• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kayu Bakar5% 1%

Gambar 16 Persentase Frekuensi pemanfaatan kayu bangunan dan kayu bakar selama setahun di TWA Ruteng

Kayu Bangunan

46% 29% 25% Hutan pegunungan Hutan sub pegunungan Hutan dataran rendah

29% 34% 37%

Kayu Bakar

5% 1% 7% 2% 12% 5% 1% 0% 4% 0% 58% 1% 4% TO KBH S B BB PT PN TH BTK PW KB M L

Frekuensi pemanfaatan tumbuhan untuk keperluan bahan bangunan yang dilakukan oleh masyarakat sebagian besar berada di wilayah sekitar hutan pegunungan, yaitu sebesar 46% dan hutan sub pegunungan sebesar 29% dan yang terakhir adalah di hutan dataran rendah sebesar 25% (Gambar 9). Besarnya frekuensi pemanfaatan kayu bangunan di wilayah pegunungan dimungkinkan oleh potensi kayu di hutan pegunungan lebih besar daripada di wilayah sub pegunungan dan dataran rendah. Untuk pengelolaan kawasan atau pengembangan wilayah desa penyangga, diperlukan perhatian yang lebih besar untuk pengembangan tumbuhan penghasil kayu di wilayah sub pegunungan dan dataran rendah.

Gambar 17 Frekuensi pemanfaatan tumbuhan TWA Ruteng selama setahun Keterangan: TO = tanaman obat, KH = karbohidrat, S = sayur, B = buah, BB = Bahan

Bangunan, PT = pakan ternak, PN = pestisida nabati, TH, Tumbuhan hias, BTK = bahan tali dan kerajinan, PW = pewarna, KB = Kayu Bakar, M = minuman, L = lainnya (hasil pengisian kuesioner 90 responden dan tiap responden melakukan lebih dari satu jenis pengambilan hasil hutan).

Persentase pemanfaatan kayu bakar di ketiga wilayah pengamatan tidak jauh berbeda. Di wilayah sub pegunungan persentase pengambilan sedikit lebih besar yaitu: 37%, pegunungan 34% dan dataran rendah 29%. Hal ini disebabkan pemanfaatan kayu bakar yang dapat dilakukan untuk semua spesies tumbuhan berkayu yang dapat dikeringkan sehingga besar pemanfaatan tidak tergantung pada potensi kayu di dalam hutan.

Frekuensi pemanfaatan tumbuhan obat, sumber karbohidrat, dan pakan ternak sebagian besar dilakukan masyarakat di sekitar hutan pegunungan. Pemanfaatan sayuran, pestisida nabati, bahan tali dan kerajinan dan minuman

347 75 527 182 861 336 65 20 321 10 4300 69 306 0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500 5000 TO KH S B BB PT PN TH BTK PW KB M L Jenis Pemanfaatan Frekuensi Setahun

sebagian besar dilakuka n oleh masyarakat yang hidup di wilayah sub pegunungan dan pemanfaatan sayuran, bahan tali dan kerajinan dan kebutuhan lainnya banyak dilakukan oleh masyarakat ang bermukim di wilayah dataran rendah. Besar kecilnya intensitas pemanfaatan spesies tumbuhan hutan tersebut terkait dengan potensi tumbuhan yang ada di dalam kawasan hutan, misalnya masyarakat di dataran rendah lebih banyak memanfaatkan tumbuhan kegunaan lain yaitu damer (Pterospermum diversifolium) yang hanya tumbuh di wilayah itu. Demikian juga masyarakat di sub pegunungan lebih banyak memanfaatkan sayuran yang dengan mudah didapatkan di sekitar Danau Ranamese yaitu selada (Nasturtium officinale). Frekuensi pemanfaatan tumbuhan TWA Ruteng selama setahunyang dilakukan oleh 90 orang responden disajikan pada Gambar 17.

Rata-rata frekuensi pemanfaatan sumberdaya tumbuhan hutan TWA Ruteng yang paling banyak adalah di wilayah hutan sub pegunungan yaitu sebanyak 52,67 kali selama setahun untuk setiap individu, kemudian wilayah pegunungan sebanyak 49,20 kali per individu per tahun dan terakhir untuk wilayah dataran rendah sebanyak 41,47 kali per individu per tahun (Gambar 18).

