• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH KUALITAS INDIVIDU SAPI PERAH TERHADAP NILAI EKONOMI PRODUKSI SUSU DALAM KONDISI PETERNAKAN SAPI PERAH RAKYAT DI JAWA TIMUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH KUALITAS INDIVIDU SAPI PERAH TERHADAP NILAI EKONOMI PRODUKSI SUSU DALAM KONDISI PETERNAKAN SAPI PERAH RAKYAT DI JAWA TIMUR"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KUALITAS INDIVIDU SAPI PERAH TERHADAP

NILAI EKONOMI PRODUKSI SUSU DALAM KONDISI

PETERNAKAN SAPI PERAH RAKYAT DI JAWA TIMUR

(The Influence of Individual Quality of A Dairy Cow on the Economic Value

of Milk Produced on Smallholder Dairy Farms Condition in East Java)

MOHAMAD ALI YUSRAN

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur

ABSTRACT

This study was conducted to know about the different of the economic value of milk production of dairy cow because of difference of individual quality (genetic) available in the smallholder dairy farms condition in East Java. Its result could be used as data base to policy decision on genetic improvement in the population of dairy cows in East Java. This study was carried out with survey method in Kecamatan Tutur–Pasuruan and Kecamatan Ngantang–Malang, both in upland area have famous as the center of the smallholder dairy farms in East Java. The evaluation was made on 146 cows that were distributed in 2 stages of individual quality, and in each the stages were divided into 3 months of lactation period, namely are the first 3 month lactation (Early lactation), the second 3 month lactation (Mid lactation), and the third 3 month lactation (Late lactation). The difference of individual quality of the cows were determined base on the peak level of milk yield (liter/day) during the first 3 month lactation period. Feed intake, milk production and feed cost were measured from each animal for 3 days consecutively. The main parameter of the economic value of milk production which statistically analyzed with nested analysis of variance were Feed Conversion Ratio (FCR) and Break Event Point (BEP) of the price milk produced. Results showed that in the smallholder dairy farms condition the

good of individual quality of cow could significantly improve FCR (P<0.05), namely in the early lactation,

mid lactation, and late lactation were 35%, 32%, and 19%, respectively, and it could significantly reduce BEP (P<0.05), namely in those lactation periods were 26%, 23% and 9% respectively. Implication of the result that individual selection on dairy cows in the smallholder dairy farms condition according to the performance of the peak level of milk yield during the first 3 month lactation period can be guaranteed in technically and economically as long as the daily recording of milk production is not available.

Key words: Dairy cow, Individual quality, FCR, BEP ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman nilai ekonomi produksi susu dari seekor sapi perah karena adanya perbedaan kualitas individu sapi dalam kondisi peternakan sapi perah rakyat di Jawa Timur. Hasilnya diharapkan dapat sebagai bahan acuan dasar dalam menyusun program seleksi sapi perah di Jawa Timur. Penelitian dilakukan dengan metoda survai di 2 sentra usahaternak sapi perah rakyat berlokasi di dataran tinggi di Jawa Timur, yaitu di Kecamatan Tutur–Pasuruan dan Kecamatan Ngantang–Malang. Dilakukan pencatatatan produksi susu, konsumsi pakan dan biaya pakan selama 3 hari berturut-turut terhadap 146 ekor sapi laktasi yang terdistribusikan pada 2 tingkatan kualitas individu sapi, dan di tiap tingkatan terkelompokkan dalam 3 kelompok periode bulan laktasi, yakni 1–3 bulan, 4–6 bulan, dan 7–10 bulan. Perbedaan kualitas sapi ditentukan atas dasar tingkat puncak produksi susu (liter/hari) pada periode 3 bulan awal laktasi. Parameter utama nilai ekonomi produksi susu yang dianalisis secara statistik dengan metoda analisis variansi tersarang adalah nilai rasio konversi pakan (RKP) dan harga impas/break event point (BEP). Hasil penelitian menunjukkan, bahwa sapi perah "kualitas baik" dalam kondisi peternakan sapi perah rakyat dapat memperbaiki nilai RKP secara nyata (P<0,05) pada periode bulan laktasi 1–3, 4–6 dan 7–10 bulan, secara berurutan, adalah sebesar 35%, 32% dan 19%; dan juga dapat menekan secara nyata (P<0,05 ) harga BEP, secara berurutan, sebesar 26%, 23% dan 9%. Implikasi dari hasil tersebut, bahwa seleksi individu sapi perah induk atas dasar tingkat produksi puncak pada 3 bulan awal laktasi dalam kondisi peternakan sapi perah rakyat di Jawa Timur dapat dipertanggungjawabkan secara teknik maupun ekonomi, apabila catatan produksi susu harian tidak tersedia.

(2)

PENDAHULUAN

Di beberapa wilayah Propinsi Jawa Timur agribisnis sapi perah mempunyai peran penting dan nyata dalam menopang struktur ekonomi masyarakatnya, sehingga keberadaan agribisnis sapi perah tersebut perlu dipertahankan dan bahkan sangat perlu terus dikembangkan.

