• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tabel 7. Komposisi Jumlah Penduduk Berdasarkan Suku atau Keaslian Penduduk di Kampung Weriagar dan Mogotira tahun 2005.

No. Matapencaharian Weriagar Mogotira Jumlah Jiwa Persentase (%) Jumlah Jiwa Persentase (%) 1. Penduduk Asli 633 88,53 463 87,36 2. Papua 13 1,82 29 5,47 3. Non Papua 69 9,65 38 7,17 Total 715 100,00 530 100,00

Sumber : Laporan Penelitian Unipa, 2005

Tabel 7 menujukan bahwa sebagian besar penduduk di kedua kampung penelitian adalah penduduk setempat atau penduduk asli, menyusul penduduk pendatang non Papua dan penduduk pendatang asal Papua. Penduduk pendatang non papua pada umumnya berasal dari suku Bugis, Makasar, Seram, Buton, Sunda dan Tanimbar. Mereka ini tinggal dan menempati kedua kampung ini karena bermatapencaharian sebagai pedagang dengan pekerjaan sampingan sebagai nelayan. Sedangkan suku asal Papua adalah suku Maybrat, Kokoda, Raja Ampat. Mereka umumnya datang sebagai tukang buruh bangunan bahkan tinggal dan menetap karena ada perkawinan campur dengan penduduk asli setempat.

4.3. Keadaan Sosial Ekonomi.

Keadaan sosial ekonomi meliputi keadaan pendidikan, kesehatan, keagamaan, perumahan, perekonomian.

4.3.1. Keadaan Pendidikan

Kemampuan masyarakat untuk mengelola sumberdaya manusia dan sumberdaya alam sangat ditentukan oleh tingkat pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya. Pengetahuan dan pengalaman tersebut diperoleh melalui pendidikan formal dan non formal serta informal yang diperoleh semasa hidupnya.

Keadaan pendidikan di kedua kampung cukup memperihatinkan. Fasilitas pendidikan pada kedua kampung ini sangat minim karena hanya tersedia gedung sekolah SD. Fasilitas SD hanya berada di kampung Mogotira sedangkan kampung Weriagar tidak memiliki fasilitas gedung sekolah SD. Karena jarak kedua kampung yang berdekatan maka sebagian besar murid kampung Weriagar bersekolah pada fasilitas SD yang berada di kampung Mogotira. SD di kampung Mogotira memiliki enam ruangan kelas dan tiga guru tetap yang menangani 195 siswa dan siswi, yang artinya perbandingan guru terhadap murid adalah 1 : 65 dan masing-masing guru harus mengajar pada dua kelas. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa beban mengajar guru cukup besar yang dapat menyebabkan proses belajar mengajar kurang efektif dan efisien. Hal ini secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi mutu pendidikan yang cenderung rendah dan memperihatinkan di ke dua daerah tersebut. Keadaan ini lebih didukung lagi oleh rendahnya kesadaran anak untuk bersekolah. Demikian juga kesadaran orang tua untuk menyekolahkan anaknya juga rendah.

4.3.2. Keadaan Kesehatan

Produktivitas kerja seseorang turut ditentukan oleh tingkat kesehatannya. Karena pentingnya faktor kesehatan ini, perlu diperhitungkan secara baik dalam setiap program pembangunan.

Fasilitas kesehatan pada kedua daerah penelitian ini sangat terbatas. Kampung Mogotira dan Kampung Weriagar masing-masing memiliki satu puskesmas pembantu (Pustu) dan satu posyandu di kampung Weriagar. Fasilitas tenaga medis di kedua kampung ini sangat minim, dimana tidak memiliki dokter tetapi hanya memiliki satu mantri yang bertugas pada puskesmas pembantu di

kedua kampung tersebut. Mantri ini dibantu oleh lima dukun beranak yang berada di kampung Weriagar. Penyakit yang umumnya diderita oleh masyarakat di kedua kampung ini adalah Malaria dan Diare. Hal ini didukung oleh kondisi sanitasi yang kurang baik sehingga mempermudah hidupnya larva nyamuk malaria dan bakteri diare.

