• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kawasan Rawan Bencana Alam

ARAHAN POLA RUANG

4) Kawasan Rawan Bencana Alam

Kawasan rawan bencana alam di Kabupaten Gowa secara umum meliputi bencana banjir dan tanah longsor. Daerah rawan banjir pada umumnya berada pada lokasi di sepanjang DAS Sungai Tello dan DAS Sungai Jeneberang serta beberapa daerah cekungan baik yang terbentuk secara alamiah maupun lokasi bekas penambangan tanah kuari. Sedangkan untuk kawasan rawan longsor terutama terjadi pada wilayah-wilayah di kecamatan dataran tinggi yang memiliki topografi yang relatif terjal, tingkat permeabilitas batuan yang rendah serta jenis tanah yang labil terhadap erosi. Daerah longsor yang perlu terus diwaspadai di Kabupaten Gowa adalah lanjutan longsor Gunung Bawakaraeng yang berdampak pada tingginya sedimentasi di Waduk Bili-Bili.

Penetapan kawasan rawan bencana alam akan membawa dampak perlunya penerapan pengelolaan kawasan sebagaimana yang telah diarahkan dalam RTRWN dan RTRW Provinsi Sulsel, yaitu:

a. Pola pengelolaan kawasan rawan gerakan tanah meliputi:

 pengembangan vegetasi yang berfungsi untuk menahan laju gerakan tanah;

 pengembangan sistem jaringan drainase;

 pengembangan bangunan penahan gerakan tanah; dan

 pengaturan kegiatan budidaya yang sesuai dengan kondisi fisik kawasan.

b. Pola pengelolaan kawasan rawan gempa bumi besar meliputi:  penerapan sistem peringatan dini bencana gempa bumi; dan  penerapan standar konstruksi bangunan tahan gempa. c. Pola pengelolaan zona patahan aktif meliputi:

 pengkajian gerakan patahan aktif; dan

 pengaturan lokasi permukiman serta prasarana dan sarana agar berada di luar jalur patahan.

d. Pola pengelolaan kawasan rawan abrasi meliputi:

 pembatasan dan pengaturan pusat permukiman dan kegiatan manusia di kawasan yang pernah dan/atau rawan abrasi;

 pemanfaatan dan pengembangan teknologi pemecah gelombang laut yang berpotensi mengikis tanah atau batuan; dan

 pengembangan vegetasi bakau untuk melindungi kawasan rawan abrasi dan mencegah terjadinya abrasi.

e. Pola pengelolaan kawasan rawan bencana alam banjir meliputi:

a. pengendalian kegiatan manusia di kawasan rawan bencana banjir untuk melindungi manusia, kegiatan budidaya, serta prasarana dan sarana penunjang perikehidupan manusia; dan

b. pengembangan prasarana pengendali banjir. Langkah preventif pada kawasan rawan bencana :

a. Banjir : perlu mempertimbangkan daya dukung fisik lingkungan, memperhatikan pola kemiringan dasar saluran (desain) dalam membangun drainase, dan dalam perencanaan dan penanganan banjir di kawasan, berpedoman pada konsep satu kesatuan sistem/subsistem daerah pengaliran sebagai satu konsep pengelolaan.

b. Gempa bumi (dataran tinggi) : ditujukan untuk meminimalisir aktivitas manusia

c. Gunung berapi (pegunungan) : ditujukan untuk meminimalisir sedimentasi melalui penerapan teknologi/rekayasa teknis

d. Longsor (pegunungan) : ditujukan untuk meminimalisir sedimentasi melalui penerapan teknologi/rekayasa teknis serta memperkuat struktur tanah

d. Rencana Pengembangan Kawasan Budi Daya Yang Memiliki Nilai Strategis Kabupaten

Kawasan budidaya dapat diartikan sebagai wilayah yang dapat dibudidayakan dan difungsikan untuk kepentingan pembangunan dalam bentuk kegiatan usaha berbagai sektor atau sub sektor pembangunan yang terkait. Kriteria kawasan budidaya adalah ukuran yang meliputi daya dukung, aspek-aspek yang mempengaruhi sinergi antar kegiatan dan kelestarian lingkungan. Penetapan kawasan budidaya dapat dikelompokkan ke dalam dua kriteria, yaitu kriteria sektoral dan kriteria ruang.

