• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

II.3. Risiko Kebangkrutan

Kebangkrutan ditinjau dari sudut pandang ilmu hukum disebut dengan istilah kepailitan. Secara tata bahasa, kepailitan berarti segala hal yang berhubungan dengan pailit.

Menurut Baros (1999) kepailitan adalah suatu keputusan pengadilan terhadap debitur yang telah berhenti membayar hutangnya yang telah jatuh tempo pada debitur atau pada kreditur-krediturnya”.

Ross.et.al dalam Lesmana dan Sarjanto (2003) menyatakan bahwa ”Pailit dihubungkan dengan ketidakmampuan untuk membayar dari seseorang (debitur) atas hutang-hutangnya yang telah jatuh tempo”.

Ketidakmampuan tersebut harus disertai dengan tindakan nyata untuk mengajukan baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitur sendiri, maupun atas permintan pihak ketiga (di luar debitur), suatu permohonan pailit ke pengadilan. Pengajuan permohonan pailit ke pengadilan adalah sebagai suatu bentuk pemenuhan azas “publisitas” dari keadaan tidak mampu membayar dari seorang debitur. Tanpa adanya permohonan tersebut ke pengadilan, maka pihak ketiga yang berkepentingan tidak akan pernah tahu keadaan tidak mampu membayar dari kreditur. Keadaan ini kemudian akan diperkuat dengan suatu keputusan pernyataan pailit oleh hakim pengadilan, baik itu yang merupakan keputusan yang mengabulkan ataupun menolak permohonan pailit yang diajukan.

Menurut Adnan dan Kurniasih (2000) pengertian kebangkrutan dapat dibedakan atas:

Biasanya diartikan apabila perusahaan kehilangan uang atau pendapatan perusahaan tidak dapat menutupi biayanya sendiri. Ini berarti tingkat labanya lebih kecil dari biaya modal atau nilai sekarang dari arus kas perusahaan lebih kecil dari kewajiban.

b. Kegagalan Keuangan

Kegagalan keuangan bisa diartikan sebagai insolvensi yang membedakan antara dasar arus kas dan dasar saham. Insolvensi atas dasar arus kas ada dua bentuk, yaitu:

1. Insolvensi teknis (technical insolvency), di mana terjadi apabila perusahaan tidak dapat memenuhi kewajiban pada saat jatuh tempo walaupun total aktivanya sudah melebihi total utangnya.

2. Insolvensi dalam pengertian kebangkrutan, di mana didefinisikan sebagai kekayaan bersih negatif dalam neraca konvensional atau nilai sekarang dari arus kas yang diharapkan lebih kecil dari kewajiban.

Perusahaan efek adalah pihak yang melakukan kegiatan sebagai penjamin emisi perantara perdagangan efek dan atau manajer investasi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Hal menyangkut debitur yang merupakan perusahaan efek, permohonan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM). Ketua Badan Pengawas Pasar Modal telah mengeluarkan Keputusan No.Kep.46/PM/1998 tanggal 14 Agustus 1998 tentang keterbukaan informasi bagi emiten atau perusahaan publik yang dimohonkan

pernyataan pailit dapat diajukan, jika persyaratan kepailitan dibawah ini terpenuhi, yaitu:

a. Debitur tersebut mempunyai dua atau lebih kreditur.

b. Debitur tersebut tidak membayar sedikitnya satu hutang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.

Menurut Shim dan Siegel (1994), jika ditinjau dari sisi keuangan, maka risiko kebangkrutan adalah sebagai pernyataan terakhir dari ketidakmampuan suatu perusahaan untuk melanjutkan kegiatan operasionalnya serta kewajiban membayar utang-utang yang ada.

Martin, et.al (1999) memberikan definisi tentang kebangkrutan sebagai: istilah kegagalan (failure) digunakan dalam berbagai macam konteks. Kegagalan ekonomii (economic failure) berarti biaya yang ditanggung suatu perusahaan melebihi pendapatannya. Definisi lainnya, tingkat hasil investasi (return of investment-ROI) internal lebih kecil dari biaya modal (cost of capital) perusahaan. Insolvabilitas (insolvency) merujuk pada masalah finansial serius tertentu.

