• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN

1.5 Keaslian Penelitian

Terkait keaslian penelitian, sejauh ini dari beberapa penelitian yang variabel ataupun objek searah dengan penelitian yang dilakukan terkait gambaran penelitian sebelumnya dapat digambarkan pada table 1.2 berikut.

No Peneliti Variabel Alat

Diskriptif Belanja Daerah terhadap Transfer Tidak Bersyarat (TTB) lebih besar daripada terhadap Pendapatan Asli Daerah.

Kondisi tersebut

mengindikasikan adanya Ilusi Fiskal hipotesis Flypaper Effect pada keuangan Kabupaten/Kota Pendapatan Asli Daerah dan meningkatkan anggaran belanja PAD dan menyebabkan ilusi fiscal atau flypaper effect pada belanja daerah di Provinsi DIY

Retribusi Daerah

Penelitian yang berjudul “ANALISIS DETEKSI ILUSI FISKAL SELURUH PROVINSI DI PULAU SULAWESI PADA TAHUN 2010-2017”melakukan modifikasi penelitian sebelumnya yaitu menggabungkan penelitian Suliawan, Astutik, dan Varika yang nantinya akan membahas ilusi fiskal. Dilhat dari variabel Belanja Daerah, Pajak, Retribusi, DAU, dan juga DBH di seluruh provinsi yang ada di Pulau Sulawesi. Sedangkan penelitian sebelumnya ruang lingkup yang digunakan hanya satu provinsi maupun beberapa kota saja dan juga menggunakan tahun yang berbeda.

Lanjutan Tabel Halaman 7

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah)

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana keuangan pemerintah daerah di Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. APBD ditetapkan dengan Peraturan Daerah.(idTesis, 2007) Tahun Anggaran APBD meliputi masa satu tahun, mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah terdiri dari :

a. Pendapatan Asli Daerah (PAD) meliputi pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah, dan penerimaan lain-lain.

b. Bagian dana perimbangan meliputi dana bagi hasil, dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK) Lain-lain pendapatan yang sah seperti dana hibah atau dana darurat.

c. Anggaran belanja yaitu anggaran yang digunakan untuk membiayai keperluan penyelenggaraan tugas pemerintah daerah.

d. Pembiayaan yaitu setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya.

Sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 yang diubah terakhir kali dengan Peraturan menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 ada enam fungsi APBD yang wajib diterapkan dalam setiap penyusunan APBD yaitu:

2.1.1 Fungsi Otorisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Anggaran daerah menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan. Otorisasi sendiri mempunyai makna “pemberian kekuasaan”, hal ini jika dikaitkan dengan APBD, seseorang atau satuan kerja diberi

yang telah dianggarkan dalam APBD. Bagi SKPD yang mengaggarkan pendapatan dan telah ditampung dalam APBD, sudah seharusnya mengupayakan seoptimal mungkin untuk merealisasikan pendapatan yang menjadi tanggung jawab SKPD tersebut.

2.1.2 Fungsi Perencanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Anggaran daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam merancanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan. Melaksanakan suatu kegiatan apabila sejak awal telah direncanakan maka diharapkan akan meminimalkan hambatan dan bias ditengah perjalanan pelaksanaannya. Ketika APBD telah ditetapkan, menjadi kewajiban setiap penggunan anggaran untuk membuat anggaran kas agar kegiatan yang telah dianggarakan dalam APBD dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah dibuat.

2.1.3 Fungsi Pengawasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Anggaran daerah menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

Dokumen perda tentang APBD memuat program dan kegiatan yang akan dilaksanakan dalam satu tahun anggaran. Terhadap program dan kegiatan yang dianggarkan dalam APBD tersebut merupakan implementasi dan pelaksanaan atas urusan pemerintahan yang telah diserahkan dari pusat kepada daerah baik itu urusan wajib maupun urusan pilihan.

