• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi pengembangan peternakan sapi perah rakyat di Kecamatan Cisarua, Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Strategi pengembangan peternakan sapi perah rakyat di Kecamatan Cisarua, Bogor"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI PENGEMBANGAN PETERNAKAN SAPI PERAH

RAKYAT DI KECAMATAN CISARUA, BOGOR

FATWI ZANDOS

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Strategi Pengembangan

Peternakan Sapi Perah Rakyat di Kecamatan Cisarua, Bogor adalah karya saya

dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun

kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip

dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah

disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir

tesis ini.

Bogor, Juli 2011

(3)

ABSTRACT

FATWI ZANDOS. Strategy for Small Dairy Farms Development in Cisarua, Bogor. Under supervision of AKHMAD ARIF AMIN and YULI RETNANI.

Dairy farms in Indonesia have a good prospect to be developed because more than 70% of national consumers needs are fulfilled from imports. Bogor regency has opportunity to take part in dairy industries by improving dairy farms development in some regions, one of these is Cisarua. This theses describes the sustainable development strategy of small dairy farms in Cisarua. The research was conducted during December 2010 and March 2011 in Cisarua, Bogor, West Java. The informations were collected through indivial interviewed with 28 dairy farmer households and some key informans. The data were analized and presented descriptively. Results showed that the following are possibly happen in development of small dairy farms in Cisarua: (1) decreasing natural fodder carrying capacity which is currently in very critical condition with 0.78 Carrying Capacity Index, (2) increasing of organic pollution in Kali Citeko Bawah, current value of COD (194.2 mg/l) and BOD (86.2 mg/l) are already above the quality standards stated in Government Regulation of Republic of Indonesia Number 82, Year 2001 on air quality management and water pollution control, (3) waste from dairy farms can potentially trigger a social conflict, and (4) farmers do not have any bargaining power in milk selling-price as due to high dependence to Milk Processing Industry. Based on analysis of current conditions in dairy farms and expert opinion, there are several targets to be achieved in order to improve dairy farms development in Cisarua i.e. (1) increase farmers’ income; (2) create employment oppurtunities; (3) optimize natural resource potential; (4) increase local economic growth; (5) to raise public nutrition level; (6) to create zero waste dairy farms and; (7) make dairy cattle as an icon of Cisarua. Analytical Hierarchy Process (AHP) on experts’ choice showed that improvement in quality and quantity of milk/product (0.244), extension in capital access (0.208) and increase human resources quality (0.196) were the major strategies to achieve the targets of sustainable dairy farms in Cisarua, Bogor.

(4)

RINGKASAN

FATWI ZANDOS. Strategi Pengembangan Peternakan Sapi Perah di Kecamatan Cisarua, Bogor. Dibimbing oleh AKHMAD ARIF AMIN dan YULI RETNANI.

Peternakan sapi perah di Indonesia memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan mengingat lebih dari 70% kebutuhan nasional masih diperoleh dari impor. Kabupaten Bogor memiliki peluang untuk mengambil bagian dalam industri persusuan dengan meningkatkan pengembangan peternakan sapi perah rakyat di daerah sentra peternakan sapi perah, salah satunya di Cisarua. Pengembangan peternakan sapi perah rakyat di Cisarua perlu memperhatikan aspek ekologi, sosial dan ekonomi. Pengembangan peternakan sapi perah di Kecamatan Cisarua terkendala pada terbatasnya kepemilikan lahan oleh peternak, tekanan perubahan tata guna lahan dan tingginya potensi pencemaran organik. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui kondisi terkini peternakan sapi perah rakyat di Cisarua, (2) mengetahui kondisi yang terkait dengan keberlanjutan peternakan sapi perah di Cisarua dan (3) merumuskan strategi pengembangan peternakan yang berkelanjutan.

Penelitian dilaksanakan di Cisarua dari Desember 2010 sampai Maret 2011. Pengambilan responden peternak sebanyak 28 orang dilakukan secara

Stratified Random Sampling dan responden pakar sebanyak 10 orang dilakukan secara Purpossive Sampling. Pengambilan data dilakukan melalui wawancara dengan responden, observasi lapang dan dokumentasi terhadap pustaka terkait. Selanjutnya data dianalisis dan disajikan secara deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa peternakan di Cisarua umumnya (82%) diusahakan dalam skala kecil dengan jumlah kepemilikan 1-5 ekor. Sapi perah yang dipelihara memiliki produksi rata-rata 11 liter/ekor/hari. Peternakan sapi perah merupakan usaha pokok peternak (95%) yang sebagian besar (67,86%) dijalankan oleh peternak usia 36-50 tahun dengan tingkat pendidikan mayoritas (57%) sekolah dasar. Peternakan di Cisarua didukung oleh empat kelembagaan kelompok dan satu koperasi yang khusus menangani komoditas sapi perah.

Pengembangan peternakan sapi perah di masa yang akan datang perlu memperhatikan keberlanjutan dari dimensi ekologi, sosial dan ekonomi. Beberapa kondisi yang perlu diantisipasi dalam pengembangan peternakan sapi perah di Cisarua adalah: (1) semakin menurunnya daya dukung pakan alami yang saat ini berada dalam kondisi sangat kritis dengan Indeks Daya Dukung sebesar 0,78; (2) semakin tingginya pencemaran organik pada Kali Citeko Bawah yang saat ini nilai COD (194,2 mg/l) dan BOD (86,2 mg/l) telah melebihi nilai baku mutu yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, (3) limbah peternakan yang dihasilkan berpotensi memicu konflik di masyarakat, dan (4) ketergantungan peternak yang besar terhadap Industri Pengolah Susu mengakibatkan peternak tidak memiliki posisi tawar dalam menetapkan harga jual susu.

Berdasarkan kondisi yang ada dan diskusi dengan para pakar, terdapat beberapa sasaran yang perlu dicapai dalam pengembangan peternakan sapi perah berkelanjutan di Cisarua yaitu: (1) terciptanya peternakan yang zero waste,

(5)

peningkatan kualitas dan kuantitas produk/susu (0,244), perluasan akses peternak terhadap permodalan (0,208) dan peningkatan kualitas SDM peternak (0,196) merupakan strategi prioritas para stakeholder untuk mewujudkan sasaran yang ingin dicapai

(6)

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

STRATEGI PENGEMBANGAN PETERNAKAN SAPI PERAH

RAKYAT DI KECAMATAN CISARUA, BOGOR

FATWI ZANDOS

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Tesis : Strategi Pengembangan Peternakan Sapi Perah Rakyat di Kecamatan Cisarua, Bogor

Nama : Fatwi Zandos

NRP : P052090301

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Dr.drh. Akhmad Arif Amin Ketua

Dr. Ir. Yuli Retnani, M.Sc Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S NIP. 19610212 198501 1 001

Tanggal Ujian: 13 Juli 2011

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Dahrul Syah NIP. 19650814 199002 1 001

(10)

PRAKATA

Puji syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya

sehingga Tesis yang berjudul Strategi Pengembangan PeternakanSapi Perah di

Kecamatan Cisarua, Bogor ini dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan terima

kasih kepada Kepala Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan Kabupaten

Bogor dan Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor atas

kesempatan dan izin yang diberikan kepada Penulis untuk mengikuti pendidikan

program magister di Sekolah Pasca Sarjana IPB.

Ucapan terima kasih juga Penulis sampaikan kepada segenap pihak yang

telah banyak membantu selama penelitian dan penulisan tugas akhir ini,

diantaranya:

1) Dr. drh. Akhmad Arif Amin dan Dr. Ir. Yuli Retnani, M. Sc selaku Komisi

Pembimbing atas arahannya selama penelitian dan penulisan tesis,

2) Dr. Ir. Bagus Priyo Purwanto, M.Agr selaku Penguji Ujian Sidang Tugas

Akhir atas segala koreksi dan masukannya untuk karya tulis ini,

3) Eko Hariyanto, Amd yang telah banyak membantu penulis selama

pengambilan data di Cisarua,

4) segenap karyawan dan karyawati Program Studi Pengelolaan Sumberdaya

Alam dan Lingkungan atas pelayanan yang diberikan dalam proses

penyelesaian Tugas Akhir ini,

5) keluarga besar PSL 2009 atas kebersamaan dan bantuannya dalam

penyempurnaan tulisan ini, dan

6) istriku tercinta Yesi Noverine yang selalu memberikan dorongan semangat

dan doa untuk penyelesaian tesis ini.

Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi

pengembangan peternakan di Kabupaten Bogor, khususnya pengembangan

peternakan sapi perah di Cisarua.

Bogor, Juli 2011

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Payakumbuh, 21 Januari 1982. Penulis adalah anak

kedelapan dari sepuluh bersaudara pasangan H. Ali Syarkawi dan Hj. Darusni.

