• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usaha Peternakan Sapi Perah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usaha Peternakan Sapi Perah"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

9

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Usaha Peternakan Sapi Perah

Menurut Yusdja (2005), usaha sapi perah sudah berkembang sejak tahun 1960 ditandai dengan pembangunan usaha-usaha swasta dalam peternakan sapi perah disekitar Sumatra Utara, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Tahun 1977 Indonesia mulai mengembangkan agribisnis sapi perah rakyat yang ditandai dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri. SKB ini merumuskan kebijakan dan program pengembangan agribisnis sapi perah di Indonesia. Industri peternakan sapi perah di Indonesia mempunyai struktur yang relatif lengkap yakni peternak, pabrik pakan dan pabrik pengolahan susu yang relatif maju dan kapasitas yang cukup tinggi serta tersedia kelembagaan peternak yakni Gabungan Koprasi Susu Indonesia (GKSI). Struktur usaha ternak terdiri dari usaha skala besar (>100 ekor), usaha skala menengah (30-100), usaha skala kecil (10-30ekor) dan usaha skala kecil (10-30) dan usaha ternak rakyat (1-9 ekor). Peternak sapi perah rakyat, pada umumnya adalah anggota koperasi.

Peternakan sapi perah telah dimulai sejak abad ke-19 yaitu dengan pengimporan sapi-sapi bangsa Ayrshire, Jersey, Milking Shorthorn dari Australia. Pada permulaan abad ke-20 dilanjutkan dengan pengimporan sapi Fries Holland

(FH) dari belanda. Sapi perah yang dewasa ini dipelihara di Indonesia pada umumnya adalah sapi Fries Holland yang memiliki kemampuan produksi susu tertinggi (Sudono, 1999). Di Indonesia populasi bangsa sapi Fries Holland

merupakan yang terbesar diantara jumlah populasi bangsa-bangsa sapi perah yang lain. Jenis sapi Fries Holland (FH) memiliki sifat-sifat sebagai berikut : tenang, jinak dan mudah dikuasai, sapi tidak tahan panas namun mudah beradaptasi, produksi susu mencapai 4500-5500 liter per satu masa laktasi dan berat badan sapi jantan mencapai 1000 kg dan sapi betina mencapai 650 kg (Girisonta, 1995).

Menurut Mubyarto (1989), berdasarkan pola pemeliharaan usaha ternak di Indonesia diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu : peternakan rakyat, peternakan semi komersial dan peternakan komersial.

1) Peternakan rakyat dengan cara memelihara ternaknya secara tradisional. Pemeliharaan cara ini dilakukan setiap hari oleh anggota keluarga peternak dimana keterampilan peternak masih sederhana dan menggunakan bibit lokal

(2)

10 dalam jumlah dan mutu terbatas. Tujuan utama pemeliharaan sebagian hewan kerja sebagai pembajak sawah atau tegalan.

2) Peternakan rakyat semi komersial dengan keterampilan berternak dapat dikatakan cukup. Penggunaan bibit unggul, obat-obatan, dan makanan penguat cenderung meningkat. Tujuan utama pemeliharaan untuk menambah pendapatan keluarga dan konsumsi sendiri.

3) Peternakan komersial dijalankan oleh peternak yang mempunyai kemampuan dalam segi modal, sarana produksi dengan teknologi yang cukup modern. Semua tenaga kerja dibayar dan makanan ternak dibeli dari luar dalam jumlah besar.

Usaha ternak sapi perah merupakan usaha yang menguntungkan dibandingkan dengan usaha ternak yang lain. Beberapa keuntungan usaha ternak sapi perah adalah peternakan sapi perah termasuk usaha yang tetap, sapi perah sangat efisien dalam mengubah pakan menjadi protein hewani dan kalori, memiliki jaminan pendapatan yang tetap, penggunaan tenaga kerja yang tetap dan tidak musiman, pakan yang relatif murah dan mudah didapat karena sapi perah dapat menggunakan berbagai jenis hijuan yang tersedia atau sisa-sisa hasil pertanian, kesuburan tanah dapat dipertahankan dengan memanfaatkan kotoran sapi perah sebagai pupuk kandang dan pedet yang dihasilkan jika jantan bisa dijual untuk sapi potong, sedangkan jika pedet betina bisa dipelihara hingga dewasa dan menghasilkan susu (Sudono et al, 2003).

