkar ad-Dauliyyah, 1999), h. 505

14 Muhammad al-Khatib al-Syirbini. Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah Alfazh al-Minhaj.

(Mesir: Musthafa al-Halabi, 1957), Juz IV, h. 307.

40

dalam kitab al-Syarh al-Kabir dan al-Raudhah. Sebab kehormatan orang hidup lebih besar -dari orang pada yang telah mati-.

Kitab Kanz al-Raghibin Syarh Minhaj al-Thalibin15

يِف ) ٌروُذْعَمَف( ِلْص َوْلِل ِحِلاَّصلا ) ِرِهاَّطلا ِدْقَفِل( ِمْظَعْلا ْنِم ) ٍسَجَنِب( ِلْص َوْلا ىَلإ ِه ِجاَيِتْحا َو ِه ِراَسِكْن ِلا )ُهَمْظَع َلَص َو ْوَل َو( َكِلَذ (Dan bila seseorang menyambung tulangnya) karena pecah dan butuh menyabungnya, (dengan najis) maksudnya tulang najis, (karena tidak menemukan tulang yang suci) yang layak dijadikan penyambung, (maka ia adalah orang yang berudzur) dalam hal tersebut.

Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Nihayah Zain Syarh Qurrah

al-‘Ain16

ِنِإ ٍد ْوُج ْوَم ٍلْمَحِب ُّح ِصَتَف َرَخآ ىَلِإ ٍصْخَش ْنِم َلْقَّنلا ُلَبْقَي اًحاَبُم ُهُن ْوَك ِهِب ىَص ْوُمْلا ْيِف َط ِرُش َو َلَصَفْنا

ْوُمْضَم اًتِ يَم ْوَأ ا يَح َناَك ْنَأِب اًن

َّنِإَف ٍةَياَن ِجِب اًتِ يَم َلَصَفْنا ِنِإ ِةَمْيِهَبْلا ِدَل َو ِفَلا ِخِب ِهْيَلَع َيِنُج َو ٍةَمَأ َدَل َو

ِث ِرا َوْلِل ُن ْوُكَي ِهِ مُأ ِةَمْيِق ْنِم َصَقَن اَّمِم ٍذِئَنْي ِح ْيِناَجْلا ُهُم ِرْغُي اَم َو ُلُطْبَت َةَّي ِص َوْلا Dan barang yang diwasiatkan disyaratkan merupakan barang mubah yang bisa dipindahkan dari seseorang ke orang lain. Maka sah wasiat janin (hewan atau budak) bila lahir dalam keadaan hidup, atau janin yang lahir dalam keadaan mati dan menjadi tanggung jawab seseorang, yaitu anak budak perempuan yang dilukai. Berbeda dengan janin hewan ketika lahir dalam keadaan mati karena dilukai, sebab wasiat dengannya batal, dan tanggung jawab orang yang melukai dalam kasus ini yaitu berkurangnya harga induknya menjadi milik ahli waris (bukan orang yang diwasiati).

15 Jalaluddin al-Mahalli. Kanz al-Raghibin Syarh Minhaj al-Thalibin pada Hasyiyata Qulyubi wa ‘Umairah, Juz IV. (Indonesia: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, t. th.), h. 128.

16 Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi. Nihayah al-Zain Syarh Qurrah al-‘Ain. (Beirut:

Dar al-Fikr, 1966), h. 279.

Selanjutnya pecangkokan organ tubuh manusia dibolehkan dengan syarat karena diperlukan, dengan ketentuan tertib pengamanandan tidak ditemukan selain organ tubuh manusia itu dijelaskan dalam kitab Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah Alfazh al-Minhaj17

( ُهَلَو) َِلأ ِةَض ْو َّرلا َو ِح ْرَّشلا يِف ُهاَدَّيَق اَمَك ُهَرْيَغ ًةَتْيَم ْد ِجَي ْمَل اَذإ )ٍتِ يَم ٍ يِمَدآ ُلْكَأ( ِ رَطْضُمْلا ْيَأ َةَم ْرُح َّن

ِةَم ْرُح ْنِم ُمَظْعَأ ِ يَحْلا

ِتِ يَمْلا .

(Dan dipebolehkan baginya) maksudnya adalah orang dalam kondisi darurat, (memakan manusia yang telah mati), ketika ia tidak menemukan bangkai selainnya, sebagaimana telah dibatasi oleh al-Rafi’i dan al-Nawawi dalam kitab al-Syarh al-Kabir dan al-Raudhah. Sebab kehormatan orang hidup lebih besar -dari orang pada yang telah mati.

Kitab Kanz al-Raghibin Syarh Minhaj al-Thalibin18

ِتِ يَمْلا ِةَم ْرُح ْنِم ُمَظْعَأ ِ يَحْلا َةَم ْرُح َّنَ ِلأ ٍتِ يَم ٍ يِمَدَأ ُلْكَأ ِ رَطْضُمْلِل يَأ ُهَل َو Baginya, yaitu orang dalam kondisi darurat, boleh memakan mayat manusia, karena kehormatan orang hidup lebih besar dari kehormatan orang mati.