2.1.4 Fungsi Alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Anggaran daerah harus diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja/mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian. Seyogyanya, ketika menyusun program dan kegiatan yang akan dianggarkan dalam APBD supaya lebih ditekankan pada kegiatan-kegiatan yang dapat menyerap tenaga kerja, sehingga pada akhirnya secara signifikan akan mengurangi pengangguran di daerah yang bersangkutan.

2.1.5 Fungsi Distribusi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Kebijakan anggaran daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

Dalam kaitan ini, sering terdengar istilah yang dilontarkan para pakar maupun orang awam bahwa APBD adalah ‘uang rakyat’. Jika APBD adalah benar ‘uang rakyat’, sudah seharusnya digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan seluruh masyarakat di daerah yang bersangkutan.

2.1.6 Fungsi Stabilisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Anggaran pemerintah daerah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian daerah. Dengan fungsi stabilisasi ini, APBD sejatinya dapat digunakan untuk menciptakan stabilitas ekonomi pada tingkat lokal. Pengimplementasian fungsi stabilisasi dapat melalui kebijakan pengalokasian belanja subsidi dalam APBD. Alokasi anggaran belanja subsidi diberikan kepada lembaga/perusahaan yang memproduksi barang/jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat setempat. Subsidi ini pada dasarnya diberikan untuk bantuan biaya produksi pada lembaga/perusahaan.

2.2 Pendapatan Asli Daerah

Pendapatan Asli Daerah (PAD) menurut Halim (2001) adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Bratakusumah dan Solihin (2002) pengertian PAD adalah pendapatan yang berasal dari dalam daerah yang bersangkutan guna membiayai kegiatan - kegiatan daerah tersebut. Dalam kenyataannya PAD terdiri dari empat jenis pendapatan, yaitu pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah.

2.3 Dana Perimbangan

Berdasarkan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, “Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi”.

Dana Perimbangan bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah dan antar Pemerintah Daerah. Dana perimbangan terdiri dari :

2.3.1 Dana Bagi Hasil

Menurut Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah (2005:108) “Dana bagi hasil adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka presentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi”. Dana bagi hasil ini bersumber dari pajak dan kekayaan daerah. Dimana menurut Pasal 11 ayat 1 UU No. 33 Tahun 2004, Dana Bagi Hasil yang berasal dari pajak terdiri dari : “1) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), 2) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), 3) Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21”.

Sedangkan pada pasal 11 ayat 2 Undang-Undang No. 33 Tahun 2004, Dana Bagi Hasil yang berasal dari sumber daya alam terdiri dari “1) kehutanan, 2) pertambangan umum, 3) perikanan, 4) pertambangan minyak bumi, 5) pertambangan gas bumi, 6) pertambangan panas bumi ”. Proporsi Dana Bagi Hasil menurut UU No.

33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah adalah sebagai berikut:

1) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Dana Bagi Hasil dari penerimaan PBB sebesar 90% untuk daerah meliputi 16,2% untuk daerah Provinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Provinsi, 64,8% untuk daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Kabupaten/Kota, dan 9% untuk biaya pemungutan.

Sedangkan 10% bagian Pemerintah dari penerimaan PBB dibagikan kepada seluruh daerah Kabupaten dan Kota yang didasarkan atas realisasi penerimaan PBB tahun anggaran berjalan dengan imbangan sebesar 65% dibagikan secara merata kepada seluruh daerah Kabupaten dan Kota, dan sebesar 35% dibagikan

sebagai intensif kepada daerah Kabupaten dan Kota yang realisasi tahun sebelumnya mencapai/melampaui rencana penerimaan sektor tertentu.

2) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTP)

Dana Bagi Hasil dari penerimaan BPHTP sebesar 80% dengan rincian 16%

untuk daerah Provinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Provinsi, dan 64% untuk daerah Kabupaten dan Kota penghasil dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Kabupaten/Kota. Sedangkan 20%

bagian Pemerintah dari penerimaan BPHTP dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh Kabupaten dan Kota.

3) Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29

Dana Bagi Hasil dari penerimaan PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 merupakan bagian daerah adalah sebesar 20% yang dibagi antara Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Dimana 60% untuk Kabupaten/Kota dan 40% untuk Provinsi.

4) Kehutanan

Penerimaan dari sektor Kehutanan yang berasal dari penerimaan Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan dibagi dengan imbangan 20%

untuk Pemerintah dan 60% untuk daerah. Sedangkan penerimaan yang berasal dari Dana Reboisasi dibagi dengan imbangan sebesar 60% untuk Pemerintah dan 40% untuk daerah.

5) Pertambangan Umum

Dana Bagi Hasil dari penerimaan Pertambangan Umum yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan dibagi dengan imbangan 20% untuk Pemerintah dan 80% untuk daerah.

6) Perikanan

Dana Bagi Hasil dari penerimaan perikanan yang diterima secara nasional dibagi dengan imbangan 20% untuk Pemerintah dan 80% untuk seluruh

7) Pertambangan Minyak Bumi

Penerimaan pertambangan minyak bumi yang dibagikan ke daerah adalah penerimaan negara dari sumber daya alam pertambangan minyak bumi dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya dengan imbangan 84,5% untu Pemerintah dan 15,5% untuk daerah. Dana bagi hasil dari pertambangan minyak bumi untuk daerah sebesar 15% dibagi dengan imbangan 3% dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan, 6% dibagikan untuk Kabupaten/Kota penghasil, dan 6% dibagikan untuk Kabupaten/Kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.

Sedangkan sisa dana bagi hasil dari pertambangan minyak bumi untuk daerah yang sebesar 0,5% dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar, dimana 0,1% dibagikan untuk Provinsi yang bersangkutan, 0,2% dibagikan untuk Kabupaten/Kota penghasil, 0,2% dibagikan untuk Kabupaten/Kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan

8) Pertambangan Gas Bumi

Penerimaan pertambangan minyak bumi yang dibagikan ke daerah adalah penerimaan negara dari sumber daya alam pertambangan minyak bumi dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya dibagi dengan imbangan 69,5% untuk Pemerintah dan 30,5%

untuk daerah.

Dana bagi hasil dari pertambangan gas bumi untuk daerah sebesar 30% dibagi dengan imbangan 6% dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan, 12%

dibagikan untuk Kabupaten/Kota penghasil, dan 12% dibagikan untuk Kabupaten/Kota dalam provinsi bersangkutan.

Sedangkan sisa dana bagi hasil dari pertambangan gas bumi untuk daerah yang sebesar 0,5% dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar, dimana 0,1% dibagikan untuk Provinsi yang bersangkutan, 0,2% dibagikan untuk Kabupaten/Kota penghasil, 0,2% dibagikan untuk Kabupaten/Kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan

9) Pertambangan Panas Bumi

Pertambangan panas bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan yang merupakan penerimaan negara bukan pajak, dibagi dengan imbangan 20% untuk Pemerintah dan 80% untuk daerah.

Dana bagi hasil dari penerimaan pertambangan panas bumi yang dibagikan kepada daerah dibagi dengan imbangan 16% untuk Provinsi yang bersangkutan, 32% untuk Kabupaten/Kota penghasil, dan 32% untuk Kabupaten/Kota lainnya dalam Provinsi yang bersangkutan.

2.3.2 Dana Alokasi Umum

Menurut Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah (2005) “Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi”

Dana Alokasi Umum merupakan komponen terbesar dalam dana perimbangan dan peranannya sangat strategis dalam menciptakan pemerataan dan keadilan antar daerah. Sony Yuwono, Dwi Cahyono Utomo, Suheiry Zein, dan Azrafiany A.R (2008) Dana Alokasi Umum digunakan untuk mengurangi ketimpangan dalam kebutuhan pembiayaan dan penguasaan pajak antara pusat dan daerah, proporsi yang diberikan kepada daerah minimal sebesar 26% (dua puluh enam persen) dari penerimaan dalam negeri neto. Sedangkan H.A.W Wijaya (2007) mengungkapkan bahwa dana alokasi umum menekankan aspek pemerataan dan keadilan dimana formula dan perhitungannya ditentukan oleh undang-undang.