2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi

Sapi Fries Holland (FH) adalah sapi perah yang produksi susunya tertinggi dibandingkan bangsa-bangsa sapi perah lainya, dengan kadar lemak susu yang rendah (Sudono, 1999). Penyediaan bahan pakan yang terbatas akan membatasi peningkatan jumlah dan mutu produksi sapi Fries Holland (Girisonta, 1995).

Menurut Sudono (1999), produksi susu sapi perah di Indonesia umumnya masih rendah, yaitu hasil susu rata-rata per ekor per hari adalah 10 liter dengan bangsa sapi Fries Holland (FH). Hasil penelitian Junita (2008), menunjukan bahwa produksi susu yang dihasilkan di Kecamatan Cipanas Kabupaten Cianjur

(3)

11 adalah 8, 58 liter per ekor dan kepemilikan sapi laktasi masih di bawah 60 persen dari total sapi yang dimiliki.

Menurut penelitian Kadarini (2005), puncak produksi susu sapi perah peternak di KUD Cipanas terjadi pada bulan ketiga setelah beranak kemudian turun secara bertahap. Pada bulan keempat produksi susu mengalami penurunan yang sangat jelas dari 10 liter/ekor/hari. Hal ini kemungkinan disebabkan sapi pada usia ini mulai bunting kembali. Pada bulan kesembilan rataan produksi susu kembali meningkat, disebabkan pada populasi yang diamati terdapat dua ekor sapi yang berusia enam tahun dan satu ekor berusia lima tahun.

Menurut Siregar (1992), usaha untuk meningkatkan produksi susu dapat dilakukan dengan menambahkan pakan atau perbaikan sistem pemberian pakan tanpa penambahan biaya pakan. Sapi perah hendaknya diberi pakan yang berkualitas tinggi sehingga dapat berproduksi sesuai dengan kemampuannya. Kesalahan dalam manajemen pemeliharaan dapat dijadikan indikasi untuk mengetahui tingkat produksi yang rendah atau tidak sesuai dengan kemampuan potensial sapi.

Menurut Sudono et al. (2003), bibit sapi perah yang akan dipelihara menentukan keberhasilan dalam berproduksi. Faktor yang perlu diperhatikan dalam pemilihan bibit sapi perah yaitu, keturunan, bentuk ambing, penampilan dan umur bibit. Selain bibit hal yang menunjang dalam keberhasilan berproduksi adalah pakan. Pakan memiliki pengaruh yang dominan dalam produksi. Pengaruh ini mencakup pada volume dan kualitas susu serta kesehatan. Pakan yang diberikan untuk ternak sapi perah terdiri dari pakan konsentrat dan hijuan. Dalam penelitian Mandaka dan Hutagaol (2005), di Kelurahan Kebon Pedes Kabupaten Bogor diketahui skala ekonomi peternakan sapi perah rakyat berada pada kondisi

Decreasing Return of Scale dimana penambahan faktor produksi tetap (jumlah induk produktif dan pengalaman beternak) menyebabkan penurunan keuntungan usaha ternak dalam jangka panjang.

Peluang untuk meningkatkan produksi susu nasional itu dapat dikatagorikan dalam tiga kegiatan utama, yakni: (1) penambahan populasi sapi perah betina, (2) perbaikan pemberian pakan, serta (3) perbaikan intensifikasi pelaksanaan Inseminasi Buatan (Siregar, 1992).