Gambar 18 Rata-rata frekuensi pemanfaatan setahun per individu tumbuhan hutan di TWA Ruteng.

Masyarakat di wilayah sub pegunungan lebih banyak memanfaatkan kayu bakar, dalam jumlah besar memiliki nilai uang tunai yang cukup tinggi sehingga lebih banyak masuk hutan untuk mendapatkannya. Masyarakat di pegunungan walaupun lebih sedikit frekuensi memanfaatkan sumberdaya hutan namun mendapatkan lebih banyak nilai uang dari hasil pengambilan kayu bangunan.

49.20 52.67 41.47 0 10 20 30 40 50 60 HUTAN PEGUNUNGAN HUTAN SUB PEGUNUNGAN HUTAN DATARAN RENDAH

Dalam upaya pengelolaan pengambilan kayu bakar dan kayu bangunan perlu untuk mendapatkan perhatian serius karena dapat memberikan dampak pada pemanfatan hutan secara tidak lestari, bahkan dapat berakibat kepunahan pada spesies yang disukai.

Nilai Ekonomi Hasil Hutan

Pengambilan hasil hutan pada umumnya hanya digunakan untuk keperluan sendiri atau subsisten. Untuk keperluan uang tunai hasil hutan yang diambil adalah kayu bakar dan kayu bangunan. Pemanfaatan kayu bangunan dari hutan TWA Ruteng disebabkan tidak adanya suplai kayu dari luar daerah dan terbatasnya hasil kayu di luar hutan. Satu buah papan atau balok biasanya dijual seharga Rp. 20.000,-. Sedangkan kayu bakar biasa dijual per satu ikat seharga Rp. 1.000,-, Rp 2.000,- atau Rp. 3.000,- tergantung banyaknya kayu dalam satu ikatan. Pengambilan rotan untuk anyaman kerajinan biasanya ditukar dengan gabah. Banyaknya gabah sejumlah besarnya wadah yang ditukar terisi penuh.

Rata-rata pendapatan selama satu tahun dari hasil pengisian responden 90 orang responden adalah sebagai berikut:

a) pendapatan pokok = Rp. 4.055.000,- b) pendapatan sampingan = Rp. 3.500.000,-

c) pendapatan total di luar hasil hutan = Rp. 7.555.000,-

Kontribusi pendapatan dari hasil hutan didapat dari persentase antara pendapatan dari jenis hasil hutan dibagi dengan total pendapatan di luar hasil hutan ditambah pendapatan dari hasil hutan tersebut. Contoh untuk perhitungan kontribusi pendapatan dari jenis hasil hutan adalah sebagai berikut:

Pendapatan dari hasil bahan bangunan selama setahun = Rp. 7.632.000,- maka kontribusi pendapatan dari kayu bakar = (7.632.000 : (7.555.000 + 7.632.000)) x 100%, pada perhitungan ini didapatkan hasil 50,25%. Dengan cara ya ng sama maka kontribusi pendapatan untuk tiap-tiap jenis hasil hutan adalah seperti disajikan pada Tabel 24.

Hasil perhitungan kontribusi didapatkan hasil bahwa yang memberikan kontribusi pendapatan keluarga tertinggi dalam setahun adalah kayu bangunan sebesar 50,36%, kayu bakar sebesar 21,78% dan bahan kerajinan sebesar 15,04%.