Perusahaan mengalami insolvabilitas secara teknis (technically insolvent) bila perusahaan sudah terpaksa mengabaikan kewajiban-kewajiban finansialnya. Meskipun nilai pembukuan asetnya masih melebihi total utang, artinya masih ada saldo modal bersih positif, perusahaan itu tidak lagi memiliki likuiditas yang memadai untuk melunasi utang-utangnya. Kondisi ini sementara waktu, bisa juga permanen. Istilah lain yang sering digunakan adalah insolvabilitas dalam kebangkrutan (insolvency in bankruptcy), artinya pasiva perusahaan sebenarnya lebih

besar dari pada aset, jika aset itu dihitung dengan benar. Hal ini juga berarti bahwa saldo modal bersih perusahaan negatif. Tanpa melihat likuiditas asetnya, perusahaan dipastikan tidak mampu memenuhi kewajiban finansialnya yang telah jatuh tempo.

Weston dan Bringham (2000) rmenyatakan bahwa “Risiko keuangan merupakan bagian dari risiko yang dihadapi perusahaan yang melebihi risiko bisnis yang mendasar sebagai akibat dari penggunaan leverage keuangan. Risiko keuangan timbul karena penggunaan utang yang menyebabkan lebih besarnya variabilitas laba bersih.

Menghadapi kesulitan keuangan pada dasarnya tidak mudah, oleh karena itu manajemen harus senantiasa menyadari segenap implikasi dan konsekuensi ketidakberesan pembiayaan perusahaan. Sesuai dengan prinsip dasar analis fundamental yang terarah pada kemampuan perusahaan menciptakan aliran tunai, maka gangguan pembiayaan perusahaan dalam operasional dan investasi adalah bukti kegagalan perusahaan atau emiten menciptakan aliran tunai (cash flows). Sehingga perusahaan harus menjalani tindakan reorganisasi ataupun likuidasi.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa manajer keuangan harus selalu berkecimpung dalam risiko setiap saat. Pada titik yang ekstrim, risiko pembiayaan ini dapat mengakibatkan disfungsi perusahaan secara keseluruhan sehingga tidak dapat menghasilkan laba atau tidak mampu memenuhi kewajiban keuangannya yang jatuh tempo. Meskipun perusahaan tidak dililit kesulitan keuangan, para manajer keuangan harus tetap menghadapi salah satu pelanggan yang tengah dibelit masalah keuangan. Implikasi keuangannya adalah kegagalan pelanggan menyelesaikan kewajibannya pada emiten karena terjadinya kegagalan dalam kegiatan bisnisnya.

Pada saat perusahaan memasuki tahap-tahap akhir menjelang kegagalan atau kebangkrutan, maka akan terjadi pola perubahan keuangan perusahaan. Meskipun kebangkrutan tidak dapat diramalkan secara pasti, ada beberapa rasio keuangan yang telah terbukti berhasil menjadi indikator segera terjadinya malapetaka kebangkrutan. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Altman (1971), mengembangkan model statistik yang kemudian berhasil merumuskan rasio-rasio keuangan untuk memprediksi terjadinya kebangkrutan.

Berdasarkan sampel perusahaan bangkrut, Altman (1971) dalam penelitiannya menghasilkan suatu rumusan dengan menggunakan 5 (lima) rasio keuangan untuk memprediksikan kebangkrutan, yang disusun dengan menggunakan rumus seperti berikut:

Z-Score = 1,2 X1 + 1,4 X2 + 3,3 X3 + 0,6 X4 + 0,99 X5 di mana:

X1 = Modal kerja terhadap total aktiva X2 = Laba ditahan terhadap total aktiva

X3 = Earning before interest and taxes terhadap total aktiva X4 = Nilai saham terhadap nilai buku hutang

X5 = Penjualan terhadap total aktiva

Rasio X1 atau Modal Kerja/Total Aktiva, mengukur likuiditas dengan membandingkan aktiva likuid bersih dengan total aktiva. Aktiva likuid bersih didefinisikan sebagai total aktiva lancer dikurangi total kewajiban lancar. Umumnya,

bila perusahaan mengalami kesulitan keuangan, modal kerja akan turun lebih cepat daripada total aktiva menyebabkan rasio ini turun.

Rasio X2 atau Laba Ditahan/Total Aktiva, mengukur kemampulabaan kumulatif dari perusahaan. Pada beberapa tingkat, rasio ini juga mencerminkan umur perusahaan, karena semakin muda perusahaan, semakin sedikit waktu yang dimilikinya untuk membangun laba kumulatif.

Rasio X3 atau EBIT/Total Aktiva, mengukur kemampulabaan dari aktiva, yang dihitung dengan membagi laba sebelum bunga dan pajak (EBIT) tahunan perusahaan dengan total aktiva pada neraca akhir tahun. Rasio ini juga dapat digunakan sebagai ukuran seberapa besar produktivitas penggunaan dana yang dipinjam. Bila rasio ini lebih besar dari rata-rata tingkat bunga yang dibayar, maka berarti perusahaan menghasilkan uang yang lebih banyak daripada bunga pinjaman.