Berdasarkan data populasi sapi perah tahun 2000 yang dilaporkan oleh Disnak Propinsi Jawa Timur (ANONIMOUS, 2002), bahwa sekitar 133.984 ekor (96%) dari 139.075 ekor sapi perah di Jawa Timur dibudidayakan dalam kondisi lingkungan usaha peternakan sapi perah rakyat. Hal tersebut mempunyai arti, bahwa produksi susu di Jawa Timur ditulang-punggungi oleh usaha peternakan sapi perah rakyat. Dengan demikian upaya–upaya meningkatkan produktivitas sapi perah maupun pengembangannya harus berprespektif pada usaha peternakan sapi perah rakyat yang mempunyai ciri berskala usaha kecil (1–4 UT per peternak), dengan dukungan modal dan berteknologi inovatif yang relatif rendah.

Seperti lazimnya agribisnis pada umumnya, tampilan kinerja nilai ekonomi produk utama, yaitu produksi susu sangat menentukan keberlanjutan usaha. Nilai ekonomi produksi susu dari seekor sapi perah pada hakekatnya ditentukan oleh tingkat produksi susu yang dihasilkan dan biaya produksi yang dihabiskan dalam suatu waktu tertentu, terutama biaya pakan. Komponen biaya pakan merupakan komponen biaya produksi yang paling besar dalam usahaternak sapi perah di Pulau Jawa, yakni dapat mencapai 75–80% dari total biaya produksi. Oleh karena itu, faktor utama yang menentukan tingkat keuntungan (ultimate

profitability) usahaternak sapi perah adalah

faktor pakan (FIELD, 1992; SIREGAR, 2001). Nilai ekonomi produksi susu tersebut dapat diawali dari nilai Rasio Konversi Pakan (RKP) yang selanjutnya berimplikasi terhadap Harga Impas (Break Event Point) susu yang dihasilkan.

Keragaman produksi susu yang terjadi antara sapi perah induk dapat dikarenakan adanya perbedaan kualitas/mutu genetik dan kondisi lingkungan ternak serta interaksi antara keduanya. Faktor lingkungan terbagi menjadi 2 (dua), yakni (1). Lingkungan internal (fisiologis) yang memberikan pengaruh pada setiap individu ternak, dan (2). Lingkungan

eksternal, yang memberikan pengaruh pada keseluruhan ternak dalam suatu kelompok atau populasi ternak (SCHMIDT dan VAN VLECK, 1974; MASON dan BUVANENDRAN, 1982). Lebih lanjut dinyatakan pula oleh MASON dan BUVANENDRAN (1982), bahwa sapi perah yang berkualitas genetik tinggi berkemampuan mengkonversi pakan yang lebih efisien dibandingkan yang berkualitas rendah. Implikasinya adalah bahwa dalam lingkungan yang relatif sama tetapi terdapat perbedaan kualitas (genetik) individu sapi perah, maka dapat menghasilkan nilai ekonomi produksi susu yang berbeda.

Di sentra–sentra usaha peternakan sapi perah rakyat di Jawa Timur masih terdapat keragaman yang luas tentang kualitas sapi perah yang dibudidayakan oleh para peternaknya, baik karena berasal dari sapi perah eks-impor, lokal, turunan hasil silangan eks-impor dengan pejantan lokal, turunan hasil perkawinan sapi perah induk eks-impor maupun lokal melalui program IB dengan

Straw dari proven–bull maupun yang non- proven bull sapi perah, dan bahkan terdapat

turunan hasil perkawinan dengan pejantan sapi potong. Dengan demikian terdapat kemungkinan terjadi keragaman nilai ekonomi produksi susu berkaitan dengan adanya keragaman kualitas (genetik) individu sapi perah yang dibudidayakan.

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui keragaman nilai ekonomi produksi susu dari seekor sapi perah karena adanya perbedaan kualitas (genetik) individu sapi perah dalam kondisi usaha peternakan sapi perah rakyat di Jawa Timur. Hasilnya diharapkan sebagai salah satu bahan acuan dasar dalam menyusun program perbaikan kualitas genetik sapi perah maupun sistem manajemen usaha peternakan sapi perah rakyat di Jawa Timur.

METODOLOGI

Penelitian ini dilaksanakan di 2 wilayah sentra usaha peternakan sapi perah rakyat di Jawa Timur, yakni di Kecamatan Tutur Kabupaten Pasuruan dan Kecamatan Ngantang Kabupaten Malang. Kedua lokasi tersebut berada di ketinggian tempat (altitude) sekitar 700–1000 m, rata–rata curah hujan tahunan

(3)

berkisar 2000–3000 mm/tahun dan agroklimatnya termasuk dalam kategori

Medium dry period, yaitu mempunyai musim

kering 2–4 bulan secara berurutan (PERKINS et

al., 1986). Sedang waktu pelaksanaan

observasi/koleksi data adalah pada awal bulan Mei–awal bulan Juni 2003 (periode akhir musim hujan). Dikarenakan kedua lokasi penelitian mempunyai kesamaan dalam beberapa komponen agroekosistemnya, maka dianggap sebagai satu kesatuan lokasi penelitian. Artinya untuk keperluan analisa data antara data yang berasal dari materi sapi perah sample di Kecamatan Tutur dengan Ngantang tidak dipisahkan.