Pendidikan dasar di SDN Mekarjaya 10 Depok diselesaikan pada tahun 1993

dan pendidikan di SMPN Limbanang diselesaikan pada tahun 1996. Pada tahun

1999 penulis menyelesaikan pendidikan di SMUN 1 Suliki Gunung Mas dan pada

tahun yang sama melanjutkan pendidikan di Fakultas Peternakan IPB (lulus

tahun 2004).

Penulis bekerja pada Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor

(2005-2009). Pada tahun 2009, penulis memperoleh kesempatan dari

Pemerintah Kabupaten Bogor untuk melanjutkan pendidikan magister pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam, Sekolah Pascasarjana IPB dan

tercatat sebagai pelaksana di Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan

Kabupaten Bogor (2009-sekarang).

(12)

xii DAFTAR ISI

Hal

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Kerangka Pemikiran ... 2

1.3 Perumusan Masalah ... 3

1.4 Tujuan Penelitian ... 4

1.5 Manfaat Penelitian ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Usaha Peternakan Sapi Perah ... 5

2.2 Kebijakan Pengembangan Peternakan Sapi Perah ... 6

2.3 Peruntukan Ruang Kawasan Puncak Bogor... 7

2.4 Pengelolaan Lingkungan Hidup... 9

2.5 Peternakan Berkelanjutan ... 10

2.6 Analisis Strategi Pengembangan Peternakan ... 12

III. METODE PENELITIAN ... 15

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 15

3.2 Bahan dan Alat ... 15

3.3 Jenis dan Sumber Data ... 15

3.4 Rancangan Penelitian ... 15

3.4.1 Teknik Penentuan Sampel ... 15

3.4.2 Teknik Pengumpulan Data ... 16

3.4.3 Variabel yang Diamati ... 16

3.5 Analisis Data ... 16

3.5.1 Analisis Kondisi Terkini Peternakan Sapi Perah Rakyat ... 16

3.5.2 Analisis Kondisi Keberlanjutan Usaha Peternakan Sapi Perah Rakyat ... 17

3.5.3 Analisis Kondisi Sumberdaya Lahan dan Air ... 17

(13)

xiii

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 23

4.1 Keadaan Umum Lokasi ... 23

4.2 Keadaan Umum Usaha Peternakan ... 25

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27

5.1 Kondisi Terkini Peternakan Sapi Perah Rakyat di Cisarua ... 27

5.1.1 Kondisi Usaha Peternakan ... 27

5.1.2 Kondisi Peternak Sapi Perah ... 30

5.1.3 Kondisi Kelembagaan Peternak ... 33

5.2 Kondisi Keberlanjutan Usaha Peternak Sapi Perah Rakyat ... 35

5.2.1 Keberlanjutan dari Dimensi Ekologi ... 35

5.2.2 Keberlanjutan dari Dimensi Sosial ... 43

5.2.3 Keberlanjutan dari Dimensi Ekonomi ... 45

5.3 Pengembangan Peternakan Sapi Perah Berkelanjutan ... 48

5.3.1 Sasaran Pengembangan Peternakan Sapi Perah ... 48

5.3.2 Strategi Pengembangan Peternakan Sapi Perah ... 50

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 62

6.1 Kesimpulan ... 62

6.2 Saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA ... 63

(14)

xiv DAFTAR TABEL

Hal

Tabel 1. Responden Pakar yang Diwawancarai dalam Penelitian ... 16

Tabel 2. Skala Banding Secara Berpasangan ... 19

Tabel 3. Nilai Random Indeks ... 21

Tabel 4. Luas Wilayah Desa/Kelurahan di Kecamatan Cisarua ... 23

Tabel 5. Jumlah Penduduk Tiap Desa/Kelurahan di Kecamatan Cisarua ... 24

Tabel 6. Jumlah Penduduk di Kec. Cisarua Berdasarkan Kelompok Umur ... 25

Tabel 7. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian ... 25

Tabel 8. Populasi Ternak di Kecamatan Cisarua Tahun 2009... 26

Tabel 9. Struktur Populasi Sapi Perah di Kecamatan Cisarua ... 27

Tabel 10. Jumlah Kepemilikan Ternak Sapi Perah Rakyat di Cisarua ... 28

Tabel 11. Produksi Susu Berdasarkan Tingkat Kepemilikan Induk ... 28

Tabel 12. Kepemilikan Biogas Berdasarkan Tingkat Kepemilikan Induk ... 29

Tabel 13. Kapasitas Kandang Berdasarkan Tingkat Kepemilikan Ternak ... 29

Tabel 14. Kelompok Umur Peternak Sapi Perah di Kecamatan Cisarua ... 30

Tabel 15. Keragaan Tingkat Pendidikan Peternak Sapi Perah di Kecamatan Cisarua ... 31

Tabel 16. Penghasilan Bersih Peternak dari Penjualan Susu ... 33

Tabel 17. Kelompok Peternak Sapi Perah di Kecamatan Cisarua ... 34

Tabel 18. Peruntukkan Ruang Masing-masing Desa di Kecamatan Cisarua .... 37

Tabel 19. Pengaturan Usaha Ternak Besar pada Masing-masing Peruntukkan Ruang ... 38

Tabel 20. Potensi Sumber HMT Alami di Kecamatan Cisarua ... 39

Tabel 21. Potensi Sumber Pakan dari Limbah Tanaman Pangan ... 40

Tabel 22. Poulasi Ternak Ruminansia di Kecamatan Cisarua dalam ST ... 40

Tabel 23. Hasil Analisis Kualitas Air Kali Citeko Bawah ... 42

Tabel 24. Harga Beli Susu Segar PT. Cimory ... 46

Tabel 25. Aspek dan Sasaran Pengembangan Peternakan Sapi Perah Berkelanjutan ... 49

(15)

xv DAFTAR GAMBAR

Hal Gambar 1. Diagram Alir Kerangka Pikir Penelitian ... 3

Gambar 2. Alternatif Strategi Pengembangan Peternakan Sapi Perah

(16)

xvi DAFTAR LAMPIRAN

Hal Lampiran 1. Peta Peruntukan Ruang Kecamatan Cisarua ... 68

Lampiran 2. Kuesioner untuk Responden Peternak ... 69

(17)

1 I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peternakan sapi perah di Indonesia umumnya diusahakan oleh peternak

rakyat dengan skala yang relatif kecil dengan jumlah kepemilikan 2-3 ekor/KK

(kepala keluarga). Usaha peternakan sapi perah seperti ini belum sepenuhnya

dapat diandalkan sebagai mata pencarian utama. Kendati demikian, usaha

peternakan berskala kecil ini dirasakan cukup memberikan tambahan

penghasilan bagi peternak. Beberapa keuntungan usaha peternakan sapi perah

dibandingkan dengan usaha peternakan hewan lainnya adalah peternakan sapi

perah merupakan usaha yang tetap, sapi perah sangat efisien dalam mengubah

pakan menjadi protein hewani dan kalori, memiliki jaminan pendapatan yang

tetap, tenaga kerja yang tetap, pakan yang relatif mudah dan murah, kesuburan

tanah dapat dipertahankan, menghasilkan pedet yang bisa dijual jika jantan atau

betina yang dapat menghasilkan susu (Sudono, et al, 2003).

Peningkatan produksi susu sapi perah perlu dilakukan karena peluang

pasar di dalam negeri sangat terbuka lebar mengingat sekitar 70% kebutuhan

susu nasional masih diperoleh dari impor dengan volume impor pada tahun 2008

sebesar 180.932,8 ton. Saat ini populasi sapi perah di Indonesia berjumlah

sekitar 487.000 ekor yang terkonsentrasi di Propinsi Jawa Timur (45,6%), Jawa

Tengah (27,7%), Jawa Barat (23,5%) dan sisanya tersebar di propinsi lain

(Ditjennak, 2009). Kabupaten Bogor dapat berkontribusi dalam memenuhi

kebutuhan susu nasional melalui pengembangan usaha peternakan sapi perah.

Beberapa wilayah di Kabupaten Bogor memiliki agroklimat dan perilaku sosial

budaya yang sesuai untuk peternakan sapi perah, salah satu diantaranya adalah

Kecamatan Cisarua yang terletak pada ketinggian antara 650-1.400 m dpl

dengan suhu berkisar antara 17,85o-23,91oC (rata-rata 20oC). Kecamatan ini

pada tahun 2009 memberikan kontribusi sebesar 19,64% dari 7.131 ekor

populasi sapi perah di Kabupaten Bogor (Disnakkan, 2009). Selain kesesuaian

agroklimat, daerah Cisarua ini termasuk dalam daerah kawasan wisata Puncak

yang akan memberi potensi peluang pasar yang cukup besar apalagi didukung

oleh keberadaan PT. Cisarua Mountain Dairy (Cimory) sebagai Industri Pengolah

Susu (IPS) yang menampung produk susu yang dihasilkan oleh peternakan sapi

(18)

2 peternak memperoleh pasokan dari KUD Giri Tani yang kerjasamanya sudah

terjalin sejak lama.