Dalam kitab Al-Muhadzdzab19

ِتِ يَمْلا ِةَم ْرُح ْنِم ٌدِكآ ِ يَحْلا َةَم ْرُح َّنَ ِلأ ُهُلْكَأ َزاَج اًتِ يَم ا يِمَدَأ َدَج َو َو َّرُطْضا ِنِإ َو Jika seseorang terpaksa dan (hanya) menemukan mayat manusia, maka ia boleh memakannya. Sebab, kehormatan orang hidup lebih kuat dari kehormatan orang mati.

17 Muhammad al-Khatib al-Syirbini. Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifah Alfazh al-Minhaj, Juz IV. (Mesir: Musthafa al-Halabi, 1957), Juz IV, h. 307.

18 Jalaluddin al-Mahalli. Kanz al-Raghibin Syarh Minhaj al-Thalibin pada Hasyiyata Qulyubi wa ‘Umairah, Juz I. (Indonesia: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, t. th.), h. 128.

19 Abu Ishaq al-Syairazi. al-Muhadzdzab, Juz I. (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1980), h.

251.

42

Selanjutnya dijelaskan dalam kitab Kanz Raghibin Syarh Minhaj al-Thalibin20

( ُهَمْظَع َلَص َو ْوَل َو) ِه ِراَسِكْن ِلا ِلْص َوْلِل ِحِلاَّصلا ) ِرِهاَّطلا ِدْقَفِل( ِمْظَعْلا ْنِم ) ٍسَجَنِب( ِلْص َوْلا ىَلإ ِه ِجاَيِتْحا َو

َكِلَذ يِف ) ٌروُذْعَمَف(

(Dan bila seseorang menyambung tulangnya) karena pecah dan butuh menyabungnya, (dengan najis) maksudnya tulang najis, (karena tidak menemukan tulang yang suci) yang layak dijadikan penyambung, (maka ia adalah orang yang berudzur) dalam hal tersebut.

C. Mekanisme Penggunaan Dalil Al-Qur’an

Nahdlatul Ulama menggunakan dalil Al-Qur’an sebagai landasan hukum yang dijadikan sandaran untuk pengambilan fatwa. Bahtsul masail Nahdlatul Ulama dalam hal Transplantasi Organ tubuh Mayat menggunakan dalil Al-qur’an Surah An-Nisa ayat 29 dan Al-Al-qur’an Surah Al-An’am ayat 151.

Secara bahasa, dalil artinya petunjuk pada sesuatu baik yang bersifat material maupun yang bersifat nonmaterial. Sedangkan menurut Istilah, suatu petunjuk yang dijadikan landasan berfikir yang benar dalam memperoleh hukum syara' yang bersifat praktis, baik yang kedudukannya qath'i ( pasti ) atau zhanni (relatif). Atau dengan kata lain, dalil adalah segala sesuatu yang menunjukan kepada madlul. Madlul itu adalah hukum syara' yang amaliyah dari dalil. Untuk samapai kepada madlul memerlukan pemahaman atau tanda penunjuknya ( dalalah ). Dalil dapat dilihat dari berbagai segi yaitu Dari segi asalnya, dari segi ruang limgkupnya, dari segi kekuatannya.21 Diantaranya :

4. Dalil ditinjau dari segi asalnya

Ditinjau dari asalnya, dalil ada dua macam:

20 Jalaluddin al-Mahalli. Kanz al-Raghibin Syarh Minhaj al-Thalibin pada Hasyiyata Qulyubi wa ‘Umairah, Juz IV, h. 128.

21 Munawar Khalil, Kembali Kepada Alqur'an dan Al-Sunnah, (Bulan Bintang, 1977).

(1) Dalil Naqli yaitu dalil-dalil yang berasal dari nash langsung, yaitu Alquran dan al-Sunnah.

(2) Dalil aqli, yaitu dalil - dalil yang berasal bukan dari nash langsung, akan tetapi dengan menggunakan akal pikiran, yaitu Ijtihad. Bila direnungkan, dalam fiqih dalil akal itu bukanlah dalil yang lepas sama sekali dari Alquran dan al-Sunnah, tetapi prinsif-prinsif umumnya terdapat dalam Alquran dan Al-Sunnah.

5. Dalil ditinjau dari sei ruang lingkupnya

Dalil ditinjau dari ruang lingkupnya ada dua macam, yaitu:

a. Dalil Kully yaitu dalil yang mencakup banyak satuan hukum. Dalil Kulli ini adakalaya berupa ayat Alquran, dan berupa hadits, juga adakalanya berupa Qaidah-qaidah Kully.

b. Dalil Juz'i, atau Tafsili yaitu dalil yang menunjukan kepada satu persoalan dan satu hukum tertentu.

