• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2 Kondisi Keberlanjutan Usaha Peternak Sapi Perah Rakyat

5.2.1 Keberlanjutan dari Dimensi Ekologi

Keberlanjutan dari dimensi ekologi adalah mengenai usaha peternakan yang dijalankan telah sesuai dengan peruntukan ruang dan daya dukung lahan serta tidak menimbulkan tekanan terhadap lingkungan hidup. Pengembangan kegiatan di suatu wilayah tidak terlepas dari kebijakan pemerintah dalam menetapkan peruntukan ruang. Berkaitan dengan kebijakan yang mengatur pemanfaatan ruang, khususnya yang terkait dengan pengembangan peternakan di kawasan puncak terdapat beberapa peraturan yang dijadikan acuan, diantaranya:

1. Peraturan Presiden No.54 Tahun 2008 tentang Kawasan Jabodetabekpunjur. Berdasarkan Perpres ini, tujuan penataan ruang Kawasan Jabodetabekpunjur adalah untuk:

a. mewujudkan keterpaduan penyelenggaraan penataan ruang antar daerah sebagai satu kesatuan wilayah perencanaan dengan memperhatikan keseimbangan kesejahteraan dan ketahanan;

36

b. mewujudkan daya dukung lingkungan yang berkelanjutan dalam pengelolaan kawasan, untuk menjamin tetap berlangsungnya konservasi air dan tanah, menjamin tersedianya air tanah dan air permukaan, serta menanggulangi banjir; dan

c. mengembangkan perekonomian wilayah yang produktif, efektif, dan efisien berdasarkan karakteristik wilayah bagi terciptanya kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan dan pembangunan yang berkelanjutan.

Kecamatan Cisarua dalam Perpres ini terbagi atas tiga zona pemanfaatan yaitu Zona B1, B3 dan B4. Zona B1 adalah zona dengan karakteristik sebagai kawasan yang mempunyai daya dukung lingkungan tinggi, tingkat pelayanan prasarana dan sarana tinggi, dan bangunan gedung dengan intensitas tinggi, baik vertikal maupun horizontal. Zona B3 mempunyai daya dukung lingkungan rendah, tingkat pelayanan prasarana dan sarana rendah, dan merupakan kawasan resapan air. Zona B4 merupakan zona dengan karakteristik sebagai kawasan yang mempunyai daya dukung lingkungan rendah tetapi subur dan merupakan kawasan resapan air, serta merupakan areal pertanian lahan basah bukan irigasi teknis dan pertanian lahan kering.

2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 114 Tahun 1999 tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur

Pengembangan peternakan di Kecamatan Cisarua yang termasuk dalam Kawasan Puncak tidak terlepas dari kebijakan yang mengatur tentang tata ruang kawasan Puncak. Berdasarkan Keppres ini Kawasan Bopunjur ditetapkan sebagai kawasan konservasi air dan tanah dengan tujuan untuk:

a. Menjamin tetap berlangsungnya konservasi air dan tanah yang merupakan fungsi utama kawasan;

b. Menjamin tersedianya air tanah, air permukaan dan penanggulangan banjir bagi Kawasan Bopunjur dan daerah hilirnya.

Berkaitan dengan keberadaan peternakan di kawasan puncak, optimalisasi fungsi budidaya di kawasan puncak dapat dilakukan dengan ketentuan:

a. Kegiatan budidaya yang dilakukan tidak melampaui ketersediaan sumber daya alam dan energi;

b. Kegiatan usaha pertanian berskala besar dan kecil menerapkan teknologi pertanian yang memperhatikan konservasi air dan tanah;

37

3. Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No.19 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor dan Peraturan Bupati Bogor No. 83 Tahun 2009 tentang Pedoman Operasional Pemanfaatan Ruang.

Kecamatan Cisarua tidak memiliki lahan peruntukkan khusus untuk peternakan sapi perah seperti halnya Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Sapi Perah di Kecamatan Cibungbulang, Bogor. Namun berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No.19 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor Tahun 2005-2025 dan Peraturan Bupati Nomor 83 Tahun 2009 tentang Pedoman Operasional Pemanfaatan Ruang, Cisarua termasuk salah satu dari 12 Kecamatan di Kabupaten Bogor yang seluruh desa/kelurahannya memiliki peruntukan ruang yang memungkinkan bagi usaha peternakan. Berikut adalah peruntukan ruang bagi masing-masing desa di Kecamatan Cisarua (Tabel 18 dan Lampiran 1) dan pengaturan usaha ternak besar pada masing-masing peruntukkan ruang (Tabel 19).

