• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keberadaan KPPU Dalam Undang-Undang Nomor 5

BAB II KELEMBAGAAN NEGARA MENURUT UUD 1945 DAN

3. Keberadaan KPPU Dalam Undang-Undang Nomor 5

Sehat.

Dalam Pasal 30 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat disebutkan :”Untuk mengawasi pelaksanaan Undang-Undang ini dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang selanjutnya disebut komisi”.

Keberadaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) merupakan lembaga yang berfungsi sebagai pengawas pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dengan kata lain KPPU dapat dikatakan sebagai “wasit” yang mengawasi sekaligus dapat memberikan eksekusi bagi pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat tersebut.

Sesuai dengan pasal 34 UU Nomor 5 tahun 1999, selanjutnya pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) secara kelembagaan ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden. Sebagai tindak lanjut UU Nomor 5 Tahun 1999 tersebut, dikeluarkanlah Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 75 Tahun 1999 tentang pembentukan sebuah komisi yang diberi nama Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU.

B.Lembaga Negara Menurut Ketatanegaraan Islam

Pada masa Rasulullah lembaga-lembaga belum dipisahkan dari wilayah kekuasaan yang ada tetapi masih berada pada satu tangan yaitu penguasa atau kepala Negara. Pada masa berikutnya, ketiga badan kekuasaan negara tersebut masing-masing melembaga dan mandiri.17 Pembagian tiga macam kekuasaan ini disebutkan dengan jelas pada masa khalifah Umar bin Khatab.18

Kondisi kelembagaan Islam pada awal perkembangan Islam di masa Rasulullah SAW masih berpusat kepada beliau langsung. Keadaan ini dimaklumi mengingat Rasulullah SAW merupakan figur central dalam seluruh sendi kehidupan masyarakat. Meski demikian, pondasi-pondasi sebagai cikal bakal kelembagaan dalam pemerintahan Islam telah diletakkan sejak awal oleh beliau. Seperti pengaturan adanya baitul mall, sistem kehakiman (pengadilan) Islam, pedoman pembagian harta rampasan perang (ghonimah) dll.

Pada perkembangan lebih lanjut, dalam sejarah ketatanegaraan Islam, terdapat tiga badan kekuasaan, yakni Sulthan Tanfiziyyah (kekuasaan eksekutif), Sulthan Tasyri’iyyah (kekuasaan legislatif), dan Sulthan Qadhaiyyah (kekuasaan kehakiman). Pemisahan antara kekuasaan eksekutif dan yudikatif baru mulai dilakukan di zaman para khalifah Nabi, dengan pengangkatan para hakim (Qadhi) serta pengangkatan kelompok sahabat senior yang memiliki kemampuan dalam

17

Salim Ali Al-Bahansawi, Wawasan Sistem Politik Islam (Jakarta: Pustaka Alkautsar, 1996).

18

Abdul Qadir Djaelani, Negara Islam Menurut Konsepsi Islam (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995), h. 148.

memecahkan persoalan-persoalan yang terjadi, yang kemudian disebut ahl al-hall wa al-’aqd dan kini identifikasikan sebagai lembaga legislatif, seperti telah dilakukan Khalifah Umar yang dikenal sebagai negarawan, adminitrator serta seorang pembaru yang membuat berbagai kebijakan mengenai pengelolaan wilayah kekuasaan.19 Dengan demikian, untuk beberapa provinsi, Umar telah memisahkan jabatan peradilan dari jabatan eksekutif.

1. Sulthan Tanfiziyyah (Kekuasaan Eksekutif)

Dalam sistem tatanegara modern, kekuasaan Eksekutif mencakup Kepala Negara (Presiden dan wakil presiden dan atau Raja dan Ratu), Perdana Menteri, Menteri-menteri, serta Kepala-kepala Daerah. Kepala Negara adalah penghubung antara dua kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudikatif.20

Sedangkan dalam sistem ketatanegaraan Islam kekuasaan eksekutif jika dikategorikan berdasarkan fungsi, bentuk dan ruang lingkup tugasnya menurut Al-Mawardi, mencakup: kepala negara (khalifah atau imam), lembaga kementerian

(wizarah) dan pemerintah daerah (imarat ‘ala al-bilad).

