• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

C. Hasil Analisa Data 1. Korelasi

2 Kategorisasi Data

a. Kategorisasi Data Keberfungsian Keluarga

Kategorisasi ini didasarkan pada asumsi bahwa skor populasi terdistribusi normal dan jumlah subjek termasuk dalam kategori besar, maka dilakukan pengkategorisasian data keberfungsian keluarga dengan menggunakan kategorisasi jenjang (ordinal). Deskripsi skor hipotetik data dapat dilihat dalam tabel berikut :

Tabel 13

Deskripsi skor hipotetik data Keberfungsian Keluarga Skor Hipotetik

Min Maks Mean SD

30 120 75 15

Berdasarkan tabel 13 skor hipotetik menunjukkan hasil mean hipotetik untuk variabel keberfungsian keluarga didapat sebesar 75 dengan standar deviasi hipotetik sebesar 15.

Data dikelompokkan dalam tingkatan-tingkatan untuk kemudian disusun menurut norma tertentu. Data dikategorikan menjadi tiga kelompok dengan rumus (Azwar, 2004) :

Tinggi = Mean + 1 (SD) ≤ X

Sedang = Mean – 1 (SD) ≤ X < Mean + 1 (SD) Rendah= X < Mean – 1 (SD)

Kategorisasi data keberfungsian keluarga beserta persentase dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 14

Kategorisasi Data hipotetik Keberfungsian Keluarga

Variabel Rentang Nilai Kategori Frekuensi Persentase Keberfungsian

Keluarga

90≤ X Tinggi 37 56,92%

60≤ X < 90 Sedang 28 43,07%

X < 60 Rendah 0 0%

Berdasarkan kriteria kategorisasi pada tabel 13 menunjukkan bahwa 37 orang (56,92%) termasuk dalam keberfungsian keluarga yang tinggi, 28 orang (43,07%) termasuk dalam keberfungsian keluarga yang sedang, dan tidak ada yang termasuk dalam kategori keberfungsian keluarga yang rendah (0%). Hal ini

dapat diartikan bahwa sebagian besar keberfungsian keluarga dari siswa berada dalam kategori tinggi..

b. Kategorisasi Data kematangan Emosi

Kategorisasi ini didasarkan pada asumsi bahwa skor populasi terdistribusi normal dan jumlah subjek termasuk dalam kategori besar, maka dilakukan pengkategorisasian data kematangan emosi dengan menggunakan kategorisasi jenjang (ordinal). Deskripsi skor hipotetik data dapat dilihat dalam tabel berikut :

Tabel 15

Deskripsi skor hipotetik data kematangan emosi Skor Hipotetik

Min Maks Mean SD 31 124 77,5 15,5

Berdasarkan tabel 15 skor hipotetik kematangan emosi menunjukkan hasil mean hipotetik untuk variabel kematangan emosi didapat sebesar 77,5 dengan standar deviasi hipotetik sebesar 15,5.

Berdasarkan kategorisasi data penelitian secara hipotetik, data dikelompokkan dalam tingkatan-tingkatan untuk kemudian disusun menurut norma tertentu. Data dikategorikan menjadi tiga kelompok dengan rumus (Azwar, 2004):

Tinggi = Mean + 1 (SD) ≤ X

Sedang = Mean – 1 (SD) ≤ X < Mean + 1 (SD) Rendah= X < Mean – 1 (SD)

Kategorisasi data kematangan emosi beserta persentase dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 16

Kategorisasi Data hipotetik Kematangan Emosi

Variabel Rentang Nilai Kategori Frekuensi Persentase Kematangan

Emosi

93 ≤ X Tinggi 31 47,69%

62 ≤ X < 93 Sedang 34 52,30%

X < 62 Rendah 0 0%

Berdasarkan kategorisasi pada tabel 16 menunjukkan bahwa 31 orang (47,69%) termasuk dalam kematangan emosi yang tinggi, 34 orang (52,30%) termasuk dalam kematangan emosi yang sedang, dan tidak ada yang termasuk dalam kategori kematangan emosi yang rendah (0%). Hal ini dapat diartikan bahwa sebagian besar kematangan emosi siswa berada dalam kategori sedang.

Setelah mengetahui pengkategorisasian kedaua variabel penelitian, hasilnya dapat dimasukkan dalam tabel penyebaran variabel dalam bentuk matriks kategorisasi yang ditunjukkan pada tabel berikut :

Tabel 17

Matriks kategorisasi variabel keberfungsian keluarga dengan kematangan emosi

Kematangan emosi Keberfungsian

keluarga

Rendah Sedang Tinggi

Jumlah subjek % Jumlah subjek % Jumlah Subjek % Rendah 0 0% 0 0% 0 0% Sedang 0 0% 18 27,69% 10 15,38% Tinggi 0 0% 17 26,15% 21 32,30% 65 (100%)

Keberfungsian keluarga yang dimiliki individu pada kategori tinggi dengan kematangan emosi yang dimiliki individu pada kategori tinggi sebanyak 32,30%. Keberfungsian keluarga yang dimiliki individu pada kategori sedang dengan

kematangan emosi individu pada ketegori sedang sebesar 27,69%. Keberfungsian keluarga yang dimiliki individu pada kategori tinggi, sedangkan kematangan emosi yang dimiliki individu pada kategori sedang sebanyak 26,15%. Keberfungsian keluarga yang dimiliki individu pada kategori sedang dengan kematangan emosi individu pada kategori tinggi sebanyak 15,38%.