6. Dalil ditinjau dari segi kekuatannya

Dalil ditinjau dari daya kekuatannya ada dua, yaitu Dalil Qath'i dan dalil Zhanni.

a. Dalil Qath'i, Dalil Qath'i ini terbagi kepada dua macam, yaitu : a. Dalil Qath'i al-Wurud, yaitu dalil yang meyakinkan bahwa

datangnya dari Allah ( Alquran) atau dari Rasulullah ( Hadits Mutawatir). Alquran seluruhnya Qath'i wurudnya, dan tidak semua hadits qath'i wurudnya.

b. Dalil Qath'i Dalalah, yaitu dalil yang kata-katanya atau ungkapan kata-katanya menunjukan arti dan maksud tertentu dengan tegas dan jelas sehingga tidak mungkin dipahamkan lain.

b. Dalil Zhanni. Dalil Zhanni, terbagi kepada dua macam pula yaitu:

Zhanni al-Wurud dan Zhanni al-Dalalah.

a. Zhanni al-Wurud, yaitu dalil yang memberi kesan yang kuat atau sangkaan yang kuat bahwa datangnya dari Nabi saw. Tidak ada

44

ayat Alquran yang Zhanni wurud, adapun hadits ada yang Zhanni wurudnya yaitu hadits ahad.

b. Zhanni al-Dalalah, yaitu dalil yang kata-katanya atau ungkapan kata-katanya memberi kemungkinan - kemungkinan arti dan maksud lebih dari satu. Tidak menunjukan kepada satu arti dan maksud tertentu.

45 BAB IV

KAJIAN FILOSOFIS HUKUM TRANSPLANTASI ORGAN TUBUH MAYAT MENURUT NAHDLATUL ULAMA

A. Kajian Filosofis Fatwa Nahdlatul Ulama

Nahdlatul Ulama dalam menjawab berbagai macam permasalahan kontemporer yang ada terkait perubahan sosial, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti hukum transplantasi organ tubuh mayat maka bathsul masail Nahdlatul Ulama mengeluarkan fatwanya yaitu :

1. Putusan Muktamar ke-23 di Solo

Nahdlatul Ulama pertama kali menjelaskan permasalahan ini pada Putusan Muktamar ke-23 di Solo, 29 Rajab - 3 Sya’ban 1382 H. / 25 - 29 Desember 1962 M, diputuskan bahwa haram mengambil bola mata mayit, walaupun mayit itu tidak terhormat (ghair muhtaram) seperti mayitnya orang murtad. Demikian pula haram menyambung anggota tubuh dengan anggota tubuh lain, karena bahayanya buta itu tidak sampai melebihi bahayanya merusak kehormatan mayit.1

Nahdlatul Ulama dalam menetukan fatwa di atas yaitu dengan mengutip dari kitab Hasyiyah al-Rasyidi ‘ala Fath al-Jawad2:

َك ٍم َرَتْحُم َرْيَغ ْوَل َو ِجَهْنَمْلا ىَلَع ُّيِبَلَحْلا َلاَق اَمَك ِمَدَعْلاَك ٍذِئَنْي ِح ُهُد ْوُج ُوَف ُّيِمَدَلأْا اَّمَا ُم ُرْحَيَف ٍ يِب ْرَح َو ٍدَت َّرُم

ُهُع ْزَن ُب ِجَي َو ِهِب ُلْص َوْلا Adapun (jasad) manusia, maka adanya sama dengan tidak adanya sebagaimana yang dinyatakan Halabi dalam catatannya atas kitab al-Manhaj, walaupun tidak terhormat, seperti orang murtad dan kafir harbi.

Karenanya maka haram tranplantasi (dengan organ mereka) dan harus dicopot kembali.

1 PBNU. Ahkamul Fuqaha. (Surabaya: Kalista-LTN PBNU, 2011), (masalah nomor 315)

2Syihāb Dīn Ahmad ibn Hamzah Ramlī, Hasyiyah Rasyidi ‘ala Fath al-Jawad, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmiah, 2005), h. 26-27

46

2. Putusan Muktamar di- Kaliurang Yogyakarta

Keputusan munas alim ulama di Kaliurang Yogyakarta Pada Tanggal 30 Syawal 1401 H. / 30 Agustus 1981 M tentang transplantasi kornea atau cangkok mata, serta transplantasi ginjal dan jantung. Ada dua pendapat tentang hukumnya, yaitu:

a. Haram, walaupun mayit itu tidak terhormat seperti mayitnya orang Demikian pula haram menyambung anggota manusia dengan anggota manusia lain, bahaya buta itu tidak sampai melebihi bahayanya merusak kehormatan mayit.

a. Haram, walaupun mayit itu tidak terhormat seperti mayitnya orang Demikian pula haram menyambung anggota manusia dengan anggota manusia lain, bahaya buta itu tidak sampai melebihi bahayanya merusak kehormatan mayit.

Dokumen terkait