• Tidak ada hasil yang ditemukan

kebahagIaan Dan PretensI?

Dalam dokumen reza a a wattimena bahagia kenapa tidak (Halaman 130-134)

D

i dalam bukunya yang berjudul Masse und Macht, Elias Canetti, penulis dan pemikir asal Bulgaria, mencoba mengamati berbagai bentuk perilaku manusia, dan mengaitkannya dengan perilaku hewan. Salah satu perilaku yang menonjol adalah pretensi, atau berpura-pura. Perilaku semacam ini tampak di dalam perilaku bunglon. Ketika latar belakang berubah, maka si bunglon akan mengubah warna tubuhnya, guna menyesuaikan dengan latar belakangnya.

Manusia pun memiliki perilaku yang sama. Kita berpura-pura di hadapan orang lain, guna mencapai tujuan kita. Orang menyebutnya sebagai kemampuan beradaptasi, atau kemampuan untuk menyesuaikan diri. Namun, di balik itu, kita tahu, bahwa kita berusaha memoles tampilan luar kita, agar sesuai dengan keadaan di luar diri kita. Bahkan, kita menipu diri kita sendiri, demi supaya bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar kita.

Pretensi di sekitar kita

Politikus tampil terlihat kuat dan dapat dipercaya, supaya ia bisa memperoleh dukungan politik dari rakyat. Ia berpura-pura kuat dan kredibel, walaupun niat hatinya tetap tak dapat ditebak. Nyatanya, begitu banyak politikus, tidak hanya di Indonesia, menjadi koruptor di kemudian hari. Pretensi adalah suatu bentuk kebohongan, yang me ngaburkan kenyataan dan bayangan.

Dalam berdagang, banyak orang juga berpura-pura. Sales berdandan rapi dan wangi, sehingga bisa memperoleh kepercayaan pembeli. Kerap kali, penjelasan yang ia berikan bersifat berlebihan, sehingga tidak mewakili kenyataan yang sesungguhnya dari barang atau jasa yang ia tawarkan. Pretensi adalah salah satu kunci utama dari pemasaran.

Di dalam pergaulan sehari-hari, kita pun menemukan banyak pre tensi semacam ini. Kita berusaha tampil ramah dan bersahabat, walaupun hati kita tak nyaman. Kita berusaha tersenyum, walaupun mungkin hati dibakar amarah dan rasa benci. Pretensi semacam ini menghiasi kegiatan banyak orang di berbagai belahan dunia.

Di dalam permainan poker, ada kata yang pas sekali untuk hal ini, yakni poker face, atau wajah poker. Istilah ini menggambarkan orang yang mampu menyembunyikan emosinya dari orang lain. Ia tampak tenang, walaupun ia sedang mempersiapkan strategi untuk memenangkan permainan. Mungkin inilah pretensi dalam bentuknya yang paling halus, sehingga amat sulit untuk ditembus.

alasan Pretensi

Pertanyaan pentingnya adalah, mengapa orang berpura-pura, atau ber pretensi? Saya melihat ada tiga penjelasan dasar. Pertama adalah rasa takut. Orang berpura- pura, supaya ia bisa melindungi dirinya dari ma salah yang akan datang, jika ia menampilkan jati diri aslinya.

Politikus yang menampilkan wajah korupnya tentu tidak akan dipilih di dalam pemilu. Pedagang yang mengungkap cacat dari barang yang ia jual tentu tidak akan dapat menjual barangnya. Rasa takut ini terkait dengan alasan kedua, yakni kebutuhan untuk bertahan hidup. Dengan berpura-pura, orang berharap bisa menyelamatkan dirinya dari berbagai ancaman yang ada.

Alasan ketiga adalah kebutuhan akan pengakuan. Orang melebih-lebihkan dirinya. Ia tertawa berlebihan. Ia berbicara berlebihan. Alasan sebenarnya hanyalah satu, yakni untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain, bahwa ia adalah orang yang hebat, berharga dan, mungkin saja, bahagia.

Di dalam bukunya yang berjudul Der Kampf um Anerkennung, Axel Honneth, ilsuf asal Jerman, melihat berbagai gerakan sosial di masyarakat sekarang ini sebagai gerak untuk memperoleh pengakuan akan identitasnya masing-masing.

Kebahagiaan dan Pretensi? | 123

Pretensi bisa dilihat sebagai salah satu alat untuk mencapai pengakuan semacam ini. Menurut Honneth, pengakuan adalah salah satu kebutuhan mendasar manusia. Orang bisa saja, secara sadar ataupun tidak, melakukan berbagai cara untuk mem- peroleh pengakuan.

Alasan keempat adalah pretensi sebagai cara untuk mencapai tujuan tertentu dengan jalan-jalan yang lebih mudah. Hal-hal yang berharga di dunia ini kerap sulit untuk dicapai. Ada orang yang lebih memilih untuk mencapai hal-hal tersebut dengan cara-cara yang gampang. Ia menipu orang lain, guna mendapatkan tujuannya.

Pretensi adalah salah satu cara terbaik untuk ini. Orang berpura-pura baik dan jujur, walaupun ia korup dan suka menipu. Jika orang lain tahu jati dirinya yang asli, maka tujuannya tidak akan tercapai. Maka, ia lalu bersembunyi di balik kedok perannya. Ia berpura-pura.