Penggunaan Dana Alokasi Umum ditetapkan oleh daerah. Penggunaan Dana Alokasi Umum dan penerimaan umum lainnya dalam APBD harus tetap pada kerangka pencapaian tujuan pemberian otonomi kepada daerah yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, seperti pelayanan di bidang kesehatan dan pendidikan.

2.3.3 Dana Alokasi Khusus

Menurut Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah (2005) “Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional”. Sesuai dengan Undang-Undang No.33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, kegiatan khusus yang dimaksud adalah kegiatan dengan kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan rumus alokasi umum, dalam pengertian kebutuhan suatu daerah tidak sama dengan kebutuhan daerah lain, misalnya kebutuhan di kawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis investasi / prasarana baru, pembangunan jalan di kawasan terpencil, serta saluran irigasi primer. Kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional.

Menurut H.A.W Wijaya (2007) menyatakan bahwa biaya administrasi, biaya penyiapan proyek fisik, biaya penelitian, biaya perjalanan pegawai daerah, dan lain-lain biaya umum yang sejenis tidak dapat dibiayai oleh dana alokasi umum.

2.4 Desentralisasi Fiskal

Desentralisasi Fiskal Terminologi desentralisasi ternyata tidak hanya memiliki satu makna. Ia dapat diterjemahkan ke dalam sejumlah arti, tergantung pada konteks penggunaannya. Parson dalam Hidayat (2005) mendefinisikan desentralisasi sebagai berbagi (sharing) kekuasaan pemerintah antara kelompok pemegang kekuasaan di pusat dengan kelompok-kelompok lainnya, di mana masing-masing 23 kelompok tersebut memiliki otoritas untuk mengatur bidang-bidang tertentu dalam lingkup territorial suatu Negara. Sedangkan Mawhood (1987) dengan tegas mengatakan bahwa desentralisasi adalah penyerahan (devolution) kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sementara itu, Smith juga merumuskan definisi desentralisasi sebagai penyerahan kekuasaan dari tingkatan (organisasi) lebih atas ke tingkatan lebih rendah, dalam suatu hierarki territorial, yang dapat saja berlaku pada organisasi pemerintah dalam suatu Negara, maupun pada organisasi-organisasi besar lainnya (organisasi non pemerintah) dalam Hidayat (2005).

Di Indonesia, sebagaimana dinyatakan dalam UU Nomor 33 tahun 2004, pengertian desentralisasi dinyatakan sebagai penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Kuncoro (2009). Ini artinya desentralisasi merupakan pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab akan fungsi-fungsi publik dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Desentralisasi sesungguhnya merupakan alat atau instrument yang dapat digunakan untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang efektif dan partisipatif Tanzi (2002). Sebagai suatu alat, desentralisasi dapat digunakan pemerintah untuk mendekatkan diri dengan rakyatnya, baik untuk memenuhi tujuan demokratisasi atau demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Secara garis besar, kebijakan desentralisasi dibedakan atas 3 jenis menurut Litvack (1999) :

1. Desentralisasi politik yaitu pelimpahkan kewenangan yang lebih besar kepada daerah yang menyangkut berbagai aspek pengambilan keputusan, termasuk penetapan standar dan berbagai peraturan

2. Desentralisasi administrasi yaitu merupakan pelimpahan kewenangan, tanggung jawab, dan sumber daya antar berbagai tingkat pemerintahan

3. Desentralisasi fiskal yaitu merupakan pemberian kewenangan kepada daerah untuk menggali sumber-sumber pendapatan, hak untuk menerima transfer dari pemerintahan yang lebih tinggi, dan menentukan belanja rutin maupun investasi.