Tabel 18. Peruntukkan Ruang pada Masing-masing Desa di Kecamatan Cisarua

Nama Desa Peruntukan Ruang Keterangan

Citeko Cibeureum Tugu Selatan Tugu Utara Batu Layang Cisarua Kopo Leuwimalang Jogjogan Cilember HK, LK, PB, KL, PP3 HK, LK, PB, PD2, PP3, KL,HL HK, HL, PB HK, HL, LK PD1, LK, HL PP3, KL PB, LK, PP3 PP2, LK HL, LK, TT, PD1 HL, LK, PD1, PP3

HK : Kawasan Hutan Konservasi HL : Kawasan Hutan Lindung KL : Luar Kawasan Hutan HPT : Kawasan Hutan Produksi

Terbatas

HP : Kawasan Hutan Produksi Tetap LB : Kawasan Pertanian Lahan Basah LK : Kawasan Pertanian Lahan Kering PB : Kawasan Perkebunan

TT : Kawasan Tanaman Tahunan PD1 : Kawasan Pemukiman Pedesaan

(Hunian Rendah) PD2 : Kawasan Pemukiman

Pedesaan(Hunian Jarang) PP1 : Kawasan Perkotaan (Hunian

Padat)

PP2 : Kawasan Perkotaan (Hunian Sedang)

PP3: Kawasan Pemukiman Perkotaan (Hunian Rendah)

38

Tabel 19. Pengaturan Usaha Ternak Besar pada Masing-masing Peruntukan Ruang

Peruntukan Ruang Pengaturan

Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan Hutan Produksi Tetap (HP)

Pertanian Lahan Basah (LB)

Pertanian Lahan Kering (LK)

Perkebunan (PB) dan Tanaman Tahunan (TT)

Pemukiman Pedesaan (PD)

Pemukiman Perkotaan (PP)

Kepadatan Rendah (PP3)

- Jarak bangunan dengan pemukiman 50 m dan dengan sungai 25 m

- Mendapat persetujuan dari menteri kehutanan/pejabat berwenang

- Tidak merubah fungsi kawasan

- Membuat buffer berdasarkan kajian teknis

- Tidak merubah bentang alam dan buatan

- Tidak dilakukan pada kawasan beririgasi teknis

- Tidak merubah fungsi kawasan

- Jarak bangunan dengan pemukiman 100 m dan dengan sungai 25 m

- Membuat buffer berdasarkan kajian teknis

- Tidak merubah bentang alam

- Jarak bangunan dengan pemukiman 100m dan dengan sungai 25m

- Membuat buffer berdasarkan kajian teknis

- Tidak merubah bentang alam

- Mekanisme perijinan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku - Jarak bangunan dengan pemukiman

100m

- Membuat buffer berdasarkan kajian teknis

- Membuat buffer berdasarkan kajian teknis

- Menjaga lingkungan dari pencemaran - Membuat pagar minimal tinggi 2,6 m

Dimensi ekologi lainnya yang berhubungan dengan usaha peternakan sapi perah yang menjadi sorotan dalam penelitian ini adalah mengenai kondisi sumberdaya lahan dan air. Berkaitan dengan kondisi sumberdaya lahan dan air serta dampak dari keberadaan peternakan terhadap lingkungan, dapat dijelaskan sebagai berikut:

39

1. Sumberdaya Lahan

Peternakan sapi perah rakyat di Cisarua diusahakan dalam lahan yang terbatas. Kepemilikan lahan garapan hanya dimiliki oleh 46% peternak dengan luasan rata-rata 2.000 m2. Kondisi seperti itu membatasi peternak dalam meningkatkan skala usahanya serta menyebabkan pengolahan limbah yang tidak maksimal sebelum dilepas ke perairan. Keterbatasan lahan yang dimiliki peternak juga menyebabkan kebutuhan HMT tidak dapat diproduksi sepenuhnya dari lahan sendiri sehingga peternak harus mencari dan mengarit di lahan terbuka lainnya. Pengembangan peternakan sapi perah di masa yang akan datang harus memperhatikan kemampuan sumberdaya lahan, terutama dalam menjamin ketersediaan hijauan makanan ternak (HMT) agar usaha peternakan dapat dijalankan dengan optimal. Potensi produksi HMT alami yang dihasilkan lahan terbuka di Cisarua disajikan dalam Tabel 20.