Sulthan Tanfiziyyah (Kekuasaan Eksekutif) merupakan pelaksana kegiatan pemerintahan baik ditingkat pusat maupun daerah. Keberadaan pemerintah daerah

19

Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h.73

20

Muhammad Al-Mubarak, Sistem Pemerintahan Dalam Perspektif Islam. Penerjemah

(imarat ‘ala al-bilad) dan kementerian (wizarah) merupakan kepanjangan tangan (wakil) dari pemerintah pusat dalam hal ini adalah khalifah atau imam karena keduanya diangkat dan diberhentikan oleh khalifah atau imam.

2. Sulthan Tasyri’iyyah (Kekuasaan Legislatif)

Secara terminologi fiqh, Sulthan Tasyri’iyyah (Kekuasaan Legislatif) disebut sebagai “lembaga penengah dan pemberi fatwa” (ahl al-hall wa al-‘aqd).21 Cukup jelas bahwa suatu negara yang didirikan dengan dasar kedaulatan de jure Allah, tidak dapat melakukan legislasi yang bertolak belakang dengan A-Qur’an dan As-sunnah, meskipun konsensus rakyat menuntutnya.

Allah berfirman: $tBur t b %x. 9 ˇBsJˇ9 wur > puZˇBsªB #s ˛) | s% ! $# ª&Ł!q u ur #•łBr& br& t b q3t ª Ngs9 ouz ˇł:$# ˇB Nˇd łBr& 3 tBur ˜ ¨ Łt ' ! $# ª&s!q u ur s )sø ¤ @|˚ W x »n=|˚ $YZ˛7B ˙ ˇ¨

Artinya: Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia Telah sesat, sesat yang nyata. (QS. Al-Ahzab: 36)

21

Abdul A’la Al-Maududi, Hukum dan Konstitusi: Sistem Politik Islam. Cet III, Penerjemah

Dari perintah-perintah ini, maka timbul prinsip bahwa Majlis Tasyri’iyyah

(lembaga legislatif) dalam negara Islam sama sekali tidak berhak membuat perundang-undangan yang bertentangan dengan tuntunan-tuntunan Allah SWT dan Rasul-Nya, dan semua cabang legislasi, meskipun telah disahkan oleh Majlis Tasri’iyyah (lembaga legislatif) harus secara ipso facto dianggap ultra vires dari undang-undang dasar.22

Dalam sebuah negara Islam yang berwenang dalam hal ini adalah Majlis Tanfidz, yang mana didalamnya diduduki oleh para mujtahid dan ulama fatwa. Dalam masalah ini kewenangannya tidak lepas dari dua perkara, yaitu: satu, jika perkara yang dinisbatkan ada nash nya, maka tugas mereka adalah memahami nash dan menjelaskan hukum yang ditunjukannya; dua, jika suatu perkara tidak ada nashnya, maka tugas mereka adalah menganalogikan dengan perkara yang ada nashnya, dan

mengistinbath-kan (menetapkan) hukum dengan jalan ijtihad serta mencari sebab dan menelitinya.

Dengan demikian, dua pokok sumber hukum dan ajaran Islam yakni al-Qur’an dan as-Sunnah merupakan referensi utama pengambilan keputusan yang diambil oleh

Majlis Tasyri’iyyah (lembaga legislatif). Dengan kata lain setiap produk hukum yang dihasilkan Majlis Tasyri’iyyah (lembaga legislatif) tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.

22

3. Sulthan Qadhaiyyah (kekuasaan kehakiman)

Kata Sulthatun sebuah kata yang berasal dari bahasa arab yang berarti pemerintahan. Dalam kamus Munawir sama dengan al-Qudrah yang berarti kekuasaan, kerajaan, pemerintahan.23 Menurut Louis Ma’luf, Shulthan berarti al-malik al-qudrah, yakni kekuasaan pemerintahan.24 Sedangkan al-Qadhaiyyah yaitu kekuasaan yang berkaitan dengan peradilan atau kehakiman.