Tabel 24 Jenis-jenis pemanfaatan tumbuhan hutan dan nilai kontribusinya terhadap total pendapatan keluarga

Jenis Pemanfaatan Tumbuhan Volume (ikat/ batang/ lembar) Rata-rata Frekuensi setahun Harga Penjualan Rp. Pendapatan (Rp/th) Rata-rata Kontribusi Pendapatan dari Hutan % Tanaman Obat 1 6,20 15.000,- 93.000,- 0,012 Karbohidrat 3 8,33 5.000,- 124.950,- 0,016 Sayur 5 20,3 2.000,- 203.000,- 0,026 Buah 2 15,2 5.000,- 151.600,- 0,020 Papan/Balok 10 31,9 20.000,- 7.664.000,- 50,36 Pakan ternak 1 30,5 15.000,- 458.100,- 0,057 Pestisida Nabati 3 3,25 5.000,- 49.750,- 0,006 Tanaman Hias 5 1,25 10.000,- 65.000,- 0,009 Bahan Kerajinan 2 26,8 25.000,- 1.337.500,- 15,04 Pewarna 2 2,50 6.000,- 30.000,- 0,004 Kayu bakar 25 47,8 2.000,- 2.103.200,- 21,78 Minuman 1 13.8 15.000,- 207.000,- 0,026 Lainnya 1 8.74 15.000,- 130.000,- 0,017

Rata-rata frekuensi pengambilan hasil hutan berupa kayu bangunan sebesar 31,9 walaupun lebih rendah dari kayu bakar sebesar 47,5 namun memberikan kontribusi pendapatan yang jauh lebih besar. Hal ini menyebabkan pemanfaatan hasil hutan untuk kayu bangunan lebih diminati daripada pengambilan untuk kegunaan lainnya sehingga dalam pengelolaan kawasan upaya pemenuhan kebutuhan kayu bangunan memerlukan perhatian yang lebih besar daripada penggunaan untuk kebutuhan lainnya.

Sebagian besar masyarakat yang mendapatkan kontribusi pendapatan dari hasil hutan sebesar Rp. 10 – 20 juta dan lebih dari Rp. 20 juta per tahunnya berada di wilayah pegunungan, besarnya kontribusi ini didapatkan dari hasil penjualan kayu bangunan yang rata-rata dapat memberikan kontribusi terhadap total pendapatan sampai sebesar 50,35%

Sebagian besar masyarakat mendapatkan kontribusi dari hasil hutan sebesar Rp. 0-2 juta pertahun, dan yang terbesar diantaranya adalah pada wilayah hutan dataran rendah. Besarnya jumlah masyarakat yang mendapatkan kontribusi pendapatan minimum dari hasil hutan tersebut disebabkan sebagian besar masyarakat memanfaatkan sumberdaya tumbuhan hutan hanya untuk mencukupi kebutuhan sendiri (subsisten). Pemanfaatan subsisten meliputi tumbuhan obat,

pangan, pakanternak, pestisida nabati, tumbuhan hias, bahan tali dan kerajinan, pewarna, minuman dan lainnya mencukupi lebih banyak aspek kebutuhan dan sedikit kontribusinya terhadap pendapatan tunai yang disebabkan kebutuhan tersebut tidak memiliki nilai jual di pasar.

Pemanfaatan subsisten ini lebih lestari dibandingkan kayu bangunan dan kayu bakar meskipun memberikan kontribusi pendapatan yang lebih kecil, sehingga dalam upaya pengelolaan perlu untuk mendapatkan perhatian sebagai suatu sarana penyuluhan dan penyadaran masyarakat akan pemanfaatan lestari. Pemanfaatan subsisten acap kali lebih menyentuh pada budaya masyarakat setempat sehingga dapat dijadikan sarana untuk meningkatkan rasa ikut memiliki hutan dan upaya pelestarian.

Gambar 19 Kontribusi pendapatan dari hasil hutan masyarakat sekitar TWA Ruteng.

Keterangan: 1 = Rp. 0-2juta, 2 = Rp. 2-4juta, 3 = Rp. 4-6 juta, 4 = Rp. 6-8 juta, 5 = Rp. 8-10 juta, 6 = Rp.10-20 juta, 7 = > Rp. 20 juta.

Tingkat Ketergantungan Masyarakat terhadap Hutan

Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap hutan ditentukan dengan menghitung nilai persentase dari penjumlahan antara: Y1 = jumlah jenis hasil hutan yang diambil Y2 = frekuensi pengambilan hasil hutan dan Y3 = kontribusi pendapatan dari hasil hutan terhadap total pendapatn keluarga. Hasil perhitungan tingkat ketergantungan masyarakat terhadap hutan diperoleh nilai antara 20% sampai dengan 87% dengan nilai rata-rata 68,22%.