4.3.3. Keadaan Keagamaan.

Ketersediaan fasilitas keagamaan yang tersedia untuk agama masing-masing kampung cukup memenuhi kebutuhan minimal umat beragama. Fasilitas agama yang tersedia di kampung Weriagar adalah satu buah mesjid yaitu mesjid Al Gasar bagi umat Muslim. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan adalah perkumpulan remaja mesjid dan juga pengajian. Sedangkan bagi umat katolik di kampung Weriagar, biasanya melakukan ibadah pada sebuah gereja di kampung Mogotira. Kegiatan yang dilakukan adalah kegiatan mudika dan sekolah minggu. Walaupun masyarakat di kedua kampung ini berbeda agama, tetapi rasa toleransi antara umat beragama sangat tinggi. Hal ini ditunjukan dengan adanya kerjasama antara umat Muslim dan Katolik atau Kristen pada saat merayakan hari raya Idul Fitri maupun Natal.

4.3.4. Keadaan Perumahan

Keadaan perumahan yang meliputi bentuk rumah, luas rumah, fasilitas air, kamar mandi/WC dan penerangan merupakan indikator tingkat kesehatan masyarakat sekaligus menggambarkan taraf hidup masyarakat yang bersangkutan.

Keadaan perumahan di kedua kampung penelitian hampir sama atau tidak ada perbedaan yang menyolok. Semua rumah di kedua kampung berbentuk non permanen, yaitu rumah panggung yang berlantai kayu, berdinding kayu atau

papan dan beratap seng atau beratap daun sagu. Luas rumah relatif sama dengan rata-rata ukuran 6 x 7 m, semua rumah dibuat panggung karena kondisi tanah yang berawa bahkan bisa digenangi air setinggi 0,5 m – 1 m jika berair pasang.

Air yang digunakan masyarakat di daerah penelitian atau kawasan utara teluk Bintuni umumnya berwarna coklat kekuning-kuningan. Sumber air diperoleh dari sungai Weriagar atau biasanya mereka mengambil dari pinggiran rumah mereka jika terjadi air pasang. Air ini digunakan untuk berbagai keperluan MCK (mandi, cuci, kakus), sedangkan air minum masyarakat menggunakan air tadah hujan yang ditampung pada tong-tong penampungan air minum. Kondisi ini membuat masyarakat di kedua kampung sangat memerlukan air bersih untuk kesehatan. Sedangkan fasilitas penerangan untuk menerangi rumah mereka umumnya menggunakan lampu listrik yang bersumber dari mesin genset, lampu petromaks dan pelita.

4.3.5. Keadaan Perkonomian

Aktivitas sehari-hari turut ditentukan oleh tersedianya kebutuhan fisiologis penduduk, terutama sandang, pangan dan papan. Kebutuhan sandang penduduk di kedua kampung dipenuhi dari luar kampung mereka. Kebutuhan papan apa adanya, juga disediakan mereka sendiri dengan bahan atau alat dari luar dan bahan lokal. Ketersediaan kebutuhan ekonomi ini sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan program pembangunan kampung, karena itu, pelaksana pembangunan kampung senantiasa memperhatikan ketersediaan kebutuhan pokok ini, dengan harga yang wajar dan dapat dijangkau oleh masyarakat setempat.

Rata-rata pendapatan masyarakat per bulan di kedua kampung terutama yang bermata pencaharian sebagai karyawan perusahaan BP atau nelayan udang cukup besar lebih dari Rp. 2.000.000,- per bulan, tatapi jumlah ini tidak dapat mencukupi kebutuhan pokok mereka setiap bulannya. Hal ini disebabkan oleh harga barang kebutuhan pokok yang meningkat dua kali lipat dari harga biasanya di kota kabupaten Teluk Bintuni atau Manokwari. Pedagang beralasan bahwa harga barang meningkat disebabkan biaya transportasi yang cukup besar karena barang-barang dagangan tersebut di beli dari kota kabupaten yang jaraknya kurang lebih 60 mil dengan menggunakan kapal kayu atau motor jonson dengan resiko kerugian yang cukup berat jika pengiriman barangnya pada saat musim ombak atau angin selatan.

Fasilitas ekonomi di kedua kampungpun masih minim. Belum adanya fasilitas pasar untuk masyarakat setempat melakukan transaksi jual beli. Yang tersedia hanya kios-kios berukuran kecil atau sedang. Di kampung Weriagar hanya tersedia satu kios, sedangkan di kampung Mogotira terdapat tiga kios. Kios-kios ini umumnya dimiliki oleh masyakat pendatang non Papua.

Dokumen terkait