Kriteria teknis sektoral kawasan budidaya adalah suatu kegiatan dalam kawasan yang memenuhi ketentuan-ketentuan teknis seperti daya dukung, kesesuaian lahan, bebas bencana, dan lain-lain. Sedangkan kriteria ruang kawasan budidaya menentukan pemanfaatan ruang kegiatan budidaya yang menghasilkan nilai sinergi terbesar untuk kesejahteraan masyarakat dan tidak bertentangan dengan kelestarian lingkungan.

Pengelolaan kawasan budidaya adalah suatu pendekatan dalam mengelola kawasan-kawasan di luar kawasan lindung agar pemanfaatannya dilakukan secara optimal, selaras, dan serasi dengan kawasan lindung dalam mewujudkan pembangunan daerah.

Penetapan suatu kawasan budidaya dengan fungsi utama tertentu, selain mengacu pada kriteria harus mempertimbangkan faktor-faktor lain, yaitu : a. Lingkungan buatan, sosial, dan interaksi antar wilayah

b. Tahapan, pembiayaan, dan pengelolaan pembangunan serta pembinaan kemampuan kelembagaan

c. Keserasian, keselarasan, dan keseimbangan fungsi budidaya dan fungsi lindung, dimensi waktu, teknologi, sosial budaya serta fungsi pertahanan dan keamanan.

Berdasarkan fungsinya, kawasan budidaya dikelompokkan ke dalam kawasan hutan produksi, termasuk hutan rakyat, pertanian, pertambangan, perindustrian, pariwisata, danau, pesisir laut dan kepulauan.

e. Arahan Pengembangan Struktur Ruang Terkait Keciptakaryaan. 1 Drainase

Prasarana drainase memegang peranan penting di dalam penanggulangan permasalahan genangan dan banjir di Kabupaten Gowa. Permasalahan genangan dan banjir berada pada kawasan kota yang mempunyai intensitas kawasan terbangun cukup tinggi, yang umumnya berada pada jalur jalan utama kota. Disamping itu juga pada beberapa kawasan pinggiran dan kawasan perdesaan juga mengalami permasalahan banjir terutama yang memiliki sistem drainase yang masih buruk dan kondisi topografi yang relatif fluktuatif. Kondisi topografi yang sangat heterogen merupakan kendala mendasar pengembangan sistem drainase yang terintegrasi.

Saluran drainase berjenjang mulai dari saluran primer berupa saluran alam yaitu sungai kemudian sekunder sebagai saluran pengumpul sebelum menuju sungai dan terakhir tersier yang langsung terkait dengan daerah tangkapan (Cathment Area). Misi pengembangan drainase tidak hanya membuang air larian secepat-cepatnya tetapi lebih penting dari itu adalah membuang air dalam waktu yang tepat sesuai dengan kapasitas saluran. Selain faktor-faktor alam sebagaimana disebutkan sebelumnya, permasalahn drainase di Kabupaten Gowa adalah dalam penyediaan prasarana yang telah ada. Saluran-saluran drainase yang ada saat ini sebagian besar fungsi hidrolisnya tidak memenuhi syarat teknis. Hal ini terlihat dari banyak terjadinya sedimentasi pada saluran, terjadinya aliran yang diam yang menjadikan munculnya beberapa genangan. Kondisi saluran drainase sebagian besar kurang terawat, sehingga terlihat pendangkalan saluran oleh erosi dinding saluran, banyak tumbuhan dan dijumpainya sampah di saluran drainase.

Program pengembangan saluran juga masih tidak terintegrasi sehingga penanggulangan daerah genangan di satu tempat hanya mengalihkan genangan di tempat lain. Pengembangan saluran tersier tidak terkoneksi dengan saluran sekunder dan primer.

Untuk mencegah terjadinya genangan maka pengembangan sistem drainase diarahkan secara terintegrasi. Langkah-langkah pengembangan prasarana dapat dilakukan melalui:

 Penetapan satuan-satuan pembuangan, didasarkan pada daerah tangkapan masing-masing sungai. DAS tersebut menjadi satuan pembuangan air limpahan berdasarkan batas DASnya dengan saluran primer masing-masing sungai.