0 0 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 1 2 3 4 5 6 7 Kontribusi Pendapatan

Hutan Pegunungan Hutan Sub Pegunungan Hutan Dataran Rendah Jumlah Responden

Masyarakat yang tingkat ketergantungannya terhadap sumberdaya hutan sangat tinggi (81-100%) sebagian besar tinggal di wilayah pegunungan, sedangkan tingkat ketergantungan sangat rendah (0-20%) sebagian besar tinggal di wilayah dataran rendah. Tinggi atau rendahnya tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya hutan tergantung dari jumlah jenis, frekuensi pengambilan dan nilai kontribusi jenis yang diambil. Masyarakat di wilayah pegununga n mendapatkan kontribusi pendapatan yang lebih besar karena wilayah ini lebih banyak memanfaatkan kayu bangunan yang memiliki nilai uang lebih besar.

Masyarakat yang berada di sub pegunungan mendapatkan kontribusi 21-40% dan 41-60% terbanyak dibandingkan wilayah lainnya disebabkan pemanfaatan kayu bakar sebagian besar berada di wilayah ini. Nilai kayu bakar memberikan kontribusi kedua terbesar dibandingkan dengan kayu bangunan yang lebih banyak dimanfaatkan oleh masyarakat di pegunungan.

Gambar 20 Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap hutan. Keterangan : 1 = (0-20%), 2 = (21-40%), 3 = (41-60%), 4 = (61-80%), 5 = (81-100%)

Persamaan tingkat ketergantungan masyarakat terhadap hutan TWA Ruteng adalah : Y = 0,708 + 0,0261 X3 + 0,0216 X4 – 0,162 X8. Faktor-faktor yang memberikan pengaruh nyata terhadap tingkat ketergantungan masyarakat pada hasil hutan adalah jumlah tanggungan keluarga, jenis mata pencaharian pokok dan jarak tempat tinggal dengan sumberdaya hutan.

0 2 4 6 8 10 12 14 16 0 - 20% 21 - 40% 41 - 60% 61 - 80% 81 - 100% Tingkat Ketergantungan

Hutan Pegunungan Hutan Sub Pegunungan Hutan Datan Rendah Jumlah Responden

Persamaan ini memberikan suatu pengertian bahwa:

1. Kenaikan jumlah tanggungan keluarga sebesar 0,0261 akan menaikkan tingkat ketergantungan masyarakat terhadap hutan.

2. Penurunan jaminan hidup atau semakin kurang baik jenis mata pencaharian pokok sebesar 0,0216 akan menaikkan tingkat ketergantungan masyarakat terhadap hutan.

3. Penambahan (semakin jauh) jarak tempat tinggal dari sumberdaya hutan sebesar 0,162 km akan menurunkan tngkat ketergantungan masyarakat terhadap hutan.

Umur, tingkat pendidikan dan jenis mata pencaharian sampingan tidak berbeda nyata disebabkan sebagian besar umur responden yaitu sebanyak 58 orang (64,44%) berada pada katagori 2 (selang umur 25 sampai dengan 40), tingkat pendidikan sebagian besar (73 – 80%) adalah sekolah dasar dan juga jenis mata pencaharian sampingan sehingga mempengaruhi hasil perhitungan.

Hasil analisis korelasi diketahui nilai korelasi antara tingkat ketergantungan dengan jarak antara tempat tinggal dengan sumber daya hutan adalah sebesar -80,6%, artinya bahwa semakin dekat jarak antara tempat tinggal terhadap sumberdaya hutan akan semakin besar tingkat ketergantungannya pada hutan dengan nilai korelasi yang kuat. Nilai korelasi antara tingkat ketergantungan dengan jumlah tanggungan keluarga sebesar 40,6%, artinya semakin besar jumlah tanggungan keluarga semakin besar pula tingkat ketergantungannya pada hutan dengan nilai korelasi yang kurang kuat. Nilai korelasi antara tingkat ketergantungan dengan jenis mata pencaharian pokok sebesar 20,97%, artinya semakin kurang nilai jaminan hidup suatu mata pencaharian maka akan semakin besar tingkat ketergantungannya pada hutan dengan nilai korelasi yang lemah.