D. Pembahasan

Hasil pengujian hipotesis menyatakan bahwa Ha diterima. Hasil pengujian korelasi sebesar r = 0,580 dengan p = 0,000. Tingkat signifikansi korelasi p = 0,000 (p<0,05) menunjukkan adanya hubungan antara keberfungsian keluarga dengan kematangan emosi remaja laki-laki. Kualitas keterkaitan antara keberfungsian keluarga terhadap kematangan emosi remaja laki-laki sebesar 0.580. Dengan menggunakan kriteria interpretasi harga r menurut Hadi (2000), menyatakan hubungan keberfungsian keluarga dengan kematangan emosi pada remaja laki-laki menunjukkan korelasi yang agak rendah.

Hasil perhitungan korelasi ini sejalan dengan Hurlock (2004) yang menyatakan bahwa keluarga dapat mengajarkan bagaimana individu dapat mengeksplorasi emosi. Perhatian, kasih sayang, dan perasaan aman akan membantu individu menghadapi masalah-masalah tertentu dengan memperhatikan keseimbangan emosinya. Perhatian, kasih sayang, dan perasaan aman dapat terpenuhi ketika keluarga dapat berfungsi dengan baik.

Keberfungsian keluarga didefinisikan sebagai kualitas interaksi antar anggota keluarga. Secara spesifik dapat dilihat dari jumlah komunikasi, keluarga dapat

beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi, konflik yang terjadi dalam keluarga, dukungan dan kasih sayang antar anggota keluarga, kemampuan mengekspresikan apa yang dirasakan dan diinginkan, menghabiskan waktu bersama, kebebasan antar anggota keluarga, orientasi prestasi, moral, keagamaan, dan penyelesaian masalah yang dapat dilakukan anggota keluarga (Moos dan Moos dalam Stewart, 1998).

Keluarga yang saling memberikan dukungan dan memiliki kohesivitas dapat mengurangi kenakalan remaja (Bal, et.al dalam Reinherz, et.al, 2003). Sebaliknya, remaja yang berada dalam keluarga penuh dengan konflik dapat memicu kenakalan remaja, karena cenderung mengalami ketidakmampuan dalam mengendalikan emosi (Brook, et.al dalam Santrock, 2003). Pengawasan orangtua juga berperan penting dalam mencegah kenakalan remaja (Dishion, et.al dalam Coley, 2008). Adanya pengawasan orangtua dapat menjadi salah satu ciri keluarga yang dapat menjalankan fungsi dengan baik.

Berdasarkan penjelasan mengenai teori yang berkaitan dengan keberfungsian keluarga dengan kematangan emosi. Hal ini juga dapat dilihat dari hasil matriks kategorisasi dalam penelitian ini yang menunjukkan kebanyakan terlihat remaja laki-laki yang memiliki keberfungsian keluarga dalam kategori tinggi dengan kematangan emosi yang dicapai oleh remaja laki-laki berada pada kategori tinggi yaitu 32,30%, artinya ketika keluarga telah berfungsi dengan baik pada kategori tinggi, remaja laki-laki juga memiliki kematangan emosi pada kategori tinggi.

Hasil penelitian ini menunjukkan korelasi yang agak rendah. Hal ini dapat disebabkan adanya faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi kematangan

emosi dan tidak dikontrol oleh peneliti. Faktor-faktor tersebut dapat berupa faktor lingkungan disekitar kehidupan keluarga yang dapat memungkinkan tercapainya kematangan emosi remaja laki-laki. (Chaube, 2002). Faktor pola asuh orangtua juga dapat mempengaruhi kematangan emosi. Pola asuh orangtua dapat berupa cara orangtua memperlakukan anak-anaknya yang akan memberikan akibat permanen bagi kehidupan anak (Goleman, 2001). Namun tidak dapat dikatakan jika pola asuh orangtua otoriter memiliki keberfungsian keluarga yang rendah. Dalam penelitian ini faktor-faktor tersebut tidak terkontrol.

Faktor lain yang dapat berpengaruh terhadap kematangan emosi adalah faktor teman sebaya. Adakalanya meskipun keluarga telah berfungsi dengan baik, namun individu memiliki kematangan emosi yang rendah dikarenakan adanya faktor teman sebaya yang dapat membuat remaja mudah terpengaruh dengan perbuatan negatif. Hurlock (2004) menyatakan bahwa remaja lebih sering berada dengan teman sebaya daripada di dalam rumah. Pengaruh teman sebaya terhadap minat, penampilan, sikap, dan perilaku lebih besar jika dibandingkan dengan pengaruh keluarga. Hal ini dapat dilihat ketika anggota kelompok mencoba mengikuti perilaku merokok, minum-minuman keras, tawuran, dan menggunakan obat terlarang, kemudian akan diikuti oleh anggota lainnya tanpa memperhatikan akibatnya. Perilaku negatif yang diikuti oleh remaja tersebut mencerminkan ketidakmatangan emosi. Namun pada penelitian ini, faktor ini tidak dikontrol oleh peneliti.