(4)

12 Menurut Heriyatno (2009), Faktor faktor yang berpengaruh terhadap produksi susu sapi perah adalah jumlah pakan konsentrat, jumlah pakan hijauan dan masa laktasi sapi. Sedangkan menurut Sudono (1999), faktor-faktor yang mempengaruhi produksi susu sapi adalah masa laktasi, umur sapi, selang beranak (Calving Interval), tenaga kerja, makanan dan tatalaksana. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi susu sapi antara lain :

1. Masa Laktasi

Masa laktasi adalah masa sapi itu sedang menghasilkan susu antara waktu beranak dengan masa kering. Produksi susu per hari mulai menurun setelah laktasi dua bulan (Sudono, 1999). Sedangkan menurut Girisonta (1995), masa laktasi adalah masa sapi sedang berproduksi. Sapi mulai berproduksi setelah melahirkan anak kira-kira setengah jam setelah sapi itu melahirkan, produksi susu sudah keluar. Periode laktasi mempengaruhi selang beranak pada sapi Fries Holland

(FH). Selang beranak paling lama ditemukan pada sapi laktasi pertama dan kedua, dan selang beranak paling singkat ditemukan pada sapi laktasi kelima dan keenam.

2. Umur Sapi

Sapi-sapi yang beranak pada umur yang tua (tiga tahun) akan menghasilkan susu yang lebih banyak dari pada sapi-sapi yang beranak pada umur muda (dua tahun). Produksi susu akan terus meningkat dengan tambahnya umur sapi sampai sapi itu umur tujuh tahun atau delapan tahun, yang kemudian setelah umur tersebut produksi susu akan menurun sedikit demi sedikit sampai sapi berumur 11-12 tahun hasil susu nya akan rendah sekali. Hal ini disebabkan kondisi tubuh akan menurun dan senilitas. Meningkatnya hasil susu pada laktasi dari umur dua tahun sampai umur tujuh tahun itu disebabkan bertambah besar sapi karena pertumbuhan, jumlah tenunan dalam ambing juga bertambah. Turunnya hasil susu pada hewan tua disebabkan aktivitas-aktivitas kelenjar-kelenjar ambing sudah berkurang. Kemampuan sapi dara untuk berkofulasi tak hanya dipengaruhi oleh pertumbuhan badannya, tetapi juga pertumbuhan ambingnya yang mencapai pertumbuhan yang maksimum pada laktasi ke tiga atau ke empat (Sudono, 1999).

(5)

13 3. Tenaga Kerja Dalam Budidaya Sapi Perah

Menurut Sudono (1999), tenaga kerja merupakan hal yang penting dalam usaha peternakan sapi perah. Tenaga kerja yang diperlukan harus terampil dan berpengalaman dalam bidangnya agar penggunaan tenaga kerja jadi efisien, untuk mencapai penggunaan tenaga kerja yang efisien pada usaha peternakan sapi perah di Indonesia sebaiknya seorang tenaga kerja dapat menangani enam sampai tujuh ekor sapi dewasa. Sedangkan menurut Mubyarto (1989), dalam usahatani sebagian besar tenaga kerja berasal dari keluarga petani sendiri yang terdiri dari suami sebagai kepala keluarga, istri dan anak-anak petani. Kebutuhan dan pencurahan tenaga kerja sangat tergantung pada jenis pekerjaan dan komoditi yang diusahakan (Hernanto, 1996).

4. Makanan dan Tatalaksana

Pakan ternak terbagi dalam dua kelompok, yaitu pakan hijauan dan pakan konsentrat. Pakan konsentrat merupakan pakan yang diformulasikan atas beberapa bahan pakan seperti pollar, bungkil kedelai, dan jagung. Standar nilai koefisien teknis pada konsentrat adalah satu persen dari berat badan sapi yaitu antara 8-10 kg konsentrat per hari untuk setiap satuan ternak (Susilorini et al. 2009). Sementara itu, pakan hijauan berasal dari hasil budidaya atau berasal dari rumput alam yang dicari di lahan terbuka. Selain itu, pakan hijauan dapat juga berasal dari limbah pertanian, seperti jerami padi, jerami jagung dan kelopak kol yang sudah rusak (Swastika et al. 2009). Standar nilai koefisien teknis pakan hijauan adalah sepuluh persen dari berat badan sapi untuk setiap satuan ternak (Susilorini et al.

2009).

Pada umumnya variasi dalam produksi susu beberapa peternakan sapi perah disebabkan oleh perbedaan dalam makanan dan tata laksananya. Pemberian makanan yang banyak pada sapi yang kondisinya jelek pada waktu sapi itu sedang dikeringkan dapat meningkatkan produksi susu sebesar 10-30 persen. Pemberian air sangat penting untuk produksi susu, karena susu 87 persen terdiri atas air dan 50 persen dari badan sapi terdiri atas air. Jumlah air yang dibutuhkan tergantung pada produksi susu yang dihasilkan sapi, suhu sekelilingnya dan macam makanan yang diberikan (Sudono,1999).