Jarak antara tempat tinggal dengan sumberdaya hutan memberikan pengaruh terhadap penguasaan suatu kelompok masyarakat terhadap sumberdaya tersebut. Masyarakat yang bermukim paling dekat dengan hutan cenderung lebih menguasai atau memiliki sumberdaya hutan. Lebih sering memanfaatkan karena waktu tempuh pengambilan sumberdaya yang lebih pendek sehingga lebih banyak sumberdaya yang dapat diambil.

Jumlah tanggungan keluarga yang lebih besar membutuhkan sumberdaya yang lebih banyak untuk mencukupi kebutuhan pokok sehari-hari. Apabila kebutuhan tersebut tidak dapat tercukupi dari hasil di luar hutan maka akan mengambil sumberdaya hutan lebih banyak untuk memenuhi kekurangan tersebut. Jenis mata pencaharian pokok mempengaruhi juga tingkat ketergantungan masyarakat terhadap hutan karena menyangkut status sosial dan jaminan hidup. Masyarakat yang memiliki pekerjaan lebih baik, misalnya: PNS, akan cenderung mengambil sedikit sumberdaya hutan karena kebutuhan sehari-harinya relatif lebih terjamin serta adanya status sosial di masyarakat untuk menjadi contoh atau teladan dalam hal pelestarian hutan.

Potensi Tumbuhan Di Taman Wisata Alam Ruteng

Wilayah hutan TWA Ruteng menurut LIPI (1994), dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok hutan, yaitu hutan dataran rendah yang berada pada ketinggian 500 sampai 800 m dpl, hutan sub pegunungan yang berada pada ketinggian 900 sampai 1.500 dan hutan pegunungan pada ketinggian diatas 1.500 m dpl sampai dengan 2.200 m dpl. Hutan dataran rendah berada di sebelah selatan wilayah hutan TWA dan hutan pegunungan berada di pegunungan Mandosawu, terutama pada wilayah gunung Ranaka.

Wilayah hutan TWA Ruteng yang dekat dengan jalan atau pemukiman mengalami tekanan yang lebih berat daripada wilayah yang lebih jauh yang dapat dibandingkan dari komposisi spesies, kerapatan dan total basal area per hektar pada jalur setiap jalur pengamatan. Sampling pada ketiga tipe wilayah hutan yang berada dekat dengan wilayah pemukiman yaitu pada ketinggian 600, 900 dan 1.500 m dpl sebagian besar pohon berdiameter dibawah 10 cm sehingga kepadatan pohon per hektarnya tinggi sedangkan basal areanya rendah. Jumlah spesies yang ditemukan pada wilayah ini juga relatif lebih sedikit. Demikian juga dengan Indeks Nilai Penting pohon dari famili Euphorbiaceae dari genus Macaranga dan Homalanthus yang tinggi pada beberapa transek yang merupakan pohon pioner yang cepat tumbuh di wilayah terbuka.

Pemanfaatan secara menyeluruh meskipun relatif lebih lestari daripada untuk kayu bangunan saja namun pemanfaatan ini juga memberikan dampak

negatif pada ekosistem hutan. Pengertian lebih lestari disebabkan adanya keberagaman jenis yang diambil sehingga memiliki ketahanan terhadap tekanan atau gangguan. Pengambilan satu spesies tertentu menyebabkan perubahan komposisi dan strukturnya di alam yang berpengaruh pada kelestarian. Sebagian biji atau buah yang diambil mengurangi kemampuan tumbuhan untuk melakukan dispersi, merubah komposisi spesies serta frekuensi kehadiran spesies yang terambil. Meski tindakan eksploitasi beberapa spesies non kayu lebih kecil dampak kerusakannya, hampir semua macam kegiatan pengambilan akan berdampak pada fungsi dan struktur komposisi populasi hutan. Bila tidak dilakukan tindakan pengelolaan untuk mengurangi dampak ini, pengambilan secara terus-menerus akan menghabiskan sumberdaya hutan meski sebagian spesies memiliki kemampuan untuk terus tumbuh dengan cara melakukan regenerasi secara cepat (Wollenberg and Ingles 1998).