Tabel 20. Potensi Sumber HMT Alami di Kecamatan Cisarua Penggunaan Lahan Luas (Ha)

Produktifitas HMT alami* (ton/ha/tahun) Produksi BKC** (ton/tahun) Persawahan Ladang/Tegalan Perkebunan Kehutanan

Lahan Terbuka lainnya

264,00 688,00 2.004,10 713,50 896,72 0,500 0,500 0,300 0,750 0,750 66,000 172,000 300,615 535,125 672.540 Total 1.746,280

Keterangan: * ) Sumanto dan Juarini (2006)

**) data diolah (tingkat kecernaan diperhitungkan 50% BKC)

Selain diperoleh dari HMT alami, pakan hijauan juga dapat diperoleh dengan memanfaatkan limbah tanaman pangan seperti jerami padi, jerami kacang tanah, daun singkong, jerami ubi jalar dan jerami kedelai. Potensi pakan yang bisa diperoleh dari limbah tanaman pangan di Kecamatan Cisarua disajikan dalam Tabel 21. Potensi pakan hijauan tersebut akan mencerminkan kemampuan daya dukungnya terhadap ternak ruminansia yang ada di Cisarua. Populasi ternak ruminansia dalam Satuan Ternak (ST) di Kecamatan Cisarua disajikan dalam Tabel 22.

40

Tabel 21. Potensi Sumber Pakan dari Limbah Tanaman Pangan

Jenis Limbah Rata-rata Produksi BKC* (ton/ha) Luas Panen (ha/tahun) Produksi BKC** (ton/tahun) Jerami Padi

Jerami Kacang Tanah Daun Singkong Jerami Ubi Jalar Jerami Kedelai 5,94 4,94 1,73 4,93 2,79 436 18 35 17 1 2.591,341 88,920 60,550 83,810 2,790 Total 2.827,441 Keterangan: *) Syamsu (2006) **) data diolah

Tabel 22. Populasi Ternak Ruminansia di Kecamatan Cisarua dalam Satuan Ternak (ST)

Jenis Ternak Jumlah

(ekor) Faktor Konversi*

Jumlah (ST) Sapi Perah Sapi Potong Kerbau Kambing Kambing PE Domba 1.401 20 250 4.642 127 8.906 0,700 0,700 0,800 0,055 0,055 0,055 980,700 14,000 200,000 255,310 6,985 489,830 Total 1.946,825

Sumber : Disnakkan Kabupaten Bogor (2009) Keterangan: *) Sumanto dan Juarini (2006)

Berdasarkan data Tabel 20, 21 dan 22 diketahui bahwa Kecamatan Cisarua termasuk dalam kriteria daya dukung lahan yang sangat kritis dengan nilai IDD (Indeks Daya Dukung) sebesar 0,78 jika peternak hanya mengandalkan pakan hijauan alami untuk memenuhi kebutuhan ternaknya. Apabila peternak mengoptimalkan penggunaan limbah tanaman pangan yang ada maka Kecamatan Cisarua akan berada dalam kriteria daya dukung aman dengan IDD sebesar 2,06. Keterbatasan ketersediaan pakan alami di Kecamatan Cisarua dapat ditanggulangi melalui penggunaan limbah tanaman pangan sebagai pakan hijauan yang selama ini belum maksimal penggunaannya oleh peternak.

Limbah tanaman pangan hanya dapat diperoleh pada musim panen saja, sehingga teknologi pengawetan pakan sangat diperlukan agar seluruh limbah tanaman pangan dapat dimanfaatkan. Pengetahuan teknis tentang sifat dan

41

karakteristik limbah juga diperlukan supaya limbah yang digunakan adalah limbah yang sesuai untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak sapi perah.

2. Sumberdaya Air

Air merupakan kebutuhan yang vital dalam budidaya ternak sapi perah terutama untuk air minum ternak, kebersihan ternak dan sanitasi kandang. Berdasarkan tinjauan lapangan diketahui bahwa air yang dipergunakan untuk peternakan berasal dari sumber mata air, yaitu air yang berasal dari mata air di pegunungan yang dialirkan melalui pipa menuju kandang. Sejauh ini sumber air yang ada telah dirasa cukup oleh peternak untuk menjalankan usaha budidaya ternak sapi perah.

Hal lain yang terkait dengan sumberdaya air adalah penurunan kualitas air akibat limbah peternakan sapi perah. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, klasifikasi mutu air dibagi menjadi empat kelas yaitu: (1) Kelas satu yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; (2) Kelas dua yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; (3) Kelas tiga yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; dan (4) Kelas empat yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.

Limbah peternakan sapi perah di Cisarua khususnya di Desa Cibeureum dialirkan oleh peternak ke Kali Citeko Bawah yang melintasi kawasan peternakan dan selanjutnya mengalir menuju Sungai Ciliwung. Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor menggolongkan Kali Citeko Bawah ke dalam mutu air kelas tiga. Berdasarkan pantauan Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Bogor terhadap kualitas air Kali Citeko Bawah pada tiga titik (sebelum masuk kawasan peternakan, di tengah kawasan peternakan dan setelah melewati kawasan peternakan) diperoleh hasil sebagaimana disajikan dalam Tabel 23. Berdasarkan

42

analisis kualitas air pada tiga titik pengamatan diketahui bahwa terdapat beberapa parameter yang melampaui batas baku mutu lingkungan yaitu BOD, COD, dan Nitrit.