Hasil peternakan yang maksimal dapat dicapai dengan menerapkan

sejumlah program yang terintegrasi, mulai dari kebutuhan input (pakan, straw

semen, obat-obatan, dll.), penerapan good farming practice, pengolahan produk,

hingga pemasaran. Apabila semua kegiatan usaha sapi perah dari hulu sampai

hilir, baik yang off farm, on farm dan non-farm berada di Kabupaten Bogor maka

usaha sapi perah akan menjadi industri yang dapat memberikan banyak manfaat

untuk Kabupaten Bogor, yakni perluasan lapangan pekerjaan, peningkatan

pendapatan masyarakat, pengentasan kemiskinan dan peningkatan

perekonomian daerah.

1.2 Kerangka Pemikiran

Melihat besarnya potensi yang dimiliki serta didukung oleh Kebijakan

Pemerintah Kabupaten Bogor tentang Revitalisasi Pertanian dan Pembangunan

Perdesaan maka sudah selayaknya dilakukan pengembangan peternakan sapi

perah di Kecamatan Cisarua. Sebagai salah satu dari 16 komoditas unggulan

pertanian yang ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor, maka

pengembangan ternak sapi perah ini perlu digarap dengan serius.

Pengembangan peternakan sapi perah perlu dilakukan dengan mengelola

komponen input dan output dari peternakan secara terintegrasi dengan

memperhatikan aspek ekologi, sosial dan ekonomi agar keberlanjutannya tetap

terjaga. Aspek ekologi ditekankan pada daya dukung sumberdaya lahan dan air

serta pengendalian terhadap limbah peternakan yang dilepas ke lingkungan.

Aspek sosial ditekankan pada dampak sosial yang ditimbulkan dari keberadaan

peternakan terhadap masyarakat, sedangkan aspek ekonomi ditekankan kepada

kemampuan peternakan rakyat yang mampu memberikan manfaat ekonomi

sebesar-besarnya bagi peternak dalam bentuk peningkatan pendapatan. Hasil

analisis terhadap kondisi peternakan terkini yang dikaitkan dengan kebijakan

pemerintah dan perilaku masyarakat yang terjadi akan dijadikan landasan untuk

menentukan strategi pengembangan peternakan sapi perah rakyat yang

berkelanjutan di masa depan. Gambar 1 memperlihatkan kerangka pemikiran

(19)

3 Gambar 1. Diagram Alir Kerangka Pikir Penelitian

1.3 Perumusan Masalah

Pengembangan peternakan sapi perah di Kecamatan Cisarua merupakan

salah satu upaya Pemerintah Kabupaten Bogor dalam mengimplementasikan

Kebijakan Revitalisasi Pertanian dan Pembangunan Perdesaan. Pengembangan

peternakan sapi perah rakyat ini dilakukan melalui pendekatan partisipatif

dengan tujuan untuk menghasilkan peternak yang mandiri dan berdaya secara

ekonomi di masa sekarang dan masa yang akan datang. Untuk keperluan itu

perlu dilakukan analisis pengembangan peternakan sapi perah rakyat yang

berkelanjutan.

Umpan Balik

Pengembangan Peternakan Sapi Perah Rakyat

Output Input

Dimensi Ekonomi

Dimensi Ekologi Dimensi Sosial

Perilaku Masyarakat Kebijakan

Pemerintah

Alternatif Strategi Pengembangan

Strategi Pengembangan Peternakan Sapi Perah Rakyat

Kondisi Terkini Usaha Peternakan Sapi Perah Rakyat

(20)

4 Kendala pengembangan peternakan sapi perah, khususnya di Kecamatan

Cisarua adalah: (1) terbatasnya kepemilikan lahan yang dimiliki peternak,

(2) tingginya tekanan dari perubahan tata guna lahan dan (3) potensi

pencemaran organik yang tinggi. Pengembangan peternakan sapi perah rakyat

di masa yang akan datang perlu memperhitungkan dampak ekologi, sosial dan

ekonomi yang mungkin timbul. Berdasarkan kenyataan tersebut maka perlu

diketahui:

1. Kondisi peternakan sapi perah rakyat yang ada saat ini di Kecamatan Cisarua.

2. Kondisi yang terkait dengan keberlanjutan usaha peternakan sapi perah

rakyat.

3. Strategi pengembangan ternak sapi perah yang berkelanjutan di Kecamatan

Cisarua.

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan:

1. Menghimpun informasi mengenai kondisi peternakan sapi perah rakyat yang

ada saat ini di Kecamatan Cisarua.

2. Mengidentifikasi kondisi-kondisi yang terkait dengan keberlanjutan usaha

peternakan sapi perah rakyat.

3. Merumuskan strategi pengembangan usaha peternakan sapi perah rakyat

yang berkelanjutan di masa yang akan datang.

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik bagi peternak,

pengambil kebijakan, maupun stakeholder lain yang berkepentingan dalam

pengembangan peternakan sapi perah di Kabupaten Bogor, khususnya di

Kecamatan Cisarua. Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Bahan informasi mengenai kondisi peternakan sapi perah rakyat di Cisarua..

2. Arahan bagi pengambil kebijakan yang terkait dalam pengembangan

peternakan sapi perah.

3. Bahan umpan balik bagi perencana pembangunan di Kabupaten Bogor

terhadap pengembangan peternakan sapi perah rakyat di Kecamatan

(21)

5 II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Usaha Peternakan Sapi Perah

Peternakan sapi perah di Indonesia telah dimulai sejak abad ke-19, yaitu

sejak pengimporan sapi-sapi perah Milking Shorthorn, Ayrshire dan Jersey dari

Australia yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Sapi perah pada masa

itu umumnya dikelola dalam bentuk perusahaan, yaitu pemeliharaan sapi perah

yang bertujuan untuk menghasilkan susu yang selanjutnya dijual kepada

konsumen. Konsumen susu pada saat itu umumnya orang-orang Eropa atau

orang asing lainnya karena orang-orang Indonesia belum suka minum susu

(Sudono et al, 2003).

Berdasarkan pola pemeliharaannya, usaha ternak di Indonesia

diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yaitu peternak rakyat, peternak semi

komersil dan peternak komersil. Saat ini peternakan sapi perah di Indonesia

mayoritas diusahakan oleh peternakan rakyat. Menurut SK Menteri Pertanian

Nomor 404 Tahun 2002 dijelaskan bahwa usaha peternakan rakyat adalah usaha

peternakan sapi perah yang diselenggarakan sebagai usaha sampingan yang

tidak memerlukan ijin usaha dari instansi atau pejabat berwenang. Batasan

peternakan rakyat untuk usaha sapi perah adalah kepemilikan sapi laktasi kurang

dari 10 ekor atau memiliki jumlah keseluruhan sapi kurang dari 20 ekor sapi

perah campuran (Sudono et al, 2003).

Penyebaran sapi perah di Indonesia tidak merata sejalan dengan

karakteristik wilayah dan permintaan susu di daerah tersebut. Menurut Suhartini

(2001), usaha pemeliharaan sapi perah memerlukan persyaratan tertentu seperti

faktor biologis yang membutuhkan kondisi lingkungan tertentu, dukungan sarana

dan prasarana, terutama adanya pasar baik industri pengolah susu maupun

konsumen langsung. Menurut Baqa (2003), perkembangan produksi susu di

Indonesia berjalan lambat. Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu (1) iklim

tropis yang kurang sesuai dengan pengembangan komoditas susu; (2) masih

rendahnya skala usaha pemilikan sapi oleh peternak, dimana rata-rata hanya 2-4

ekor; (3) kondisi kesehatan ternak serta kualitas genetik ternak yang rendah; (4)

manajemen usaha ternak yang masih rendah dikarenakan kualitas sumberdaya

manusia peternak yang juga rendah; (5) kesulitan bahan pakan ternak

(22)

6

(7) masih rendahnya kualitas susu yang dihasilkan; (8) kondisi infrastruktur

transportasi yang kurang memadai, yang juga berpengaruh pada tingginya biaya

transportasi; dan (9) masalah dalam pemasaran susu yang dihasilkan, dimana

tingkat konsumsi susu masyarakat Indonesia masih rendah dan juga tingginya

persaingan dengan susu impor.

2.2 Kebijakan Pengembangan Peternakan Sapi Perah

Hasil kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang

bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian dan

Fakultas Peternakan IPB tahun 1990 menetapkan bahwa area pengembangan

peternakan sapi perah dibagi atas tiga area. Area pertama adalah area yang

berada di atas ketinggian 700 mdpl dijadikan sebagai pusat produksi susu dan di

tempat ini dikembangkan sapi perah FH murni sebagai bibit utama (grand parent

stock/GPS atau parent stock/PS). Area kedua dengan ketinggian antara 300-

<700 mdpl ditujukan untuk pengembangan sapi perah hasil budidaya, baik yang

berasal dari parent stock (PS) atau final stock (FS). Sedangkan pada area yang

berada di bawah 300 mdpl dikembangkan sapi perah hasil persilangan dengan

sapi lokal.

