• Tidak ada hasil yang ditemukan

Komisi pengawas persaingan usaha dalam perspektif ketatanegaraan islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Komisi pengawas persaingan usaha dalam perspektif ketatanegaraan islam"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

DALAM PERSPEKTIF KETATANEGARAAN ISLAM

(Kajian Terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum

Untuk memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)

Oleh:

Mohammad Fadloly

NIM: 105045201525

KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)
(5)

 

 

Hamdan Lillah, penulis panjatkan, karena hanya atas rahmat dan inayah Allah SWT penulisan skripsi yang berjudul: Komisi Pengawas Persaingan Usaha Dalam Perspektif Ketatanegaraan Islam (Kajian Terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak

Sehat)dapat penulis selesaikan.

Shalawat beserta salam, semoga Allah SWT senantiasa limpahkan kepada Baginda Rasul Muhammad SAW, keluarga, sahabat serta sampai kepada kita semua selaku umatnya. Amiin.

Melalui sebuah proses panjang dan pergulatan bathin yang multidimensi, penulisan skripsi ini dapat selesai. Tentu dalam proses tersebut banyak pihak yang senatiasa memberikan direct motivation and indirect motivation. Secara spesial penulis sampaikan terima kasih kepada Bapak Nahrowi, SH, MH, dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag. selaku pembimbing skripsi ini atas segala waktu dan kesabarannya dalam membimbing penulis .

(6)

Fakultas Syari’ah dan HukumUIN Syarif Hidayatulah Jakarta.

3. SekretarisProgram Studi Jinayah Siyasah Fakultas Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatulah Jakarta, Bapak Afwan Faizin, MA. 4. Prof. Dr. Hj. Amany B. Umar Lubis, Lc, MA selaku Dosen Pembimbing

Akademik yang telah memberikan masukan dan motivasi kepada Penulis dalam pengajuan skripsi ini.

5. Seluruh Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatulah Jakarta yang telah mendidik penulis selama menempuh pendidikan strata satu.

6. Seluruh Pegawai dan KaryawanFakultas Syari’ah dan HukumUIN Syarif Hidayatulah Jakarta, atas segala pelayanan kemahasiswaan yang diberikan.

7. KH. Moh. Yasin Husen yang mengajari penulis dari alif- ba- ta sampai sekarang. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat.

(7)

dukungan sepenuh hati, mendampingi penulis saat suka maupun duka, tak pernah lelah memberikan supportsehingga penulis menemukan inspirasi dan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini. Syukur pada-Mu ya Allah SWT, atas angugerah “bidadari” sebaik dirinya.

10. Adikku tersayang Siti Romlah, Kakaku tercinta ( Aminah, Absori, Sumaeni, & Sunifah) Keponakanku ( Ros, Alup, Uli, azki, Darul, Yasib, Marhamah, Maflihatuzzakiyah, Badruzzaman & Fahd ), Kakak ipar ku (Suja’I, Anita K, Carsan & Munawwir) dan Saudara Sepupu Fauzan M.Ag, Teh Umi Kulsum SAg, Ayip, Aghni, Bilqis & Nyai yang slalu memberikan dukungan.

11. The big family of Keluarga Mahasiswa Sunan Gunung Djati (KMSGD) Jakarta Raya dan Persatuan Mahasiswa Indramayu (PERMAI-AYU) DKI Jakarta.

12. Teman-teman Jurusan Siyasyah Syar’iyyah angkatan 2005 atas kebersamaan yang terjalin selama ini, khsusnya Afnanul Huda, Fathunniam, Usman Ibnu Yusuf, Dinnur dll.

(8)

Jakarta, 19 Mei 2011

(9)

LEMBAR PENGESHAN………

LEMBAR PERNYATAAN……….

KATA PENGANTAR ...

DAFTAR ISI ...

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan manfaat Penelitian ... 7

D. Tinjauan Pustaka... 8

E. Metode penelitian ... 9

F. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II KELEMBAGAAN NEGARA MENURUT UUD 1945 DAN KETATANEGARAAN ISLAM A. Lembaga Negara Menurut UUD 1945 ... 13

1. Pengertian dan Kategorisasi Lembaga Negara ... 13

2. Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945... 16

(10)

2. Shulthan Tasri’iyyah (Kekuasaan Legislatif) ... 25

3. Shulthan Qadhaiyyah (Kekuasaan Yudikatif) ... 27

BAB III KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA MENURUT

UNDANG-UNDANG NO 5 TAHUN 1999

A. Pengertian dan Tujuan Komisi Pengawas Persaingan

Usaha (KPPU)... 37

B. Sejarah Pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha... 39

C. Kedudukan, Susunan, Kewenangan dan Fungsi

Komisi Pengawas Persaingan Usaha ... 43

D. Kedudukan KPPU dalam Sistem Ketatanegaraan

(teori trias politika)... 49

E. Perbedaan Tugas dan Fungsi KPPU dengan Kementerian

Hukum dan HAM, Kementerian Perindustrian dan

Kementerian Perdagangan ... 52

(11)

KETATANEGARAAN ISLAM (ANALISIS PASAL 35 DAN PASAL 36

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG

LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA

TIDAK SEHAT)

A. Analisis Pasal 35 dan 36 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat ... 56

B. Kegiatan Pengawasan Persaingan Usaha Dalam

Prespektif Ketatanegaraan Islam... 63

1. Wilayah Hisbah Dalam Prespektif Ketatanegaraan

Islam...63

2. Tugas dan Wewenang Wilayah Hisbah...75 C. Bentuk Persamaan dan Perbedaan Komisi Pengawas

Persaingan Usaha (KPPU) Dengan Konsep Wilayah

Hisbah Dalam Prespektif Ketatanegaraan Islam...77

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan... 81

B. Saran-saran ... 83

(12)
(13)

1

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara yang sangat potensial untuk dikembangkan oleh

para pelaku bisnis karena potensi alam yang melimpah dan letak geografis yang

strategis. Berdasarkan kondisi tersebut tidak heran jika banyak bangsa lain yang

berkeinginan menjadi penguasa di Indonesia, sejak zaman penjajahan hingga era

kemerdekaan ini.

Kebijakan pemerintah orde baru di bidang ekonomi telah menumbuhkan

korporasi raksasa dan konglomerasi yang menguasai dan memonopoli perekonomian

Indonesia. Dunia perekonomian dimonopoli oleh beberapa segelintir pengusaha yang

mempunyai ikatan romantis dengan penguasa. Namun di sisi lain tidak ada instrumen

hukum yang secara tegas dapat diterapkan untuk menindak pelaku praktik monopoli.

Pengaturan tentang anti monopoli masih tersebar di beberapa peraturan

perundang-undangan dan bersifat sektoral, akibatnya penegakan hukum di bidang ini menjadi

sangat tidak efektif.

Melihat kondisi tersebut, tidak heran jika sudah sejak lama masyarakat

Indonesia, khususnya para pelaku bisnis menginginkan undang-undang yang secara

komprehensif mengatur persaingan sehat. Keinginan itu didorong oleh munculnya

praktik-praktik perdagangan yang tidak sehat, terutama karena penguasa sering

(14)

Terjadinya krisis ekonomi menyadarkan dan mendorong bagi diundangkannya

undang-undang yang secara khusus mengatur larangan praktik monopoli dan

persaingan usaha tidak sehat. Hal ini sejalan dengan prinsip demokrasi ekonomi yang

menghendaki adanya kesempatan sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi

di dalam proses produksi dan pemasaran barang atau jasa, iklim usaha yang sehat,

efektif, dan efisien sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya

ekonomi pasar yang wajar.

