• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.6. Stimulasi Ovarium

2.7.2 Kateter Inseminasi Fleksibel

Jenis kateter fleksibel:

1. Kateter Inseminasi Wallace (Smith Medical)

Kateter lunak, fleksibel, dengan dua lumen yang berguna untuk sistem

co-axial. Kateter bagian dalam panjangnya 18 cm, dengan ujung membulat

dan dilengkapi dengan sisi bilateral yang menyebar yang berguna untuk mencegah kontaminasi dan menghalangi sperma keluar saat dilakukannya inseminasi. Mempunyai bagian luar yang fleksibel.

2. Kateter inseminasi Cook (Cook Women’s Health, Spencer, IN, Amerika Serikat)

Kateter ini juga lunak, fleksibel, dua lumen, memiliki sistem co-axial. Kateter bagian dalam panjangnya 19 cm dengan ujung membulat. Bagian luar sama dengan kateter Wallace.

3. Kateter Inseminasi Gynetics (Gynetics Medical Products, Hamont- Achel, Belgia)

Kateter ini lunak, fleksibel, dua lumen, dan sistem co-aksial. Panjangnya 20,6 cm dengan ujung membulat. Sebagai tambahan, sama dengan kateter Wallace, kateter ini menggunakan dua ujung lateral di bagian distal untuk distribusi sperma ke intrauteri. Bagian luarnya lebih padat dan tebal untuk pasien dengan sulit memasukkan ke serviksnya.

2.8 Cara Inseminasi

Suspensi sperma dapat dipertahankan di serviks, uterus, peritoneum dan tuba falopi. IIU merupakan tehnik yang paling sering digunakan. Hal ini dilakukan dengan memasukkan 0,2-0,5 ml suspensi sperma ke uterus

dengan kateter fleksibel atau kaku, tanpa atau dengan pemantauan menggunakan ultrasonografi (USG). Untuk semen yang dibekukan, IIU lebih baik daripada intra Cervical insemination (ICI). Penggunaan kateter inseminasi juga mempunyai pengaruh terhadap angka kehamilan. Lavie dkk memperkirakan bahwa gambaran tiga lapis endometrium, yang umumnya menjadi tanda untuk dilakukan inseminasi, mengganggu setengah dari jumlah pasien yang menjalani inseminasi menggunakan kateter kaku. Gambaran gangguan ini dilihat dari adanya trauma pada endometrium. Dari penemuan ini menunjukkan bahwa dengan kateter fleksibel, angka kehamilan akan lebih tinggi dibandingkan dengan kateter kaku.

2.9 Waktu Inseminasi

9

Inseminasi dapat dilakukan di waktu yang berbeda sekitar ovulasi dan dapat dilakukan sekali atau berulang. Sebagian besar penelitian, inseminasi dilakukan 32-36 jam setelah pemberian hCG. Inseminasi sebaiknya dilakukan pada sekitar ovulasi karena sangatlah penting untuk keberhasilan IIU.27 Penelitian sistematik menemukan tidak ada perbedaan angka kehamilan perpasangan yang dilakukan inseminasi dua kali atau satu kali.

2.10 Metode

29

Semua pasien wanita menerima 1 dari 3 regimen induksi ovulasi, antara lain: 1) klomifen sitrat 2) klomifen sitrat ditambah dengan human

menopausal gonadotropin atau recombinant follicle stimulating hormone,

HMG atau rFSH. Pilihan regimen diputuskan oleh pasangan dan spesialisnya setelah diberikan penjelasan mengenai faktor harga, angka keberhasilan dan komplikasi dari tiap regimen. Pada protokol menggunakan klomifen sitrat,

wanita menerima klomifen sitrat 100 mg per hari untuk 5 hari dimulai dari hari ke 2 siklus menstruasi. Pada regimen kombinasi klomifen sitrat dengan HMG/rFSH, dosis harian klomifen sitrat 100 mg diberikan hari ke 3 sampai hari ke 7, diikuti dengan 75 IU HMG atau 70 IU rFSH per hari dari siklus 8-10 siklus menstruasi. Pada regimen yang menerima HMG/rFSH, dosis harian 150-225 IU HMG atau 100-150 IU rFSH diberikan dimulai dari hari ke 3 siklus menstruasi sampai salah satu folikel mencapai diameter 17 mm atau lebih. Ultrasonografi transvaginal dilakukan untuk mengukur diameter folikel. Jika rerata diameter folikel sudah sampai 17 mm, 5000 IU human chorionic

gonadotropin disuntikkan secara intramuskular. IIU direncanakan 38-40 jam

setelah pemberian HCG.