 Saluran sekunder dibangun melintang terhadap sungai dengan memperhatikan sub daerah tangkapan. Dimensi masing-masing saluran mempertimbangkan sub daerah tangkapan air maksimal.

 Saluran tersier dibangun mempertimbangkan penggunaan lahan setempat Selain pengembangan jaringan prasarana, masih terdapat faktor-faktor lain di luar sistem drainase yang sangat mempengaruhi kinerja drainase di Kabupaten Gowa. Beberapa faktor tersebut adalah sedimentasi dan besarnya debit air larian (run off) permukaan. Sedimentasi terutama terjadi di muara sungai sebagai akhir pembuangan dimana pencampuran antara air tawar dan air payau menyebabkan sedimentasi terangkut menjadi mengendap. Sedangkan tingginya air larian disebabkan rendahnya daya serap terutama daerah-daerah yang memiliki tutupan vegetasi yang kurang. Dari dua permasalahan tersebut jika ditarik kebelakang maka hanya terdapat satu sumber masalah yaitu kerusakan di daerah tangkapan air. Kerusakan daerah tangkapan disebabkan perusakan hutan sehingga air hujan langsung mengalir tanpa adanya pelindung. Tingginya air larian akan membawa sedimentasi terlarut semakin besar. Akibatnya air sungai menjadi sangat keruh pada saat terjadi hujan. Dari beberapa identifikasi baik langsung terhadap kondisi hutan di daerah tangkapan maupun tidak langsung melalui pengamatan kekeruhan air dapat diketahui bahwa telah terjadi kerusakan DAS.

Melihat kondisi saat ini maka perlu dilakukan program-program penunjang dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Program tersebut antara lain:

 Pengerukan sedimentasi saluran,

 Pengembangan hutan rakyat,

 Konservasi lahan kritis, dan

 Reboisasi hutan f. Air Limbah

Berdasarkan sumbernya, air limbah di Kabupaten Gowa dibedakan menjadi air limbah industri dan air limbah domestik. Volume buangan air limbah yang berasal dari kegiatan domestik masih lebih besar dari kegiatan industri namun demikian air limbah hasil kegiatan industri walaupun volumenya kecil tetapi pada umumnya mempunyai tingkat pencemaran yang tinggi. Termasuk didalamnya kegiatan-kegiatan hotel dan rumah sakit sehingga membutuhkan penanganan khusus.

Untuk produksi limbah domestik perlu dibedakan perlakuan khusus antara limbah cair dari kegiatan sehari-hari dengan limbah tinja. Limbah tinja memiliki karakteristik yang berbeda sehingga perlu dilakukan sistem pembuangan tersendiri.

Adapun prasarana dan sarana air limbah yang ada di Kabupaten Gowa saat ini masih terbatas pada on side system. Pelayanan air limbah di Kabupaten Gowa melalui prasarana dan sarana seperti jamban keluarga, jamban umum, dan MCK yang berada ditempat-tempat pelayanan umum seperti pasar, terminal dan tempat-tempat umum lainnya. Pembuangan limbah cair dari hasil kegiatan sehari-hari seperti mandi dan cuci dibuang secara langsung pada saluran drainase. Mengingat tidak ada jaringan khusus untuk pembuangan limbah cair maka pada hari-hari biasa jaringan drainase berfungsi sebagai saluran pembuangan limbah sedangkan pada saat hari hujan berfungsi sebagai drainase.

Pada pembuangan limbah cair untuk industri mengingat sifatnya yang lebih berbahaya diwajibkan membuat IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) di

masing-masing industri (On Site). Limbah yang berasal dari proses produksi dilanjutkan ke IPAL kemudian setelah melalui pengolahan baru dibuang ke saluran pembuangan biasa. Hasil keluaran limbah cair harus memenuhi standar baku mutu yang telah ditetapkan.

