• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kebermaknaan Hidup

1. Pengertian Kebermaknaan Hidup

Frankl (Koeswara, 1987), mengatakan bahwa setiap orang memiliki medan sendiri atau misi sendiri dalam hidup untuk melaksanakan tugas konkret yang harus diisi. Karenanya tidak bisa dipindahkan dan hidupnya pula tidak bisa diulang. Melihat dasar filosofi eksistensialisme, Frankl (Koeswara, 1987) menilai individu manusia bersifat dan bermakna personal, tunggal dan unik. Kepersonalan, ketunggalan dan keunikan dari kebermaknaan hidup merupakan akibat logis dari penempatan kebebasan manusia sebagai prinsip utama dalam eksistensialisme.

Menurut Frankl (dalam Schultz, 1991) ditempatkannya individu manusia secara eksistensialisme berakibat adanya tujuan-tujuan dari setiap orang. Konsekuensi ini memberikan arti bahwa jawaban kebermaknaan hidup individu manusia senantiasa terkait dengan kualitas penghayatan tentang tujuan-tujuan hidupnya, sehingga dapat menyebabkan peningkatan-peningkatan tegangan batin. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa kebermaknaan hidup adalah kualitas penghayatan rasa keberhargaan atau kebernilaian individual yang khas tentang seberapa besar dirinya dapat

mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki serta seberapa jauh individu tersebut merealisasikan tujuan hidupnya.

2. Proses Pembentukan Kebermaknaan Hidup

Frankl (Koeswara, 1987), mengatakan bahwa kebermaknaan hidup dibangun dalam kerangka filsafat eksistensialisme. Ada tiga proses terbentuknya kebermaknaan hidup menurut filsafat eksistensialisme yakni konsep kebebasan berkeinginan, konsep keinginan akan makna, dan konsep makna hidup.

a. Konsep Kebebasan Berkeinginan

Kebebasan adalah sebuah konsep yang memberi kekhasan pada eksistensialisme. Menurut Frankl (Koeswara, 1987), menyebutkan bahwa kebebasan untuk menentukan sikap terhadap kondisi biologis, psikologis dan sosiokultural. Kualitas ini adalah khas manusia yang memiliki kemampuan untuk mengambil jarak terhadap kondisi diluar dirinya maupun dalam dirinya sendiri, sehingga manusia memiliki kebebasan untuk menentukan mana yang baik dan penting bagi dirinya. Kebebasan di sini harus pula imbang dengan tanggungjawab agar tidak menjadi kesewenangan atau kebebasan manusia sebagai suatu kebebasan batas-batas. Manusia bebas untuk tampil di atas determinan-deterniman somatik dan psikis dari keberadaannya, sehingga manusia dapat memasuki dimensi baru yang disebut kebermaknaan hidup.

b. Konsep Keinginan Akan Makna

Frankl (Koeswara, 1987), menyebutkan bahwa semakin seseorang terdorong untuk mencapai kesenangan, maka semakin kecil kemungkinan orang tersebut mencapai kesenangan. Kesenangan ini sesungguhnya merupakan hasil dari pemenuhan dorongan atau pencapaian tujuan yang akan merusak jika dijadikan tujuan. Semakin seseorang mengarahkan dirinya secara langsung pada kesenangan maka seseorang akan semakin kehilangan sasaran yang ditujunya. Manusia bertanggungjawab atas realisasi nilai–nilai dan pemenuhan makna yang spesifik bagi kehidupan pribadi atau keberadaan dirinya.

Lebih lanjut Frankl mengungkapkan bahwa yang dibutuhkan manusia bukanlah homeostetis, melainkan noodinamik, yaitu tegangan pada tingkat tertentu yang berasal dari sifat menuntut yang lekat pada makna terhadap keberadaan yang memungkinkan manusia tetap terarah kepada nilai-nilai yang akan dan harus direalisasikannya. Kebutuhan manusia bukanlah pengurangan tegangan melainkan gerak perjuangan ke arah tujuan tertentu yang patut dicapai, yakni makna. Jadi suatu lapangan tegangan terbentuk antara apa manusia itu dengan bagaimana atau menjadi apa semestinya manusia itu.