Preparat sperma diproses di laboratorium andrologi dengan menggunakan tehnik direct swim up. Spermatozoa diseleksi dengan kemampuan sperma untuk berenang keluar dari plasma seminalis dan medium kultur. Semen sebaiknya tidak didilusikan dan disentrifugasi sebelum sperma berenang keluar plasma seminalis, karena dapat menyebabkan kerusakan oleh peroksidase dari membran sperma. Reagen yang dipakai seperti BWW, Earle’s, Ham’s F-10 atau HSA (Human Serum Albumin).30

Gambar 2. Prosedur Inseminasi Intrauteri

2.11. Komplikasi

31

Komplikasi jarang terjadi pada inseminasi intrauteri. Komplikasi yang sering terjadi lebih sering terjadi pasca inseminasi, sedangkan keluhan pasien saat proses inseminasi jarang ditemukan. Komplikasinya antara lain:

a. Kram perut

32

Keluhan ini terjadi sekitar 5% dari seluruh pasien yang menjalani inseminasi intrauteri. Beberapa kemungkinan yang menyebabkan kram perut, antara lain:

- Kateter yang dimasukkan ke dalam uterus dikenal sebagai benda asing di dalam tubuh sehingga menyebabkan refleks kram alami.

- Kerusakan dari sebagian kecil endometrium saat insersi kateter menyebabkan pelepasan prostaglandin. Gejala biasanya terlihat 2 sampai 4 jam pasca inseminasi.

- Sisa prostaglandin dari cairan seminal pada semen karena ketidakakuratan dalam pencucian sperma dapat menyebabkan kram beberapa menit setelah prosedur inseminasi.

Kram perut ini bukan merupakan suatu masalah yang serius. Pengobatannya biasa diberikan asetaminofen atau aspirin. Dan hal ini tidak memicu terjadinya infeksi.

Teraporn dkk tahun 2003 dengan 239 siklus inseminasi intrauteri yang dilakukan didapatkan tidak ada perbedaan dalam kesulitan prosedur insersi kateter yang signifikan pada kelompok kateter kaku dan fleksibel (16.4% dan 17.1% berturut-turut, p=0.886 ), begitu juga halnya dengan dilatasi serviks tidak bermakna secara statistika (1.7% dan 1.6%, berurutan, p=0.953). Sama halnya dengan ketidaknyamanan saat prosedur pada kedua kelompok dimana pada kelompok kateter kaku 29,3 % dan kateter fleksibel 26,8 % dengan nilai p=0.882.

b. Perdarahan Ringan

8

Biasanya terjadi 1 % dari seluruh inseminasi. Perdarahan terjadi akibat iritasi pada kelenjar servikal akibat insersi kateter saat menuju kavum uteri. biasanya terjadi saat insersi kateter dan menghilang dengan sendirinya.

c. Gangguan saluran cerna

Mual dan diare ringan terjadi 0,05 % dari seluruh pasien inseminasi. Adanya prostaglandin biasanya yang menyebabkan keluhan ini dan terjadi beberapa jam setelah prosedur.

d. Infeksi pelvis

Komplikasi yang paling serius dalam prosedur inseminasi adalah infeksi pelvis. Terjadi sekitar 0,2 % dari semua pasien inseminasi. Meskipun jarang, tapi komplikasi ini sangat mengganggu. Infeksi pada uterus dapat menyebar ke tuba falopi dan jaringan di sekitarnya, sehingga memerlukan

perawatan dan pemberian antibiotika. Infeksi dapat menyebabkan adanya bekas luka yang permanen pada tuba falopi dan jaringan sekitar, yang dapat membuat pasien menjadi infertil.

Infeksi terjadi karena barrier mukus serviks yang normal rusak saat insersi kateter dan bakteri agresif yang ada pada mukus serviks atau pada sperma yang dimasukkan ke dalam kavum uteri. Ini sering terjadi pada pasien yang mempunyai riwayat infeksi. Gejala yang muncul pada infeksi pelvis seperti demam, nyeri pada serviks atau saat sedang berhubungan. Gejala muncul beberapa hari atau minggu pasca inseminasi.

e. Reaksi Alergi

Reaksi alergi pada sperma sering dilaporkan saat pasien berhubungan sehingga ada kemungkinan juga terjadi pada proses inseminasi. Walaupun sangat jarang terjadi, tapi akibatnya fatal.

Dokumen terkait