• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.3.1 Member CheckPartisipan 1

Member check pada partisipan 1 dilaksanakan pada tanggal 18 April dan 09 Juni 2016 yaitu di dalam ruangan kepala sekolah TK Purwanida I. Peneliti menunjukkan hasil wawancara dengan partisipan, partisipan setuju dengan hasil wawancara yang sudah ditunjukkan tersebut, karena menurut partisipan hasil wawancara sudah sesuai dengan apa yang ditanyakan oleh peneliti.

4.3.2Member CheckPartisipan 2

Member check pada partisipan 2 dilaksanakan pada tanggal 18 April dan 03 Juni 2016 yaitu di dalam ruangan kepala sekolah TK Purwanida. Peneliti menunjukkan hasil wawancara dengan partisipan, partisipan setuju dengan hasil wawancara yang sudah ditunjukkan tersebut. Tidak ada hasil hasil wawancara yang dikoreksi oleh partisipan.

4.3.3Member Check Partisipan 3

Member check pada partisipan 3 dilaksanakan pada tanggal 19 April dan 09 Juni 2016 yaitu di dalam ruangan kepala sekolah TK Purwanida. Peneliti menunjukkan hasil wawancara dengan partisipan, partisipan setuju dengan hasil wawancara yang sudah ditunjukkan tersebut

4.3.4Member Check Partisipan 4

Member check pada partisipan 4 dilaksanakan pada tanggal 19 April dan 10 Juni 2016 yaitu di dalam ruangan kepala sekolah TK Purwanida I. Peneliti menunjukkan hasil wawancara sebelumnya kepada partisipan agar dapat dikoreksi bila terdapat jawaban yang salah atau keliru menurut partisipan. Partisipan menyetujui hasil wawancara dan tidak ada yang dikoreksi oleh partisipan dari hasil wawancara.

4.3.5Member Check Partisipan 5

Member check pada partisipan 5 dilaksanakan pada tanggal 20 April dan 11 Juni 2016 yaitu d i dalam ruangan kepala sekolah TK Purwanida I. Peneliti menunjukkan hasil wawancara sebelumnya kepada partisipan agar dapat dikoreksi bila terdapat jawaban yang salah atau keliru menurut partisipan. Menurut partisipan jawaban yang diberikan sudah sesuai dan partisipan menyetujui hasil wawancaranya. Tidak ada hasil wawancara yang dikoreksi ataupun ditambahkan lagi oleh partisipan

4.4 Pembahasan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketepatan ibu menangani demam pada anak di TK Purwanida I Kelurahan Dukuh, Kecamatan Sidomukti, Salatiga. Dari hasil analisa dapat diketahui bahwa terdapat beberapa perbedaan penanganan yang diberikan oleh para ibu untuk menangani anak mereka yang sedang demam.

Dari segi penanganan pertama, kelima partisipan memberikan penanganan berupa pengecekan suhu ketika anak demam. Hal tersebut bertujuan untuk memastikan keadaan suhu anak. Setelah mereka mendapatkan hasil dan hasil tersebut menunjukkan bahwa anak memang benar-benar demam, maka penanganan selanjutnya yang diberikan yaitu mengusahakan agar anak dapat beristirahat. Kelima partisipan memberikan istirahat untuk anak yaitu berupa tidur siang selama 1-2 jam. Kelima partisipan tersebut mengupayakan agar anak beristirahat dengan cukup supaya anak tidak terlalu banyak bermain (beraktivitas) yang dapat menjadikan anak mereka kelelahan. Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Ismoedijanto (2000), tindakan umum penurunan demam adalah diusahakan agar anak tidur atau istirahat agar metabolismenya menurun. Metabolisme adalah perubahan kimiawi yang terjadi dalam tubuh untuk pelaksanaan berbagai fungsi vitalnya.

Metabolisme erat kaitannya dengan produksi panas tubuh. Karena 25% energi dalam makanan digunakan untuk melakukan kerja biologis, dan sisanya diubah menjadi panas, Syaifuddin (2009). Berdasarkan teori yang ditelaah oleh peneliti, penanganan berupa tidur siang yang diberikan oleh kelima partisipan merupakan suatu tindakan yang tepat untuk dilakukan ketika menangani anak yang sedang demam. Penanganan tersebut sudah sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh para ahli seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.