Kebijakan penyediaan bibit sapi perah terus dikembangkan oleh

pemerintah Indonesia melalui pemberian Kredit Pengembangan Usaha Sapi

Perah (KPUSP), Kredit Pola Model KUD, Program Kredit Sapi Perah Swadaya,

Kredit Kotrak Sumba dan PIR Persusuan. Kebijakan penyerapan susu sapi perah

rakyat oleh industri pengolah susu dari tahun 1985 hingga tahun 1998 dan

pengembangan program jangka panjang oleh Departemen Pertanian yang

meliputi: (1) penyediaan bibit yang bermutu; (2) perbaikan mutu pakan; (3)

peningkatan pelayanan kesehatan ternak; (4) perbaikan pemeliharaan;

(5)penanganan reproduksi; (6) pembinaan pasca panen dan (7) pembinaan

pemasaran (Pambudy, 2003).

Strategi pengembangan industri pedesaan berbasis susu sapi menurut

Deptan (2009) adalah: (1) fokus pada pemberdayaan usaha sapi perah skala

kecil dan menengah; (2) pengembangan industri pengolahan susu dan

pemasaran; (3) penguatan pada akses permodalan, infrastruktur, teknologi dan

peningkatan mutu bersamaan dengan pemberdayaan kelembagaan peternak

sapi perah; (4) peningkatan konsumsi susu sapi segar; (5) pengembangan

(23)

7

(1) kerjasama inti plasma antara kelompok peternak dengan swasta; (2)

pemasaran susu segar yang diolah oleh inti langsung ke konsumen; (3) jumlah

minimum ternak sapi perah 10 ekor/plasma dan 500 ekor/klaster; (4) breeding

oleh inti; (5) good farming practice (GFP) dan good manufacturing practice oleh

plasma; dan (6) integrasi yang baik dengan industri pakan dan manajemen

limbah terpadu.

Pengembangan peternakan sapi perah ke depan harus didasarkan pada

prioritas perbaikan kelembagaan pasar yang lebih adil (Talib et al, 2007). Hal ini

untuk menjawab sistem pemasaran susu di Indonesia yang dalam penentuan

harganya masih didominasi oleh IPS, demikian pula dengan jaringan

pemasarannya yang juga dikuasai IPS (Bappenas, 2007). Daryanto (2009)

merekomendasikan lima arah kebijakan dalam merevitalisasi industri persusuan

nasional yaitu (1) pemerintah perlu memberikan dukungan nyata untuk

meningkatkan produktivitas dan mutu hasil ternak (susu) kepada para peternak;

(2) perlu dibentuk wadah kemitraan yang jujur dan memperhatikan kepentingan

bersama antara peternak, koperasi susu dan industri pengolahan susu; (3)

koperasi susu perlu didorong dan difasilitasi agar dapat melakukan pengolahan

sederhana susu segar antara lain pasteurisasi dan pengemasan susu segar,

pengolahan menjadi yoghurt, keju dan lain-lain; (4) pemerintah pusat dan daerah

seyogyanya mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mampu memperkuat posisi

tawar peternak sapi perah khususnya dan pengembangan agribisnis berbasis

peternakan pada umumnya; dan (5) pemerintah pusat dan daerah seyogyanya

membiayai pelaksanaan program minum susu untuk anak-anak sekolah.

Berdasarkan Blue Print Peningkatan Nilai Tambah dan Daya Saing Produk

dengan Pemberian Insentif bagi Tumbuhnya Industri Pedesaan (Kementan

2010), orientasi pengembangan komoditas susu nasional diarahkan pada

peningkatan produksi dan mutu susu untuk pengurangan impor melalui

peningkatan produktivitas, peningkatan kemampuan koperasi dan

menumbuhkembangkan industri pedesaan pengolah susu pasteurisasi dengan

menerapkan Sistem Jaminan Mutu dan Keamanan Pangan.

2.3 Peruntukan Ruang Kawasan Puncak Bogor

Strategi pengembangan peternakan sapi perah di Kecamatan Cisarua yang

merupakan bagian dari kawasan Puncak tidak terlepas dari manajemen

(24)

8

No.114 Tahun 1999 tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur

ditetapkan sebagai kawasan konservasi air dan tanah dengan tujuan untuk

menjamin tetap berlangsungnya konservasi air dan tanah, tersedianya air tanah,

air permukaan dan penanggulangan banjir bagi Kawasan Bopunjur dan daerah

hilirnya. Pengembangan peternakan sapi perah yang dilakukan tidak boleh

bertentangan dengan fungsi tata ruang yang telah ditetapkan. Peruntukan ruang

bagi usaha peternakan di Kabupaten Bogor mengacu kepada Perda Kabupaten

Bogor No.19 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten

Bogor Tahun 2005-2025 dan Peraturan Bupati Bogor No.83 Tahun 2009 tentang

Pedoman Operasional Pemanfaatan Ruang.

Strategi pengembangan peternakan di Cisarua hendaknya juga

mempertimbangkan kemungkinan permasalahan yang mungkin muncul dalam

hubungannya dengan pengelolaan kawasan puncak. Terdapat tiga hal yang

perlu dipertimbangkan dalam manajemen kawasan (Basuni, 2003) yaitu:

1. Pertimbangan biologi, yaitu menempatkan kawasan konservasi bagi proteksi

proses-proses ekologi suatu biota yang utuh atau yang khusus dan subset

biota tertentu. Tujuan ini membutuhkan pertimbangan lokasi, ukuran dan

bentuk geometri kawasan, ketergantungan dan hubungan-hubungan

spasialnya dengan daerah lain di sekitarnya. Ukuran populasi dibutuhkan

untuk mempertahankan spesies kritis, kolonisasi lokal, dinamika kepunahan

biota pada tingkat yang lebih tinggi, dinamika ekologi kawasan konservasi

serta ancaman-ancaman yang ditimbulkan oleh penggunaan lahan di sekitar

kawasan.

2. Pertimbangan pengaruh antropologis, yaitu pertimbangan yang

mengharapkan manajemen kawasan konservasi tidak mengganggu budaya

lokal, tidak menghalangi pemanfaatan tradisional yang berkelanjutan dari

masyarakat setempat. Dukungan sosial dari penduduk lokal terhadap

kawasan konservasi serta kesediaan membayar bagi masyarakat umum yang

berkunjung secara signifikan membuka peluang berhasilnya manajemen

kawasan konservasi.

3. Manajemen konservasi perlu bekerja dalam kendala-kendala keterbatasan

lahan. Lahan dan produknya merupakan sumberdaya terbatas bagi populasi

manusia yang terus bertambah. Biasanya ada trade off antara pemenuhan

(25)

9

konservasi juga harus mengahadapi berbagai kepentingan atas lahan dan

pertentangan beberapa kelompok yang berbeda dalam penggunaan lahan.

Penataan ruang yang berjalan selama ini banyak mengalami

penyimpangan dan lebih terpaku terhadap upaya perbaikan pola, konsep dan

struktur penataan ruang sendiri. Namun pada dasarnya rumusan penataan ruang

telah mengarah kepada keinginan terwujudnya pembangunan yang terpadu,

seimbang dan berkelanjutan hanya saja perlu menemukan kembali rumusan

penataan ruang yang ideal dan applicable (Kementrian Lingkungan Hidup, 2001).

2.4 Pengelolaan Lingkungan Hidup

Keuntungan secara ekonomi dan kesejahteraan sosial yang diharapkan

dari pengembangan peternakan ini harus dibarengi dengan perhatian terhadap

penanganan lingkungan hidup yang baik. Aspek lingkungan yang ditekankan

dalam penelitian ini ditujukan terhadap keberlanjutan sumberdaya lahan dan air.

Pengembangan peternakan dilakukan semaksimal mungkin dengan penggunaan

sumberdaya lahan dan air yang optimal dan di samping itu limbah yang diperoleh

dari usaha peternakan diharapkan dapat diminimalisir dan tidak mencemari

lingkungan terutama perairan/sungai.

Penggunaan lahan didefinisikan sebagai bentuk campur tangan manusia

terhadap lahan guna memenuhi kebutuhan hidupnya baik dari segi material

maupun spiritual (Arsyad, 2000). Lebih jauh lagi, Barlowe (1978) dalam Hakim et

ai, (2003) menjelaskan bahwa penggunaan lahan tidak terlepas dari pemahaman

dinamika sosial, ekonomi dan kelembagaan yang berkembang dalam kehidupan

masyarakat. Tiga hal penting yang perlu dipertimbangkan dalam pemanfaatan

lahan adalah: (1) kesesuaian bio-fisik (2) kelayakan sosio-ekonomi dan (3)

kelayakan kelembagaan.

Terkait dengan pengembangan peternakan, keberadaan lahan difokuskan

terhadap daya dukungnya untuk populasi ternak yang dikembangkan.