Untuk itu, maka pada tanggal 5 Maret 1999 diundangkanlah sebuah

undang-undang yang mengatur persoalan antimonopoli, yaitu UU No. 5 Tahun 1999 tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.1

Pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan

persaingan usaha tidak sehat yang dalam pelaksanaannya dipraktekkan oleh

Undang-undang Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Undang-Undang-undang persaingan usaha (UU

No. 5 Tahun 1999) merupakan implementasi dari UU yang diserahkan kepada

Komisi Pengawas Persaingan Usaha jenis lembaga independen yang terlepas dari

pengaruh pemerintah dan pihak lain,2 berwenang melakukan pengawasan persaingan

usaha dan menjatuhkan sanksi. Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam penegakan

hukum persaingan usaha Indonesia mempunyai posisi sentral tetapi bukan menjadi

1

KPPU di Garda Depan Edukasi Hukum Persaingan Usaha, artikel diakses pada tanggal 1

juli 2010 pada: http://www.kppu.go.id/baru/favicon.ico

2

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia , Undang-Undang Nomor 5 Tahun

(15)

back bone (tulang punggung) dalam pengembangan hukum persaingan usaha. Posisi sentral tersebut berkaitan dengan kedudukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha

yang diamanatkan oleh Bab IV UU Persaingan Usaha yaitu tentang kegiatan yang

dilarang. Komisi Pengawas Persaingan Usaha dinyatakan sebagai lembaga

pengawas. Pelaksanaan UU oleh para pelaku usaha yang bersifat independen tetapi

UU persaingan usaha membagi pengawasan tersebut ke dalam tugas dan wewenang.3

Tugas dan wewenang Komisi Pengawas Persaingan Usaha ditafsirkan

memberikan multifungsi dalam melakukan pengawasan pelaksanaan UU persaingan

usaha yaitu UU No. 5 Tahun 1999 telah memberikan KPPU kewenangan yang sangat

besar, sehingga menyerupai kewenangan lembaga peradilan (quasi judicial) yaitu diatur dalam pasal 35 dan pasal 36 yang memberikan kewenangan yang sangat luas

kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha sebagai penyidik, penuntut umum,

maupun sebagai pemutus terhadap tugas-tugas persaingan usaha.

Kewenangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha sebagai lembaga peradilan

yang bersifat quasi atau semu menjadi penentu bahwa Komisi Pengawas Persaingan

Usaha bukan merupakan back bone (tulang punggung) dalam melaksanakan UU No. 5 Tahun 1999.

Kewenangan yang dimiliki Komisi Pengawas Persaingan Usaha begitu besar

tetapi UU No. 5 Tahun 1999 menempatkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha

3

Komisi Pengawas Persaingan Usaha, artikel diakses pada tanggal 1 juli 2010 pada:

(16)

hanya sebagai lembaga yang pertama kali memeriksa kasus-kasus pelanggaran UU

Persaingan Usaha. Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam sistem hukum

Indonesia ditempatkan sebagai lembaga peradilan di tingkat awal, sehingga

memungkinkan dilakukan upaya hukum bagi para pelaku usaha. Keberatan terhadap

putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha merupakan upaya hukum bagi para

pelaku usaha. Upaya inilah yang memungkinkan bahwa dalam pengembangan hukum

persaingan usaha Indonesia ada pada lembaga peradilan yaitu Pengadilan Negeri

(PN) di tingkat pertama dan Mahkamah Agung (MA) di tingkat akhir. Kedua

lembaga peradilan inilah yang mempunyai peran penting dalam pengembangan

hukum persaingan usaha dengan melakukan pemeriksaan “keberatan“ yang diajukan

pelaku usaha atas keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha.4

Implementasi dari UU persaingan usaha penegakannya diserahkan pada

Komisi Pengawas Persaingan Usaha sebagai salah satu organ penegakan hukum

persaingan usaha tingkat awal, yang selanjutnya bila ada keberatan dilanjutkan pada

Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung.

Persoalan monopoli sesungguhnya merupakan persoalan yang sangat menarik

untuk dibahas. Bahkan permasalahan ini telah mendapat perhatian yang sangat serius

dari ajaran Islam, sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah SWT:

4

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Tentang Larangan Praktek Monopoli dan

(17)

$yg r’fl»t

¤ $¤Z9$#

(

#qŁ=. $£JˇB

˛

ß

˙ F{ $#

W

x »n=ym

$Y7˝hs

wur

(

#qªŁ˛6fiKs?

ˇ

N ”uq z

˙

‘ »s ł ⁄–9$#

4

…mflR˛) N3s9

A

r tª

ß ˛7B ˙ ˚ˇ ¨

Artinya: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; Karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah:168)

Selain riba, monopoli adalah komponen utama yang akan membuat kekayaan terkonsentrasi di tangan segelintir kelompok, sehingga menciptakan kesenjangan sosial dan ekonomi.

Kepemilikan dan penguasaan aset kekayaan di tangan individu adalah sesuatu

yang diperbolehkan dalam Islam. Namun demikian, ketika kebebasan tersebut

dimanfaatkan untuk menciptakan praktik-praktik monopolistik yang merugikan,

maka adalah tugas dan kewajiban negara untuk melakukan intervensi dan koreksi.5

Merujuk pada uraian singkat di atas maka penulis melakukan penelitian

skripsi yang berjudul “KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA DALAM

PERSPEKTIF KETATANEGARAAN ISLAM (Kajian Terhadap Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha

Tidak Sehat)”.

5

Hisbah dan Peranannya dalam Ekonomi, artkel diakses pada tanggal 1 juli 2010 pada:

(18)

B. Batasan dan Rumusan Masalah

1. Batasan Masalah

Persaingan usaha di Indonesia sangat maju sehingga dimanfaatkan

sebagian orang melakukan tindakan monopoli atau persaingan tidak sehat dan

perlu di bentuk adanya lembaga Komisi Pengawas Persaingan Usaha, maka

pada tanggal 5 Maret 1999 diundangkanlah sebuah undang-undang yang

mengatur persoalan antimonopoli,6 yaitu UU No. 5 Tahun 1999 tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Supaya pembahasan masalah dalam skripsi ini tidak meluas, maka

pembahasan skripsi ini dibatasi pada dua hal yaitu analisis Pasal 35 dan Pasal

36 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan prinsip-prinsip larangan

praktek monopoli serta persaingan usaha tidak sehat dalam prespektif

ketatanegaraan Islam.

2. Rumusan Masalah

Dari Pembatasan Masalah tersebut di atas, Penulis merumuskan

masalahnya sebagai berikut:

1. Bagaimana Kedudukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam

Kelembagaan Negara menurut Undang-Undang Dasar 1945.

6

Andi Fahmi Lubis, Dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks, (Jakarta, KPPU-RI,

(19)

2. Bagaimana Tugas, Wewenang dan Kedudukan Komisi Pengawas

Persaingan Usaha menurut Undang-Undang nomor 5 Tahun 1999 dalam

Ketatanegaraan Islam.

3. Bagaimana Bentuk Persamaan dan Perbedaan Komisi Pengawas

Persaingan Usaha (KPPU) Dengan Konsep Wilayah Hisbah Dalam Perspektif Ketatanegaraan Islam.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan mendapatkan gambaran yang jelas tentang Komisi

Pengawas Persaingan Usaha.

2. Untuk mengetahui bagaimana pandangan Islam tentang aktivitas kegiatan

usaha yang sehat.

Sedangkan manfaat penelitian ini antara lain adalah :

1. Memberikan gambaran mengenai kedudukan Komisi Pengawas Persaingan

Usaha dalam Kelembagaan Negara menurut Undang-Undang Dasar 1945.

2. Menambah Wawasan Tentang Bagaimana Tugas, Wewenang dan

Kedudukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha menurut Undang-Undang

(20)

D. Tinjauan Pustaka

Untuk memudahkan penulis dalam menyusun penulisan proposal skripsi ini,

penulis ingin memberikan rujukan terhadap tema yang membahas dan

tema-tema yang hampir sama terhadap pembahasan judul proposal, hanya saja yang secara

spesifik merupakan tinjauan wilayatul hisbah,

Karya Listiana Dwi Nusanti dari Fakultas Syariah dan Hukum tahun 2009,

dalam skripsinya yang berjudul lembaga kepolisian dalam perspektif Hukum Islam

(kajian posisi wilayatul hisbah di Nanggroe Aceh Darussalam) dalam literatur ini di

jelaskan apa yang menjadi tugas dan wewenang Wilayatul hisbah dalam pertahanan

(kepolisian), bagaimana lembaga kepolisian dalam hukum Islam, bagaimana

perbandingan hukum islam tentang posisi wilayatul Hisbah di Aceh dan lembaga

kepolisian di Indonesia.

Karya Abdul Rosid dari Fakultas Syariah dan Hukum tahun 2006, dalam

skripsinya yang berjudul Perbandingan mekanisme ijtihad dewan hisbah persis dan

majlis syuriyah NU dan aplikasinya dalam permasalahan kontemporer, skripsi ini

mejelaskan mekanisme ijtihad dewan hisbah, dan majlis syuriyah NU serta

membandingkan keduanya dalam berijtihad menentukan masalah yang kontemporer.

Berbeda dengan skripsi terdahulu, skripsi yang penulis buat ini membahasa

tentang bagaimana tugas dan wewenang Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang

tertuang dalam pasal 35 dan 36 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan apa

(21)

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan penulis dalam skripsi ini adalah jenis

penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian dengan cara mengumpulkan bahan-bahan yang berasal dari buku-buku, artikel-artikel, makalah,

majalah, koran serta bahan-bahan lainnya yang ada kaitannya dengan masalah yang

di angkat.