Rasio X4 atau Modal Sendiri/Total Utang, merupakan kebalikan dari rasio utang per modal sendiri (Debt to Equity Ratio). Nilai modal sendiri yang dimaksud adalah nilai pasar modal sendiri, yaitu jumlah saham perusahaan dikalikan dengan harga pasar per lembar sahamnya. Umumnya perusahaan-perusahaan yang gagal mengakumulasi lebih banyak utang dibandingkan modal sendiri.

Rasio X5 atau Penjualan/Total Aktiva, merupakan rasio yang mencerminkan efektivitas manajemen perusahaan dalam menggunakan kekayaan (asset) perusahaan dalam menghasilkan penjualan. Semakin efektif manajemen perusahaan dalam mengelola asetnya, hal ini akan berdampak kepada pendapatan dan keuntungan yang akan diperoleh perusahaan.

Selanjutnya, berdasarkan perhitungan dari setiap rasio keuangan yang ada, akan dimasukkan ke dalam persamaan guna mengukur potensi kebangkrutan perusahaan. Kriteria kebangkrutan menurut Altman disajikan pada Tabel II.1. berikut ini.

Tabel II.1. Kriteria Kebangkrutan Altman

< 1,81 1,81 – 2,99 > 2,99

Kemungkinan gagal terbilang besar

Kemungkinan gagal sulit dipastikan

Kemungkinan gagal terbilang kecil Skor ini meramalkan

terjadinya kegagalan

< 2,675

Meramalkan kegagalan, lebih dari itu meramalkan keberhasilan

Skor ini meramalkan keberhasilan

Sumber: Saunders dan Cornett (2006)

Dapat disimpulkan bahwa suatu perusahaan yang berpotensi gagal jika mulai terlihat dari berkurangnya investasi pada aktiva lancar (X1). Variabel X2 adalah indikator profitabilitas kumulatif yang relatif terhadap panjangnya waktu beroperasi, kondisi ini mengisyaratkan bahwa semakin muda suatu perusahaan akan semakin besar kemungkinan untuk bangkrut.

Variabel X3 mencerminkan keseluruhan kekuatan perusahaan dalam menciptakan pendapatan. Menurunnya rasio ini merupakan indikator terbaik akan wujudnya suatu potensi kebangkrutan.

Variabel X4 melambangkan solvabilitas (leverage) atau kemantapan finansial jangka panjang dari suatu perusahaan. Variabel terakhir yaitu X5, menunjukkan rasio

asset turnover yang menunjukkan besar kecilnya kemampuan manajemen untuk memanfaatkan aktiva-aktiva perusahaan yang dimiliki dalam menciptakan penjualan.

Tujuan dari perhitungan Z-Score adalah untuk mengingatkan akan masalah keuangan yang mungkin membutuhkan perhatian serius dan menyediakan petunjuk untuk bertindak. Bila nilai Z-Score perusahaan lebih rendah daripada yang dikehendaki manajemen, maka harus diamati laporan keuangannya untuk mencari penyebab mengapa terjadi begitu.

Pengamatan dimulai dengan menghitung Z-Score dari periode-periode sebelumnya dan dibandingkan dengan nilai Z-Score sekarang. Bila kecenderungan-nya turun, cobalah pahami apakah yang telah berubah sehingga menghasilkan rasio-rasio yang menyebabkan skor perusahaan jatuh. Memantau kecenderungan Z-Score juga akan membantu mengevaluasi kekuatan perubahan (turnaround) perusahaan. Cara lain menganalisis Z-Score adalah membandingkan hasil suatu perusahaan dengan perusahaan lain atau dengan rata-rata industri dan temukan apakah ada penyimpangan.

Bila perusahaan menghadapi masalah, maka masalah-masalah itu harus segera diatasi. Jika tidak, perusahaan terpaksa dilikuidasi. Pada saat itu pertanyaan yang harus dijawab adalah: apakah perusahaan itu lebih layak mati atau bertahan hidup? Keputusan untuk meneruskan operasi suatu perusahaan harus didasarkan pada manfaat-manfaat tertentu yang diperoleh dari likuidasi perusahaan yang bersangkutan. Bila manfaat tersebut tidak mampu menutupi biaya modalnya maka keputusan untuk meneruskan operasi tidak akan ada artinya.

Dokumen terkait