Metode penelitian yang digunakan adalah survai. Responden penelitian ini adalah peternak sapi perah rakyat di lokasi penelitian yang terpilih secara acak. Setiap sapi perah responden yang berada pada tingkatan laktasi 1 sampai 4 pada saat observasi dijadikan sapi

sample. Kemudian sapi–sapi sample tersebut

diklasifikasikan kedalam 2 kelompok kualitas sapi berdasarkan prestasi puncak produksi susu yang dapat dicapai pada periode awal bulan laktasi, yakni (1). Kelompok sapi "kualitas

baik"; yang mempunyai prestasi puncak

produksi susu lebih dari 19 liter/hari, dan (2) Kelompok sapi "kualitas jelek"; yang kurang dari 19 liter/hari (MA’SUM et al., 1994). Di masing–masing kelompok kualitas sapi, sapi

sample dikelompokkan ke dalam 3 kelompok

periode bulan laktasi, yakni 1−3 bulan, 4–6 bulan, dan 7–10 bulan. Distribusi jumlah sapi

sample di tiap kelompok seperti tertera di

Tabel 1.

Pengamatan data setiap sapi sample dilakukan selama 3 berturut–turut mengenai: (1). Produksi susu per hari (pagi–sore), dan (2). Total pakan hijauan dan konsentrat/penguat yang diberikan per hari, dan sisa pakan hijauan (diukur pada 1 hari berikutnya). Pakan penguat dianggap terkonsumsi semuanya (100%).

Selain itu juga dilakukan koleksi data dengan cara wawacara mengenai informasi puncak produksi sapi yang dipelihara responden dan pengalaman beternak serta harga bahan pakan.

Parameter nilai ekonomi produksi susu dicerminkan pada (1). Nilai Rasio Konversi Pakan (RKP) = Konsumsi bahan kering (BK)/ Produksi susu, dan (2). Nilai Break event point harga susu (BEP) = Biaya pakan (segar)/ produksi susu.

Data yang terkumpul dianalisis secara statistik dengan metoda analisis variansi tersarang menggunakan program SPSS 10.00

for Windows.

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi lingkungan sapi sample

LENG (1992) dalam MAHYUDDIN et al. (1997) dan BEEDE (1992) telah menjelaskan, bahwa panas metabolisme seekor sapi akan meningkat tinggi manakala mengkonsumsi pakan hijauan berkualitas rendah/berserat kasar (SK) tinggi. Apabila hal tersebut terjadi dalam waktu yang bersamaan dengan temperatur dan kelembaban udara yang tinggi (di atas 25°C) di lingkungan sekitarnya, maka ternak sapi yang bersangkutan akan mengalami cekaman panas (heat stress). Kondisi ini berpengaruh langsung terhadap tingkat konsumsi pakan dan akhirnya akan menekan proses produksi susu.

Masalah tersebut diatas nampaknya tidak terjadi pada sapi–sapi perah sample ketika dilakukan pengamatan data dalam penelitian ini. Sebab pengamatan data dilakukan pada periode akhir musim hujan; yang dengan ini berarti ketersediaan pakan hijauan dalam kondisi segar dan berumur muda masih berlimpah. Selain itu sapi sample berada di lokasi dengan ketinggian tempat sekitar 700– 1000 m (daerah dataran sedang–tinggi) dengan kategori agroklimat tergolong medium

Tabel 1. Distribusi jumlah sapi sample di tiap kelompok

Kelompok sapi ”kualitas baik” Kelompok sapi ”kualitas jelek”

Uraian Bulan laktasi 1−3 Bulan laktasi 4−6 Bulan laktasi 7−10 Bulan laktasi 1−3 Bulan laktasi 4−6 Bulan laktasi 7−10 Keseluruhan

(4)

dry period, yang mana suhu udara hariannya

mendekati suhu udara yang ideal bagi seekor sapi perah laktasi. Oleh karena itu faktor terjadinya heat stress pada individu sapi perah

sample pada saat dilakukan pengamatan data

dalam penelitian ini dapat diabaikan.

Demikian pula pengaruh keragaman faktor sikap, perilaku dan keterampilan peternak juga dapat diabaikan. Sebab pada penelitian ini seluruh (100%) peternak responden pemelihara sapi sample mempunyai lama pengalaman beternak sapi perah lebih dari 5 tahun.