Soemarwoto (1997) menyatakan bahwa konsep daya dukung lingkungan berasal

dari pengelolaan hewan ternak dan satwa liar, yaitu besarnya kemampuan

lingkungan untuk mendukung kehidupan yang dinyatakan dalam jumlah ekor per

satuan luas. Dasman et al, (1977) menyatakan bahwa ukuran jumlah individu

dari suatu spesies yang dapat didukung oleh lingkungan tertentu mempunyai

(26)

10

1. Kepadatan maksimum, yang menunjukkan jumlah maksimum individu yang

dapat didukung per satuan luas. Jumlah individu yang maksimum pada

dasarnya akan menyebabkan makanan tidak cukup. Meskipun suatu individu

pada kondisi ini dapat bertahan hidup namun keadaannya tidak sehat, kurus

dan lemah (sangat rentan terhadap serangan penyakit). Secara umum

lingkungan menjadi rusak dan apabila berlangsung terlalu lama, kerusakan

itu bisa bersifat tak terbalikkan.

2. Kepadatan yang subsisten, yaitu kepadatan yang maksimum yang dapat

ditampung oleh satuan luas lingkungan dan sumberdaya.

3. Kepadatan optimum, dimana populasi akan mendapatkan segala keperluan

hidupnya dengan cukup sehingga pada keadaan ini terdapat pertumbuhan

populasi yang banyak dan sehat.

4. Kepadatan normal, yaitu populasi suatu spesies ditentukan oleh pengaruh

populasi spesies lainnya yang hidup di lingkungan yang sama (antara

kepadatan optimum dan subsisten).

Sapi perah membutuhkan air dalam jumlah yang cukup banyak karena

sebagian besar komponen penyusun susu (87%) adalah air sehingga perlu

diperhatikan kecukupan air untuk digunakan dalam proses budidaya. Selain itu

juga diperhatikan pengaruh limbah peternakan terhadap kualitas air. Soeratmo

(2009) menyatakan bahwa penetapan baku mutu akan lebih baik apabila tidak

hanya dipertimbangkan berdasarkan faktor ekonomis dari penggunaan manusia

saja tetapi juga dimasukkan pertimbangan-pertimbangan untuk pelestarian

ekologi yang meliputi pelestarian flora, fauna ataupun ekosistem. Baku mutu

limbah haruslah dikaitkan dengan keadaan kualitas ambien dan baku mutu

ambien.

2.5 Peternakan Berkelanjutan

Pertanian berkelanjutan yang dalam hal ini sub sektor peternakan,

merupakan implementasi dari paradigma pembangunan berkelanjutan yang pada

saat ini telah diterima sebagai agenda politik–ekonomi pembangunan untuk

semua negara di dunia. Pengertian bakunya pertama kali dipopulerkan dalam

Laporan Komisi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan (World

Commission on Environment and Development) tentang Masa Depan Bersama

(Our Common Future), bahwa pembangunan berkelanjutan merupakan

(27)

11

mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk mencukupi kebutuhan

mereka (Mitchell et al, 2000). Munasinghe (1993) menyatakan bahwa konsep

pertanian yang berkelanjutan yang diterima secara luas bertumpu pada tiga pilar

utama yang saling terintegrasi yaitu dimensi ekologi yang berkaitan dengan

pemeliharaan sumberdaya alam, dimensi ekonomi yang berkaitan dengan

efisiensi dan pertumbuhan dan dimensi sosial yang berkaitan dengan hak

kepemilikan dan keadilan. Menurut Budinuryanto (2010), setidaknya terdapat

lima kriteria untuk mengelola suatu sistem peternakan berkelanjutan (a)

kelayakan ekonomis (economic viability), (b) Bernuansa dan bersahabat dengan

ekologi (ecologically sound and friendly), (c) Diterima secara sosial (social just),

(d) Kepantasan secara budaya (culturally approciate) dan (e) Pendekatan sistem

holistik (system and hollistic approach).

Cakupan dimensi peternakan dalam UU Nomor 18 Tahun 2009 tentang

Peternakan dan Kesehatan Hewan menjadi jauh lebih luas dan komprehensif

dibandingkan dengan UU Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan

Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan. Beberapa terminologi dalam bidang

peternakan berubah dan berorientasi pada sistem agribisnis berwawasan

lingkungan yang berkelanjutan. Peternakan didefinisikan sebagai: segala urusan

yang berkaitan dengan sumber daya fisik, benih, bibit dan/atau bakalan, pakan,

alat dan mesin peternakan, budidaya ternak, panen, pascapanen, pengolahan,

pemasaran, dan pengusahaannya. Definisi tersebut akan berimplikasi pada

strategi dan program yang akan dikembangkan oleh pemerintah. Dimensi dan

perspektif yang terkandung dalam bab, pasal dan ayat-ayat dalam peraturan

perundangan di bidang peternakan dan kesehatan hewan dengan sendirinya

akan berdampak pada strategi pembangunan berkelanjutan khususnya

bagaimana merumuskan sistem integrasi antara subsektor peternakan dengan

subsektor lainnya, mengingat bahwa input utama untuk proses produksi usaha

peternakan sapi rakyat biasanya sangat tergantung pada sektor/subsektor

lainnya.

Budinuryanto (2010) mengutarakan bahwa dalam perspektif

sosio-ekonomik usaha peternakan rakyat, sebagian ilmuwan melihat bahwa

pengembangan sistem dan usaha agribisnis belum tentu cocok untuk diterapkan

di semua kondisi. Pembangunan peternakan tetap merupakan bagian dari

pembangunan perdesaan (rural development) yang menekankan pada

(28)

12

peternak. Fokus yang berlebihan pada agribisnis akan berakibat berkurangnya

perhatian pada peternak kecil, gurem, dan buruh-buruh tani-ternak yang miskin,

penyakap, petani penggarap, dan lain-lain yang kegiatannya tidak merupakan

bisnis. Bahkan lebih dari itu, pakar-pakar agribisnis lebih memikirkan bisnis

pertanian/peternakan, yaitu segala sesuatu yang harus dihitung untung-ruginya,

efisiensinya, dan sama sekali tidak memikirkan keadilannya dan moralnya.

Pembangunan pertanian dan peternakan di Indonesia semestinya berarti

pembaruan penataan pertanian dan peternakan yang menyumbang pada upaya

mengatasi kemiskinan atau meningkatkan kesejahteraan mereka.

Menurut Sofyan dan Pambudy (2004), pembangunan sistem agribisnis

persusuan harus berdasarkan pada (1) berdaya saing, artinya mampu bersaing

dengan produk lain sejenis darimanapun datangnya (2) berkerakyatan, artinya

dilakukan oleh masyarakat banyak, tidak dikelola oleh segelintir pihak saja, (3)

terdesentralisasi, artinya tidak menumpuk pada satu tempat saja, tapi merupakan

suatu kesatuan dari mulai hulu (on farm) hingga hilir (off farm) dan menyebar di

seluruh tanah air (4) berkelanjutan, artinya aktivitas tersebut harus

memperhatikan sumberdaya alam dan lingkungan agar kegiatan usaha tersebut

dapat terus berjalan dan sumberdaya alam serta lingkungan dapat terjaga

sehingga dapat diwariskan kepada generasi penerus. Putri (2003) menyatakan

bahwa konsep kawasan merupakan suatu pendekatan pengembangan sistem

ternak lahan (livestock-land use system) yang mengintegrasikan ternak dengan

lahan tanaman sehingga ternak lebih berbasis lahan (land-based) yang

sasarannya adalah pada pemanfaatan lahan dan sumberdaya secara lebih baik,

pelestarian lingkungan, ketahanan pangan, pengentasan kemiskinan dan

kesehatan masyarakat.

2.6 Analisis Strategi Pengembangan Peternakan

Strategi adalah alat untuk mencapai tujuan yang konsepnya terus

berkembang (Rangkuti, 2002). Strategi harus memiliki sifat antara lain menyatu

(unified) yaitu menyatukan seluruh bagian, menyeluruh (comprehensive) yaitu

mencakup seluruh aspek dan integral (integrated) yaitu seluruh strategi akan

cocok atau sesuai dengan seluruh tingkatan (Wahyudi, 1996). Strategi

merupakan rencana yang disatukan luas dan terintegrasi yang menghubungkan

(29)

13

memastikan bahwa tujuan utama dapat dicapai melalui pelaksanaan yang tepat

(Glueck dan Jauch, 1994).

Menurut Nickols (2000), strategi dapat diartikan dalam beberapa hal seperti

rencana, pola, posisi serta pandangan. Strategi sebagai rencana, berhubungan

dengan bagaimana memfokuskan perhatian dalam mewujudkan tujuan yang

ingin dicapai. Strategi sebagai pola, berarti suatu ketetapan yang berdasarkan

alasan-alasan tertentu dalam menentukan keputusan akhir untuk memadukan

kenyataan yang dihadapi dengan tujuan yang ingin dicapai. Strategi sebagai

posisi, berarti sikap yang diambil untuk mencapai tujuan dan sebagai pandangan,

strategi berarti cara memandang bentuk dan acuan dalam mengambil keputusan

atau tindakan.