Gambar 21 Wilayah hutan Taman Wisata Alam Ruteng, wilayah puncak relatif masih belum banyak mengalami gangguan.

Pengambilan terhadap spesies tertentu tumbuhan berdampak pada komposisi tumbuhan yang merupakan persediaan di hutan alam. Jenis-jenis yang disukai mendapatkan tekanan pengambilan yang lebih besar dibandingkan jenis-jenis yang tidak disukai. Diperlukan mekanisme pengendalian dalam pengambilan suatu jenis melalui pengukuran persediaan dan pengambilannya di alam sehingga dampak pengambilan yang kurang lestari dapat dikurangi. Di wilayah TWA Ruteng pemanfaatan yang kurang lestari adalah untuk keperluan

kayu bangunan dan kayu bakar yang dilakukan pada berbagai tempat dan ketinggian. Pemanfaatan lainnya berupa tumbuhan obat, pangan, pestisida nabati, kerajinan dan kegunaannya lainnya relatif lebih lestari.

Wilayah hutan yang relatif belum terganggu adalah hutan pegunungan yang berada pada ketinggian lebih dari 1.700 m.dpl. Di wilayah ini masih memiliki penutupan vegetasi yang baik yang didominasi oleh tumbuhan dari famili Myrtaceae. Pohon relatif lebih pendek dari ketinggian sebelumnya dan terlihat khas dengan banyaknya lichenes pada cabang-cabangnya. Pemanfaatan tumbuhan hutan pada wilayah ketinggian ini terbatas untuk tumbuhan obat, sayuran, pestisida nabati, kerajinan dan keperluan subsisten lainnya yang relatif lebih lestari atau tidak merusak hutan.

Struktur dan Komposisi Flora

Jumlah Spesies. Di wilayah TWA Ruteng ditemukan sebanyak 219 spesies yang termasuk kedalam 160 genera dan 80 famili yang tercatat pada 13 transek pada berbagai ketinggian. Jumlah spesies tertinggi ditemukan pada ketinggian 1600 sebanyak 109 spesies. Jumlah spesies terendah adalah pada ketinggian 2100 sebanyak 44 spesies yang disebabkan faktor ketinggian tempat yang membatasi spesies yang dapat mampu untuk hidup di ketinggian ini. Jumlah spesies pada berbagai tingkat pertumbuhan di TWA Ruteng disajikan pada Tabel 25.

Pada wilayah hutan dataran rendah ketinggian 600 m dpl ditemukan jumlah spesies yang rendah yaitu sejumlah 69 spesies yang disebabkan lokasi kawasan yang relatif lebih mudah dijangkau oleh masyarakat. Pada wilayah hutan sub pegunungan yaitu pada ketinggian 900 sampai dengan 1.300 m dpl, jumlah spesies tertinggi ditemukan pada ketinggian 900 m dpl yaitu sejumlah 98 spesies. Jumlah spesies ini terus menurun seiring dengan penambahan ketinggian dan jumlah spesies terendah ditemukan pada ketinggian 1.300 m dpl yaitu sejumlah 74 spesies. Pada wilayah hutan pegunungan ketinggian 1.500 sampai dengan 2.100 m dpl, wilayah yang terdekat dengan pemukiman penduduk adalah pada ketinggian 1.500 m dpl dan di wilayah ini ditemukan jumlah spesies yang rendah, yaitu hanya sebanyak 80 spesies.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 500 600 700 800 900 1000 1100 1200 1300 1400 1500 1600 1700 1800 1900 2000 2100 2200 Ketinggian (m dpl) Jumlah spesies

Tabel 25 Jumlah Spesies pada berbagai tingkat pertumbuhan di TWA Ruteng Ketinggian Jumlah Jumlah Spesies menurut Tingkat Pertumbuhan