2. Tehnik Pengumpulan Data

Tehnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah tehnik

kepustakaan, yaitu dengan membaca buku atau literatur yang relevan dengan topik

masalah dalam penelitian ini

3. Sumber Data

a. Data Primer

Data primer antara lain: undang Dasar 1945, dan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat, serta buku-buku lain yang berkaitan

dengan bahasan penulis.

b. Data Skunder

Data skunder yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini

(22)

literatur-literatur lainnya yang dapat dijadikan sebagai bahan tambahan dalam

penulisan skripsi ini.

4. Tehnik Analisa Data

Pada tahap analisa data, data diolah dan dimanfaatkan sedemikian

rupa secara kualitatif sampai berhasil menyimpulkan kebenaran-kebenaran

yang dapat dipakai untuk menjawab persoalan yang diajukan dalam

penelitian. Adapun data-data tersebut dianalisis dengan metode deskriptif

analisis, yaitu suatu metode menganalisis dan menjelaskan suatu

permasalahan dengan memberikan suatu gambaran secara jelas hingga

menemukan jawaban yang diharapkan.

5. Tehnik Penulisan

Adapun tehnik penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada buku

“pedoman penulisan skripsi yang dikeluarkan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2007.

F. Sistematika Penulisan

Dalam Skripsi ini penulis membagi pembahasan ke dalam lima bab, dimana

masing-masing mempunyai penekanan pembahasan mengenai topik-topik tertentu,

yaitu:

Dalam Proposal Skripsi ini penulis membagi pembahasan ke dalam lima bab,

dimana masing-masing mempunyai penekanan pembahasan mengenai topik-topik

(23)

Bab Pertama, yaitu: Pendahuluan, Pada bab ini penulis menjelaskan mengenai latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, serta sistematika penulisan.

Bab Kedua, Kelembagaan Negara menurut UUD 1945 dan Ketatanegraan Islam; Menjelaskan tentang, Lembaga Negara Menurut UUD 1945, Pengertian dan

Kategorisasi Lembaga Negara, Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945,

Keberadaan KPPU Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan

Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Lembaga Negara Menurut

Konsep Ketatanegaraan Islam, Shulthan Tanfiziyyah (Kekuasaan Eksekutif), Shulthan Tasri’iyyah (Kekuasaan Legislatif) dan Shulthan Qadhaiyyah (Kekuasaan Yudikatif).

Bab Ketiga, Membahas secara umum mengenai Komisi Pengawas Persaingan Usaha menurut Undang-undang No 5 tahun 1999 yang berisi: Pengertian dan Tujuan

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Kedudukan Komisi Pengawas

Persaingan Usaha, Sejarah Pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha,

Kedudukan, Susunan, Kewenangan dan Tugas Komisi Pengawas Persaingan Usaha,

serta perbedaan Tugas dan Fungsi KPPU dengan Kementerian Hukum dan Ham,

Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan.

Bab Empat, Pada bab ini penulis melakukan analisis mengenai Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam Ketatanegaraan Islam kajian pasal 35 dan pasal

36 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha tidak sehat yang berisi : Analisis Pasal 35 dan 36 Undang-Undang

(24)

Persaingan Usaha Tidak Sehat, Kegiatan Pengawasan Persaingan Usaha Dalam

Prespektif Ketatanegaraan Islam, Wilayah Hisbah Dalam Prespektif Ketatanegaraan Islam, Tugas dan Wewenang Wilayah Hisbah Serta Bentuk Persamaan dan Perbedaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Dengan Konsep Wilayah Hisbah Dalam Prespektif Ketatanegaraan Islam.

(25)

13

KELEMBAGAAN NEGARA MENURUT UUD 1945 DAN KETATANEGARAAN ISLAM

A. Lembaga Negara Menurut UUD 1945

1. Pengertian dan Kategorisasi Lembaga Negara

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia lembaga adalah badan (organisasi)

yang tujuannya melakukan penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha,1

sedangkan kata negara diartikan sebagai organisasi dalam suatu wilayah yang

mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat.2

Secara sederhana istilah lembaga Negara atau organ Negara dapat dibedakan

dari perkataan lembaga atau organ swasta, lembaga masyarakat atau yang biasa

dikenal dengan sebutan Organisasi Non Politik (OrNoP), lembaga apapun yang

dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat disebut sebagai lembaga Negara

baik berada dalam eksekutif, legislatif, yudikatif atau bersifat campuran.3

Berbicara mengenai lembaga negara berarti berbicara mengenai alat

kelengkapan yang ada dalam sebuah negara. Penyelenggaraan pemerintahan suatu

negara akan berjalan dengan baik apabila didukung oleh lembaga-lembaga negara

1

Depertemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta: Balai Pustaka 2007), h. 655.

2

Depertemen Pendidikan Nasional, h. 777.

3

(26)

yang saling berhubungan satu sama lain sehingga merupakan satu kesatuan dalam

mewujudkan nilai-nilai kebangsaan dan perjuangan negara sesuai dengan kedudukan,

peran, kewenangan dan tanggung jawabnya masing-masing.

Lembaga negara yang diatur dan dibentuk oleh UUD merupakan organ

konstitusi, sedangkan yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang memiliki

kedudukan dibawah lembaga yang dibentuk berdasarkan UUD, sementara yang

dibentuk karena Keputusan Presiden tentunya lebih rendah lagi. Demikian pula jika

lembaga dimaksud dibentuk dan diberi kekuasaan berdasarkan Peraturan Daerah,

tentu lebih rendah lagi tingkatannya.4

Dalam setiap pembicaraan mengenai organisasi negara, ada dua unsur pokok

yang saling berkaitan, yaitu organ dan fungsi. Organ adalah bentuk atau wadahnya,

sedangkan fungsi adalah isinya; organ adalah status bentuknya (Inggris: form,

Jerman: vorm), sedangkan fungsi adalah gerakan wadah itu sesuai maksud pembentukannya. Dalam UUD 1945, organ-organ yang dimaksud ada yang disebut

secara eksplisit namanya, adapula lembaga atau organ yang nama, fungsi atau

kewenangannya diatur dengan peraturan yang lebih rendah.5

Jenis lembaga Negara berdasarkan kedudukannya,6 adalah:

4

Ibid, h. 42.

5

Jimly Asshiddiqie, Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, h. 45-46.

6

Achmad Roestandi, Mahkamah Konstitusi dalam Tanya Jawab (Jakarta: Sekretariat Jenderal

(27)

1) Lembaga legislatif, yaitu lembaga Negara yang berfungsi melaksanakan

cabang kekuasaan membuat undang-undang. Lembaga yang masuk

dalam golongan ini ada empat lembaga, yaitu: Dewan Perwakilan

Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Majelis

permusyawaratan Rakyat (MPR), dan Badan Pemeriksa Keuangan

(BPK).

2) Lembaga eksekutif, yaitu lembaga Negara yang berfungsi melaksanakan

cabang kekuasaan melaksanakan undang-undang. Dalam lembaga ini

ada presiden dan wakil presiden yang merupakan satu kesatuan institusi

kepresidenan.

3) Lembaga yudikatif, yaitu lembaga Negara yang berfungsi melaksanakan

cabang kekuasaan mengadili tehadap pelanggaran undang-undang.

dikenal adanya tiga lembaga, yaitu Mahkamah Konstitusi, Mahkamah

Agung, dan Komisi Yudisial. Yang menjalankan fungsi kehakiman

hanya dua, yaitu Mahkamah Konstitusi, dan Mahkamah Agung. Tetapi,

dalam rangka pengawasan terhadap kinerja hakim dan sebagai lembaga

pengusul pengangkatan hakim agung, dibentuk lembaga tersendiri yang

bemama Komisi Yudisial. Komisi ini bersifat independen dan berada di

luar kekuasaan Mahkamah Konstitusi ataupun Mahkamah Agung, dan

karena itu kedudukannya bersifat independen dan tidak tunduk kepada

(28)

(auxiliary)7 terhadap fungsi kehakiman yang terdapat pada Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Meskipun Komisi Yudisial

ditentukan kekuasaannya dalam UUD 1945, tidak berarti ia mempunyai

kedudukan yang sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah

Konstitusi. Komisi Yudisial bukanlah lembaga penegak hukum (the enforcer of the rule of law), tetapi merupakan lembaga penegak etika kehakiman (the enforcer of the rule of judicial ethics).

2. Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945

Jika dikaitkan dengan hal tersebut terdapat tidak kurang dari 34 organ yang

disebut keberadaannya dalam UUD 1945.8 Organ atau lembaga tersebut diurutkan

menurut pasal yang mengaturnya yang disebutkan dalam UUD 1945, adalah:

1. Majelis permusyawaratan Rakyat (MPR)

2. Presiden

7

Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, h. 112.

8

Dari 34 Lembaga tidak ditentukan dengan jelas keberadaannya dan kewenangannya dalam UUD 1945, hanya 28 Lembaga yang keberadaan dan kewenangannya ditentukan oleh UUD 1945, yaitu: 1). MPR, 2). Presiden. 3). Wakil Presiden, 4). Dewan Pertimbangan Presiden, 5). Kementerian Negar, 6). Menteri Luar Negeri, 7). Menteri Dalam Negeri, 8). Menteri Pertahanan, 9). Pemerintahan Daerah Propinsi, 10). Gubernur, 11). DPRD Propinsi, 12). Pemerintah Daerah Kabupaten, 13). Bupati, 14). DPRD Kabupaten, 15). Pemerintah Daerah Kota, 16). Walikota, 17). DPRD Kota, 18). DPR, 19). DPD, 20). Komisi Penyelenggara Pemilu (Komisi Pemilihan Umum), 21). Bank Sentral/ Bank Indonesia, 22). BPK, 23). MA, 24). MK, 25). Komisi Yudisial, 26). TNI, 27). POLRI, dan 28) Satuan pemerintah derah bersifat khusus.

Sedangkan 5 Lembaga lainnya tidak ditentukan dengan tegas dalam UUD 1945, yaitu: Duta, Konsul, TNI AD, TNI AL, dan TNI AU dan badan-badan lain yang berkaitan dengan kekuasaan

kehakiman. Lihat; Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca

(29)

3. Wakil Presiden

4. Dewan Pertimbangan Presiden

5. Kementerian Negara

6. Menteri Luar Negeri

7. Menteri Dalam Negeri

8. Menteri Pertahanan

9. Duta

10.Konsul

11.Pemerintahan Daerah Provinsi

12.Gubemur

13.Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi

14.Pemerintahan Daerah Kabupaten

15.Bupati

16.Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten

17.Pemerintah Daerah Kota

18.Walikota

19.Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota

20.Dewan Perwakilan Rakyat

21.Dewan Perwakilan Daerah

22.Komisi Penyelenggara Pemilihan Umum

23.Bank Sentral: Bank Indonesia

(30)

25.Mahkamah Agung

26.Mahkamah Konstitusi

27.Komisi Yudisial

28.Tentara Nasional Indonesia

29.Kepolisian Negara Republik Indonesia

30.Angkatan Darat (TNI AD)

31.Angkatan Laut (TNI AL)

32.Angkatan Udara (TNI AU)

33.Satuan Pemerintah Daerah yang Bersifat Khusus atau Istimewa

34.Badan-Badan lain yang Fungsinya Terkait dengan Fungsi Kekuasaan

Kehakiman.

Lembaga-lembaga Negara diatas dapat di bedakan lagi berdasarkan fungsi dan

Hierarki

Dari segi fungsinya, lembaga-lembaga tersebut, ada yang bersifat utama atau

primer, dan ada pula yang bersifat sekunder atau penunjang (auxiliary) yakni:9

1. Lembaga negara utama atau lembaga Negara primer (main state’s organs atau primary constitusional organs), yaitu lembaga Negara yang dibentuk untuk menjalankan salah satu cabang kekuasaan Negara

(eksekutif, legislatif, atau yudikatif).

9

(31)

2. Lembaga Negara penunjang atau lembaga Negara pendukung (auxiliary organs), yaitu lembaga Negara yang dibentuk untuk memperkuat lembaga Negara utama dalam menjalankan kekuasaannya, seperi Komisi

Yudisial (KY) yang meskipun dibuat berdasarkan amanat UUD pada

wilayah yudikatif, tetapi Komisi Yudisial secara fungsional tetap

bersifat lembaga penunjang (auxiliary) terhadap fungsi lembaga primer kehakiman. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibuat

berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Komisi Pengawas Persaingan

Usaha (KPPU) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 5

Tahun1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha

Tidak Sehat.

Sedangkan dari segi hirarkinya, lembaga-lembaga tersebut dapat dibedakan ke

dalam tiga lapis. Organ lapis pertama dapat disebut sebagai lembaga tinggi Negara,

yaitu:10

a) Presiden dan Wakil Presiden;

b) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);

c) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);

d) Mahkamah Konstitusi (MK);

e) Mahkamah Agung (MA);

f) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

10

(32)

Organ lapis kedua dapat disebut lembaga negara saja. Ada yang mendapatkan

kewenangannya dari UUD, dan ada pula yang mendapatkan kewenangannya dari

undang-undang. Lembaga negara kedua itu adalah:

a) Menteri Negara;

b) Tentara Nasional lndonesia;

c) Kepolisian Negara;

d) Komisi Yudisial;

e) Komisi pemilihan umum;

f) Bank sentral.

Organ lapis kedua ini dapat disejajarkan dengan posisi lembaga-lembaga

negara yang dibentuk berdasarkan undang-undang, seperti Komisi Nasional Hak

Asasi Manusia (KOMNAS HAM),11 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),12

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI),13 Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU),14

11

Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3889).

12

Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4250).

13

Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4252).

14

(33)

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR),15 Komisi Perlindungan Anak Indonesia

(KPAI)16, dan lain sebagainya.

Kelompok ketiga adalah lembaga negara yang sumber kewenangannya

berasal dari regulator atau pembentuk peraturan di bawah undang-undang. Misalnya

Komisi Hukum Nasional dan Komisi Ombudsman Nasional dibentuk berdasarkan

Keputusan Presiden belaka. Di samping itu, ada pula lembaga-lembaga daerah yang

diatur dalam Bab VI UUD 1945 tentang Pemerintah Daerah. Lembaga-lembaga

daerah tersebut adalah:

a) Pemerintahan Daerah Provinsi;

b) Gubemur;

c) DPRD provinsi;

d) Pemerintahan Daerah Kabupaten;

e) Bupati;

f) DPRD Kabupaten;

g) Pemerintahan Daerah Kota;

h) Walikota;

i) DPRD Kota

15

Undang-Undang No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4429).

16

(34)

3. Keberadaan KPPU Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Dalam Pasal 30 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat disebutkan

:”Untuk mengawasi pelaksanaan Undang-Undang ini dibentuk Komisi

Pengawas Persaingan Usaha yang selanjutnya disebut komisi”.

Keberadaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) merupakan

lembaga yang berfungsi sebagai pengawas pelaksanaan dari Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat. Dengan kata lain KPPU dapat dikatakan sebagai “wasit”

yang mengawasi sekaligus dapat memberikan eksekusi bagi pelaku usaha

yang melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

tersebut.

Sesuai dengan pasal 34 UU Nomor 5 tahun 1999, selanjutnya pembentukan

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) secara kelembagaan ditetapkan

berdasarkan Keputusan Presiden. Sebagai tindak lanjut UU Nomor 5 Tahun

1999 tersebut, dikeluarkanlah Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 75

Tahun 1999 tentang pembentukan sebuah komisi yang diberi nama Komisi

(35)

B.Lembaga Negara Menurut Ketatanegaraan Islam

Pada masa Rasulullah lembaga-lembaga belum dipisahkan dari wilayah

kekuasaan yang ada tetapi masih berada pada satu tangan yaitu penguasa atau kepala

Negara. Pada masa berikutnya, ketiga badan kekuasaan negara tersebut

masing-masing melembaga dan mandiri.17 Pembagian tiga macam kekuasaan ini disebutkan

dengan jelas pada masa khalifah Umar bin Khatab.18

Kondisi kelembagaan Islam pada awal perkembangan Islam di masa

Rasulullah SAW masih berpusat kepada beliau langsung. Keadaan ini dimaklumi

mengingat Rasulullah SAW merupakan figur central dalam seluruh sendi kehidupan

masyarakat. Meski demikian, pondasi-pondasi sebagai cikal bakal kelembagaan

dalam pemerintahan Islam telah diletakkan sejak awal oleh beliau. Seperti pengaturan

adanya baitul mall, sistem kehakiman (pengadilan) Islam, pedoman pembagian harta

rampasan perang (ghonimah) dll.