Sistem pembuangan limbah tinja di Kabupaten Gowa dilakukan secara individual pada masing-masing rumah tangga. Sistem yang digunakan secara on site (di tempat), yaitu buangan tinja dialirkan ke cubluk atau tangki septik (Septic Tank). Kendala dan permasalahan yang terjadi adalah masih adanya sebagian kecil masyarakat yang membuang tinja di tempat terbuka seperti sungai, dan masih rendahnya kualitas sarana ini pada masing-masing rumah tangga yaitu masih digunakannya cubluk yang rentan menimbulkan bau tidak sedap yang mengganggu kesehatan lingkungan.

Peningkatan kondisi pengelolaan limbah manusia perlu diarahkan untuk menghilangkan atau mengurangi jumlah penduduk yang masih membuang tinja di tempat-tempat terbuka. Peningkatkan kualitas sarana pembuangan limbah, harus ditunjang dengan ketersediaan prasarana Jamban Keluarga (JAGA) dengan sistem tangki septik secara mandiri oleh masyarakat, dan penyediaan dan peningkatan kualitas fasilitas kakus umum (MCK) pada lokasi-lokasi dengan intensitas kegiatan tinggi, seperti pusat perdagangan dan pusat pendidikan.

Dalam pengembangannya ke depan perlu diupayakan unit pengelolaan limbah manusia untuk mengolah limbah tinja. Instalasi pengolah tinja ini disediakan dalam satu lokasi untuk melayani skala Kota Sungguminasa. Kebutuhan ruang untuk penyediaan fasilitas pengolah tinja diperkirakan seluas satu hektar yang didukung penyediaan truk tinja (Vacuum Truck) untuk pengurasan.

g. Rencana Jaringan Air Bersih

Untuk kebutuhan cadangan air, tersedia Waduk Bili-Bili dan beberapa bangunan embung yang tersedia di Kabupaten Gowa sebagai sumber air bersih. Sementara itu, bagi masyarakat Kabupaten Gowa yang tidak memanfaatkan dari Waduk Bili-Bili sebagai sumber air bersih. Untuk wilayah di dataran tinggi Kabupaten Gowa menggunakan potensi air tanah/sumur

artesis dari pengunungan dan beberapa anak sungai serta sumur-sumur dangkal. Kondisi tersebut memiliki filtrasi air tanah yang rendah sampai sedang, sehingga untuk kebutuhan konsumsi diperlukan pengolahan sesuai dengan standar kesehatan untuk memperoleh air bersih yang higienis.

Potensi air baku yang ada berupa air sumur, sungai, dan air pegunungan yang merupakan air bersih utama bagi masyarakat perdesaan, sedangkan pada kawasan perkotaan sebagian besar memanfaatkan air yang bersumber dari PDAM.

Ketentuan Peraturan Zonasi Untuk Sistem Perkotaan 1. Peraturan Zonasi untuk PKN dengan memperhatikan:

a. Pemanfaatan ruang untuk kegiatan ekonomi perkotaan berskala internasional dan nasional yang didukung dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya; dan

b. Pengembangan fungsi kawasan perkotaan sebagai pusat permukiman dengan tingkat intensitas pemanfaatan ruang menengah hingga tinggi yang kecenderungan pengembangan ruangnya ke arah vertikal.

2. Peraturan zonasi untuk PKW disusun dengan memperhatikan:

a. Pemanfaatan ruang untuk kegiatan ekonomi perkotaan berskala provinsi yang didukung dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya; dan

b. Pengembangan fungsi kawasan perkotaan sebagai pusat permukiman dengan tingkat intensitas pemanfaatan ruang menengah yang kecenderungan pengembangan ruangnya ke arah horizontal dikendalikan. 3. Peraturan zonasi untuk PKL disusun dengan memperhatikan pemanfaatan

ruang untuk kegiatan ekonomi berskala kabupaten/kota yang didukung dengan fasilitas dan infrastuktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya.

4. Peraturan zonasi untuk PKSN disusun dengan memperhatikan;

a. Pemanfaatan ruang untuk kegiatan ekonomi perkotaan yang berdaya saing, pertahanan, pusat promosi investasi dan pemasaran, serta pintu gerbang internasional dengan fasilitas kepabean imigrasi, karantina, dan keamanan; dan

b. Pemanfaatan untuk kegiatan kerja sama militer dengan negara lain secara terbatas dengan memperhatikan kondisi fisik lingkungan dan sosial budaya masyarakat.