c. Konsep makna hidup

Menurut Frankl (Koeswara, 1987), makna merupakan sesuatu yang objektif dan berada di seberang keberadaan manusia. Berkat statusnya yang objektif, maka makna mempunyai sifat menuntut atau menantang manusia untuk menggapainya. Namun demikian, Frankl menekankan selain bersifat objektif makna juga bersifat mutlak. Nilai-nilai yang merupakan sumber dari makna adalah milik kawasan tertentu dan hanya cocok untuk situasi tertentu, sehingga disebut nilai-nilai situasional. Makna yang akan dan perlu dicapai individual adalah makna yang spesifik dari hidup pribadinya dalam situasi tertentu.

3. Faktor–Faktor Kebermaknaan Hidup

Frankl (Koeswara, 1987 dan Schultz, 1991), berpendapat bahwa individu dapat membentuk kebermaknaan hidupnya melalui realisasi nila-nilai manusiawi yang meliputi nilai-nilai kreatif, nilai-nilai penghayatan, dan nilai-nilai sikap.

a. Nilai-Nilai Kreatif

Frankl (Bastaman, 1996), mengatakan bahwa inti dari nilai kreatif adalah memberikan sesuatu yang berharga dan berguna pada kehidupannya. Kegiatan yang penting bagi realisasi nilai-nilai kreatif adalah bekerja. Bekerja memang tidak dengan sendirinya memberi makna bagi kehidupan individu yang melakukannya. Tetapi,

aktivitas bekerja semata-mata memberikan peluang dan kesempatan paling besar untuk menemukan kebermaknaan hidup.

b. Nilai-Nilai Penghayatan

Menurut Frankl (Bastaman, 1996), nilai penghayatan pada intinya adalah mengambil sesuatu yang bermakna dari lingkungan luar kemudian mendalaminya. Mendalami berarti berusaha memahami, menghayati dan menyakini berbagai nilai yang ada dalam kehidupan seperti kebaikan, kebenaran, keindahan dan kebajikan serta kasih sayang maupun cinta. Menurut Frankl (Schultz, 1991) bahwa nilai-nilai penghayatan adalah nilai-nilai yang direalisasikan dengan mengambil nilai sebaiknya dari nilai-nilai kreatif (memberikan sesuatu dalam kehidupan), yakni sikap menerima (reseptif) dari atau menyerahkan diri pada dunia kehidupan. Ini dapat dilakukan dengan menemui nilai-nilai kehidupan.

Makna tertinggi dari suatu momentum tertentu dalam keberadaan manusia dapat muncul dan dialami terlepas dari tindakan. Momen puncak tersebut dapat menjadi ukuran kebermaknaan hidup dan atau suatu momen tunggal dapat terbalik melampaui seluruh hidup dengan makna. Nilai-nilai kreatif direalisasikan dalam bentuk aktivitas kerja yang menghasilkan sumbangan bagi masyarakat dan kehidupan, sebaliknya komunitas menghantarkan individu dan penemuan makna.

c. Nilai-Nilai Sikap

Menurut Frankl (Bastaman, 1996), nilai-nilai sikap ialah kesempatan yang harus digunakan individu untuk menentukan sikap yang tepat terhadap kondisi-kondisi dan peristiwa-peristiwa yang terjadi.

Frankl (Koeswara, 1992) mengategorikan nilai-nilai sikap sebagai nilai tertinggi dari pada kedua nilai sebelumnya. Merealisasikan nilai sikap berarti individu menunjukkan keberanian dan kemuliaan menghadapi penderitaan atau permasalahan hidup yang lain, selama individu menderita, suatu keadaan yang tidak semestinya terjadi. Individu berada dalam ketegangan antara apa yang sesungguhnya terjadi di satu pihak dengan apa yang tidak semestinya terjadi di pihak lain. Pada saat itulah individu dituntut untuk mampu mengambil sikap, sehingga subjek dapat memertahankan pandangannya pada sesuatu yang ideal. Karena itu, individu dapat mengoreksi kekeliruannya meskipun kekeliruan itu tetap tidak terhapuskan.