Alasan kelima adalah pretensi sebagai upaya untuk memotivasi diri. Orang seringkali merasa tidak percaya diri di hadapan tugas yang berat. Ia juga kerap kali gundah, jika harus berhadapan dengan orang-orang yang memiliki prestasi besar. Pretensi, dalam hal ini, diperlukan sebagai upaya untuk meningkatkan motivasi diri, guna menghadapi tantangan di depan mata.

Alasan keenam adalah pretensi sebagai tindakan harapan. Orang berpura- pura rajin, walaupun ia malas. Alasannya, supaya ia bisa meng ubah kebiasaannya yang malas, lalu menjadi orang yang rajin. Pretensi dibalut dengan harapan atas perubahan diri secara mendasar menjadi orang yang, menurut tolok ukur tertentu, lebih baik dari sebelumnya.

Alasan ketujuh masih terkait dengan alasan keenam, yakni pretensi sebagai tindakan harapan. Dengan pretensi, orang lalu berharap bisa mengembangkan dirinya. Ada dua dorongan dasar dari setiap ke hidupan di muka bumi ini, yakni untuk mempertahankan diri dan untuk mengembangkan dirinya. Pretensi adalah salah satu cara yang paling efektif untuk mencapai keduanya.

Alasan kedelapan adalah pretensi sebagai bagian dari kebiasaan dan peng- kondisian dari masyarakat. Di dalam beberapa masyarakat, pretensi adalah suatu keharusan. Ia adalah tindakan yang dianggap berharga dan wajib dijalankan oleh seluruh anggota masyarakat. Ketika pretensi sudah menjadi bagian dari pengkondisian masyarakat dan kebiasaan hidup, maka orang melakukannya secara otomatis.

tegangan

Jauh di dalam hatinya, setiap orang adalah unik. Ia memiliki kemampuan yang unik pula. Ia juga memiliki cara pandang yang unik atas dunia. Ia adalah pribadi yang memiliki nurani yang tak dapat dibandingkan dengan manusia lainnya.

Orang yang rajin mendengarkan nuraninya yang unik akan menjadi pribadi yang otentik, yakni yang asli. Sikap berpura-pura, atau pretensi, jelas bertentangan dengan pribadi otentik semacam ini. Yang satu me niadakan, atau mengurangi, kehadiran yang lain. Kita dengan mudah menemukan dua tipe manusia ini di dalam berbagai pergaulan kita sehari-hari.

Namun, ada bahaya yang mengintai. Ketika orang terus menerus ber - pura-pura, sikap pura-pura ini lalu akan menjadi bagian tetap dari pribadinya. Ia lalu kehilangan jati dirinya yang asli dan unik, lalu hidup dengan pretensi terus- menerus. Orang lalu tidak mengenali siapa dirinya.

Ia pun tidak tahu, apa yang sungguh diinginkannya dalam hidup. Ia terombang ambing dalam kebimbangan batin dan ketidakpastian pilihan hidup. Inilah keadaan batin manusia yang disebut sebagai keterasingan. Dari luar, ia terlihat bahagia dan penuh semangat. Namun, di dalam hatinya, ia hampa.

Keterasingan lalu menggiring orang ke dalam kehampaan hidup. Orang hidup tanpa nilai, kecuali kenikmatan sesaat. Segala kenikmatan dicoba, kalau perlu dengan merugikan orang lain, atau masyarakat luas. Pretensi menciptakan keterasingan, dan keterasingan lalu melahirkan kehampaan. Pada titik yang tertinggi, pretensi meledak, dan jalan keluar satu-satunya yang tampak adalah bunuh diri.

Inilah gejala masyarakat dunia di awal abad 21 ini. Setiap orang digiring dan dicetak untuk menjadi tipe pribadi tertentu, yang kerap kali berbeda dengan jati dirinya yang asali. Otak kita digempur dengan iklan dan wejangan moral soal kesucian semu serta kesuksesan material. Semua ini dilakukan, tanpa kepedulian pada panggilan hati kita yang paling sejati sebagai manusia.

Pretensi lalu menjadi cara hidup. Aku berpura-pura, maka aku ada. Simulo Ergo Sum. Orang tak lagi melihat cara hidup yang lain, selain cara hidup yang berpura- pura. Ia mencoba merumuskan berbagai pan dangan, guna membenarkan cara hidupnya ini.

Tentu, ini adalah pandangan yang harus ditanggapi secara kritis. Dalam beberapa hal, haruslah diakui, bahwa kita harus berpura-pura. Ada berbagai alasan untuk ini, dan beberapa diantaranya cukup masuk akal, sehingga bisa diterima. Namun, pretensi tidak boleh menjadi cara hidup yang mutlak.

Ia harus terus disadari sebagai sesuatu yang sementara, dan harus segera dilepas, ketika keadaan memungkinkan. Dengan kesadaran akan kecenderungan batin yang terus berpura-pura, orang akan memiliki kemampuan untuk mengendalikannya. Pretensi lalu tidak lagi menjadi tuan atas dirinya…

125

kebahagIaan Dan hIDuP yang

Dalam dokumen reza a a wattimena bahagia kenapa tidak (Halaman 130-134)