Sedangkan secara etimologi, sulthatun bima’na alqudrah yakni: kekuasaan atas sesuatu yang kokoh dari bentuk perbuatan yang dilaksanakan atas bentuk perbuatan yang ditinggalkan.

Dengan kata lain bahwa kekuasaan untuk mengawasi atau menjamin jalannya proses perundang-undangan sejak penyusunan sampai pelaksanaan serta mengadili perkara perselisihan, baik yang menyangkut perkara perdata maupun pidana. Dalam bahasa Indonesia istilah ini dikenal dengan kekuasaan yudikatif.25

Kehadiran lembaga peradilan (Sulthan Qadhaiyyah) dalam sistem ketatanegaraan Islam adalah mutlak dibutuhkan sebagai lembaga pengawas dan penegak dijalankannya aturan seuai denagan peraturan perundangan yang berlaku.

23

Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawir: Kamus Arab Indonesia Terlengkap

(Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 650.

24

Louis Ma,luf, Kamus Al-Munjid fi Al-Lughah wa Al-A’lam (Beirut: Daar al- Mashriq, 1973), h. 1095.

25

Rahman Ritonga, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid V, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 1657.lihat juga Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di

Petugas yang menjalankan fungsi lembaga peradilan (Sulthan Qadhaiyyah) dalam ketatanegaraan Islam disebut sebagai Qadhi (hakim).

Syarat-syarat menjadi Qadhi,26 yaitu: muslim, merdeka, baligh, berakal, adil, ahli fiqh (yang bisa mengetahui hukum serta aplikasinya), dikhususkan bagi qadhi madzalim ada syarat tambahan yaitu laki-laki dan mujtahid.

Dalam ketatanegaraan Islam, Shulthan Al-Qadhaiyyah dibedakan menjadi empat wilayat atau golongan, yaitu: Wilayat Al-Qadha, Wilayat Al-Hisbah, Wilayat madzalim dan Wilayat Al-Mahkamah al-Asykariyyah.

a. Wilayat Al-Qadha (

ﺀﺎﻀﻘﻟﺍ ﺔﻳﻻﻭ )

Wilayat Al-Qadha adalah lembaga yang bertugas berwenang dan memberi penerangan dan pembinaan hukum, menyelesaikan perkara sengketa, perselisihan.27 Menurut Salam Madzkur, Wilayat Al-Qadha adalah lembaga yang bertugas memutus sengketa antara dua pihak yang bertikai dengan hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT dengan benar dan adil tanpa memihak kepada salah satunya, menempatkan mereka sama dihadapan Allah.28

26

Abdul Qadim Zallum, Sistem Pemerintahan Islam, Penerjemah: M. Maghfur W, (Bangil jawa timur: Al-Izzah, 2002), h. 232.

27

Jaenal Aripin, Peradilan Agama Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di

Indonesia, h.166.

28

Muhammad Salam Madzkur, Peradilan dalam Islam,Penerjemah AM, Imron (Surabaya:

Taqiyyudin an-Nabhani menyebut lembaga ini sebagai peradilan (qadha)

biasa, yang mengurusi penyelesaian perkara ditengah masyarakat dalam hal

muamalah (transaksi yang dilakukan satu orang dengan yang lainnya) dan ‘uqubat

(sanksi hukum).29 Dengan demikian lembaga ini mirip dengan lembaga peradilan perdata.

Lembaga qadha dibentuk untuk menangani kasus-kasus (kehidupan sosial dan keagamaan masyarakat muslim dan atau non muslim yang dzimmi) yang membutuhkan keputusan berdasarkan hukum syariah.30

b. Wilayat Al-Hisbah (

ﺔﺒﺴﳊﺍ ﺔﻳﻻﻭ )

1. Pengertian Wilayah Hisbah

Wilayah hisbah terdiri dari dua kata, yaitu kata wilayah dan hisbah, yang secara harfiah diartikan dengan kewenangan melakukan sesuatu perbuatan baik dengan penuh perhitungan.