(m dpl) Spesies Pohon Tiang Pancang ATB

600 69 34 31 43 34 900 98 26 41 55 62 1000 91 42 41 60 50 1100 77 36 35 46 45 1200 79 24 26 48 48 1300 74 29 35 36 51 1500 80 17 28 48 30 1600 109 28 32 59 53 1700 83 31 34 57 47 1800 102 31 32 64 54 1900 79 25 35 51 39 2000 65 19 28 39 35 2100 44 7 13 19 33 Total 219 97 111 125 174

Jumlah spesies tertinggi ditemukan pada ketinggian 1600 m dpl sebanyak 109 spesies. Jumlah spesies pada ketinggian lebih dari 1.600 m dpl akan terus menurun seiring dengan makin bertambahnya ketinggian tempat. Namun pada ketinggian 1800 m dpl ditemukan lebih banyak spesies yaitu sejumlah 103 daripada 1700 m dpl sejumlah 83 spesies. Hal ini disebabkan pada wilayah ketinggian 1800 m dpl kondisi topografi relatif lebih rata sehingga menampung lebih banyak bahan organik dan ruang yang lebih lebar dan lebih banyak jumlah spesies yang dapat hidup di wilayah ini. Jumlah total spesies pada berbagai ketinggian disajikan pada Gambar 22.

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 500 600 700 800 900 1000 1100 1200 1300 1400 1500 1600 1700 1800 1900 2000 2100 2200 Ketinggian (m dpl) Jumlah Spesies

Gambar 23 Jumlah spesies pada berbagai ketinggian tingkat pohon di TWA Ruteng.

Pada tingkat pertumbuhan pohon, ditemukan sebanyak 97 spesies, dalam 71 genera dan 45 famili. Pada wilayah hutan dataran rendah ketinggian 600 m dpl ditemukan sebanyak 34 spesies. Pada wilayah hutan sub pegunungan ketinggian 900 sampai dengan 1500 m dpl jumlah spesies tertinggi ditemukan pada ketinggian 1.000 m dpl sebanyak 42 spesies dan jumlah ini terus menurun dengan makin bertambahnya ketinggian. Pada ketinggian 900 m dpl hanya ditemukan sebanyak 26 spesies). Pada wilayah hutan pegunungan ketinggian 1.500 sampai dengan 2.100 m dpl jumlah spesies tertinggi ditemukan pada ketinggian 1700 dan 1800 m dpl sebanyak 31 spesies dan terus menurun dengan bertambahnya ketinggian (Gambar 23).

Pada tingkat pertumbuhan tiang ditemukan sebanyak 111 spesies dalam 79 genera dan 47 famili. Pada wilayah hutan dataran rendah ketinggian 600 m dpl ditemukan sebanyak 31 spesies. Pada wilayah hutan sub pegunungan ketinggian 900 sampai dengan 1500 m dpl jumlah spesies tertinggi ditemukan pada ketinggian 900 dan 1.000 m dpl sebanyak 41 spesies dan jumlah ini terus menurun dengan makin bertambahnya ketinggian. Pada wilayah hutan pegunungan ketinggian 1.500 sampai dengan 2.100 m dpl jumlah spesies tertinggi ditemukan pada ketinggian 1900 sebanyak 35 spesies dan terendah pada ketinggian 2.100 m dpl sebanyak 13 spesies. Pada ketinggian 1.500 m dpl hanya ditemukan sebanyak 28 spesies (Gambar 24).

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 500 600 700 800 900 1000 1100 1200 1300 1400 1500 1600 1700 1800 1900 2000 2100 2200 Ketinggian (m dpl) Jumlah Spesies

Gambar 24 Jumlah spesies tingkat tiang pada berbagai ketinggian di TWA Ruteng.