Selain memberikan penanganan dengan istirahat, tiga dari lima orang partisipan yaitu P1, P2, dan P5 juga memberikan penanganan demam lainnya yang baik dan tepat untuk anak. Penanganan tersebut yaitu pemberian kompres dengan menggunakan air hangat suam-suam kuku. Berdasarkan teori Kaneshiro & Zieve (2010), air hangat bisa membuat pembuluh darah tepi di kulit melebar yang selanjutnya membuat pori-pori terbuka. Keadaan tersebut berarti dapat memudahkan pengeluaran panas dari tubuh. Teori ini juga didukung oleh beberapa hasil penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya mengenai efektivitas kompres air hangat. Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Permatasari (2013) yang meneliti tentang “Perbedaan Efektivitas Kompres

Air Hangat dan Kompres Air Biasa Terhadap Penurunan Suhu Tubuh Pada Anak dengan Demam di RSUD Tugurejo, Semarang”. Jenis penelitian yang dipakai pada penelitian ini adalah rancangan penelitian eksperimental. Sampel dalam penelitian ini adalah anak yang berusia 1-5 tahun yang mengalami demam. Kompres pada penelitian ini menggunakan air hangat (34-37oC) dan air biasa (18-28oC), dilakukan di lokasi dahi dan axilla selama 20 menit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan efektivitas antara kompres air hangat dan air biasa terhadap penurunan suhu tubuh anak dengan demam. Dari nilai mean dapat disimpulkan bahwa kompres hangat lebih efektif menurunkan demam anak dibandingkan dengan kompres air biasa. Dibuktikan dengan nilai mean 25,09 > nilai mean kompres air biasa 9,91. Selanjutnya, hasil penelitian yang dilakukan oleh Purwanti (2008) yang meneliti tentang “Pengaruh Kompres Hangat terhadap Perubahan Suhu Tubuh Pada Pasien Anak Hipertermia di Ruang Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Sukoharjo.” Jenis penelitian ini adalah quasi eksperiment. Hasil penelitian menunjukan bahwa tindakan kompres hangat efektif dalam penurunan suhu tubuh pada anak dengan hipertermia di Ruang Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi.

Berdasarkan teori dan hasil penelitian yang peneliti telaah, pemberian kompres dengan menggunakan air hangat ini merupakan tindakan yang tepat karena sesuai dengan teori dan didukung oleh hasil penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya. Selain tindakan yang tepat tersebut, mereka juga memiliki alasan yang tepat mengapa mereka menggunakan kompres air hangat untuk mengompres anak saat demam. Pemberian kompres dengan menggunakan air hangat tersebut mereka lakukan karena kompres hangat terbukti dapat menurunkan demam anak kemudian mereka juga khawatir anak akan semakin menggigil jika mereka menggunakan kompres air dingin untuk mengompres anak.

Penanganan selanjutnya yang diberikan oleh P1, P2, dan P5 adalah pemberian tambahan air mineral yang cukup untuk anak, yaitu 4-5 gelas/hari. Pemberian air mineral tersebut bertujuan untuk mencegah terjadinya dehidrasi. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2013) merekomendasikan angka kecukupan air untuk orang Indonesia. Dikatakan bahwa anak usia 0,5-1 tahun kebutuhan airnya 800 mililiter, usia 1-3 tahun sebanyak 1.200 mililiter, usia 4-6 tahun sebanyak 1.500 mililiter dan usia 7-9 tahun sebanyak 1.900 mililiter. Menurut Sudung (2004) banyaknya air yang dibutuhkan tubuh setiap hari bergantung pada makanan yang dikonsumsi, suhu,