Wilayat Al-Hisbah adalah salah satu badan pelaksana kekuasaan kehakiman dalam Islam yang bertugas untuk menegakkan kebaikan dan mencegah kezaliman. Al-Mawardi mendefinisikan al-hisbah dengan;

29

Taqiyuddin An-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam: Doktrin, Sejarah, dan

RealitasEmpirik, Penerjemeh Moh. Maghfur Wachid (Bangil: Penerbit Al-Izzah, 1997), h. 248.

30

Nur Mufid dan Nur Fuad, Bedah Al-Akhmamussulthaniyyah: Mencermati Konsep

ﹸﺔﺒﺴِﺤﹾﻟﹶﺍ

ﻲِﻫ

ﺮﻣﹶﺃ

ِﻑﻭﺮﻌﻤﹾﻟﺎِﺑ

ﺍﹶﺫِﺇ

ﺮﻬﹶﻇ

ﻪﹸﻛﺮﺗ

ﻲﻬﻧﻭ

ِﻦﻋ

ِﺮﹶﻜﻨﻤﹾﻟﺍ

ﺍﹶﺫِﺇ

ﺮﻬﹾﻇﹶﺃ

ﻪﹸﻠﻌِﻓ

Artinya: “Menyuruh kepada kebaikan jika terbukti kebaikan itu ditinggalkan (tidak diamalkan), dan melarang dari kemungkaran jika terbukti kemungkaran dikerjakan.31 Allah berfirman:

ﻦﹸﻜﺘﹾﻟﻭ

ﻢﹸﻜﻨِﻣ

ﹲﺔﻣﹸﺃ

ﹶﻥﻮﻋﺪﻳ

ﻰﹶﻟِﺇ

ِﺮﻴﺨﹾﻟﺍ

ﹶﻥﻭﺮﻣﹾﺄﻳﻭ

ِﻑﻭﺮﻌﻤﹾﻟﺎِﺑ

ﹶﻥﻮﻬﻨﻳﻭ

ِﻦﻋ

ِﺮﹶﻜﻨﻤﹾﻟﺍ

ﻚِﺌﹶﻟﻭﹸﺃﻭ

ﻢﻫ

ﹶﻥﻮﺤِﻠﹾﻔﻤﹾﻟﺍ

) .

ﻝﺁ

ﻥﺍﺮﻤﻋ

:

١٠٤

(

Artinya:“Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran : 104).

Hisbah dipandang meluas bisa mencakup semua anggota masyarakat yang mampu memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran, baik mereka itu ditugasi oleh Negara atau tidak diwajibkan secara resmi, sebagaimana ruang lingkup hisbah yang mencakup hak-hak Allah dan hak-hak manusia, artinya bahwa hisbah

mencakup semua sisi kehidupan.32

31

Al-Mawardi, Al-Akhkam A-Shuthaniyyah wal-wilaadatud-diniyyah. Penerjemah Fadli Bahri

(Jakarta: PT. Darul Falah, 2006), h. 398.

32

Jariban bin Ahmad Al-Haritsi, Fiqh Iqtishadi Li Amiril Mukminin Umar Ibn

2. Tugas dan wewenang Wilayah Hisbah

Kewenangan wilayah hisbah sesungguhnya merupakan kewenangan untuk menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat munkar, serta menjadikan kemaslahatan dalam masyarakat. Wilayah Hisbah mempunyai tugas yang sangat banyak dan luas, tak heran kalau Ibnu Khaldun menyetarakan fungsi wilayatul hisbah

dengan fungsi Khilafah (pemerintahan). Semua yang diperintahkan dan dilarang oleh

syara’ adalah tugas Muhtasib.33

Seorang petugas hisbah (Muhtasib) memasuki seluruh sendi kehidupan masyarakat. Kewajibannya tidak terbatas dalam hal perintah memakai jilbab, perintah melaksanakan orang yang lalai shalat jumat, melarang berbagai maksiat dan kemungkaran, tetapi juga dalam bidang ekonomi, seperti mengawasi praktik jual beli dari riba, gharar, serta kecurangan, mengawasi standar timbangan dan ukuran yang biasa digunakan, memastikan tidak ada penimbunan barang yang merugikan masyarakat, mengawasi makanan halal,34 juga aspek sosial-budaya, seperti melarang kegiatan hiburan yang bertentangan dengan Islam, memberantas judi buntut, minuman keras, praktik asusila dan lain-lain.