Seperti telah diutarakan, bahwa penentuan nilai ekonomi produksi susu yang ditunjukkan dengan Harga Impas diawali dengan nilai RKP. Performa nilai RKP tersebut antara lain dipengaruhi oleh kualitas ransum pakan selain kualitas genetik sapi dalam mengkonversi pakan yang dikonsumsi menjadi produksi susu (JENSEN et al., 1992 dalam ARTHUR et al., 1996). Dalam penelitian ini, keragaman kualitas ransum antara kelompok sapi ”kualitas

baik” dengan ”kualitas jelek” yang terjadi

selama pelaksanakan observasi dicerminkan pada komposisi ransum, total pemberian ransum (dasar BK), kandungan protein kasar (PK) ransum dan rasio suplai: kebutuhan PK, seperti tertera di Tabel 2 dan 3.

Tabel 2. Rata–rata komposisi ransum sapi–sapi

sample yang disajikan menurut kehendak

peternak responden selama observasi secara keseluruhan tingkat bulan laktasi, Mei−Juni 2003

Persentase jumlah berdasarkan total BK

ransum Bahan pakan ransum

yang disajikan Kelompok sapi ”kualitas baik” Kelompok sapi ”kualitas jelek” Rumput gajah 44% 45% Rumput lapangan 4% 7% Konsentrat KUD 25% 26% Dedak padi/katul 18% 14% Gamblong 9% 7%

Pada Tabel 2 ditunjukkan, bahwa ransum yang disajikan terhadap sapi–sapi sample pada Kelompok sapi ”kualitas baik” dan ”kualitas

jelek” mempunyai macam bahan pakan

penyusun ransum dan dalam proposi yang relatif sama. Kondisi tersebut secara logis menyebabkan kandungan PK ransum pada kedua kelompok kualitas sapi di masing-masing tingkatkan bulan laktasi adalah tidak saling

Tabel 3. Rata–rata total pemberian BK ransum, kandungan PK ransum serta persentase pemberian terhadap kebutuhan BK dan PK pada Kelompok sapi ”kualitas baik” dan ”kualitas jelek”, Mei−Juni 2003

Kelompok sapi ”kualitas baik” Kelompok sapi ”kualitas jelek”

Bulan laktasi Bulan laktasi

Uraian 1−3 4−6 7−10 1−3 4−6 7−10 Keseluruhan Total pemberian BK ransum (kg/hari/ekor) 18,73±4,77a 18,21±3,91a 15,89±3,49b 15,97±3,41b 16,30±3,45b 15,62±3,12b 16,98±3,96 Kandungan PK ransum (%)* 11,7±2,1a 10,8±1,4a 10,4±0,8a 10,6±1,1a 11,9±2,1a 10,8±1,5a 11,1±1,7 Persentase pemberian terhadap kebutuhan BK** (%) 260±83a 260±65a 234±50a 226±65a 231±50a 233±61a 242±65 Persentase pemberian terhadap kebutuhan PK** (%) 115±37a 133±37a 133±43a 125±42a 162±52b 146±37b 134±43

*Berdasarkan BK; **Tingkat kebutuhan BK dan PK berdasarkan PCARRD 1981–Philippines recommends for dairy cattle production–yang dikutip oleh PATRICIO dan KEITH (1994)

(5)

berbeda nyata, dan secara keseluruhan mempunyai rata–rata 11,1 ± 1,7% (Tabel 3). Meskipun jumlah pemberian BK yang terjadi terdapat kecenderungan sapi ”kualitas baik” pada bulan laktasi 1 sampai dengan 6 memperoleh jumlah yang lebih banyak (P<0,05), tetapi apabila dipersentasekan terhadap tingkat kebutuhan, baik kebutuhan BK maupun PK per individu sapi, nampak tidak terdapat perbedaan yang nyata antara semua kelompok sapi sample dan untuk pemberian BK terdapat kelebihan 2 kali lipat dari kebutuhan sedang pemberian PK kelebihannya rata–rata 34% dari kebutuhan (Tabel 3).

Kondisi tersebut mempunyai arti, bahwa sapi sample di kedua kelompok kualitas sapi dan di semua tingkatan bulan laktasi memperoleh in-put pakan yang relatif sama. Atas dasar kondisi tersebut diasumsikan tidak terdapat keragaman faktor pakan yang disajikan dan dianggap tidak berperan nyata terhadap terjadinya performa nilai ekonomi produksi susu dalam penelitian ini.

Dengan demikian seluruh ternak sample berada pada pengaruh faktor lingkungan eksternal yang relatif sama, sehingga dapat diasumsikan keragaman performa nilai ekonomi produksi susu yang terjadi hanya karena adanya perbedaan kualitas individu sapi perah sample, yakni kelompok sapi ”kualitas

baik” dan ”kualitas jelek” seperti ketetapan/

batasan dalam penelitian ini. Nilai ekonomi produksi susu

Hasil pengamatan beberapa parameter dalam penelitian ini yang berkaitan dengan nilai ekonomi produksi susu di kedua kelompok kualitas sapi pada 3 tingkatan bulan laktasi. dipresentasikan di Tabel 4.