(6)

14 Penggunaan faktor produksi yang akan dipakai dalam analisis selain tergantung dari penting tidaknya pengaruh penggunaannya terhadap produksi juga dibatasi pada faktor produksi yang dapat dikontrol (Soekartawi et al.1986).

Penelitian Heriyatno (2009) dengan judul ”Analisis Pendapatan dan Faktor yang Mempengaruhi Produksi Susu Sapi Perah di Tingkat Peternak (Kasus: Anggota Koperasi Serba Usaha Karya Nugraha Kecamatan Cigugur Kabupaten Kuningan)” menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi susu di tingkat peternak menunjukan jumlah pemberian pakan konsentrat, jumlah pemberian pakan hijauan dan masa laktasi berpengaruh nyata terhadap produktivitas sapi perah peternak sedangkan faktor besarnya biaya usaha tidak berpengaruh nyata. Fungsi produksi yang digunakan untuk mengnganalisis usaha ternak sapi perah menunjukan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 40,2 persen. Nilai tersebut artinya 40,2 persen hubungan antara faktor-faktor produksi yang digunakan dengan jumlah produksi susu dapat dijelaskan oleh produksi tersebut dan sebesar 59,8 persen hubungan tersebut dijelaskan oleh faktor-faktoe lain.

Penelitian Pratiwi (2009) dalam mengidentifikasi faktor-faktor produksi yang mempengaruhi usaha peternakan sapi perah terdapat beberapa variabel yang diukur yaitu jumlah produksi susu sebagai variabel dependen, jumlah makanan hijauan, konsentrat, vaselin, tenaga kerja dan dummy setelah kredit dan sebelum kredit pada taraf nyata satu persen yang mempengaruhi produksi susu secara signifikan yaitu hijauan konsentrat dan dummy setelah kredit dan sebelum kredit sedangkan vaselin dan tenaga kerja berpengaruh nyata pada taraf nyata lima persen.

Penelitian Mandaka (2005) menganalisis fungsi keuntungan, efisiensi ekonomi dan kemungkinan skema kredit bagi pengembangan skala usaha peternakan sapi perah rakyat di Kelurahan Kebon Pedes, Kota Bogor. Kesimpulan yang didapat yaitu peternak sapi perah di Wilayah tersebut memiliki kecenderungan yang sama dalam teknis produksi maupun biaya produksi dan hanya input tetap berupa jumlah induk produktif yang berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan di atas 75 persen. Skala ekonomi peternakan sapi perah rakyat berada pada kondisi decreasing return of scale dimana penambahan input

(7)

15 tetap (jumlah induk produktif dan pengalaman beternak) menyebabkan penurunan keuntungan usaha ternak dalam jangka panjang.

Skema kredit yang sesuai dengan kondisi aktual dan keinginan peternak di Kelurahan Kebon Pedes adalah :

1) Ternak sapi merupakan jenis agunan yang paling memungkinkan untuk dijadikan sebagai jaminan kredit utama.

2) Jangka waktu pengembalian kredit yang relevan pada usaha ternak sapi perah adalah 7 tahun dengan tingkat suku bunga kredit antara 0-1 persen per bulan.

3) Nilai pinjaman yang paling sesuai bagi pengembangan usaha ternak skala kecil sebesar Rp 6.000.000-Rp 12.000.000 atau setara dengan 1-2 ekor induk produktif.

Penelitian Sihite (1998), dalam mengidentifikasi faktor-faktor produksi yang mempengaruhi usaha peternakan sapi perah terdapat beberapa variabel yang diukur yaitu jumlah produksi susu sebagai variabel dependen, jumlah makanan penguat, jumlah makanan hijauan, jumlah tenaga kerja dan jumlah sapi laktasi. Pada taraf nyata 0,05 hanya jumlah pakan hijauan yang mempengaruhi produksi susu secara signifikan sedangkan jumlah makanan penguat dan persentase sapi laktasi berpengaruh nyata pada taraf nyata 0,10. Jumlah tenaga kerja tidak berpengaruh terhadap peroduksi susu.