Analytical Hierarchy Proses (AHP) merupakan salah satu teknik

pengambilan keputusan yang dapat digunakan dalam penentuan atau

perencanaan suatu strategi. Alat ini memasukkan pertimbangan-pertimbangan

logis dari faktor-faktor yang berpengaruh, berikut aktor dan tujuan masing-masing

dari suatu permasalahan yang kompleks yang dipetakan secara sederhana

menjadi suatu hirarki. Tingkat konsistensi adalah salah satu penentu utama yang

merupakan pertimbangan pokok keputusan strategi yang diambil. AHP

merupakan model yang luwes yang memberikan kesempatan bagi perorangan

atau kelompok untuk membangun gagasan dan mendefinisikan persoalan

dengan cara membuat asumsi mereka masing-masing dan memperoleh

pemecahan yang diinginkan (Saaty, 1993). Prinsip kerja AHP adalah membuat

bagian-bagian yang sederhana dalam suatu hirarki persoalan yang terstruktur,

strategis dan dinamis (Marimin, 2004).

Menurut Saaty (1993), penyelesaian persoalan dengan menggunakan AHP

dilakukan dengan beberapa prinsip dasar yaitu dekomposisi, menentukan

prioritas dan konsistensi logis, yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Dekomposisi adalah pemecahan persoalan yang menjadi unsur-unsurnya

setelah persoalan tersebut dirumuskan secara baik. Unsur-unsur persoalan

yang telah terpecahkan dapat dipecah lagi menjadi unsur yang lebih kecil

sehingga diperoleh beberapa tingkatan pesoalan yang akan ditelaah.

2. Penilaian perbandingan adalah kepentingan relatif dua elemen pada suatu

tingkat tertentu dalam kaitannya dengan tingkat di atasnya. Penilaian ini

(30)

14

prioritas elemen-elemen. Hasil dari penilaian ini lebih mudah disajikan dalam

bentuk matriks pairwise comparison.

3. Menentukan prioritas dalam penetuan eigen vektor dari matriks untuk

menentukan prioritas lokal dai setiap pairwise comparison. Oleh karena

pairwise comparison terdapat pada setiap tingkat maka untuk mendapatkan

prioritas global harus dilakukan sintesis di antara prioritas lokal. Prosedur

melakukan sintesis berbeda menurut bentuk hirarki. Pengaturan

elemen-elemen menurut kepentingan relatif melalui prosedur sintesis disebut sebagai

priority setting.

4. Konsistensi logis adalah tindakan (a) mengelompokkan obyek-obyek serupa

sesuai dengan keragaman dan relevansinya dan (b) mengevaluasi intensitas

relasi antar gagasan atau antar obyek yang didasarkan pada suatu kriteria

tertentu, saling membenarkan secara logis.

AHP menunjukkan bagaimana menghubungkan elemen-elemen dari bagian lain

untuk memperoleh hasil gabungan. Prosesnya adalah mengidentifikasi,

memahami dan menilai interaksi suatu sistem sebagai satu kesatuan. Tahapan

terpenting dalam analisis pendapat adalah penilaian dengan teknik komparasi

berpasangan (pairwise comparison) terhadap elemen-elemen keputusan pada

suatu tingkat hirarki keputusan.

Metode AHP digunakan dalam mengidentifikasi dan melakukan

pembobotan terhadap faktor-faktor eksternal dan internal yang terkait dengan

pemanfaatan limbah tanaman pangan sebagai sumber pakan ternak ruminansia

di Propinsi Sulawesi Selatan (Syamsu, 2006). Hendra (2010) menggunakan

metode AHP untuk menjaring persepsi awal tentang prioritas usaha peternakan

yang perlu dilakukan dalam kebijakan pembangunan di Kabupaten Sijunjung

(31)

15 III. METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor mulai

Desember 2010 – Maret 2011.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah daftar

pertanyaan/kuesioner, alat tulis menulis, komputer, software Expert Choice 9.0.

3.3 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terbagi atas data primer

dan sekunder. Data primer diperoleh dari hasil survei dan observasi di lapangan.

Sedangkan data sekunder bersumber dari dokumen dan kepustakaan yang

relevan.

3.4 Rancangan Penelitian

3.4.1 Teknik Penentuan Sampel

a. Responden Peternak

Penentuan responden peternak dilakukan secara stratified random

sampling yang stratifikasinya dilakukan berdasarkan jumlah

kepemilikan induk sapi perah laktasi. Stratifikasi dibagi dalam tiga strata

yaitu: (1) Strata I, dengan kepemilikan induk kurang dari 6 ekor (2)

Strata 2, dengan kepemilikan induk 6-10 ekor dan (3) Strata III dengan

kepemilikan induk lebih dari 10 ekor. Ukuran sampel minimal untuk

penelitian deskriptif berdasarkan metode Gay dan Diehl adalah 10

persen dari populasi (Sanusi, 2003). Ukuran sampel yang diambil

dalam penelitian ini sebanyak 30 persen dari jumlah peternak

masing-masing strata.

b. Responden Pakar

Penentuan responden pakar dilakukan dengan cara purposive sampling

berdasarkan pertimbangan bahwa individu/lembaga yang bersangkutan

(32)

16

dalam menentukan arah pembangunan peternakan sapi perah di

Kecamatan Cisarua. Responden yang diwawancarai dalam penelitian

ini disajikan pada Tabel 1.

Tabel1. Responden Pakar yang Diwawancarai dalam Penelitian

Lembaga/Instansi Jumlah Informan

Gapoktan Sapi Perah Bale Arminah PT. Cisarua Mountain Dairy

Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Kab. Bogor Institut Pertanian Bogor

3.4.2 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan: (1) survei melalui kuisioner terhadap

responden peternak dan responden pakar; (2) observasi langsung di lapangan,

dan (3) dokumentasi terhadap berbagai sumber dan dokumen yang relevan.

3.4.3 Variabel yang diamati

Variabel yang diamati dalam penelitian ini meliputi: (1) kondisi peternakan

sapi perah; (2) kondisi sosio demografi dan ekonomi keluarga peternak;

(3)potensi sumber daya lahan dan air; (4) perilaku masyarakat dan (5) kebijakan

pemerintah.

3.5 Analisis Data

Sesuai dengan permasalahan serta tujuan penelitian, maka data-data yang

dikumpulkan selanjutnya dianalisis dalam urutan sebagai berikut:

3.5.1 Analisis Kondisi Terkini Peternakan Sapi Perah Rakyat

a. Kondisi Usaha Peternakan Sapi Perah

Parameter analisis meliputi populasi ternak sapi perah, kepemilikan

ternak, tingkat produksi susu per satuan ternak, partisipasi anggota

keluarga, penanganan limbah, kapasitas kandang dan kepemilikan lahan.

(33)

17

b. Kondisi Peternak Sapi Perah

Parameter analisis meliputi umur peternak, tingkat pendidikan peternak,

pengalaman beternak dan penghasilan peternak. Variabel ini dianalisis

secara deskriptif kuantitatif.

c. Kondisi Kelembagaan

Anilisis dilakukan secara deskriptif kualitatif terhadap komponen

kelembagaan peternak

3.5.2 Analisis Kondisi Keberlanjutan Usaha Peternakan Sapi Perah Rakyat

Kondisi keberlanjutan usaha peternakan sapi perah rakyat adalah kondisi

yang terkait dengan keberlanjutan usaha peternakan yang dilihat dari dimensi

ekologi, sosial dan ekonomi. Analisis dilakukan dengan mengidentifikasi kondisi

terkini, kebijakan pemerintah dan perilaku masyarakat yang terkait dengan

keberlanjutan pengembangan ternak sapi perah. Analisis dilakukan secara

deskriptif eksploratif.

3.5.3 Analisis Kondisi Sumberdaya Lahan dan Air

Analisis kondisi sumberdaya alam dan air merupakan analisis pendukung

yang digunakan untuk analisis kondisi keberlanjutan yang terkait dengan dimensi

ekologi. Analisis kondisi sumberdaya lahan dilakukan dengan memperhatikan

penggunaan lahan yang ada dan daya dukungnya terhadap ketersediaan hijauan

makanan ternak. Menurut Sumanto dan Juarini (2006), daya dukung hijauan

makanan ternak adalah kemampuan suatu wilayah menghasilkan pakan

terutama hijauan yang dapat menampung kebutuhan bagi sejumlah populasi

ternak ruminansia dalam bentuk segar maupun kering tanpa melalui pengolahan

dan tambahan khusus. Daya dukung hijauan dihitung berdasarkan ST (Satuan

Ternak), Kebutuhan pakan = populasi ternak (ST) x 1,14 ton Berat Kering Cerna

(BKC)/tahun.

Indeks Daya Dukung (IDD) merupakan perbandingan antara total produksi

hijauan pakan tercerna dengan kebutuhan pakan tercerna untuk ternak yang

berada pada suatu wilayah (Ashari et al, 1996). IDD mempunyai empat kriteria

yaitu : (1) wilayah sangat kritis dengan IDD≤ 1; (2) wilayah kritis dengan IDD> 1 -1,5; (3) wilayah rawan, dengan IDD > 1,5-2; (4) wilayah aman dengan IDD> 2.