4. Ciri-Ciri Individu yang Menemukan Kebermaknaan Hidup

Berdasarkan konsep-konsep logoterapi yang dirumuskan Frankl (Schultz, 1991) menyimpulkan bahwa individu manusia yang telah menemukan atau berhasil membentuk kebermaknaan hidupnya, berciri-ciri sebagai berikut;

b. Bertanggungjawab secara pribadi terhadap perilaku hidup dan sikapnya terhadap nasib.

c. Tidak ditentukan oleh kekuatan di luar dirinya

d. Telah menemukan arti dalam kehidupannya yang sesuai dengan dirinya

e. Secara sadar mampu mengontrol diri, mampu mengungkapkan nilai-nilai pengalaman, nilai kreasi dan nilai hidup

f. Telah mengatasi perhatian terhadap diri sendiri

g. Berorientasi pada masa depan, mengarahkan diri pada tujuan dan tugas yang akan datang

h. Memiliki alasan untuk meneruskan hidup, memiliki komitmen terhadap pekerjaan serta mampu mamberi dan menerima cinta. Ciri-ciri tersebut merupakan manifestasi individu yang mentransendensi diri dan mengaktuaisasikan diri. Hasil penelitian Crumbaugh dan Maholock (Koeswara, 1987), menunjukkan bahwa kebermaknaan hidup tidak berkorelasi dengan tingkat pendidikan, tingkat kecerdasan dan tingkat sosial-ekonomi individu.

5. Manfaat Pencapaian Kebermaknaan Hidup

Buchari dan Budiharga (1982) mengatakan bahwa kebermaknaan hidup bermanfat bagi individu sebagai pedoman orientasi nilai dalam memilih tindakan untuk menjalankan kehidupan dimasyarakat. Hasil penelitian mereka, memberikan pandangan dasar

tentang makna hidup yakni hidup untuk bekerja, hidup untuk beramal dan berbakti serta hidup untuk bersenang-senang.

Hasil penelitian ini mendukung pandangan Frankl (Bastaman, 1996) yang mengemukakan bahwa dengan bekerja berarti individu dapat menemukan peluang untuk memenuhi kebermaknaan hidupnya, melalui bekerja individu dapat merasakan hidupnya tidak sia-sia, tetapi memiliki arti atau makna.

Jadi, kebermaknaan hidup akan mendorong manusia untuk berkarya secara maksimal, dapat diterima lingkungan tanpa keterpaksaan tetapi menerima dengan cinta dan dapat mengambil sikap yang tepat terhadap situasi yang tepat terhadap situasi dan kondisi yang dihadapinya.

6. Akibat dari Kegagalan Menemukan Kebermaknaan Hidup

Kegagalan dan keterlambatan menemukan kebermaknaan hidup yang semakin lama dan semakin ekstrim oleh Frankl (Koeswara, 1992) disebut sindroma ketidakbermaknaan hidup yang dilakukan dalam dua tahap yakni tahap frustasi eksistensial dan tahap neorosis noogenik. Pada tahap frustasi eksistensial, akan terjadi suatu penderitaan batin yang berkaitan dengan ketidakmampuan individu untuk menyesuaikan diri dan mengatasi masalahnya secara efisien. Tahap neorosis noogenik merupakan manifestasi khusus diri frustrasi eksistensial yang ditandai oleh simptomatologi neurotik klinis yang nampak. Neurosis noogenik

berkaitan dengan spiritual kepribadian individu yang secara religious menunjukkan adanya konflik-konflik moral (Schultz, 1991).

Keinginan untuk dapat mencapai kebermaknaan hidup tetap ada dalam diri individu, tetapi karena individu tidak memiliki pola-pola terintegrasi sebagai tolok ukur pencapaian kebermaknaan hidup, maka keinginan tersebut tidak dapat diwujudkan, sehingga tekanan yang ditimbulkan oleh frustasi eksistensial menjadi semakin kuat. Peningkatan tekanan tersebut membuat individu terus-menerus berada dalam pencarian cara-cara yang diharapkan dapat menjadi saluran bagi pengurangan tekanan tersebut. Cara termudah yang dapat dan sering kali dipilih individu untuk mengurangi tekanan adalah dengan melarutkan diri dalam arus pengalaman yang bersifat konpensasi menyesatkan seperti olkoholisme, obat-obatan, perjudian dan melakukan petualangan seks. Bastaman (1995) menambahkan bahwa kebermaknaan hidup menyebabkan individu mengalami gangguan neurosis, sikap totaliter dan gaya hidup konformistis.