Penelitian Fitriani (2001), dalam faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan peternak usaha gaduhan ternak sapi potong di Kecamatan Cipego, Boyolali, Jawa Tengah mengemukakan bahwa rata-rata tingkat pendapatan yang diterima oleh peternak penggaduh per ekor adalah Rp 1031,59, per HKP. Dengan tingkat kontribusi pendapatan dari usaha tersebut terhadap total pendapatan keluarga peternak adalah 4,5 persen. Dari analisa regresi diperoleh nilai koefisien determinan (R2) sebesar 68,8 yang berarti bahwa 68,8 persen keragaman tingkat pendapatan peternak penggaduh dapat dijelaskan oleh faktor umur sapi awal penggemukan, curahan jam kerja, nilai jual sapi, umur peternak penggaduh, pengalaman beternak, lama penggemukan dan harga beli. Peubah yang memiliki pengaruh nyata terhadap pendapatan peternak adalah umur sapi awal penggemukan 1,301 dan harga jual 2,868. Sedangkan peubah yang tidak

(8)

16 berpengaruh nyata adalah curah jam kerja, umur peternak, pengalaman beternak dan persentase pembagian hasil yang diterima peternak penggaduh.

Beberapa penelitian terdahulu yang ditulis oleh Heriyanto, Pratiwi, Sihite, Fitriani dan Mandaka terdapat kesamaan dalam objek penelitian yaitu sapi perah. Untuk penelitian yang dibuat oleh Heriyanto, Pratiwi, Sihite dan Fitriani terdapat kesamaan dalam analisis penelitian yaitu menggunakan analisis pendapatan usahatani R/C rasio serta produktivitas dan pendapatan dengan fungsi Cobb Douglas. Dari hasil keempat penelitian, pendapatan usahatani tersebut menguntungkan karena memiliki nilai R/C rasio lebih dari satu, sedangkan dari hasil fungsi Cobb Douglas menunjukan hubungan faktor-faktor input yang digunakan dengan output yang dihasilkan. Keempat penelitian tersebut dapat sebagai reverensi dan acuan serta perbandingan terhadap dengan penelitian yang dilakukan. Penelitian yang dilakukan saat ini lebih menekankan pada faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas susu dan pendapatan peternak. Sedangkan perbedaan penelitian Mandaka dengan penelitian yang dilakukan yaitu menggunakan analisis efisiensi usahatani. Perbedaan ini diharapkan dapat memperkaya pengetahuan peneliti mengenai efisiensi usahatani sapi perah.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Kelayakan Pengembangan Usaha Peternakan Sapi Perah Kunak (Studi Kasus Usaha Ternak Kavling 176, Desa

dan bioekologi lalat Sumba ( Hippobosca sp. ) pada sapi perah di kawasan usaha peternakan sapi perah Cibungbulang Kabupaten Bogor sehingga dapat menjadi.. dasar pertimbangan

Berdasarkan hasil penelitian pengembangan usaha ternak sapi perah di Kecamatan Musuk Kabupaten Boyolali, maka dapat diambil kesimpulan bahwa subsistem agribisnis peternakan

Inovasi perbaikan formula pakan konsentrat dapat meningkatkan produktivitas, pendapatan dan efisiensi usaha ternak sapi perah sehingga berdampak pada peningkatan

Karakteristik sosial ekonomi usaha peternakan sapi perah yang dikaji dalam penelitian ini yaitu tingkat pendapatan, efisiensi usaha, umur peternak, jumlah pemilikan

Berdasarkan hasil penelitian pengembangan usaha ternak sapi perah di Kecamatan Musuk Kabupaten Boyolali, maka dapat diambil kesimpulan bahwa subsistem agribisnis peternakan

Nurtini (2011) menyatakan bahwa usaha peternakan sapi perah Indonesia dibedakan menjadi dua jenis : 1) Usaha peternakan sapi perah rakyat; 2) Perusahaan

Berdasarkan latar belakang, maka tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pengembangan peternakan sapi perah dan dinamika moda produksi usaha peternakan sapi perah