kelembapan lingkungan, tingkat aktivitas dan kondisi tubuh. Semakin banyak aktivitas seseorang, maka semakin banyak pula kebutuhan air minumnya. Begitu pula dengan kondisi tubuh, saat sedang demam, maka kebutuhan cairannya juga akan meningkat. Jumlah air yang dikeluarkan harus seimbang dengan jumlah pemasukan. Anak usia 4-6 tahun membutuhkan sekitar 1,4 liter/hari atau sama dengan 6 gelas/hari. Menurut Sudung, takaran kebutuhan air ini bukan standar tetap dan bisa disesuaikan dengan kondisi anak setiap harinya. Jika anak sakit atau anak banyak beraktivitas, maka asupan air tersebut harus ditambahkan. Berdasarkan teori yang peneliti telaah, maka dapat disimpulkan bahwa penanganan demam yang dilakukan oleh tiga orang partisipan tersebut diatas sudah tepat karena sesuai dengan teori yang sudah dijelaskan sebelumnya. Selain itu, alasan yang mereka ungkapkan mengenai pentingnya mencukupi kebutuhan cairan anak juga tepat. Mereka khawatir jika anak akan mengalami dehidrasi jika anak hanya mau minum sedikit air. Untuk itulah mereka tetap berusaha untuk membujuk anak agar mau minum air putih.

Kemudian, selain melakukan penanganan dengan memberikan tambahan air mineral, P1, P2 dan P5 juga memberikan penanganan dengan penggunaan selimut. Ketiga partisipan menggunakan selimut atau pakaian yang tidak

terlalu tebal untuk menghindari pengeluaran keringat berlebih. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh para ahli yaitu mengenai penggunaan selimut untuk anak. Menurut Kaneshiro & Zieve (2010), dikatakan bahwa pemakai satu lapis pakaian dan satu lapis selimut sudah dapat memberikan rasa nyaman kepada penderita. Hal ini bertujuan untuk mencegah panas berlebih (overheating). Menurut peneliti, penggunaan selimut yang cukup (tidak terlalu tebal) merupakan tindakan penanganan demam yang tepat untuk diberikan pada anak ketika demam. Tindakan ini dilakukan oleh ketiga partisipan tersebut dengan tujuan yaitu untuk menghindari terjadinya dehidrasi pada anak, dan hal ini juga telah didukung oleh pendapat para ahli seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.

Selanjutnya, dari segi penggunaan obat penurun panas, semua partisipan menggunakan obat paracetamol. Tiga partisipan yaitu P1, P2 dan P5 mengatakan jumlah dosis obat paracetamol yang bisa diberikan untuk anak usia 4-6 tahun adalah 125-200 mg. Menurut ketiga partisipan tersebut, obat penurun panas tidak perlu diberikan jika suhu anak dibawah 38,3°C, tetapi jika sebelumnya anak memiliki riwayat kejang demam, maka obat penurun panas perlu diberikan. Pertimbangan oleh ketiga partisipan tersebut adalah untuk

mencegah atau menghindari kembuhnya kejang. Hasil penelitian ini didukung oleh teori Soetjatmiko (2005) obat antipiretik tidak diberikan jika suhu dibawah 38,3°C kecuali ada riwayat kejang demam. Menurut Puspanjono (2015) terapi non-farmakologi baik dilakukan sebagai tindakan awal penanganan demam sebelum menggunakan obat-obatan untuk menurunkan demam. Pemberian obat penurun panas umumnya akan diberikan jika sudah ditemukan secara pasti apa penyebab demam pada anak. Dengan berpatokan pada teori-teori tersebut, maka peneliti menyimpulkan bahwa penanganan yang diberikan oleh P1, P2 dan P5 sudah tepat karena sudah sesuai dengan teori yang sudah dijelaskan sebelumnya.

Sementara itu, penanganan demam yang diberikan oleh dua partisipan lainnya yaitu P3 dan P4, mereka melakukan beberapa penanganan yang kurang tepat. Penanganan yang diberikan tersebut antara lain memberikan kompres dengan menggunakan air dingin untuk mengompres anak. Hasil penelitian Tri Redjeki (2002), di Rumah Sakit Umum Tidar Magelang yang mengemukakan bahwa kompres hangat lebih banyak menurunkan panas dibandingkan dengan kompres air dingin, karena dengan kompres air dingin akan menyebabkan terjadinya vasokontriksi pembuluh darah, sehingga anak jadi menggigil. Menurut peneliti, penanganan yang diberikan oleh

dua partisipan tersebut kurang tepat, karena seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa kompres air hangatlah yang dapat menurunkan demam pada anak, sedangkan kompres air dingin hanya dapat membuat anak semakin menggigil. Sebenarnya kedua partisipan tersebut sudah mengetahui dampak dari penggunaan kompres air dingin tersebut yaitu dapat menjadikan anak menggigil, tetapi mereka tetap menggunakan kompres air dingin tersebut karena menurut mereka lebih praktis dan tidak merepotkan.