Ketiga jenis desentralisasi ini memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya dan merupakan prasyarat untuk mencapai tujuan dilaksanakannya desentralisasi, yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Mardiasmo (2009) menjelaskan bahwa desentralisasi politik merupakan ujung tombak terwujudnya demokratisasi dan peningkatan partisipasi rakyat dalam tataran pemerintahan. Sementara itu, desentralisasi administrasi merupakan instrumen untuk melaksanakan pelayanan kepada masyarakat, dan desentralisasi fiskal memiliki fungsi untuk mewujudkan

bidang keuangan. Secara konseptual, desentralisasi fiskal juga dapat didefinisikan sebagai suatu proses distribusi anggaran dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah untuk mendukung fungsi atau tugas pemerintahan yang dilimpahkan menurut Khusaini (2006). Dalam pelaksanaannya, konsep 25 desentralisasi fiskal yang dikenal selama ini sebagai money follow function mensyaratkan bahwa pemberian tugas dan kewenangan kepada pemerintah daerah (expenditure assignment) akan diiringi oleh pembagian kewenangan kepada daerah dalam hal penerimaan/pendanaan (revenue assignment). Dengan kata lain, penyerahan atau pelimpahan wewenang pemerintah akan membawa konsekuensi anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Hal ini berarti bahwa hubungan keuangan pusat dan daerah perlu diberikan pengaturan sedemikian rupa sehingga kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawab daerah dapat dibiayai dari sumber-sumber penerimaan yang ada Rahmawati (2008). Prosesnya dapat dilakukan melalui mekanisme dana perimbangan, yaitu pembagian penerimaan antar tingkatan pemerintahan guna menjalankan fungsifungsi pemerintahan dalam kerangka desentralisasi.

Berdasarkan prinsip money follow function Mahi (2002) menjelaskan bahwa kajian dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal pada dasarnya dapat menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan expenditure assignment dan revenue assigment.

Pendekatan expenditure assigment menyatakan bahwa terjadi perubahan tanggung jawab pelayanan publik dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, sehingga peran lokal public goods meningkat. Sedangkan dalam pendekatan revenue assignment dijelaskan peningkatan kemampuan keuangan melalui alih sumber pembiayaan pusat kepada daerah, dalam rangka membiayai fungsi yang didesentralisasikan. Dalam membahas desentralisasi fiskal, umunya terdapat tiga variabel yang sering digunakan sebagai representasi desentralisasi fiskal, yaitu :

1. Desentralisasi Pengeluaran Variabel ini didefinisikan sebagai rasio pengeluaran total masing-masing kabupaten/kota terhadap total pengeluaran pemerintah (APBN) Zhang dan Zou (1998). Selain itu Phillip

dan Woller (1997) menggunakan rasio pengeluaran daerah terhadap total pengeluaran pemerintah tidak termasuk pertahanan dan tunjangan sosial.

Variabel ini menunjukkan ukuran relatif pengeluaran pemerintah antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat.

2. Desentralisasi Pengeluaran Pembangunan Variabel ini didefinisikan sebagai rasio antara total pengeluaran pembangunan masing-masing kabupaten/kota terhadap total pengeluaran pembangunan nasional (APBN) dalam Zhang dan Zou (1998). Variabel ini menunjukkan besaran relatif pengeluaran pemerintah dalam pembangunan antara pemerintah pusat dan daerah. Disamping itu, variabel ini juga mengekspresikan besarnya alokasi pengeluaran pembangunan antara pemerintah pusat dan daerah. Dari rasio ini juga diketahui apakah pemerintah daerah dalam posisi yang baik untuk melaksanakan investasi sektor publik atau tidak.