Keberfungsian keluarga berada pada kategori tinggi sebanyak 37 orang (56,92%), yang artinya keluarga dapat menjalankan fungsi yang ada dalam

keluarga dengan baik; adanya komunikasi yang lancar antar anggota keluarga; keluarga dapat beradaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi; adanya keterbukaan dan penyelesaian konflik yang terjadi dalam keluarga; saling memberikan dukungan dan kasih sayang; adanya kesempatan untuk mengekspresikan apa yang dirasakan dan diinginkan; serta adanya orientasi terhadap nilai-nilai tertentu (Moos dan moos, dalam stewart 1998). Keberfungisan keluarga pada kategori sedang sebanyak 28 orang (43,07%), yang artinya keluarga cukup dapat berfungsi dengan baik dan dapat diandalkan ketika individu membutuhkan bantuan dan individu cukup merasakan bantuan keluarga terhadap dirinya. Keberfungsian keluarga yang berada pada kategori rendah sebanyak 0 orang (0%), yang artinya keluarga gagal dalam memenuhi kebutuhan dasar anggota keluarga; keluarga mengabaikan kebutuhan untuk bertahan hidup anggota keluarga, misalnya kebutuhan makan, pakaian, dll, padahal dalam status ekonomi menengah ke atas; keluarga tidak menciptakan rasa aman bagi anggota keluarga; keluarga tidak menciptakan rasa tanggung jawab dan kemandirian bagi anggota keluarga; tidak adanya komunikasi yang lancar antar anggota keluarga; serta orang tua tidak memberikan kebebasan kepada anggota keluarga (Jamiolkowski, 1993). Sebagian besar siswa remaja laki-laki MAN 3 dan SMA Krakatau yang menjadi sampel dalam penelitian ini memiliki kategori sedang dalam keberfungsian keluarga.

Kematangan emosi berada pada kategori tinggi sebanyak 31 orang (47,69%) artinya individu mampu mengendalikan emosi diri dan mampu menghadapi tekanan yang datang dari luar yang dapat mempengaruhi emosi; mampu

memahami situasi yang dihadapi tanpa terpengaruh oleh dominasi emosi yang dirasakan; selalu memiliki pertimbangan dalam bertindak berdasarkan kondisi yang ada (Puspasari, 2009). Kematangan emosi pada kategori sedang sebanyak 34 orang (52,30%), artinya individu dapat mengendalikan emosi diri; terkadang sulit mengendalikan emosi jika ada kondisi diluar batas yang dapat memicu emosi; belum dapat mengendalikan kondisi dari luar yang dapat memicu emosinya, sehingga ketika tekanan itu muncul di luar perkiraan menyebabkan individu kehilangan kendali terhadap emosi yang dirasakan dan cenderung impulsif. Kematangan emosi pada kategori rendah sebanyak 0 orang (0%), artinya individu lebih mengutamakan apa yang dirasakan daripada apa yang dipikirkan; lebih melihat sesuatu berdasarkan nilai yang negatif jika bertentangan dengan nilai perasaan yang diyakini (Puspasari, 2009). Sebagian besar siswa remaja laki-laki MAN 3 dan SMA Krakatau yang menjadi sampel dalam penelitian ini memiliki kematangan emosi pada kategori sedang.

Jika dilihat dari matriks kategorisasi kedua variabel. Keberfungsian keluarga yang dimiliki remaja laki-laki pada kategori tinggi dan memiliki kematangan emosi pada kategori sedang sebesar 26,15%. Hal ini dapat dijelaskan dengan adanya faktor teman sebaya dan lingkungan sekitar keluarga seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Meskipun keluarga telah berfungsi dengan baik, namun ketika pengaruh teman sebaya dan lingkungan sekitar kehidupan lebih kuat terhadap diri remaja laki-laki maka dapat menyebabkan remaja laki-laki hanya mencapai kematangan emosi pada kategori sedang.

Ketika keberfungsian keluarga pada kategori sedang, ada juga remaja laki-laki memiliki kematangan emosi yang tinggi yaitu sebesar 15,38%. Hal ini dapat dijelaskan dengan faktor temperamen yang dapat mempengaruhi tingginya kematangan emosi remaja laki-laki meskipun dalam keluarga yang berfungsi pada kategori sedang. Temperamen merupakan suasana hati yang mencirikan emosi individu dan bawaan sejak lahir dan dapat diubah sejalan dengan perkembangan individu (Goleman, 2001).

BAB V

Dokumen terkait