Pada Tabel 4 ditunjukkan, bahwa produksi susu Kelompok sapi "kualitas baik" pada tiap tingkatan bulan laktasi selalu lebih tinggi secara nyata (P<0,05) dari pada kelompok sapi "kualitas jelek". Rata–rata produksi susu dalam periode 3 bulan awal laktasi pada Kelompok sapi "kualitas jelek" adalah sama dengan produksi susu dalam periode 3 bulan tengah dan akhir bulan laktasi dari Kelompok sapi "kualitas baik".

Tingkatan konsumsi BK nampaknya seiring dengan performa tingkat produksi susu. Sapi Kelompok "kualitas baik" cenderung

mengkonsumsi BK ransum lebih banyak secara nyata (P<0,05) daripada sapi dalam Kelompok "kualitas jelek" pada masing–masing tingkatan bulan laktasi (Tabel 4). Sapi berkemampuan produksi susu tinggi mempunyai nafsu makan yang lebih baik dan mampu mengkonsumsi dalam jumlah lebih banyak. Hal ini dikarenakan adanya kebutuhan nutrisi yang lebih banyak guna mengimbangi produksi susu yang lebih tinggi (ECKLES dan ANTHONY, 1956 dalam MA,SUM et al., 1994; BLACH, 1984; PATRICIO dan KEITH, 1994).

Performa produksi susu dan konsumsi pakan (BK) akan menentukan nilai ekonomi produksi susu yang dihasilkan melalui performa nilai RKP. Nilai tersebut mencerminkan efisiensi kemampuan seekor sapi perah mengkonversi pakan yang dikonsumsinya menjadi produk susu, sehingga sangat menentukan nilai ekonomi produksi susu. Pada Tabel 4 nampak, bahwa nilai RKP pada Kelompok sapi "kualitas baik" di tiap tingkatan bulan laktasi lebih rendah secara nyata (P<0,05) daripada Kelompok sapi "kualitas

jelek". Artinya sapi berkategori "kualitas baik"

lebih sedikit membutuhkan in-put pakan (BK) untuk memproduksi 1 liter susu pada kualitas ransum yang sama dibandingkan sapi berkategori "kualitas jelek". Hal tersebut sesuai dengan pernyataan MASON dan BUVANENDRAN (1982), bahwa sapi perah yang berkualitas genetik tinggi berkemampuan mengkonversi pakan yang lebih efisien dibandingkan yang berkualitas rendah.

Hasil penelitian yang telah diperoleh tersebut bermakna, bahwa sapi perah terkategori ”kualitas baik” yang ditentukan atas dasar prestasi tingkat produksi puncak (l/hari) pada periode awal bulan laktasi (seperti ketetapan dalam penelitian ini) dapat memperbaiki performa nilai RKP secara nyata (P<0,05) pada periode bulan laktasi 1–3 bulan, 4–6 bulan dan 7–11 bulan sebesar 35%, 32% dan 19%, secara berurutan, dibandingkan sapi perah yang terkategori "kualitas jelek".

Berdasarkan rumus matematik nilai harga BEP (Rp./l susu ), maka performa harga BEP tersebut merupakan hasil resultante dari pengaruh faktor internal yang berasal dari ternak (kemampuan mengkonversi pakan menjadi produksi susu yang berkaitan dengan kualitas genetik) dengan faktor eksternal ternak

(6)

Tabel 4. Rata–rata produksi susu, tingkat konsumsi BK dan nilai RKP di kedua kelompok kualitas sapi pada 3 tingkatan bulan laktasi, Mei–Juni 2003

Kelompok sapi ”kualitas baik” Kelompok sapi ”kualitas jelek”

Bulan laktasi Bulan laktasi

Uraian 1−3 4−6 7−10 1−3 4−6 7−10 Produksi susu (l/ekor/hari) 16,78±3,87a 12,30±3,75b 9,72±3,87c 10,50±2,67bc 7,93±2,08d 7,47±2,29d Konsumsi BK ransum (kg/ekor/hari) 11,67±0,38a 11,23±0,37b 10,97±0,31c 11,05±0,27c 10,79±0,21d 10,75±0,23d Nilai RKP (kg BK/l susu) 0,73±0,15a 0,99±0,31b 1,27±0,48bc 1,12±0,28b 1,45±0,37cd 1,57±0,47d Persentase konsentrat dalam ransum (dasar BK) (%) 54,25±12,94a 48,61±10,33ab 44,41±11,81b 47,18±11,10b 51,36±7,78a 41,87±12,61b Harga ransum (Rp./1 kg BK) 837±177a 843±198a 793±119a 829±140a 798±105a 778±168a Biaya pakan (Rp./ekor/hari) 15.463±4.322a 14.939±3.402a 12.552±3.705c 12.958±416b 13.218±2.837b 11.581±3.620c Harga BEP (Rp./l) 963±325a 1.319±502b 1.370±659b 1.304±496b 1.721±349c 1.504±445bc Rasio produksi susu: konsentrat (l susu/ kg konsentrat) 1,7±0,8a 1,4±0,8b 1,4±0,6b 1,4±0,9b 1,0±0,5c 1,2±0,5c

a,b,c,d Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

(kualitas pakan, harga pakan, dan perilaku peternak dalam pemberian pakan).