Ketentuan Peraturan Zonasi Untuk Sistem Jaringan Prasarana Sumber Daya Air

1 Peraturan zonasi untuk sistem jaringan sumber daya air pada wilayah sungai disusun dengan memperhatikan:

a. pemanfaatan ruang pada kawasan di sekitar wilayah sungai dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan dan fungsi lindung kawasan; dan

b. pemanfaatan ruang di sekitar wilayah sungai lintas provinsi dan lintas kabupaten secara selaras dengan pemanfaatan ruang pada wilayah sungai di provinsi/kabupaten yang berbatasan.

Ketentuan Peraturan Zonasi Untuk Kawasan Lindung

1. Peraturan zonasi untuk kawasan hutan lindung disusun dengan memperhatikan:

a. pemanfaatan ruang untuk wisata alam tanpa merubah bentang alam; b. ketentuan pelarangan seluruh kegiatan yang berpotensi mengurangi

luas kawasan hutan dan tutupan vegetasi; dan

c. pemanfaatan ruang kawasan untuk kegiatan budidaya hanya diizinkan bagi penduduk asli dengan luasan tetap, tidak mengurangi fungsi lindung kawasan, dan di bawah pengawasan ketat.

2. Peraturan zonasi untuk kawasan bergambut disusun dengan memperhatikan:

a. pemanfaatan ruang untuk wisata alam tanpa merubah bentang alam; dan

b. ketentuan pelarangan seluruh kegiatan yang berpotensi merubah tata air dan ekosistem unik.

3. Peraturan zonasi untuk kawasan resapan air disusun dengan memperhatikan:

a. pemanfaatan ruang secara terbatas untuk kegiatan budi daya tidak terbangun yang memiliki kemampuan tinggi dalam menahan limpasan air hujan;

b. penyediaan sumur resapan dan/atau waduk pada lahan terbangun yang sudah ada; dan

c. penerapan prinsip zero delta Q policy terhadap setiap kegiatan budi daya terbangun yang diajukan izinnya.

4. Peraturan zonasi untuk sempadan sungai dan kawasan sekitar waduk disusun dengan memperhatikan:

a. pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau;

b. ketentuan pelarangan pendirian bangunan kecuali bangunan yang dimaksudkan untuk pengelolaan badan air dan/atau pemanfaatan air; c. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang fungsi taman

rekreasi; dan

d. penetapan lebar sempadan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

5. Peraturan zonasi untuk ruang terbuka hijau kota disusun dengan memperhatikan:

a. pemanfaatan ruang untuk kegiatan rekreasi;

b. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk bangunan penunjang kegiatan rekreasi dan fasilitas umum lainnya; dan

c. ketentuan pelarangan pendirian bangunan permanen selain yang dimaksud pada huruf b di atas.

6. Peraturan zonasi untuk kawasan suaka alam disusun dengan memperhatikan:

a. pemanfaatan ruang untuk kegiatan wisata alam;

b. pembatasan kegiatan pemanfaatan sumber daya alam;

c. ketentuan pelarangan kegiatan yang dapat mengurangi daya dukung dan daya tampung lingkungan; dan

d. ketentuan pelarangan kegiatan yang dapat merubah ekosistem. 7. Peraturan zonasi untuk taman hutan raya disusun dengan memperhatikan:

a. pemanfaatan ruang untuk penelitian, pendidikan, dan wisata alam; b. ketentuan pelarangan kegiatan selain yang dimaksud pada huruf a;

c. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan

d. ketentuan pelarangan pendirian bangunan selain yang dimaksud pada huruf c.

8. Peraturan zonasi untuk taman wisata alam disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang untuk wisata alam tanpa mengubah bentang alam; b. ketentuan pelarangan kegiatan selain yang dimaksud pada huruf

c. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan

d. ketentuan pelarangan pendirian bangunan selain yang dimaksud pada huruf c.

9. Peraturan zonasi untuk kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan disusun dengan memperhatikan:

a. pemanfaatan untuk penelitian, pendidikan, dan pariwisata; dan

b. ketentuan pelarangan kegiatan dan pendirian bangunan yang tidak sesuai dengan fungsi kawasan.