Pernyataan para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa ketidakmampuan hidup pada diri individu, dapat menyebabkan individu tidak memiliki keyakinan dan kepastian mengenai sesuatu yang harus dan seharusnya serta sepatutnya dibuat.

B. Tato

1. Pengertian Tato

Secara epistemologi tato memiliki istilah yang hampir sama digunakan di berbagai belahan dunia. Beberapa diantaranya tatoage, tatouage, tatuaggio, tatuar, tatuaje, tattoos, tatugens, tatoveringer, dan tatu. Dalam bahasa Indonesia kata tato merupakan serapan dari kata tattoo yang berarti goresan, gambar atau lambang yang membentuk sebuah desain pada kulit tubuh.

Konon, kata “tato” berasal dari bahasa Tahiti, yakni “tattau”

yang berarti menandai, dalam arti bahwa tubuh ditandai dengan alat berburu yang runcing untuk memasukkan zat pewarna di bawah permukaan kulit. Pada buku “the art new Zealand” Anne Nicholas (Olong, 2006) menjelaskan bahwa kata tato yang berasal dari kata tattau tersebut dibawa oleh Joseph Banks mencatat yang pertama kali berlabuh di Tahiti pada tahun 1769. Disana Joseph mencatat berbagai fenomena manusia Tahiti yang tubuhnya dipenuhi tato.

Tato dapat menjadi sebuah status sosial dalam khasanah tradisional, tetapi dalam dunia modern, meski sempat mendapat stigma negatif tato adalah fashion. Tidak berlebihan kalau tato disebut sebagai “penanda”. Sejak 12 ribu tahun SM bahkan hingga saat ini anggapan itu masih berlaku. Pilihan gambar sedikit banyak menunjukkan jati diri pemilik tato. Hanya saja sebelum memutuskan mentato tubuh, kesiapan psikis adalah yang paling penting, apalagi jika subjek memilih tato

permanen yang terlanjur menempel akan susah dihapus jika di kemudian hari ternyata tidak suka.

Sejalan dengan berkembangnya seni tato kini telah ditemukan jenis tinta baru yang lebih aman dipakai dan jauh lebih mudah dihilangkan apabila sudah tidak dikehendaki lagi. Sejauh ini belum ada standar keamanan untuk pewarna yang dipakai dalam seni melukis tubuh. Tato biasanya menggunakan bahan-bahan seperti karbon, garam-garam logam, dan bahan lain yang dipakai dalam percetakan dan pengecatan

mobil. “Padahal logam-logam berat dan bahan beracun yang ada dalam

pewarna tersebut dapat masuk kesistem kelenjar getah bening”, ungkap Martin Schmieg, penemu tinta aman untuk tato (Olong, 2006).

Henk Schiffmacher (Olong, 2006) mengatakan bahwa tato sebagai tradisi sejumlah etnis kuno mulai dari suku Maori, Inca, Polynessians, Mesir Kuno, dan banyak lagi. Tato pada suku dayak di Indonesia memiliki makna yang beraneka macam dari sebuah budaya sampai sebagai modis atau trendi. Secara ritual dan tradisi, tato memiliki sesuatu yang sangat penting, bahkan sering dianggap magis. Sementara pada jaman modern tato adalah bagian dari seni bukan sebagai fashion. Sebelum dianggap sebagai mode, tato dianggap sebagai simbol pemberontakan. Anggapan negatif masyarakat bahkan semakin menyempurnakan citra tato sebagai simbol anti kemapanan. Sebagai masyarakat pada negara tertentu, tradisi tato dilakukan melalui upacara atau prosesi tertentu yang berhubungan dengan siklus hidup seseorang.