Selain penanganan dengan kompres air dingin, P3 dan P4 juga mengatakan bahwa anak hanya minum sedikit air mineral dikarenakan anak yang rewel. Ibu juga mengatakan bahwa ibu menggunakan selimut yang tebal karena menurut kedua partisipan anak mereka menggigil sehingga mereka memberikan selimut atau pakaian yang tebal untuk anaknya. Dua dari tiga orang partisipan ternyata tidak mengerti bahwa jika anak demam, anak tidak boleh diselimuti dengan selimut tebal. Menurut ibu anak yang demam biasanya disertai dengan menggigil sehingga membuat ibu khawatir apabila anak kedinginan. Menurut Potter dan Perry (2005), pemberian aliran udara yang baik, dan mengeluarkan hawa panas ketempat lain juga akan membantu menurunkan suhu tubuh. Membuka pakaian atau selimut yang tebal juga akan bermanfaat karena

akan mendukung terjadianya evaporasi atau penguapan. Menurut peneliti, penanganan demam yang diberikan oleh P3 dan P4 kurang tepat, hal ini dikarenakan ibu yang malas membujuk anaknya agar mau minum air yang cukup untuk mencegah terjadinya dehidrasi. Kemudian salahnya pengertian mengenai penggunaan selimut yang tebal. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa selimut tebal hanya akan mempersulit pengeluaran panas dari dalam tubuh, dan juga menjadikan anak banyak mengeluarkan keringat, padahal dikatakan sebelumnya bahwa anak kedua partisipan ini hanya mau minum sedikit air. Sehingga dikhawatirkan anak mereka menjadi kekurangan cairan atau mengalami dehidrasi.

Kemudian, dari segi penggunaan obat penurun panas. Berbeda dengan tiga partisipan sebelumnya, kedua partisipan lainnya yaitu P3 dan P4 mengatakan mereka tidak mengetahui berapa jumlah dosis obat paracetamol yang bisa diberikan untuk anak usia 4-6 tahun. Menurut kedua partisipan obat penurun panas tidak perlu diberikan jika suhu anak dibawah 38,8oC dan sebelumnya anak memiliki riwayat kejang demam.

Selanjutnya, dari segi pertimbangan dan pemanfaatan pusat pelayanan kesehatan, kelima partisipan mengatakan akan mengajak anaknya untuk pergi berobat ke tenaga medis apabila demam anak naik turun tidak tentu selama 2-3 hari

atau suhu diatas 40oC dan mengalami kejang. Menurut teori yang diungkapkan oleh Purwoko (2005) demam yang tidak terlalu tinggi biasanya tidak berbahaya, tetapi suhu tubuh diatas 40oC bisa berbahaya, terutama pada bayi dan anak kecil. Menurut keterangan tiga partisipan yaitu P1, P2 dan P5, mereka memanfaatkan pusat pelayanan kesehatan untuk berobat dengan melihat dan mempertimbangkan lagi kondisi demam yang dialami oleh anak seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan menurut keterangan dua partisipan lainnya yaitu P3 dan P4, mereka lebih sering merawat anak dirumah dibandingkan mengajak anak berobat ke tenaga medis. Menurut analisa yang didapatkan oleh peneliti, hal ini mereka lakukan karena tempat tinggal mereka yang cukup jauh dengan Pusat Pelayanan Kesehatan tersebut, sehingga hal inilah yang menjadi alasan mengapa mereka akhirnya lebih sering merawat anaknya dirumah dibandingkan dengan mengajak anak berobat ke tenaga medis.

Dokumen terkait