10. Peraturan zonasi untuk kawasan rawan tanah longsor dan kawasan rawan gelombang pasang disusun dengan memperhatikan:

a. pemanfaatan ruang dengan mempertimbangkan karakteristik, jenis, dan ancaman bencana;

b. penentuan lokasi dan jalur evakuasi dari permukiman penduduk; dan

c. pembatasan pendirian bangunan kecuali untuk kepentingan pemantauan ancaman bencana dan kepentingan umum.

11. Untuk kawasan rawan banjir, selain sebagaimana dimaksud di atas, peraturan zonasi disusun dengan memperhatikan:

a. penetapan batas dataran banjir;

b. pemanfaatan dataran banjir bagi ruang terbuka hijau dan pembangunan fasilitas umum dengan kepadatan rendah; dan

c. ketentuan pelarangan pemanfaatan ruang bagi kegiatan permukiman dan fasilitas umum penting lainnya.

12. Peraturan zonasi untuk kawasan keunikan bentang alam disusun dengan memperhatikan pemanfaatannya bagi pelindungan bentang alam yang memiliki ciri langka dan/atau bersifat indah untuk pengembangan ilmu pengetahuan, budaya, dan/atau pariwisata.

13. Peraturan zonasi untuk kawasan rawan bencana alam geologi disusun dengan memperhatikan:

a. pemanfaatan ruang dengan mempertimbangkan karakteristik, jenis, dan ancaman bencana;

b. penentuan lokasi dan jalur evakuasi dari permukiman penduduk; dan

c. pembatasan pendirian bangunan kecuali untuk kepentingan pemantauan ancaman bencana dan kepentingan umum.

14. Peraturan zonasi untuk kawasan imbuhan air tanah disusun dengan memperhatikan:

a. pemanfaatan ruang secara terbatas untuk kegiatan budi daya tidak terbangun yang memiliki kemampuan tinggi dalam menahan limpasan air hujan;

b. penyediaan sumur resapan dan/atau waduk pada lahan terbangun yang sudah ada; dan

c. penerapan prinsip zero delta Q policy terhadap setiap kegiatan budi daya terbangun yang diajukan izinnya.

15. Peraturan zonasi untuk kawasan sempadan mata air disusun dengan memperhatikan:

a. pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau; dan

b. pelarangan kegiatan yang dapat menimbulkan pencemaran terhadap mata air.

Ketentuan Peraturan Zonasi Untuk Kawasan Budidaya

Arahan zonasi untuk kawasan budidaya ini dimaksudkan untuk mendapatkan kesesuaian lahan untuk berbagai fungsi/kegiatan pada kawasan yang bukan merupakan kawasan lindung. Arahan kesesuaian lahan untuk kegiatan budidaya ini meliputi kesesuaian lahan untuk budidaya pertanian dan budidaya non pertanian.

1. Kawasan Budidaya Pertanian

a. Lahan untuk Pertanian Lahan Basah; b. Lahan untuk Pertanian Lahan Kering;

c. Lahan untuk Tanaman Tahunan/Perkebunan; dan d. Lahan Untuk Hutan Produksi.

2. Kawasan Budidaya Non Pertanian a. Lahan Untuk Permukiman b. Lahan Untuk Industri

Indikasi Program Utama Penataan Ruang Wilayah Kabupaten Gowa

Berdasarkan UURI No. 25 Tahun 2004 yang berisi tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UURI No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, maka RTRW Kabupaten Gowa disusun agar sinkron dan merupakan matra ruang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kabupaten Gowa. Selanjutnya, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Gowa, Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Pemkab Gowa, Rencana Strategis (Renstra) SKPD maupun Rencana Kerja (Renja) Tahunan SKPD di lingkungan Pemkab secara matra ruang mengacu pada RTRWK Gowa.

Berdasarkan hal tersebut di atas, indikasi program yang disusun dalam RTRWK Gowaini perlu dijadikan acuan lokasi program dan kegiatan dalam penyusunan rencana-rencana pembangunan tahunan seperti RKPD Pemkab Gowa maupun Renja SKPD.

Dokumen terkait