Adapun yang pertama kali ditato telah dianggap mencapai kedewasaan, baik secara biologis maupun secara psikologis. Orang tersebut baru dinyatakan boleh mengikuti kegiatan-kegiatan yang tadinya hanya boleh diikuti atau dilakukan oleh orang dewasa seperti memilih jodoh, dan lain-lain. Tato juga dapat menggambarkan hubungan kekerabatan yang dimiliki seseorang sehingga berfungsi menunjukkan kedudukan seseorang, seperti pada masyarakat suku mentawai, yang mendapat tato atau rajah pada inisiasi.

Pada tahun-tahun 80-an (Olong, 2006) orang akan merasa takut, minimal orang akan curiga melihat orang bertato. Saat itu tato identik dengan preman, penjahat, gali, bandit, apalagi hal itu dikukuhkan dengan adanya kasus penembakan misterius (Petrus) sekitar awal tahun 1980-an kepada orang-orang yang disebut penjahat yang secara kebetulan bercirikan tato di tubuhnya. Namun, seiring dengan bergulirnya waktu serta keterbukaan dan modernisasi, tato tidak selalu merupakan sesuatu yang menakutkan dan dianggap sebagai lambang kriminalitas. Kendati demikian, sejumlah penjahat masih menggunakan tato untuk mengukuhkan “profesinya”, namun tato nampak memasyarakat.

Berdasarkan uraian di atas, tato adalah hiasan tubuh yang mempunyai cita rasa, seni dan dianggap sebagai sesuatu yang modis, trend, dan fashionable.

2. Faktor-Faktor Pendukung Pemakaian Tato

Menurut Henk Schiffmacher (Olong, 2006) menyebutkan bahwa diaspora tato, sebuah kebudayaan yang ubiquitos (ada dimana-mana), layaknya kebutuhan sandang, pangan, papan, dan identitas. Identitas merupakan bagian dari kebutuhan yang tidak dapat dielakkan. Tato sebagai wahana identitas, merupakan tanda pada tubuh, yang dibutuhkan sebagai eksistensi oleh setiap manusia diberbagai belahan dunia. Kenyataannya, selain memiliki keinginan untuk berbeda dari orang lain,

“need for isolation”, manusia memiliki kecenderungan untuk sama

dengan yang lain, “need for union”. Kerena itu, nama saja tidaklah cukup sebagai pembeda.

Christopher Scoot (Olong, 2006) membagi motivasi dan stimulus tato tradisional ke dalam empat tema besar, yaitu:

a. Tato bertujuan sebagai fungsi kamuflase (penyamaran) selama masa perburuan. Pada perkembangannya, tato digambarkan sebagai prestasi dari hasil berburu binatang, kemudian berlanjut kepada manusia sebagai objek perburuan. Di sinilah kemudian tato mengalami perkembangan image sebagai hasil dari pemenggalan kepala manusia. Tipe kalitas (pemaknaan) tato ini ditemukan pada masyarakat Dayak Kayan dan Iban.

b. Tato merupakan perintah religius masyarakat yang diyakinkan dengan iming-iming surga, atau dikatakan perintah Mori Kraeng (Tuhan). Tato merupakan simbolitas kesetiaan kepada adat dan

religiusitasnya. Tidaklah mengherankan jika masyarakat adat tradisional memotong jari, menggunting rambut, melubangi daging telingga, lidah, meratakan gigi, membakar sebagian wajah dengan batu panas. Diyakini bahwa tindakan menyiksa tubuh tersebut untuk memuluskan jalan menuju nirwana. Misalnya pada masyarakat kepulauan Hawai yang bertato akan menghadapi kematian dengan senang hati.

c. Tato sebagai inisiasi dalam masa-masa krisis dan fase kehidupan dari anak-anak ke remaja, dari gadis ke perempuan dewasa, perempuan dewasa ke ibu. Tato juga dianggap mampu mengatasi masa-masa sakit dan duka.

d. Tato sebagai jimat mujarab, simbol kesuburan dan kekuatan dalam melawan berbagai penyakit, kecelakaan, bencana alam dan gangguan setan.