Tabel 23. Hasil Analisis Kualitas Air Kali Citeko Bawah

Parameter

Analisis Satuan

Hasil Analisis DAS

Ciliwung*

PPRI No.82 Tahun 2001 Kelas Seb. Tgh. Set. 1 2 3 4 KIMIA pH BOD COD Fosfat Nitrit Amonia Sulfat BIOLOGI E.Coli Total Coli - mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l MPN/100ml MPN/100ml 7,23 25,30 55,50 0,520 0,021 0,015 95,70 140 1700 6,80 71,40 156,70 1,090 0,113 0,050 219,00 170 2200 6,780 86,20 194,20 1,00 0,055 0,082 204,5 170 2400 6,585 42,00 tda 0,33 0,004 <0,01 3,00 3200 3300 6 – 9 2,00 10,00 0,20 0,06 0,5 400 100 1.000 6 – 9 3,00 25,00 0,20 0,06 ts ts 1.000 5.000 6 – 9 6,00 50,00 1,00 0,06 ts ts 2.000 10.000 6 – 9 12,00 100,00 5,00 ts ts ts 2.000 10.000

Sumber: Badan Lingkungan Hidup Kab. Bogor (2010)

Keterangan: Seb: sebelum kawasan peternakan, Tgh: tengah kawasan, Set: setelah kawasan, ts: tidak disyaratkan, tda: tidak dianalisa, *):Jembatan Gadog, Megamendung

Nilai BOD menunjukkan banyaknya oksigen yang digunakan untuk merombak bahan organik dalam air secara biologis. Nilai COD menunjukkan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi semua bahan kimia yang bisa dioksidasi dalam air. Tingginya nilai BOD dan COD secara konsisten dari sebelum sampai setelah kawasan menunjukkan: (1) peternakan sapi perah memberikan kontribusi cemaran organik yang signifikan terhadap perairan (2) nilai BOD dan COD yang tinggi sebelum masuk kawasan menunjukkan pencemaran limbah organik telah terjadi di daerah hulu yang dimungkinkan berasal dari Taman Safari Indonesia (TSI) karena sebelumnya hulu Kali Citeko melintasi kawasan TSI.

Nilai Fosfat dan Nitrit mengalami lonjakan di tengah kawasan dan selanjutnya menurun kembali setelah keluar dari kawasan peternakan. Fosfat pada dasarnya selalu ada di perairan alami yang merupakan sumber pakan bagi pertumbuhan ganggang. Jika jumlah fosfat sudah melebihi ambang batas maka akan terjadi lonjakan pertumbuhan ganggang dan ini bisa dijadikan indikator terjadinya pencemaran air oleh limbah organik. Nitrit merupakan senyawa yang sedang berproses menjadi nitrat. Menurut Mahida (1992) bahwa dalam keadaan

43

aerob, nitrogen amonia akan dioksidasi menjadi nitrit oleh bakteri autotrof seperti

Nitrosomonas, Nitrospira dan Nitrococcus selanjutnya nitrit diubah menjadi nitrat oleh bakteri Nitrobacter, Nitrospira dan Nitrococcus. Nitrat merupakan senyawa alihan dalam proses perubahan zat organik ke dalam bentuk yang tetap sehingga konsentrasi nitrit dalam air sangat rendah.

Secara umum keseluruhan nilai faktor kimia air mengalami penurunan ketika sudah memasuki DAS Ciliwung. Ini mengindikasikan bahwa kondisi Sungai Ciliwung masih mampu mengurai dan menurunkan konsentrasi cemaran yang berasal dari sumber pencemar di hulunya. Keadaan sebaliknya terjadi dengan nilai faktor biologi air. Cemaran E.Coli meningkat hingga 3200 MPN/100ml, yang mengindikasikan meningkatnya jumlah kotoran ternak ataupun manusia yang dibuang ke DAS Ciliwung.

Menurut Ridwan (2006), pengelolaan limbah merupakan faktor penting dalam menunjang keberlanjutan agribisnis sapi perah sehingga dorongan terhadap pengelolaannya oleh peternak harus ditingkatkan. Kebijakan pengelolaan limbah ini sangat terkait dengan luas lahan pertanian, semakin besar lahan pertanian yang membutuhkan kompos maka akan semakin besar upaya peternak dalam mengelola limbahnya.

Dokumen terkait