Pada Tabel 4 terlihat biaya pakan dalam Kelompok sapi "kualitas baik" lebih tinggi secara nyata (P<0,05) daripada Kelompok sapi "kualitas jelek", kecuali pada periode bulan laktasi 7–10 bulan. Faktor determinannya adalah jumlah pemberian pakan yang lebih banyak (Tabel 3), tetapi besarnya persentase pemberian terhadap kebutuhan dan kualitas ransum/kadungan PK ransum (Tabel 3) dan harga ransum (Tabel 4) adalah sama. Oleh karena itu dalam penelitian ini faktor eksternal ternak yang berperan dalam penampilan performa harga BEP adalah relatif sama antara kedua kelompok sapi. Dengan kondisi demikian, rata–rata harga BEP produksi susu pada sapi dalam Kelompok "kualitas baik" lebih rendah secara nyata (P<0,05) daripada sapi Kelompok "kualitas jelek" pada periode bulan laktasi 1 sampai 6 bulan, sedang pada periode bulan laktasi 7–10 bulan tidak berbeda nyata meskipun harga rata–rata harga BEP pada sapi Kelompok "kualitas baik" lebih

rendah daripada sapi Kelompok "kualitas

jelek" (Tabel 4).

Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa didasarkan atas kemampuan yang lebih baik dari sapi perah "kualitas baik" dalam mengkonversi pakan yang dikonsumsi menjadi produksi susu dibandingkan sapi perah ”kualitas jelek”, maka harga BEP produksi susu pada periode bulan laktasi 1–3 bulan, 4–6 bulan dan 7–10 bulan dapat ditekan hingga sebesar 26%, 23% dan 9%, secara berurutan.

Komponen biaya pembelian konsentrat dalam total biaya pakan adalah lebih besar daripada biaya pakan hijauan. Oleh karena itu ukuran nilai efisiensi ekonomi produksi susu dari seekor sapi perah dalam beberapa keperluan juga dilihat pada parameter rasio antara jumlah susu yang diproduksi dengan jumlah konsentrat yang dihabiskan. Standar nilai rasio ini bagi usaha peternakan sapi perah rakyat di Jawa Timur yang direkomendasikan COOPERATIVE CENTRE DENMARK dan GKSI JAWA TIMUR (1995) dan juga seperti di negara Thailand (WANAPAT dan DEVENDRA, 1992)

(7)

adalah satu kilogram konsentrat sebaiknya menghasilkan 2−3 liter susu.

Hasil penelitian yang tertera di Tabel 4 menunjukkan, bahwa walaupun sapi "kualitas

baik" mempunyai nilai rasio yang lebih tinggi

secara nyata (P<0,05) dibandingkan sapi "kualitas jelek" di tiap periode bulan laktasi tetapi secara keseluruhan masih dibawah standar yang direkomendasikan (1 kg konsentrat: 2–3 l susu ). Hal ini kemungkinan berkaitan dengan rendahnya mutu konsentrat koperasi yang digunakan oleh para peternak responden. Pada umumnya bahan penyusun konsentrat koperasi sebagian besar berupa bahan yang mudah terdegradasi dalam rumen, misal tepung gandum (Wheat pollard) dan dedak padi sehingga rendah potensinya sebagai sumber protein by–pass dan berarti efisiensinya rendah (SOETANTO, 1994; MAHYUDDIN, 1997).

Implikasi hasil

Dalam upaya perbaikan kualitas genetik populasi sapi perah di Jawa Timur telah terdapat beberapa saran prosedure baku untuk melakukan seleksi, yang utama adalah melakukan pencatatan (recording) individu sapi (ANGGRAENI, 2000; TALIB et al., 2001). Saran tersebut sulit diaplikasikan dalam kondisi usaha peternakan sapi perah rakyat di Jawa Timur, terutama catatan produksi susu harian.

Berdasarkan permasalahan tersebut untuk keperluan mengklasifikasikan/mengidentifikasi- kan seekor sapi perah berkualitas genetik baik atau jelek/rendah, maka selain dilihat tampilan eksteriornya sebagai seekor sapi perah pada saat diobservasi dan juga yang utama didasarkan atas tingkat prestasi puncak produksi yang dapat dicapai pada periode awal bulan laktasi (biasanya dicapai 3–4 minggu

post-partum), seperti yang telah disarankan

oleh Sub Balai Penelitian Ternak Grati-Pasuruan (MA’SUM et al., 1994), yakni untuk sapi perah yang dibudidayakan dan berproduksi di daerah dataran sedang–tinggi dapat dikategorikan sapi "kualitas baik" atau

elite lokal puncak produksinya dalam periode

awal bulan laktasi adalah minimal 19 l/hari, sedang yang berproduksi di dataran rendah batasannya adalah minimal 15 l/hari.