Pada perkembangan lebih lanjut, dalam sejarah ketatanegaraan Islam, terdapat

tiga badan kekuasaan, yakni Sulthan Tanfiziyyah (kekuasaan eksekutif), Sulthan Tasyri’iyyah (kekuasaan legislatif), dan Sulthan Qadhaiyyah (kekuasaan kehakiman). Pemisahan antara kekuasaan eksekutif dan yudikatif baru mulai dilakukan di

zaman para khalifah Nabi, dengan pengangkatan para hakim (Qadhi) serta pengangkatan kelompok sahabat senior yang memiliki kemampuan dalam

17

Salim Ali Al-Bahansawi, Wawasan Sistem Politik Islam (Jakarta: Pustaka Alkautsar, 1996).

18

(36)

memecahkan persoalan-persoalan yang terjadi, yang kemudian disebut ahl al-hall wa al-’aqd dan kini identifikasikan sebagai lembaga legislatif, seperti telah dilakukan Khalifah Umar yang dikenal sebagai negarawan, adminitrator serta seorang pembaru

yang membuat berbagai kebijakan mengenai pengelolaan wilayah kekuasaan.19

Dengan demikian, untuk beberapa provinsi, Umar telah memisahkan jabatan

peradilan dari jabatan eksekutif.

1. Sulthan Tanfiziyyah (Kekuasaan Eksekutif)

Dalam sistem tatanegara modern, kekuasaan Eksekutif mencakup Kepala

Negara (Presiden dan wakil presiden dan atau Raja dan Ratu), Perdana Menteri,

Menteri-menteri, serta Kepala-kepala Daerah. Kepala Negara adalah penghubung

antara dua kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudikatif.20

Sedangkan dalam sistem ketatanegaraan Islam kekuasaan eksekutif jika

dikategorikan berdasarkan fungsi, bentuk dan ruang lingkup tugasnya menurut

Al-Mawardi, mencakup: kepala negara (khalifah atau imam), lembaga kementerian

(wizarah) dan pemerintah daerah (imarat ‘ala al-bilad).

Sulthan Tanfiziyyah (Kekuasaan Eksekutif) merupakan pelaksana kegiatan pemerintahan baik ditingkat pusat maupun daerah. Keberadaan pemerintah daerah

19

Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h.73

20

Muhammad Al-Mubarak, Sistem Pemerintahan Dalam Perspektif Islam. Penerjemah

(37)

(imarat ‘ala al-bilad) dan kementerian (wizarah) merupakan kepanjangan tangan (wakil) dari pemerintah pusat dalam hal ini adalah khalifah atau imam karena keduanya diangkat dan diberhentikan oleh khalifah atau imam.

2. Sulthan Tasyri’iyyah (Kekuasaan Legislatif)

Secara terminologi fiqh, Sulthan Tasyri’iyyah (Kekuasaan Legislatif) disebut sebagai “lembaga penengah dan pemberi fatwa” (ahl al-hall wa al-‘aqd).21 Cukup jelas bahwa suatu negara yang didirikan dengan dasar kedaulatan de jure Allah, tidak dapat melakukan legislasi yang bertolak belakang dengan A-Qur’an dan As-sunnah,

meskipun konsensus rakyat menuntutnya.

Allah berfirman:

$tBur

t

b %x.

9

‘ ˇBsJˇ9 wur

>

puZˇBsªB #s ˛) | s%

! $#

…ª&Ł!q u ur

#•łBr&

br&

t

b q3t

ª

Ngs9 ouz ˇł:$# ‘ ˇB

Nˇd łBr&

3

‘ tBur

˜

¨ Łt

'

! $#

…ª&s!q u ur

s

)sø

¤

@|˚

W

x »n=|˚

$YZ˛7B

˙ ˇ¨

Artinya: Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia Telah sesat, sesat yang nyata. (QS. Al-Ahzab: 36)

21

Abdul A’la Al-Maududi, Hukum dan Konstitusi: Sistem Politik Islam. Cet III, Penerjemah

(38)

Dari perintah-perintah ini, maka timbul prinsip bahwa Majlis Tasyri’iyyah

(lembaga legislatif) dalam negara Islam sama sekali tidak berhak membuat

perundang-undangan yang bertentangan dengan tuntunan-tuntunan Allah SWT dan

Rasul-Nya, dan semua cabang legislasi, meskipun telah disahkan oleh Majlis Tasri’iyyah (lembaga legislatif) harus secara ipso facto dianggap ultra vires dari undang-undang dasar.22

Dalam sebuah negara Islam yang berwenang dalam hal ini adalah Majlis Tanfidz, yang mana didalamnya diduduki oleh para mujtahid dan ulama fatwa. Dalam masalah ini kewenangannya tidak lepas dari dua perkara, yaitu: satu, jika perkara yang dinisbatkan ada nash nya, maka tugas mereka adalah memahami nash dan menjelaskan hukum yang ditunjukannya; dua, jika suatu perkara tidak ada nashnya, maka tugas mereka adalah menganalogikan dengan perkara yang ada nashnya, dan

mengistinbath-kan (menetapkan) hukum dengan jalan ijtihad serta mencari sebab dan menelitinya.

Dengan demikian, dua pokok sumber hukum dan ajaran Islam yakni al-Qur’an

dan as-Sunnah merupakan referensi utama pengambilan keputusan yang diambil oleh

Majlis Tasyri’iyyah (lembaga legislatif). Dengan kata lain setiap produk hukum yang dihasilkan Majlis Tasyri’iyyah (lembaga legislatif) tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.

22

(39)

3. Sulthan Qadhaiyyah (kekuasaan kehakiman)

Kata Sulthatun sebuah kata yang berasal dari bahasa arab yang berarti pemerintahan. Dalam kamus Munawir sama dengan al-Qudrah yang berarti kekuasaan, kerajaan, pemerintahan.23 Menurut Louis Ma’luf, Shulthan berarti al-malik al-qudrah, yakni kekuasaan pemerintahan.24 Sedangkan al-Qadhaiyyah yaitu kekuasaan yang berkaitan dengan peradilan atau kehakiman.

Sedangkan secara etimologi, sulthatun bima’na alqudrah yakni: kekuasaan atas sesuatu yang kokoh dari bentuk perbuatan yang dilaksanakan atas bentuk

perbuatan yang ditinggalkan.

Dengan kata lain bahwa kekuasaan untuk mengawasi atau menjamin jalannya

proses perundang-undangan sejak penyusunan sampai pelaksanaan serta mengadili

perkara perselisihan, baik yang menyangkut perkara perdata maupun pidana. Dalam

bahasa Indonesia istilah ini dikenal dengan kekuasaan yudikatif.25

Kehadiran lembaga peradilan (Sulthan Qadhaiyyah) dalam sistem ketatanegaraan Islam adalah mutlak dibutuhkan sebagai lembaga pengawas dan

penegak dijalankannya aturan seuai denagan peraturan perundangan yang berlaku.

23

Ahmad Warson Munawir, Kamus Al-Munawir: Kamus Arab Indonesia Terlengkap

(Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 650.

24

Louis Ma,luf, Kamus Al-Munjid fi Al-Lughah wa Al-A’lam (Beirut: Daar al- Mashriq, 1973), h. 1095.

25

Rahman Ritonga, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid V, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 1657.lihat juga Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di

(40)

Petugas yang menjalankan fungsi lembaga peradilan (Sulthan Qadhaiyyah) dalam ketatanegaraan Islam disebut sebagai Qadhi (hakim).

Syarat-syarat menjadi Qadhi,26 yaitu: muslim, merdeka, baligh, berakal, adil, ahli fiqh (yang bisa mengetahui hukum serta aplikasinya), dikhususkan bagi qadhi madzalim ada syarat tambahan yaitu laki-laki dan mujtahid.

Dalam ketatanegaraan Islam, Shulthan Al-Qadhaiyyah dibedakan menjadi empat wilayat atau golongan, yaitu: Wilayat Al-Qadha, Wilayat Al-Hisbah, Wilayat madzalim dan Wilayat Al-Mahkamah al-Asykariyyah.

a. Wilayat Al-Qadha (

ﺀﺎﻀﻘﻟﺍ

ﺔﻳﻻﻭ

)

Wilayat Al-Qadha adalah lembaga yang bertugas berwenang dan memberi penerangan dan pembinaan hukum, menyelesaikan perkara sengketa, perselisihan.27

Menurut Salam Madzkur, Wilayat Al-Qadha adalah lembaga yang bertugas memutus sengketa antara dua pihak yang bertikai dengan hukum yang ditetapkan oleh Allah

SWT dengan benar dan adil tanpa memihak kepada salah satunya, menempatkan

mereka sama dihadapan Allah.28

26

Abdul Qadim Zallum, Sistem Pemerintahan Islam, Penerjemah: M. Maghfur W, (Bangil jawa timur: Al-Izzah, 2002), h. 232.

27

Jaenal Aripin, Peradilan Agama Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di

Indonesia, h.166.