Selain keempat alasan di atas, kepuasan pribadi juga selalu menjadi alasan, sekedar cuek, iseng atau hanya sekedar ingin saja, seringkali didengar dari orang yang bertato. Berdasarkan semua alasan itu akan berujung pada kepuasan yang datang dari dalam diri, karena tidak mungkin seseorang bertato permanen hanya untuk keisengan dan coba-coba. Tato memang memiliki seribu satu alasan untuk bisa menempel pada tubuh seseorang, tentu dengan ide kreatif seseorang itu sendiri.

3. Jenis tato

Kent-Kent (Olong, 2006) mengatakan bahwa seni tato dapat diklarifikasikan menjadi lima bagian, yaitu:

a. Natural, berbagai macam gambar tato berupa pemandangan alam atau bentuk muka.

b. Treeball, merupakan serangkaian gambar yang dibuat menggunakan blok warna. Banyak dipakai oleh suku Maori. c. Out School, tato yang dibuat berupa gambar-gambar zaman

dulu, seperti perahu, jangkar, atau simbol love yang tertusuk pisau.

d. New School, gambarnya cenderung mengarah ke bentuk graffiti dan anime.

e. Biomekanik, berupa gambar-gambar aneh yang merupakan imajinasi dari teknologi, seperti gambar robot atau mesin.

Bermacam bentuk dan desain ini menunjukkan sebuah perkembangan tato ketahap inovasi, sehingga pada kelanjutannya mampu menggeser image tabu dan jahat menuju ke ekspresi diri yang kreatif dan inovatif.

Chris Miller (Olong, 2006) menguraikan beberapa desain tato maskulin yang diyakini memberikan rasa dan kekuatan berbeda bagi pemakainya, yaitu:

a. Api, menyimbolkan dualisme kehidupan. Satu sisi api menghangatkan dan berguna bagi kebutuhan hidup manusia.

Api sering dijadikan representasi media spiritual yang melambangkan reinkarnasi dan kesucian. Sisi lain api menyimbolkan sesuatu yang merusak, memiliki daya pemusnah dan dianggap sebagai sumber kematian yang menakutkan. b. Elang, merupakan simbol kekuatan dalam berperang.

Ketajaman, kekuatan dan kecepatan serta kemampuan yang ulung, sehingga karakteristiknya selalu diadopsi oleh para prajurit yang kuat dan bijaksana.

c. Jangkar, awalnya gambar jangkar oleh umat Kristen dianggap sebagai simbol penyelamatan. Model tato ini sangat popular dikalangan pelaut kerena dianggap sebagai mistifikasi penyelamat dan pengaman pelaut dari tenggelamnya kapal. d. Beruang, menurut totem masyarakat Indian Amerika, beruang

dikenal sebagai hewan yang bijaksana, tegar namun sukar dikekang. Beruang merupakan hewan yang bengis dan tak terkalahkan dalam setiap perkelahian. Beruang juga dapat bergerak dinamis, terutama ketika berdiri sebagaimana layaknya manusia.

e. Macan, kepercayaan masyarakat Cina sering menyamakan hewan ini dengan kegelapan atau masa bulan baru sebelum berbentuk sabit. Macan, juga selalu diasosiasikan dengan kemurkaan, kemisteriusan, dan kekejaman.

f. Matahari, menurut mitologi Mesir, matahari merupakan perlambang Dewa Ra yang mendapat julukan sebagai anak surga. Matahari merupakan simbol kekuatan prima dan kekuasaan tertinggi.

g. Pisau dan Pedang, secara maknawi pisau dan pedang memiliki simbol yang mirip namun berbeda. Pisau sering diasosiasikan sebagai alat kelamin (phallus), penggambaran rasa dendam seorang laki-laki pengecut, juga menggambarkan kekuatan fisik. Pedang menggambarkan tingkat spiritualitas dan kesatriaan seseorang. Pedang juga diasosiasikan sebagai phallus.

h. Singa, menurut kepercayaan masyarakat Romawi, raja hutan atau singa disimbolkan sebagai Dewa Matahari yang bernama Mithras. Simbolisasi Mithras ini hanya dibatasi oleh laki-laki, khususnya para prajurit yang mempunyai kekuatan, kekuasaan, dan ciri-ciri maskulin lainnya.

Dokumen terkait