Pencarian informasi/data tersebut sangat mudah diperoleh di kalangan peternak sapi

perah rakyat meskipun tidak tersedia catatan produksi susu harian. Sebab para peternak selalu ingat prestasi produksi puncak masing– masing sapi perah yang dipeliharanya.

Implikasi dari hasil penelitian ini adalah selama tidak tersedia catatan produksi susu harian, maka informasi prestasi tingkat produksi puncak pada periode awal bulan laktasi dapat digunakan untuk keperluan program perbaikkan kualitas genetik populasi sapi perah, yakni untuk menyeleksi sapi perah induk yang dijadikan sebagai tetua penghasil calon sapi dara pengganti induk (replacement

heifers), terutama di daerah-daerah sentra usaha

peternakan sapi perah rakyat yang prospektif untuk dikembangkan sebagai sumber bibit.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Dalam kondisi usaha peternakan sapi perah rakyat di Jawa Timur:

1. Sapi perah induk yang terkategori "kualitas

baik" berdasarkan prestasi tingkat produksi

puncak pada periode awal bulan laktasi, dibandingkan dengan yang terkategori "kualitas jelek" ternyata:

a. Mempunyai performa nilai RKP yang lebih baik secara nyata (P<0,05), baik pada periode bulan laktasi 1–3 bulan, 4– 6 bulan dan 7–10 bulan, secara berurutan, adalah sebesar 35%, 32% dan 19%.

b. Mempunyai performa harga BEP produksi susu yang lebih rendah secara nyata (P<0,05), baik pada periode bulan laktasi 1–3 bulan, 4–6 bulan dan 7–10 bulan, yakni lebih rendah, secara berurutan, 26%, 23% dan 9%.

c. Mempunyai nilai rasio antara jumlah konsentrat yang dihabiskan dengan jumlah produksi susu yang dihasilkan yang lebih tinggi.

2. Data prestasi tingkat produksi puncak pada awal laktasi seekor sapi perah induk dapat digunakan untuk keperluan seleksi individu sapi perah induk sebagai tetua penghasil calon sapi dara pengganti induk.

(8)

Saran

Dalam usaha peternakan sapi perah rakyat apabila tidak tersedia catatan produksi susu harian, maka untuk keperluan seleksi sapi perah induk sebagai penghasil bibit dapat dilakukan berdasarkan informasi prestasi produksi puncak produksi susu pada awal bulan laktasi.

DAFTAR PUSTAKA

ANONIMOUS. 2002. Profil Usaha Ternak Perah di Jawa Timur. Disnak Pemprop. Jawa Timur. Surabaya.

ARTHUR,P. F.,R.M.HERD,J.WRIGHT,G.XU,K. DIBLEY and E.C.RICHARDSON. 1996. Net feed

conversion efficiency and its relationship with other traits in beef cattle. Proc. Aust. Soc.

Anim. Prod. Vol. 21.

ANGGRAENI,A. 2000. Keragaan produksi susu sapi perah: Kajian pada faktor koreksi pengaruh lingkungan internal. Wartazoa. 9 (2): 41−49. BLACH, C.C. 1984. Meeting the dietary needs of

high producing cows in intensively farmer peri-urban areas. Dalam: J.A. SMITH (Eds.) Production in Developing Countries, Univ. Of Edinburgh. Scotland.

BEEDE,D.K. 1992. Nutritional management of dairy cattle in warm climates. In: Bunyavechewin et al. ( Eds.). Proc. Of the Sixth AAAP Ani. Sci.

Congress. Vol. II. The Anim. Husbandry Association of Thailand c/o. Depart. Of Anim. Sci. Kasetsart Univ. Bangkok.

COOPERATIVE CENTRE DENMARK ( CCD ) dan GKSI KORDA JAWA TIMUR. 1995. Petunjuk Praktis Beternak Sapi Perah. Jawa Timur.

FIELD, J.D. 1992. Holsteinization a breeding

program for dairy production in the tropics. In: BUNYAEJCHEWIN et al. (Ed.) Proc. Of the

Sixth AAAP Animal Science Congress. The Anim. Husbandry Association of Thailand. Bangkok.

MASON,I.L.andV.BUVANENDRAN. 1982. Breeding

plans for ruminant livestock in the tropics.

FAO Anim. Prod. and Health Paper. FAO of The United Nations, Rome.

MA’SUM, M. ALI YUSRAN, MARYONO, UUM UMIYASIH dan AINUR ROSYID. 1994. Studi tentang beberapa kinerja sapi perah berkemampuan produksi tinggi di Kabupaten Pasuruan. Pros. Pertemuan Ilmiah Pengolahan dan Komunikasi Hasil Penelitian Sapi Perah. 26 Maret 1994, Pasuruan. Sub Balitnak Grati, Pasuruan.