28

Muhammad Salam Madzkur, Peradilan dalam Islam,Penerjemah AM, Imron (Surabaya:

(41)

Taqiyyudin an-Nabhani menyebut lembaga ini sebagai peradilan (qadha)

biasa, yang mengurusi penyelesaian perkara ditengah masyarakat dalam hal

muamalah (transaksi yang dilakukan satu orang dengan yang lainnya) dan ‘uqubat

(sanksi hukum).29 Dengan demikian lembaga ini mirip dengan lembaga peradilan

perdata.

Lembaga qadha dibentuk untuk menangani kasus-kasus (kehidupan sosial dan keagamaan masyarakat muslim dan atau non muslim yang dzimmi) yang membutuhkan keputusan berdasarkan hukum syariah.30

b. Wilayat Al-Hisbah (

ﺔﺒﺴﳊﺍ

ﺔﻳﻻﻭ

)

1. Pengertian Wilayah Hisbah

Wilayah hisbah terdiri dari dua kata, yaitu kata wilayah dan hisbah, yang secara harfiah diartikan dengan kewenangan melakukan sesuatu perbuatan baik

dengan penuh perhitungan.

Wilayat Al-Hisbah adalah salah satu badan pelaksana kekuasaan kehakiman dalam Islam yang bertugas untuk menegakkan kebaikan dan mencegah kezaliman.

Al-Mawardi mendefinisikan al-hisbah dengan;

29

Taqiyuddin An-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam: Doktrin, Sejarah, dan

RealitasEmpirik, Penerjemeh Moh. Maghfur Wachid (Bangil: Penerbit Al-Izzah, 1997), h. 248.

30

Nur Mufid dan Nur Fuad, Bedah Al-Akhmamussulthaniyyah: Mencermati Konsep

(42)

ﹸﺔﺒﺴِﺤﹾﻟﹶﺍ

ﻲِﻫ

ﺮﻣﹶﺃ

ِﻑﻭﺮﻌﻤﹾﻟﺎِﺑ

ﺍﹶﺫِﺇ

ﺮﻬﹶﻇ

ﻪﹸﻛﺮﺗ

ﻲﻬﻧﻭ

ِﻦﻋ

ِﺮﹶﻜﻨﻤﹾﻟﺍ

ﺍﹶﺫِﺇ

ﺮﻬﹾﻇﹶﺃ

ﻪﹸﻠﻌِﻓ

Artinya: “Menyuruh kepada kebaikan jika terbukti kebaikan itu ditinggalkan (tidak diamalkan), dan melarang dari kemungkaran jika terbukti kemungkaran dikerjakan.31 Allah berfirman:

ﻦﹸﻜﺘﹾﻟﻭ

ﻢﹸﻜﻨِﻣ

ﹲﺔﻣﹸﺃ

ﹶﻥﻮﻋﺪﻳ

ﻰﹶﻟِﺇ

ِﺮﻴﺨﹾﻟﺍ

ﹶﻥﻭﺮﻣﹾﺄﻳﻭ

ِﻑﻭﺮﻌﻤﹾﻟﺎِﺑ

ﹶﻥﻮﻬﻨﻳﻭ

ِﻦﻋ

ِﺮﹶﻜﻨﻤﹾﻟﺍ

ﻚِﺌﹶﻟﻭﹸﺃﻭ

ﻢﻫ

ﹶﻥﻮﺤِﻠﹾﻔﻤﹾﻟﺍ

) .

ﻝﺁ

ﻥﺍﺮﻤﻋ

:

١٠٤

(

Artinya:“Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran : 104).

Hisbah dipandang meluas bisa mencakup semua anggota masyarakat yang mampu memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran, baik mereka itu

ditugasi oleh Negara atau tidak diwajibkan secara resmi, sebagaimana ruang lingkup

hisbah yang mencakup hak-hak Allah dan hak-hak manusia, artinya bahwa hisbah

mencakup semua sisi kehidupan.32

31

Al-Mawardi, Al-Akhkam A-Shuthaniyyah wal-wilaadatud-diniyyah. Penerjemah Fadli Bahri

(Jakarta: PT. Darul Falah, 2006), h. 398.

32

Jariban bin Ahmad Al-Haritsi, Fiqh Iqtishadi Li Amiril Mukminin Umar Ibn

(43)

2. Tugas dan wewenang Wilayah Hisbah

Kewenangan wilayah hisbah sesungguhnya merupakan kewenangan untuk

menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat munkar, serta menjadikan

kemaslahatan dalam masyarakat. Wilayah Hisbah mempunyai tugas yang sangat banyak dan luas, tak heran kalau Ibnu Khaldun menyetarakan fungsi wilayatul hisbah

dengan fungsi Khilafah (pemerintahan). Semua yang diperintahkan dan dilarang oleh

syara’ adalah tugas Muhtasib.33

Seorang petugas hisbah (Muhtasib) memasuki seluruh sendi kehidupan masyarakat. Kewajibannya tidak terbatas dalam hal perintah memakai jilbab, perintah

melaksanakan orang yang lalai shalat jumat, melarang berbagai maksiat dan

kemungkaran, tetapi juga dalam bidang ekonomi, seperti mengawasi praktik jual beli

dari riba, gharar, serta kecurangan, mengawasi standar timbangan dan ukuran yang

biasa digunakan, memastikan tidak ada penimbunan barang yang merugikan

masyarakat, mengawasi makanan halal,34 juga aspek sosial-budaya, seperti melarang

kegiatan hiburan yang bertentangan dengan Islam, memberantas judi buntut,

minuman keras, praktik asusila dan lain-lain.

Wilayah Hisbah memasuki lorong-lorong kecil di kampung-kampung, setiap hari kerjanya adalah amar ma’ruf nahi mungkar, tidak ada perkara syariat yang luput dari perhatiannya. Wilayah Hisbah adalah lembaga yang setiap hari berkampanye

33

Jaenal Aripin, Peradilan Agama .. .…., h. 168.

34

Rohadi abd. Fatah, Islam and Good Governance, ijtihad politik umar bin Abdul Aziz

(44)

menumbuhkan kesadaran syariat Islam dan mengawasi pelaksanaannya dalam

masyarakat. Sebab itu, Muhtasib yang baik adalah yang lebih sering berada di jalanan, di pasar, di kampung-kampung memantau pelaksanaan syariat oleh

masyarakat, daripada hanya sekedar berada di kantor.

Namun demikian Wilayah Hisbah hanya bertugas mengawasi hal-hal yang tampak (zahir) dan sudah ma’ruf di kalangan masyarakat. Yaitu perkara-perkara umum yang tidak ada perselisihan ulama tentang kewajiban melaksanakannya

ataupun meninggalkannya, atau sering juga disebut perkara-perkara yang sudah

menjadi ‘uruf (adat) dalam keseharian masyarakat. Adapun perkara-perkara detail yang masih berupa was-was, dugaan, dan memerlukan investigasi secara mendalam,

pembuktian, kesaksian dan sumpah adalah bukan wewenang Wilayah Hisbah, tetapi menjadi wewenang lembaga lainnya yaitu wilayatul qadha’ atau wilayatul madzalim.

Secara umum tugas dan dan fungsi muhtasib adalah:35

1) Menjalankan tugas amar maruf nahi munkar.

2) Melakukan supervise (pengawasan) pelaksanaan perdagangan dan pasar.

3) Supervise bidang pertanian dan lapangan kehidupan sosial.

4) Memberikan hukuman.

35

(45)

Seorang muhtasib memiliki hak-hak untuk melaksanakan hukuman apabila ada pelanggaran secara langsung tanpa harus menunggu dilaksanakannya hukuman

melalui proses pengadilan.36

Di samping itu, Wilayah Hisbah juga mempunyai wewenang menjatuhkan hukuman kepada orang-orang yang terbukti melanggar syari’at. Tentu hukuman itu

berbentuk ta’zir,37 yaitu hukuman yang diputuskan berdasarkan kearifan sang hakim diluar bentuk hukuman yang ditetapkan syara’. Hukuman yang dijatuhkan Wilayah Hisbah juga tidak seberat hukuman yang dijatuhkan melalui lembaga peradilan.

Tentu ketika menjatuhi hukuman Wilayah Hisbah harus sudah mempunyai cukup bukti dan memang tampak jelas (terbukti) bahwa seseorang betul-betul

melanggar syari’at, atau tampak jelas seseorang meninggalkan perkara syari’at.