Jika terdapat hubungan positif antara variabel ini terhadap pertumbuhan ekonomi, maka pemerintah lokal dalam posisi yang baik untuk melakukan investasi di sektor publik.

3. Desentralisasi Penerimaan Variabel ini didefinisikan sebagai rasio antara total penerimaan masingmasing kabupaten/kota (APBD) terhadap total penerimaan pemerintah menurut Philips dan Woller (1997). Variabel ini menjelaskan besaran relatif antara penerimaan pemerintah daerah terhadap penerimaan pemerintah pusat.

2.5 Keuangan Daerah

Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah (pasal 1 butir 5 PP No.58 Tahun 2005). Keuangan daerah dituangkan sepenuhnya kedalam APBD. APBD menurut Peraturan Pemerintah RI No. 58 Tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan daerah yaitu anggaran pendapatan dan belanja

pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah. Selanjutnya pengelolaan keuangan daerah merupakan keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah.

Dalam konteks ini lebih difokuskan kepada pengawasan keuangan daerah yang dilakukan oleh DPRD.

Mardiasmo (2000) mengatakan bahwa dalam pemberdayaan pemerintah daerah ini, maka perspektif perubahan yang diinginkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah adalah :

a. Pengelolaan keuangan daerah harus bertumpu pada kepentingan publik (public oriented);

b. Kejelasan tentang misi pengelolaan keuangan daerah pada umumya dan anggaran daerah pada khususnya;

c. Desentralisasi pengelolaan keuangan dan kejelasan peran para partisipan yang terkait dalam pengelolaan anggaran, seperti DPRD, KDH, SEKDA dan perangkat daerah lainnya;

d. Kerangka hukum dan administrasi atas pembiayaan, investasi dan pengelolaan keuangan daerah berdasarkan kaidah mekanisme pasar, value for money, transparansi dan akuntabilitas;

e. Kejelasan tentang kedudukan keuangan DPRD, KDH dan pegawai negeri sipil daerah, baik ratio maupun dasar pertimbangannya;

f. Ketentuan tentang bentuk dan struktur anggaran, anggaran kinerja, dan anggaran multi-tahunan;

g. Prinsip pengadaan dan pengelolaan barang daerah yang lebih professional;

h. Prinsip akuntansi pemerintah daerah, laporan keuangan, peran DPRD, peran akuntan publik dalam pengawasan, pemberian opini dan rating kinerja anggaran, dan transparansi informasi anggaran kepada publik;

i. Aspek pembinaan dan pengawasan yang meliputi batasan pembinaan, peran asosiasi, dan peran anggota masyarakat guna pengembangan profesionalisme aparat pemerintah daerah;

j. Pengembangan sistem informasi keuangan daerah untuk menyediakan informasi anggaran yang akurat dan pengembangan komitmen pemerintah daerah terhadap penyebarluasan informasi.

2.6 Ilusi Fiskal

Teori ilusi fiskal pertama kali dikemukakan oleh seorang ekonom Italia yang bernama Amilcare Puviani. Amilcare Puviani menggambarkan ilusi fiskal terjadi saat pembuat keputusan yang memiliki kewenangan dalam institusi menciptakan ilusi dalam penyusunan keuangan yang mampu merubah perilaku keuangan. Mueller (1989) sebagaimana dikutip oleh Dollery dan Worthington (1999) memberikan pengertian definisi ilusi fiskal kontemporer sebagai berikut

To bring about an increase in government size, for which citizens are not willing to pay voluntary, the legislative – executive entites must increase citizens tax burdens in such a way that citizens are unaware that they are paying more taxe ... if tax burdens can be disguished in this way, citizens have the illusion that the government is smaller than it actually is and government can grow beyond the levels citizens prefer.

Defenisi ini mengindikasikan bahwa pemerintah akan melakukan rekayasa terhadap

Defenisi ini mengindikasikan bahwa pemerintah akan melakukan rekayasa terhadap

Dokumen terkait