Wilayah Hisbah memasuki lorong-lorong kecil di kampung-kampung, setiap hari kerjanya adalah amar ma’ruf nahi mungkar, tidak ada perkara syariat yang luput dari perhatiannya. Wilayah Hisbah adalah lembaga yang setiap hari berkampanye

33

Jaenal Aripin, Peradilan Agama .. .…., h. 168.

34

Rohadi abd. Fatah, Islam and Good Governance, ijtihad politik umar bin Abdul Aziz

menumbuhkan kesadaran syariat Islam dan mengawasi pelaksanaannya dalam masyarakat. Sebab itu, Muhtasib yang baik adalah yang lebih sering berada di jalanan, di pasar, di kampung-kampung memantau pelaksanaan syariat oleh masyarakat, daripada hanya sekedar berada di kantor.

Namun demikian Wilayah Hisbah hanya bertugas mengawasi hal-hal yang tampak (zahir) dan sudah ma’ruf di kalangan masyarakat. Yaitu perkara-perkara umum yang tidak ada perselisihan ulama tentang kewajiban melaksanakannya ataupun meninggalkannya, atau sering juga disebut perkara-perkara yang sudah menjadi ‘uruf (adat) dalam keseharian masyarakat. Adapun perkara-perkara detail yang masih berupa was-was, dugaan, dan memerlukan investigasi secara mendalam, pembuktian, kesaksian dan sumpah adalah bukan wewenang Wilayah Hisbah, tetapi menjadi wewenang lembaga lainnya yaitu wilayatul qadha’ atau wilayatul madzalim.

Secara umum tugas dan dan fungsi muhtasib adalah:35

1) Menjalankan tugas amar maruf nahi munkar.

2) Melakukan supervise (pengawasan) pelaksanaan perdagangan dan pasar. 3) Supervise bidang pertanian dan lapangan kehidupan sosial.

4) Memberikan hukuman.

35

Seorang muhtasib memiliki hak-hak untuk melaksanakan hukuman apabila ada pelanggaran secara langsung tanpa harus menunggu dilaksanakannya hukuman melalui proses pengadilan.36

Di samping itu, Wilayah Hisbah juga mempunyai wewenang menjatuhkan hukuman kepada orang-orang yang terbukti melanggar syari’at. Tentu hukuman itu berbentuk ta’zir,37 yaitu hukuman yang diputuskan berdasarkan kearifan sang hakim diluar bentuk hukuman yang ditetapkan syara’. Hukuman yang dijatuhkan Wilayah Hisbah juga tidak seberat hukuman yang dijatuhkan melalui lembaga peradilan.

Tentu ketika menjatuhi hukuman Wilayah Hisbah harus sudah mempunyai cukup bukti dan memang tampak jelas (terbukti) bahwa seseorang betul-betul melanggar syari’at, atau tampak jelas seseorang meninggalkan perkara syari’at. Karena itu Wilayah Hisbah tidak boleh sewenang-wenang, apalagi kalau hanya berdasarkan prasangka-prasangka yang belum tentu benar. Ini penting karena masyarakat tentu sangat sensitif terhadap segala macam bentuk hukuman, apalagi kalau ternyata ia tidak melanggar syari’at atau hanya berdasarkan prasangka Wilayah Hisbah saja. Kesalahan menjatuhi hukuman akan membuat masyarakat apatis terhadap syariat. Dan menganggap syari’at mengganggu kebebasan privasi mereka.

36

Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, h. 168.

37

c. Wilayat Al-Madzalim (

ﱂﺎﻈﳌﺍ ﺔﻳﻻﻭ

)

Wilayat Al-Madzalim adalah suatu kekuasaan dalam bidang pengadilan, yang lebih tinggi dari kekuasaan hakim dan kekuasaan muhtasib.38 Jika dibandingkan dengan lembaga-lembaga kehakiman sekarang, boleh disamakan dengan Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung, sebagai tempat bagi orang yang kalah tak puas membandingkan perkaranya.39 Lembaga ini mengurusi penyelesaian perkara perselisihan yang terjadi antara rakyat dan negara.40

Pejabat lembaga ini disebut sebagai Qadhi Mazhalim, yaitu Qadhi yang diangkat oleh khalifah atau bisa juga diangkat oleh kepala Qadhi.41 Sedangkan yang berwenang untuk memberhentikan, mengoreksi, mendisiplinkan serta memutasinya dilakukan oleh khalifah atau mahkamah Mazhalim.42

Secara keseluruhan, menurut Muhammad Asad, Wilayat Al-Madzalim

mempunyai hak atau wewenang:43

38

Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, h. 92.