Karena itu Wilayah Hisbah tidak boleh sewenang-wenang, apalagi kalau hanya berdasarkan prasangka-prasangka yang belum tentu benar. Ini penting karena

masyarakat tentu sangat sensitif terhadap segala macam bentuk hukuman, apalagi

kalau ternyata ia tidak melanggar syari’at atau hanya berdasarkan prasangka Wilayah Hisbah saja. Kesalahan menjatuhi hukuman akan membuat masyarakat apatis terhadap syariat. Dan menganggap syari’at mengganggu kebebasan privasi mereka.

36

Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, h. 168.

37

(46)

c. Wilayat Al-Madzalim (

ﱂﺎﻈﳌﺍ

ﺔﻳﻻﻭ

)

Wilayat Al-Madzalim adalah suatu kekuasaan dalam bidang pengadilan, yang lebih tinggi dari kekuasaan hakim dan kekuasaan muhtasib.38 Jika dibandingkan dengan lembaga-lembaga kehakiman sekarang, boleh disamakan dengan Pengadilan

Tinggi atau Mahkamah Agung, sebagai tempat bagi orang yang kalah tak puas

membandingkan perkaranya.39 Lembaga ini mengurusi penyelesaian perkara

perselisihan yang terjadi antara rakyat dan negara.40

Pejabat lembaga ini disebut sebagai Qadhi Mazhalim, yaitu Qadhi yang diangkat oleh khalifah atau bisa juga diangkat oleh kepala Qadhi.41 Sedangkan yang berwenang untuk memberhentikan, mengoreksi, mendisiplinkan serta memutasinya

dilakukan oleh khalifah atau mahkamah Mazhalim.42

Secara keseluruhan, menurut Muhammad Asad, Wilayat Al-Madzalim

mempunyai hak atau wewenang:43

38

Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, h. 92.

39

A. Hajmy, Dimana Letaknya Negara Islam (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1984), h. 258.

40

Taqiyuddin An-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam…, h. 248.

41

Abdul Qadim Zallum, Sistem Pemerintahan Islam, Penerjemah: M. Maghfur W, (Bangil jawa timur: Al-Izzah, 2002), h. 246.

42

Taqiyuddin An-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam, h. 265.

43

Muhammad Asad (Leopoldweiss), Masalah Kenegaraan Dalam Islam. Penerjemah Oemar

(47)

1) Menengahi segala perkara pertikaian antara Amir (Kepala Negara) dan

Majelis Syura berdasarkan peraturan nash Al-qur’an dan Sunnah, yang mana pertikaian itu diajukan ke mahkamah ini oleh salah satu diantara

kedua belah pihak.

2) Memveto salah satu perundang-undangan yang telah diputuskan oleh

Majelis Syura atau salah satu pekerjaan administratif dari pihak Amir

(Kepala Negara) dengan persetujuan Mahkamah, yangmana pendapat

Mahkamah bertentangan dengan nash Al-qur’an dan Sunnah.

3) Mengadakan referendum untuk menurunkan Amir (Kepala Negara) dari jabatannya, dimana Majelis Syura dengan duapertiga golongan yang mengajukan pengaduan bahwa dalam pemerintahannya sudah melanggar

syari’at.

d.Wilayat Al-Mahkamah al-‘askariyyah

(

ﺔﻳﺮﻜﺸﻌﻟﺍ

ﺔﻤﻜﶈﺍ

ﺔﻳﻻﻭ

)

Al-Mahkamah al-‘askariyyah merupakan salah satu lembaga kekuasaan kehakiman yang secara khusus menangani perkara-perkara yang terkait dengan

militer. Lembaga ini dibentuk pada masa pemerintahan Bani Abbas dengan Qadhi Al-Asykar atau Qadhi Al-Jund sebagai sebutan pejabat hakim. Posisi ini sudah ada sejak Sultan Salahuddin Yusuf bin Ayyub.44 Tugasnya adalah untuk menghadiri

44

(48)

didang di Dar al-‘Adl, terutama persidangan tersebut menyangkut tentang anggota militer/ tentara. 45

Lembaga ini mirip dengan lembaga Mahkamah Militer yang ada di indonesia.

Keberadaan Al-Mahkamah al-‘askariyyah dalam system ketatanegaraan Islam merupakan salah satu bukti bahwa keadilan merupakan harga mati yang harus

ditegakkan oleh siapapun dan dimanapun. Dengan kata lain semua warga Negara

tanpa kecuali termasuk anggota militer/ tentara harus taat dan tunduk pada hukum

yang berlaku.

45

Muna ‘Abd al-Ghani Hasan, Al-Qadha fi al-Hayah as-Siyasiyyah wa al-Ijtima’iyyah fi Misr

(49)

37

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR. 5 TAHUN 1999

A. Pengertian dan Tujuan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)

Dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 disebutkan bahwa : ”Komisi

Pengawas Persaingan Usaha adalah Komisi yang dibentuk untuk mengawasi

pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan praktek

monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”.1 Meski keanggotaan KPPU

diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dan bertanggung jawab langsung

kepada presiden, tetapi dalam menjalankan fungsi dan wewenangnya, KPPU

bersifat independen. Indenpendensi KPPU yang bebas dari intervensi semua

pihak termasuk pemerintah merupakan sebuah keniscayaan yang dimiliki KPPU

sehingga dapat menjalankan fungsi, tugas dan wewenangnya secara obyektif

sesuai dengan aturan dan perundang-undangan yang berlaku.

Kegiatan usaha yang dilakukan oleh pelaku usaha di Indonesia

sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 pasal 2

berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara

kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.

1

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia , Undang-Undang Nomormor 5

Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek MoNomorpoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ,

(50)

Adapun tujuan dari Undang-Undang Nomor. 5 tahun 1999 sebagaimana

diatur pada Pasal 3 adalah untuk:2

a. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efsiensi ekonomi

nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan

rakyat;

b. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan

persaingan usaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha

menengah dan pelaku usaha kecil;

c. Mencegah praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat yang

ditimbulkan oleh pelaku usaha, dan

d. Terciptanya efektivitas dan efsiensi dalam kegiatan usaha.

Pasal 2 dan 3 tersebut di atas menyebutkan asas dan tujuan-tujuan utama

Undang-Undang Nomor. 5 Tahun 1999. Diharapkan bahwa peraturan

mengenai persaingan akan membantu dalam mewujudkan demokrasi ekonomi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945

(Pasal 2) dan menjamin sistem persaingan usaha yang bebas dan adil untuk

meningkatkan kesejahteraan rakyat serta menciptakan sistem perekonomian yang

efsien (Pasal 3). Oleh karena itu, mereka mengambil bagian pembukaan

Undang Dasar 1945 yang sesuai dengan Pasal 3 Huruf a dan b

Undang-Undang Nomor. 5 Tahun 1999 dari struktur ekonomi untuk tujuan

2

Undang-Undang Nomormor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek MoNomorpoli dan

(51)

perealisasian kesejahteraan nasional menurut Undang-Undang Dasar 1945 dan

demokrasi ekonomi, dan yang menuju pada sistem persaingan bebas dan adil

dalam pasal 3 Huruf a dan b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Hal ini

menandakan adanya pemberian kesempatan yang sama kepada setiap pelaku

usaha dan ketiadaan pembatasan persaingan usaha, khususnya

penyalahgunaan wewenang di sektor ekonomi.3

B. Sejarah Pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha

Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau

lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran

atas barang dan atau jasa tertetntu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak

sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.4

Monopolisme dalam kegiatan ekonomi khususnya di Indonesia telah

mencatatkan sejarah yang kelam. Praktek monopoli telah diterapkan sejak lama

oleh para penjajah yang pada akhirnya hanya menguntungkan satu pihak dan

merugikan bahkan menyengsarakan perekonomian rakyat kecil. Selepas

kemerdekaan Indonesia, praktek monopoli ala kolonialisme sudah tidak

diterapkan lagi. Meskipun demikian pada tataran praktis, kegiatan perekonomian

secara makro tetap dikuasai oleh sekelompok orang yang dekat dengan lingkaran

3

Andi Fahmi Lubis, Dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks,(Jakarta,

KPPU-RI,2009 ), h. 15.

4

Undang-Undang Nomormor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan

(52)

kekuasaan. Wacana mereformasi sistem perekonomian yang monopolistik

sebenarnya sudah ramai dibicarakan jauh sebelum meletusnya reformasi tahun

1998 meski wacana tersebut tidak sampai terejawantahkan pada tataran praktis.

Kondisi seperti ini berjalan sampai terjadinya reformasi tahun 1998.