Pada tingkat pertumbuhan pancang ditemukan sebanyak 125 spesies dalam 91 genera dan 50 famili. Pada wilayah hutan dataran rendah ketinggian 600 m dpl ditemukan sebanyak 43 spesies. Pada ketinggian 900 sampai dengan 1500 m dpl jumlah spesies tertinggi ditemukan pada ketinggian 1.000 m dpl sebanyak 60 spesies dan jumlah ini terus menurun dengan makin bertambahnya ketinggian. Pada ketinggian 900 m dpl hanya ditemukan sebanyak 55 spesies. Pada wilayah hutan pegunungan ketinggian 1.500 sampai dengan 2.100 m dpl jumlah spesies tertinggi ditemukan pada ketinggian 1800 sebanyak 64 spesies dan terus menurun dengan semakin bertambahnya ketinggian. Pada ketinggian 1.600 m dpl ditemukan sebanyak 59 spesies dan ketinggian 1.500 hanya ditemukan sebanyak 48 spesies (Gambar 25).

Gambar 25 Jumlah spesies tingkat pancang pada berbagai ketinggian di TWA Ruteng 0 10 20 30 40 50 60 70 500 600 700 800 900 1000 1100 1200 1300 1400 1500 1600 1700 1800 1900 2000 2100 2200 Ketinggian (m dpl) Jumlah Spesies

Pada anakan dan tumbuhan bawah ditemukan sebanyak 174 spesies dalam 139 genera dan 50 famili. Pada wilayah hutan dataran rendah ketinggian 600 m dpl ditemukan sebanyak 34 spesies. Jumlah ini tergolong rendah untuk jumlah spesies tingkat anakan karena diperhitungkan dengan jumlah tumbuhan bawah. Jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan di atasnya pada wilayah ini menandakan tidak adanya regenerasi spesies, pada masa yang akan datang akan didapati hutan dengan komposisi spesies yang tidak sama dengan kondisi saat ini.

Pada wilayah hutan sub pegunungan ketinggian 900 sampai dengan 1500 m dpl jumlah spesies tertinggi ditemukan pada ketinggian 900 m dpl sebanyak 62 spesies dan terendah pada ketinggian 1.100 m dpl sebanyak 45 spesies. Pada ketinggian 900 m dpl, wilayah yang lebih dekat dengan pemukiman masyarakat ditemukan lebih banyak anakan dan tumbuhan bawah disebabkan wilayah hutan yang lebih terbuka dibandingkan dengan wilayah lain di sub pegunungan.

Pada wilayah hutan pegunungan ketinggian 1.500 sampai dengan 2.100 m dpl jumlah spesies tertinggi ditemukan pada ketinggian 1800 m dpl sebanyak 54 spesies dan terus menurun dengan bertambahnya ketinggian. Pada ketinggian 1600 m dpl ditemukan sebanyak 53 spesies. Pada ketinggian 1.500 m dpl hanya ditemukan sebanyak 30 spesies, lebih rendah daripada tingkat pertumbuhan pancang sebanyak 48 spesies (Gambar 26).

.

Gambar 26 Jumlah spesies anakan dan tumbuhan bawah pada berbagai ketinggian di TWA Ruteng

0 10 20 30 40 50 60 70 500 600 700 800 900 1000 1100 1200 1300 1400 1500 1600 1700 1800 1900 2000 2100 2200 Ketinggian (m dpl) Jumlah Spesies

Kerapatan. Kerapatan menyatakan jumlah individu suatu spesies di dalam suatu unit areal/ruang. Nilai kerapatan ditentukan oleh perhitungan aktual terhadap jumlah batang. Tingkat kerapatan suatu spesies dalam komunitas menentukan struktur komunitas yang bersangkutan.

Pada wilayah hutan dataran rendah ketinggian 600 m dpl kerapatan pohon sebesar 200 batang/hektar. Pada wilayah sub pegunungan kerapatan teritinggi pada ketinggian 1.100 m dpl dengan kerapatan sebesar 240 batang/hektar. Kerapatan terendah adalah pada ketinggian 900 m dpl sebesar 115 batang/hektar. Pada wilayah pegunungan yang memiliki kerapatan pohon tertinggi adalah pada ketinggian 1.700 m dpl sebanyak 222,5 batang/hektar dan pada ketinggian 1.800 sampai dengan 2.000 m dpl kerapatan pohon lebih dari 200 batang/hektar. Kerapatan pohon terendah pada wilayah pegunungan adalah pada ketinggian

Dokumen terkait