39

A. Hajmy, Dimana Letaknya Negara Islam (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1984), h. 258.

40

Taqiyuddin An-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam…, h. 248.

41

Abdul Qadim Zallum, Sistem Pemerintahan Islam, Penerjemah: M. Maghfur W, (Bangil jawa timur: Al-Izzah, 2002), h. 246.

42

Taqiyuddin An-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam, h. 265.

43

Muhammad Asad (Leopoldweiss), Masalah Kenegaraan Dalam Islam. Penerjemah Oemar

1) Menengahi segala perkara pertikaian antara Amir (Kepala Negara) dan

Majelis Syura berdasarkan peraturan nash Al-qur’an dan Sunnah, yang mana pertikaian itu diajukan ke mahkamah ini oleh salah satu diantara kedua belah pihak.

2) Memveto salah satu perundang-undangan yang telah diputuskan oleh

Majelis Syura atau salah satu pekerjaan administratif dari pihak Amir

(Kepala Negara) dengan persetujuan Mahkamah, yangmana pendapat Mahkamah bertentangan dengan nash Al-qur’an dan Sunnah.

3) Mengadakan referendum untuk menurunkan Amir (Kepala Negara) dari jabatannya, dimana Majelis Syura dengan duapertiga golongan yang mengajukan pengaduan bahwa dalam pemerintahannya sudah melanggar syari’at.

d.Wilayat Al-Mahkamah al-‘askariyyah

( ﺔﻳﺮﻜﺸﻌﻟﺍ ﺔﻤﻜﶈﺍ ﺔﻳﻻﻭ )

Al-Mahkamah al-‘askariyyah merupakan salah satu lembaga kekuasaan kehakiman yang secara khusus menangani perkara-perkara yang terkait dengan militer. Lembaga ini dibentuk pada masa pemerintahan Bani Abbas dengan Qadhi Al-Asykar atau Qadhi Al-Jund sebagai sebutan pejabat hakim. Posisi ini sudah ada sejak Sultan Salahuddin Yusuf bin Ayyub.44 Tugasnya adalah untuk menghadiri

44

didang di Dar al-‘Adl, terutama persidangan tersebut menyangkut tentang anggota militer/ tentara. 45

Lembaga ini mirip dengan lembaga Mahkamah Militer yang ada di indonesia. Keberadaan Al-Mahkamah al-‘askariyyah dalam system ketatanegaraan Islam merupakan salah satu bukti bahwa keadilan merupakan harga mati yang harus ditegakkan oleh siapapun dan dimanapun. Dengan kata lain semua warga Negara tanpa kecuali termasuk anggota militer/ tentara harus taat dan tunduk pada hukum yang berlaku.

45

Muna ‘Abd al-Ghani Hasan, Al-Qadha fi al-Hayah as-Siyasiyyah wa al-Ijtima’iyyah fi Misr

37

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR. 5 TAHUN 1999

A. Pengertian dan Tujuan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)

Dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 disebutkan bahwa : ”Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah Komisi yang dibentuk untuk mengawasi pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”.1 Meski keanggotaan KPPU diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dan bertanggung jawab langsung kepada presiden, tetapi dalam menjalankan fungsi dan wewenangnya, KPPU bersifat independen. Indenpendensi KPPU yang bebas dari intervensi semua pihak termasuk pemerintah merupakan sebuah keniscayaan yang dimiliki KPPU sehingga dapat menjalankan fungsi, tugas dan wewenangnya secara obyektif sesuai dengan aturan dan perundang-undangan yang berlaku.

Kegiatan usaha yang dilakukan oleh pelaku usaha di Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 pasal 2 berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.