Sejak 1989, telah terjadi diskusi intensif di Indonesia mengenai perlunya

perundang-undangan antimonopoli. Reformasi sistem ekonomi yang luas dan

khususnya kebijakan regulasi yang dilakukan sejak tahun 1980, dalam jangka

waktu 10 tahun telah menimbulkan situasi yang dianggap sangat kritis. Timbul

konglomerat pelaku suaha yang dikuasai oleh keluarga atau partai tertentu,

dan konglomerat tersebut dikatakan menyingkirkan pelaku usaha kecil dan

menengah malalui praktek usaha yang kasar serta berusaha untuk mempengaruhi

semaksimal mungkin penyusunan undang-undang serta pasar keuangan.

Tahun-tahun awal reformasi di Indonesia memunculkan rasa keprihatinan

rakyat terhadap fakta bahwa perusahaan-perusahaan besar yang disebut

konglomerat menikmati pangsa pasar terbesar dalam perekonomian nasional

Indonesia. Dengan berbagai cara mereka berusaha mempengaruhi berbagai

kebijakan ekonomi pemerintah sehingga mereka dapat mengatur pasokan atau

supply barang dan jasa serta menetapkan harga-harga secara sepihak yang tentu saja menguntungkan mereka. Koneksi yang dibangun dengan birokrasi

Negara membuka kesempatan luas untuk menjadikan mereka sebagai pemburu

rente. Apa yang mereka lakukan sebenarnya hanyalah mencari peluang untuk

(53)

bentuk lisensi, konsesi, dan hak-hak istimewa lainnya. Kegiatan pemburuan rente

tersebut, oleh pakar ekonomi William J. Baumol dan Alan S. Blinder dikatakan

sebagai salah satu sumber utama penyebab inefsiensi dalam perekonomian

dan berakibat pada ekonomi biaya tinggi (high cost economy).

Latar belakang penyusunan undang-undang antimonopoli adalah

perjanjian yang dilakukan antara Dana Moneter Internasional (IMF) dengan

pemerintah Republik Indonesia, pada tanggal 15 Januari 1998. Dalam perjanjian

tersebut, IMF menyetujui pemberian bantuan keuangan kepada Negara Republik

Indonesia sebesar US$ 43 miliar yang bertujuan untuk mengatasai krisis

ekonomi, akan tetapi dengan syarat Indonesia melaksanakan reformasi

ekonomi dan hukum ekonomi tertentu. Hal ini menyebabkan diperlukannya

undang-undang antimonopoli.5

Meskipun demikian, Momerandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah Indonesia dengan IMF bukan satu-satunya alasan lahirnya

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dengan kata lain, kelahiran Undang-Undang

tersebut bukan merupakan intervensi dalam bentuk “pesanan” pihak luar (IMF).

Sejatinya kelahiran Undang-Undang tersebut merupakan cita-cita pemerataan

pembangunan ekonomi yang berbasis keadilan dan kesejahteraan masyarakat

Indonesia.

5

(54)

Dengan latar belakang demikian, maka disadari bahwa pembubaran

ekonomi yang dikuasai Negara dan perusahaan monopoli saja tidak cukup

untuk membangun suatu perekonomian yang bersaing. Disadari juga hal-hal

yang merupakan dasar pembentukan setiap perundang-undangan antimonopoli,

yaitu justru pelaku usaha itu sendiri yang cepat atau lambat melumpuhkan dan

menghindarkan dari tekanan persaingan usaha dengan melakukan perjanjian atau

penggabungan perusahaan yang menghambat persaingan serta penyalahgunaan

posisi kekuasaan ekonomi untuk merugikan pelaku usaha yang lebih kecil.

Disadari adanya keperluan bahwa Negara menjamin keutuhan proses persaingan

usaha terhadap gangguan dari pelaku usaha terhadap gangguan dari pelaku

usaha dengan menyusun undang-undang, yang melarang pelaku usaha mengganti

hambatan perdagangan oleh Negara yang baru saja ditiadakan dengan hambatan

persaingan swasta.

Indonesia sendiri baru memiliki aturan hukum dalam bidang persaingan

usaha, setelah atas inisiatif DPR disusun rancangan Undang-Undang Larangan

Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Rancangan

Undang-Undang tersebut akhirnya disetujui dalam Sidang Paripurna DPR pada tanggal 18

Februari 1999, dalam hal ini pemerintah diwakili oleh Menteri Perindustrian dan

Perdagangan Rahardi Ramelan. Setelah seluruh prosedur legislasi terpenuhi,

(55)

Usaha Tidak Sehat ditandatangani oleh Presiden B.J. Habibie dan diundangkan

pada tanggal 5 Maret 1999 serta berlaku satu tahun setelah diundangkan.6

Berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan

Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagai tindak lanjut hasil

Sidang Istimewa MPR-RI yang digariskan dalam Ketetapan MPR-RI Nomor.

X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka

Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional, maka Indonesia

memasuki babak baru pengorganisasian ekonomi yang berorientasi pasar.7

C. Kedudukan, Susunan, Kewenangan dan Tugas Komisi Pengawas Persaingan Usaha

1. Kedudukan KPPU

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) merupakan lembaga

negara komplementer (state auxiliary organ)8 yang mempunyai wewenang berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 untuk melakukan penegakan

hukum persaingan usaha. Secara sederhana state auxiliary organ adalah lembaga negara yang dibentuk diluar konstitusi dan merupakan lembaga yang membantu

6

Ibid., h. 13.

7

Ibid., h. 14.

8

(56)

pelaksanaan tugas lembaga negara pokok (Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif)9

yang sering juga disebut dengan lembaga independen semu negara (quasi).

Peran sebuah lembaga independen semu negara (quasi) menjadi penting sebagai

upaya responsif bagi negara-negara yang tengah transisi dari otoriterisme ke

demokrasi.10

Lembaga quasi tersebut menjalankan kewenangan yang sebenarnya

sudah diakomodir oleh lembaga negara yang sudah ada, tetapi dengan

keadaan ketidakpercayaan publik (public distrust) kepada eksekutif, maka dipandang perlu dibentuk lembaga yang sifatnya independen, dalam arti tidak

merupakan bagian dari tiga pilar kekuasaan. Lembaga-lembaga ini biasanya

dibentuk pada sektor-sektor cabang kekuasaan seperti yudikatif (quasi-judicial), eksekutif (quasi-public) yang fungsinya bisa berupa pengawasan terhadap lembaga negara yang berada di sektor yang sama atau mengambil alih beberapa

kewenangan lembaga negara di sektor yang sama.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) merupakan lembaga

independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang11. Selanjutnya, KPPU

merupakan suatu organ khusus yang mempunyai tugas ganda selain

9

Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi

(Konpress, 2006), h. 24.

10

6 Juli 2009 http:// www.reformasihukum.org

11

Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi

(57)

menciptakan ketertiban dalam persaingan usaha juga berperan untuk menciptakan

dan memelihara iklim persaingan usaha yang kondusif. Meskipun KPPU

mempunyai fungsi penegakan hukum khususnya Hukum Persaingan Usaha,

namun KPPU bukanlah lembaga peradilan khusus persaingan usaha. Dengan

demikian KPPU tidak berwenang menjatuhkan sanksi baik pidana maupun

perdata. Kedudukan KPPU lebih merupakan lembaga administratif karena

kewenangan yang melekat padanya adalah kewenangan administratif, sehingga

sanksi yang dijatuhkan

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian ini nantinya dapat menghasilkan sistem aplikasi mobile berbasis android yang mampu memberikan informasi daya listrik yang di hasilkan oleh pembangkit listrik

Berdasarkan Penetapan Pemenang Paket Pekerjaan PEMBANGUNAN GEDUNG KANTOR CAMAT BOLANGITANG

Dengan ini kami Kelompok Kerja (Pokja) I Unit Layanan Pengadaan (ULP) Kabupaten Barito Timur mengundang Calon Penyedia Barang/Jasa untuk dapat menghadiri Pembuktian Kualifikasi

Pada setiap tanggal laporan posisi keuangan, Perusahaan mengevaluasi apakah terdapat bukti obyektif bahwa aset keuangan mengalami penurunan nilai. Suatu aset keuangan

Apabila penyedia jasa yang merasa keberatan atas Penetapan dan Pengumuman Pemenang ini, maka diberikan kesempatan untuk menyampaikan sanggahan kepada ULP Kabupaten Ogan Ilir

Kedua orang tua tercinta yaitu Papa Sutoyo Wilianto dan Mama Indrawati yang selalu memberikan dukungan, doa serta materi sehingga pendidikan Apoteker di Profesi

Berdasarkan uraian diatas bahwa kesadaran tidak ada hubungannya dengan kemauan membayar pajak dan pemahaman wajib pajak UMKM masih minim, maka peneliti melakukan

[r]