(34)

18 Nilai ≤ 1 : Ternak tidak mempunyai pilihan dalam memanfaatkan sumber

yang tersedia, terjadi pengurasan sumberdaya dalam

agroekosistemnya dan tidak ada hijauan alami maupun limbah

yang kembali melakukan siklus haranya

Nilai > 1-1,5 : Ternak telah mempunyai pilihan untuk memanfaatkan sumber

daya tetapi belum terpenuhi aspek-aspek konservasi.

Nilai >1,5 – 2 : Pengembalianbahan organik ke alam pas-pasan

Nilai >2 : Ketersediaan sumberdaya pakan secara fungsional mencukupi

kebutuhan lingkungan secara efisien

Kondisi sumber daya air dilakukan dengan memperhatikan kualitas air

pada perairan yang menjadi tempat pembuangan limbah peternakan. Indikator

yang digunakan dalam menilai limbah peternakan adalah parameter BOD, COD,

Fosfor, Kesadahan, Nitrit, Amonia, Sulfat, E.Coli dan Total Coli. Analisis

dilakukan secara deskriptif terhadap data kualitas air yang diperoleh. Pengaruh

limbah peternakan terhadap kualitas air dikaji melalui analisis kualitas air

sebelum kawasan, di tengah kawasan dan setelah kawasan peternakan. Baku

mutu yang digunakan sebagai pembanding adalah baku mutu yang telah

ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah RI No 82 Tahun 2001 tentang

Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.

3.5.4 Analisis Strategi Pengembangan Peternakan Sapi Perah

Berdasarkan hasil analisis data sebelumnya, rumusan strategi

pengembangan ternak sapi perah dilakukan melalui pendekatan metode AHP

(Analytical Hierarchy Process). AHP merupakan salah satu alat analisis yang

dapat digunakan untuk kondisi ketidakpastian dan ketidaksempurnaan informasi

dan beragamnya kriteria suatu pengambilan keputusan (Saaty, 1993). Metode ini

dipakai untuk mengorganisasikan informasi dan berbagai keputusan strategi

secara rasional untuk selanjutnya dipilih alternatif strategi yang efektif (Eriyanto,

2007).

Langkah-langkah yang dilakukan dalam proses AHP (Marimin, 2004)

adalah (a) penyusunan hierarki yaitu menguraikan persoalan menjadi

unsur-unsur dalam wujud kriteria dan alternatif yang disusun dalam bentuk hirarki (b)

penyusunan kriteria yaitu penyusunan kriteria yang digunakan untuk membuat

keputusan (c) penilaian kriteria dan alternatif yang digunakan untuk melihat

(35)

19

berpasangan, dan (d) penentuan prioritas yaitu dengan menggunakan teknik

perbandingan berpasangan (pairwaise comparisons) untuk setiap kriteria dan

alternatif.

Penilaian dilakukan dengan pembobotan masing-masing komponen

dengan perbandingan berpasangan dimulai dari level tertinggi sampai level

terendah. Pembobotan dilakukan berdasarkan ”judgement” para responden berdasarkan skala perbandingan berpasangan sebagaimana disajikan pada

tabel berikut (Saaty, 1993):

Tabel 2. Skala Banding Secara Berpasangan

Tingkat penting daripada elemen lainnya

Satu elemen dengan kuat didukung dan dominan terlihat dalam praktek

2,4,6,8 Nilai-nilai antar dua nilai pertimbangan yang berdekatan

Nilai ini diberikan bila ada

kompromi diantara dua pilihan

Sumber : Saaty (1993)

Penggunaan prinsip kerja AHP yaitu perbandingan berpasangan (pairwise

comparison) akan menghasilkan tingkat kepentingan suatu aspek terhadap

aspek lain, kriteria terhadap kriteria lain, dan alternative terhadap alternative

kebijakan lainnya dapat dinyatakan dengan jelas. Format tabel pembobotan

(36)

20

A=(aij)=

A1 A2 ... An

A1 1 A12 ... a1n

A2 1/a12 1 ... a2n

... ... ... ... ...

An 1/a1n A2n ... 1

Dalam hal ini A1, A2,..., An merupakan set elemen pada satu tingkat

keputusan hirarki. Kuantifikasi pendapat dari hasil komparasi berpasangan

membentuk matrik berukuran n x n, nilai aij merupakan nilai matrik pendapat

hasil komparasi berpasangan yang mencerminkan nilai kepentingan Ai terhadap

Aj.

1. Penyelesaian dengan manipulasi matriks

Matriks diatas diolah untuk menentukan bobot dari aspek dan kriteria,

yaitu dengan jalan menentukan nilai eigen (eigen vector), dengan prosedur

(1) kuadratkan matriks tersebut; (2) hitung jumlah nilai dari setiap baris,

kemudian lakukan normalisasi, dan (3) hentikan proses ini jika perhitungan

berturut-turut lebih kecil dari suatu nilai batas tertentu.

2. Penyelesaian dengan persamaan matematik  Pengolahan Horizontal

Pengolahan horizontal dapat dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut:

a. Perkalian baris (z) dengan rumus

Zi = VEi = aij

Keterangan:

VEi = vektor eigen, n = jumlah elemen yang dibandingkan.

b. Perhitungan vektor prioritas atau vektor eigen

eVPi =

Keterangan:

eVPi merupakan elemen vektor prioritas ke-i.

c. Penghitungan vector eigen (akar ciri) maksimum

VA = aij x VP dengan VA = (Vai),

VB = VA/VP dengan VB = (Vbi),

(37)

21

VBiuntuk I = 1,2,…,n Keterangan:

VA=VB adalah vektor antara

d. Perhitungan Indeks Konsistensi (CI)

Pengukuran ini untuk mengetahui konsistensi jawaban yang akan

berpengaruh kepada kesahihan hasil.

CI =

Keterangan:

λ maks = vector eigen /akar ciri maksimum n = jumlah elemen yang dibandingkan

e. Perhitungan Consistensi Ratio (CR)

Untuk mengetahui apakah CI dengan besaran tertentu cukup baik

atau tidak, perlu diketahui rasio yang dianggap baik, yaitu apabila CR

≤ 0.1. Rumus CR adalah :

CR =

Keterangan:

RI = Nilai Random Indeks yang dikeluarkan oleh Oarkridge

Laboratory yang disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Nilai Random Indeks (RI)

N RI N RI N RI N RI N RI

1 0,00 2 0,00 3 0,58 4 0,90 5 1,12

6 1,24 7 1,32 8 1,41 9 1,45 10 1,49

Sumber : Marimin (2004)

Apabila nilai CR > 0,1 beberapa pakar berpendapat bahwa persepsi

responden harus ditanya ulang, responden diganti atau datanya tidak

(38)

22

 Pengolahan Vertikal

Pengolahan ini digunakan untuk menyusun prioritas setiap elemen dalam

hierarki terhadap sasaran utama. Bila NPpq merupakan nilai prioritas

pengaruh elemen ke-p pada tingkat ke-q terhadap sasaran utama, maka :

NPpq =

untuk : p=1,2,3,...r dan T = 1,2,3,...,s

Keterangan :

NPpq = Nilai prioritas pengaruh ke-p pada tingkat ke-q terhadap sasaran utama

NPHpq = Nilai prioritas elemen ke-p pada tingkat ke-q

NPTt = Nilai prioritas pengaruh elemen ke-t pada tingkat ke (q-1) Dimana, p = jumlah tingkat hirarki keputusan

r = jumlah elemen yang ada pada tingkat ke-q s = jumlah elemen yang ada pada tingkat ke (q-1)

3. Penggabungan Pendapat Responden

AHP pada dasarnya dapat digunakan untuk mengolah data dari satu

responden ahli, namun dalam aplikasinya penilaian kriteria dan alternatif

dilakukan oleh beberapa ahli multidisiplioner. Konsekuensinya pendapat

beberapa ahli tersebut perlu dicek konsistensinya satu persatu. Pendapat

yang konsisten kemudian digabungkan dengan menggunakan rata-rata

geometrik. Tujuan menyusun matrik ini adalah untuk membentuk suatu

matrik yang mewakili matrik-matrik pendapat individu.

XG =

Keterangan:

XG = rata-rata geometrik n = jumlah responden

Xi = penilaian oleh responden ke-i

(39)

23 IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Keadaan Umum Lokasi

Kecamatan Cisarua adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Bogor

yang teletak pada 06o42’ LS dan 106o56’ BB. Secara administratif Kecamatan Cisarua memiliki luas wilayah 6.373,62 ha yang terdiri dari sembilan desa, dan

satu kelurahan sebagaimana disajikan dalam Tabel 4. Kecamatan Cisarua

berbatasan dengan Kecamatan Megamendung di sebelah utara dan barat serta

berbatasan dengan Kabupaten Cianjur di sebelah selatan dan timur.