1

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia , Undang-Undang Nomormor 5

Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek MoNomorpoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ,

Adapun tujuan dari Undang-Undang Nomor. 5 tahun 1999 sebagaimana diatur pada Pasal 3 adalah untuk:2

a. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efsiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;

b. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah dan pelaku usaha kecil;

c. Mencegah praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha, dan

d. Terciptanya efektivitas dan efsiensi dalam kegiatan usaha.

Pasal 2 dan 3 tersebut di atas menyebutkan asas dan tujuan-tujuan utama Undang-Undang Nomor. 5 Tahun 1999. Diharapkan bahwa peraturan mengenai persaingan akan membantu dalam mewujudkan demokrasi ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 (Pasal 2) dan menjamin sistem persaingan usaha yang bebas dan adil untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat serta menciptakan sistem perekonomian yang efsien (Pasal 3). Oleh karena itu, mereka mengambil bagian pembukaan Undang Dasar 1945 yang sesuai dengan Pasal 3 Huruf a dan b Undang-Undang Nomor. 5 Tahun 1999 dari struktur ekonomi untuk tujuan

2

Undang-Undang Nomormor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek MoNomorpoli dan

perealisasian kesejahteraan nasional menurut Undang-Undang Dasar 1945 dan demokrasi ekonomi, dan yang menuju pada sistem persaingan bebas dan adil dalam pasal 3 Huruf a dan b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Hal ini menandakan adanya pemberian kesempatan yang sama kepada setiap pelaku usaha dan ketiadaan pembatasan persaingan usaha, khususnya penyalahgunaan wewenang di sektor ekonomi.3

B. Sejarah Pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha

Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertetntu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.4

Monopolisme dalam kegiatan ekonomi khususnya di Indonesia telah mencatatkan sejarah yang kelam. Praktek monopoli telah diterapkan sejak lama oleh para penjajah yang pada akhirnya hanya menguntungkan satu pihak dan merugikan bahkan menyengsarakan perekonomian rakyat kecil. Selepas kemerdekaan Indonesia, praktek monopoli ala kolonialisme sudah tidak diterapkan lagi. Meskipun demikian pada tataran praktis, kegiatan perekonomian secara makro tetap dikuasai oleh sekelompok orang yang dekat dengan lingkaran

3

Andi Fahmi Lubis, Dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks,(Jakarta,

KPPU-RI,2009 ), h. 15.

4

Undang-Undang Nomormor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan

kekuasaan. Wacana mereformasi sistem perekonomian yang monopolistik sebenarnya sudah ramai dibicarakan jauh sebelum meletusnya reformasi tahun 1998 meski wacana tersebut tidak sampai terejawantahkan pada tataran praktis. Kondisi seperti ini berjalan sampai terjadinya reformasi tahun 1998.

Sejak 1989, telah terjadi diskusi intensif di Indonesia mengenai perlunya perundang-undangan antimonopoli. Reformasi sistem ekonomi yang luas dan khususnya kebijakan regulasi yang dilakukan sejak tahun 1980, dalam jangka waktu 10 tahun telah menimbulkan situasi yang dianggap sangat kritis. Timbul konglomerat pelaku suaha yang dikuasai oleh keluarga atau partai tertentu, dan konglomerat tersebut dikatakan menyingkirkan pelaku usaha kecil dan menengah malalui praktek usaha yang kasar serta berusaha untuk mempengaruhi semaksimal mungkin penyusunan undang-undang serta pasar keuangan.

Tahun-tahun awal reformasi di Indonesia memunculkan rasa keprihatinan rakyat terhadap fakta bahwa perusahaan-perusahaan besar yang disebut konglomerat menikmati pangsa pasar terbesar dalam perekonomian nasional Indonesia. Dengan berbagai cara mereka berusaha mempengaruhi berbagai kebijakan ekonomi pemerintah sehingga mereka dapat mengatur pasokan atau

supply barang dan jasa serta menetapkan harga-harga secara sepihak yang tentu saja menguntungkan mereka. Koneksi yang dibangun dengan birokrasi

Dokumen terkait