• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebagai upaya pengembangan Kawasan Indonesia Timur dalam rangka mengejar ketertinggalannya terhadap Kawasan Indonesia Barat, pemerintah telah memberikan perhatian terhadap Kawasan Indonesia Timur yang secara formal-politis dimulai saat frase ”pembangunan Kawasan Indonesia Timur” dicantumkan pada GBHN Tahun 1993. Kemudian hal ini segera diikuti dengan pembentukan Dewan Pengembangan KTI. Pada Tahun 1996, Kapet (kawasan pengembangan ekonomi terpadu) diperkenalkan menjadi model perencanaan pembangunan di Kawasan Indonesia Timur oleh dewan tersebut .

Model ini mengadopsi konsep growth centers (growth pole), yaitu menciptakan dan mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan, berupa satu kawasan andalan prioritas mewakili masing-masing propinsi. Kawasan ini didukung oleh kegiatan sektor/komoditi unggulan, yang berupa potensi sumber daya lokal, yang diharapkan menjadi prime mover pengembangan propinsi yang bersangkutan (Prasetya dan Hadi 2000).

Praktek pengembangan wilayah melalui konsep growth centers dibanyak negara banyak mengalami kegagalan. Salah satu alasan kegagalan tersebut adalah melupakan kekuatan industrial-linkages yang mestinya dibangun jauh-jauh hari, baik dalam proses penambahan nilai, keterkaitan produk (industrial tree), maupun keterkaitan lokasi (spesialisasi aktivitas ekonomi). Termasuk dalam kelemahan

linkages ini adalah ketiadaan konsep operasional yang kongkrit bagaimana masyarakat bawah dilibatkan dan diangkat kehidupannya dalam pengembangan Kapet yang sebagian besar berbasis agroindustri dan agribisnis tersebut. Dengan dipertanyakan keterkaitan ini, maka trickle down effect yang dijadikan harapan

saat diberlakukannya konsep growth centers ini menjadi menipis (Kasikoen 2005).

Menurut Keputusan Presiden Nomor 89 Tahun 1996, kemudian disempurnakan oleh Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 1998 yang selanjutnya diubah dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 150 Tahun 2000, maka telah ditetapkan 14 lokasi Kapet. Pengertian Kapet adalah suatu wilayah geografis dengan batas-batas tertentu yang memenuhi persyaratan sebagai berikut :

a. Memiliki potensi untuk cepat tumbuh, dan atau

b. Mempunyai sektor unggulan yang dapat menggerakkan pertumbuhan ekonomi di wilayah sekitarnya

c. Memerlukan dana investasi yang besar bagi pengembangannya.

Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun 1998, Kabupaten Bima, Kota Bima dan Kabupaten Dompu telah ditetapkan sebagai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) yang disebut Kapet Bima.

Secara geografis Kapet Bima memiliki pospek yang cukup besar baik nasional, regional maupun internasional. Secara nasional ujung timur Kapet Bima yaitu Pelabuhan Laut Sape merupakan daerah paling timur yang dapat dilalui transportasi darat dari dan keseluruhan Kawasan Indonesia Barat, sehingga Pelabuhan Laut Sape dapat dijadikan sebagai pelabuhan bongkar muat barang dari kawasan Sulawesi, NTT, Maluku dan Irian Jaya serta wilayah perairan Indonesia bagian barat atau sebaliknya. Posisi Kapet Bima lebih membuka peluang memperpendek jalur arus barang/jasa lewat laut ke Australia dan kawasan Pasifik.

Hubungan udara melalui Bandara M. Salahuddin Bima sudah dapat membuka hubungan dengan wilayah lain di Indonesia dan untuk hubungan Internasional yang terdekat adalah Bandar Udara Ngurah Rai Bali yang dapat ditempuh dalam satu jam penerbangan dari Bandar Udara Salahuddin Bima, sedangkan lewat darat ditempuh dalam 24 jam (BP Kapet Bima dan BPPT 2000).

Di sisi lain Kapet Bima termasuk dalam posisi jalan wisata segi tiga emas yaitu di sebelah utara Tanah Toraja, sebelah Timur Pulau Komodo dan sebelah barat Pulau Bali. Dalam hal ini Kapet Bima telah menunjukkan peranannya sebagai jalan masuk wisatawan mancanagera ke Pulau Komodo, sehingga

memungkinkan pembangunan fasilitas akomodasi di wilayah Kapet Bima yang memudahkan wisatawan mengunjungi Pulau Komodo, karena di Pulau Komodo sendiri tidak boleh dibangun fasilitas akomodasi (BP Kapet Bima dan BPPT 2000).

Potensi sumber daya alam pada ketiga Kabupaten tersebut belum dikembangkan secara optimal. Oleh karena itu diperlukan Kawasan Pengembangan dengan menciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi yang mengacu pada pemberdayaan sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan, sehingga tercipta pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup dan bermuara pada kesejahteraan dan kenyamanan hidup rakyat yang berada di kawasan tersebut (BP Kapet Bima dan BPPT 2000).

Atas dasar pertimbangan tersebut di atas agar operasional pengembangannya tepat arah dan tindakan maka telah disusun Rencana Induk Pengembangan KAPET Bima yang intinya memuat struktur dan arahan pola pengembangan kawasan, sehingga tercipta kondisi-kondisi sebagai berikut (BP Kapet dan BPPT 2000) :

a. Meningkatnya pertumbuhan dan memperluas pengembangan sektor-sektor unggulan sebagai motor penggerak ekonomi (prime mover) kawasan.

b. Meningkatnya keterpaduan operasional pembangunan oleh instansi, sektor dan daerah serta dunia usaha (swasta) dalam rangka mencapai laju perkembangan ekonomi setinggi-tingginya yang berbasis pada pemanfaatan sumber daya setempat.

c. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi, berkurangnya kesenjangan sosial ekonomi antar kawasan dan antar masyarakat yang ada dalam kawasan.

d. Meningkatnya efisiensi dan efektifitas investasi pemerintah, swasta dan masyarakat dalam pengembangan kawasan.

e. Terumuskannya keterpaduan program investasi antar Public Services dan

Private Investment sekaligus merumuskan kemungkinan terlaksananya program kegiatan tersebut.

f. Terumuskannya pola-pola insentif di kawasan dengan memperhatikan berbagai kebijaksanaan yang berlaku terutama yang berkaitan dengan regulasi

dibidang pertanian, industri, pertambangan, perikanan dan kelembagaan sehingga dapat menunjang dan mendukung efektifitas dan efisiensi investasi g. Terumuskannya pola promosi untuk berbagai peluang investasi yang akan

dikembangkan.

Berbagai sektor ekonomi yang ada di Kapet Bima merupakan potensi untuk dikembangkan, seperti pada sektor pertanian, perikanan dan peternakan, kehutanan, pertambangan dan sektor pariwisata. Sementara pada sektor industri, yakni kegiatan industri rumah tangga, tambak garam dan bahan makanan sebagai sumber mata pencaharian penduduk lokal yang dapat dikembangkan lebih lanjut. Pengembangan berbagai sektor ekonomi di atas masih diusahakan secara lokal, tradisional dan belum optimal, belum berkembangnya industri pengolahan sehingga produk sebagian besar dijual dalam bentuk mentah (bahan baku).serta tidak didukung oleh sarana-prasarana yang memadai dan merata (BP Kapet Bima 2004).