Berdasarkan karakteristik wilayah, Kecamatan Cisarua termasuk dalam Kawasan

Bogor-Puncak-Cianjur yang dilalui hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung.

Kawasan ini menurut Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 114 Tahun

1999 Tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur berfungsi sebagai

kawasan konservasi air dan tanah dengan tujuan untuk (a) menjamin tetap

berlangsungnya konservasi air dan tanah yang merupakan fungsi utama

kawasan; dan (b) menjamin tersedianya air tanah, air permukaan dan

penanggulangan banjir bagi Kawasan Bopunjur dan daerah hilirnya.

Tabel.4 Luas Wilayah Desa/Kelurahan di Kecamatan Cisarua

No Desa/Kelurahan Luas Wilayah (ha) 1.

Sumber: Laporan Tahunan Kinerja Kec. Cisarua (2009)

Secara topografis wilayah Cisarua memiliki ketinggian 650-1400 m dpl

yang terdiri dari perbukitan sampai bergunung 25%, berombak sampai berbukit

(40)

24 memiliki curah hujan rata-rata 497 mm/bulan dengan 271 hari hujan/tahun.

Komoditas pertanian yang menonjol diusahakan selain tanaman padi sawah

adalah tanaman pertanian dataran tinggi diantaranya palawija (ubi kayu, ubi jalar,

kacang tanah dan kacang kedelai), sayur mayur (wortel, bawang daun, sawi,

kubis, kacang panjang, seledri, cabe, tomat dan kacang tanah) dan tanaman

buah seperti alpukat, pisang, pepaya dan mangga. Panorama alam yang indah

yang dimiliki telah menjadikan Cisarua sebagai daerah tujuan wisata sehingga

menumbuhkembangkan usaha yang terkait dengan pariwisata seperti

perhotelan, restoran, suvenir, tempat rekreasi dan usaha pendukung pariwisata

lainnya.

Secara demografis Kecamatan Cisarua memiliki penduduk sebanyak

111.940 jiwa yang terdiri dari 57.593 laki-laki dan 54.347 perempuan dengan

kepadatan 23.649 jiwa/km2. Jumlah penduduk pada masing-masing

desa/kelurahan disajikan dalam Tabel 5, sedangkan jumlah penduduk

berdasarkan kelompok umur dan mata pencaharian disajikan dalam Tabel 6 dan

Tabel 7.

Tabel 5. Jumlah Penduduk Tiap Desa/Kelurahan di Kecamatan Cisarua

No Desa/Kelurahan

Jumlah Penduduk (jiwa) Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) Laki-laki Perempuan Jumlah

1.

(41)

25

Tabel 6. Jumlah Penduduk di Kecamatan Cisarua Berdasarkan Kelompok Umur

No Kelompok Umur

Sumber: Laporan Tahunan Kinerja Kec. Cisarua (2009)

Tabel 7. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian

No Mata Pencaharian Jumlah Penduduk (orang)

Sumber: Laporan Tahunan Kinerja Kec. Cisarua (2009)

4.2 Keadaan Umum Usaha Peternakan

Kecamatan Cisarua merupakan wilayah yang potensial dalam

pengembangan peternakan. Jenis ternak yang terdapat di wilayah ini diantaranya

adalah sapi perah, sapi potong, kerbau, kambing, domba, ayam ras pedaging,

(42)

26 Tabel 8. Populasi Ternak di Kecamatan Cisarua Tahun 2009

Komoditas Ternak Populasi (ekor)

Sapi Perah

Sapi Potong

Kerbau

Kambing

Kambing PE

Domba

Ayam Ras Pedaging

Ayam Buras

Itik

1.401

20

250

4.642

127

8.906

65.000

104.090

4.189

Sumber: Disnakkan Kab. Bogor (2009)

Berdasarkan Tabel 8 diketahui bahwa ternak ruminansia besar yang

memiliki tingkat populasi paling tinggi adalah ternak sapi perah. Ini

menggambarkan bahwa ternak sapi perah adalah ternak yang umum

dibudidayakan di wilayah ini terutama di Desa Cibeurueum dan Tugu Selatan.

Kecamatan Cisarua merupakan kecamatan di Kabupaten Bogor yang memiliki

populasi sapi perah yang tinggi disamping kecamatan sentra sapi perah lainnya

yaitu Cibungbulang, Pamijahan dan Cijeruk dengan populasi masing-masing 938;

1.138; dan 1.638 ekor. Peternakan sapi perah mulai berkembang di Cisarua

sejak digulirkannya Bantuan Presiden pada Tahun 1981. Inilah yang menjadi

(43)

27 V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Kondisi Terkini Peternakan Sapi Perah Rakyat di Cisarua

5.1.1 Kondisi Usaha Peternakan

Populasi Ternak Sapi Perah

Populasi ternak sapi perah akan memberikan gambaran umum mengenai

pengembangannya pada suatu wilayah. Berdasarkan data Tahun 2010,

Kecamatan Cisarua memiliki populasi ternak sapi perah 1.035 ekor atau 734 ST

(Satuan Ternak) dengan struktur populasi sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel

9.

Tabel 9. Struktur Populasi Sapi Perah di Kecamatan Cisarua

No. Struktur Populasi Jumlah

(ekor)

- Induk Laktasi Bunting - Induk Kering Kandang - Induk Afkir

Sumber : KUD Giri Tani (2010)

Komposisi sapi laktasi mencapai 64,9% dari total populasi. Menurut

Sudono et al (2003), bahwa agar usaha sapi perah tetap memberikan

penghasilan bagi peternak maka sapi laktasi tidak boleh kurang dari 60%.

Dengan demikian secara menyeluruh usaha ternak sapi perah rakyat di Cisarua

(44)

28 Kepemilikan Ternak

Kepemilikan ternak dapat dijadikan indikator tingkat skala usaha yang

diusahakan oleh peternak. Kepemilikan ternak sapi perah di Cisarua ditunjukkan

dalam Tabel 10.

Tabel 10. Jumlah Kepemilikan Ternak Sapi Perah Rakyat di Cisarua

Jumlah Kepemilikan Induk

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden dan hasil penelusuran

data sekunder diketahui bahwa rata-rata produksi susu sapi adalah 11

liter/ekor/hari. Apabila diklasifikasikan berdasarkan jumlah kepemilikan induk

akan didapat tingkat produksi susu sapi sebagaimana disajikan dalam Tabel 11.

Tabel 11. Produksi Susu Sapi Berdasarkan Tingkat Kepemilikan Induk

Jumlah Kepemilikan Induk

Sumber: KUD Giri Tani (2010)

Partisipasi Anggota Keluarga

Peternakan sapi perah rakyat merupakan peternakan yang skala

kepemilikan induknya di bawah 20 ekor. Umumnya pengusahaan peternakan

sapi perah rakyat ini dilakukan oleh rumah tangga peternak dengan melibatkan

anggota keluarga. Jumlah anggota keluarga responden yang terlibat dalam

usaha peternakan ini maksimal sebanyak 3 orang dari 4-6 orang (90%) dan 7-9

orang (10%) jumlah anggota keluarga. Semakin banyak jumlah anggota keluarga

merupakan beban di satu sisi, akan tetapi dari sisi lain merupakan sumber

Gambar

Gambar 1. Diagram Alir Kerangka Pikir Penelitian
Tabel 2. Skala Banding Secara Berpasangan
Tabel 3. Nilai Random Indeks (RI)
Tabel 5. Jumlah Penduduk Tiap Desa/Kelurahan di Kecamatan Cisarua
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Tim Peneliti Hibah Bersaing Peranan Tingkat Pendidikan Peter- nak Terhadap Dampak Inovasi Sapi Perah Di Jawa Barat,

Biaya tidak tetap usaha peternakan sapi perah di Kecamatan Musuk Kabupaten Boyolali .... Biaya tetap usaha peternakan sapi perah di Kecamatan Musuk

Hasil analisis menunjukkan bahwa: (1) Peternakan sapi perah dalam Koperasi Mahesa tidak sesuai dengan standard agroekologi; (2) Peternakan sapi perah dalam

Nurtini (2011) menyatakan bahwa usaha peternakan sapi perah Indonesia dibedakan menjadi dua jenis : 1) Usaha peternakan sapi perah rakyat; 2) Perusahaan peternakan sapi

Usaha peternakan sapi perah rakyat adalah usaha peternakan sapi perah yang diselenggarakan sebagai usaha sampingan yang memiliki sapi perah kurang dari 10 ekor sapi

Beberapa keuntungan usaha ternak sapi perah adalah peternakan sapi perah termasuk usaha yang tetap, sapi perah sangat efisien dalam mengubah pakan menjadi protein

Produksi susu dapat ditingkatkan dengan adanya manajemen yang baik dalam usaha peternakan sapi perah, salah satu usaha yang dilakukan adalah dengan pemberian

Implikasi dari hasil tersebut, bahwa seleksi individu sapi perah induk atas dasar tingkat produksi puncak pada 3 bulan awal laktasi dalam kondisi peternakan sapi perah rakyat di