MAHYUDDIN,P.,S.B.SIREGAR,N.HIDAYATI and T. SUGIARTI. 1997. The production performance of Holstein-Friesien dairy cattle in West Java.

JITV 2 (3): 145−151.

PERKINS,J.M.,ARMIADI SEMALI,P.W.ORCHARD and RACHMAT RACHMAN. 1986. An Atlas Of Environmental and Ruminant Population Characteristics of Java. Balai Penelitian

Ternak-Forage Research Project. An Indonesian-Australian Bilateral Aid Project. Ciawi-Bogor.

PATRICIO S.FAYLON and KEITH K. BOLSEN. 1994.

Silage Technology For Cattle Feeding–A Training Manual. Pioneer Development

Foundation For Asia And The Pasific, Inc. Phillipines.

SCHMIDT,G.H. and VAN VLECK. 1974. Principles of Dairy Science. Cornell Univ. W.H. Freeman

and Co. San Francisco.

SOETANTO, H. 1994. Upaya efisiensi penggunaan konsentrat dalam ransum sapi perah laktasi. Pros. Pertemuan Ilmiah Pengolahan Dan Komunikasi Hasil Penelitian Sapi Perah. Sub Balitnak Grati, Pasuruan.

SIREGAR SORI, B. 2001. Peningkatan kemampuan

berproduksi susu sapi perah laktasi melalui perbaikan pakan dan frekuensi pemberiannya. JITV. 6 (2): 76–82.

TALIB,C.,A.ANGGRAENI dan K.DIWYANTO. 2001. Kelembagaan Sistem Perbibitan Untuk Mengembangkan Bibit Sapi Perah FH Nasional. Wartazoa 11 (2): 1−7.

WANAPAT,M and C.DEVENDRA. 1992. Feeding and

nutrition of dairy cattle and buffaloes in Asia. In: BUNYAVECHEWIN et al. (Eds.). Proc. Of the Sixth AAAP Ani. Sci. Congress. Vol. II. The Anim. Husbandry Association of Thailand c/o. Depart. Of Anim. Sci. Kasetsart Univ. Bangkok.

(9)

DISKUSI Pertanyaan:

1. Kelemahannya adalah tidak ada catatan produksi susu yang lengkap dapat dikoreksi antara produksi puncak dengan riil.

2. Kapan dilakukan pengukuran 3 hari berturut-turut? Untuk lebih realistis pengukuran dilakukan 1 bulan sekali bisa pagi sore atau dibalik.

Jawaban:

1. Penelitian ini merupakan pengkajian maka kami berpikir bahwa produksi puncak bisa memurnikan genetik, selain itu produksi puncak susu adalah yang selalu diingat oleh para peternak. Kedepannya penelitian ini akan dilanjutkan atau didukung oleh penelitian Balitnak dan Perguruan Tinggi, sehingga parameter genetik (dari puncak produksi susu) bisa dipertanggungjawabkan.

2. Saran satu bulan sekali dicoba sejak tahun 1980 tapi recordingnya tidak jalan, sementara itu

Gambar

Tabel 1. Distribusi jumlah sapi sample di tiap kelompok
Tabel 3.   Rata–rata total pemberian BK ransum, kandungan PK ransum serta persentase pemberian terhadap  kebutuhan BK dan PK pada Kelompok sapi ”kualitas baik” dan ”kualitas jelek”, Mei−Juni 2003
Tabel 4.  Rata–rata produksi susu, tingkat konsumsi BK dan nilai RKP di kedua kelompok kualitas sapi pada  3 tingkatan bulan laktasi, Mei–Juni 2003

Referensi

Dokumen terkait

Data curah hujan yang dipakai untuk perhitungan dalam debit banjir adalah hujan yang terjadi pada Daerah Aliran Sungai (DAS) pada waktu yang sama (Sosrodarsono, 1989).. Data

Tender adalah tawaran untuk mengajukan harga, memborong pekerjaan, atau mengajukan harga, memborong pekerjaan, atau menyediak menyediakan an barang yang diberikan oleh syarikat

Hasil kalibrasi model antara indeks dari citra spasial dengan data nilai lengas tanah pada 40 titik pengamatan BRG selama periode 2018-2019 menunjukkan performa

Keinginan-keinginan ini di dalam novel misteri adalah motif kasus, motif juga merupakan elemen yang penting dalam novel misteri, karena motif adalah alasan dari

“Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah, Pendapatan Asli Daerah dipisahkan menjadi empat jenis

Pada delay 30 detik dan juga 60 detik, rata-rata selisih waktu tamu terdeteksi yang didapatkan dengan delay 30 detik yaitu 6.05 detik dan delay 60 detik didapatkan

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa uji t menunjukkan bahwa arus kas operasi berpengaruh signifikan terhadap arus kas masa depan, disebabkan karena arus kas