• Tidak ada hasil yang ditemukan

Industri Minyak Kelapa Sawit di Indonesia Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit

PROFIL INDUSTRI DAN KEBIJAKAN MINYAK KELAPA SAWIT INDONESIA

4.1.2. Industri Minyak Kelapa Sawit di Indonesia Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit

Perkembangan industri minyak kelapa sawit di Indonesia salah satunya ditandai dengan bertambahnya jumlah unit dan kapasitas pabrik pengolahan kelapa sawit. Industri minyak kelapa sawit masih didominasi oleh perusahaan perkebunan swasta besar, yaitu dari 295 PKS terdapat 226 unit PKS yang dimiliki perkebunan besar swasta (77,4%), sedangkan yang dikelola oleh perkebunan negara hanya 69 unit PKS (22,6%). (Lampiran.12 )

Hingga tahun 2005 sudah tercatat sebanyak 295 PKS (Pabrik Kelapa Sawit) yang tersebar di 17 Propinsi di Indonesia. Sebagian besar PKS terdapat di Sumatera (82,4%), Sisanya di Jawa (0,7%), Kalimantan (10,8%), Sulawesi (3,4%) dan Papua (2,7%).

0 1000000 2000000 3000000 4000000 5000000 6000000 7000000 8000000 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Rakyat Negara Sw asta

Tabel 4.2

Jumlah Pabrik Kelapa Sawit (PKS) menurut Propinsi tahun 2005

Propinsi JumlahPKS Kontribusi(%) (Ton/Jam)Kapasitas Kontribusi(%)

NAD 17 5,8 543 4,7 Sumut 88 29,8 3131 27,1 Sumbar 9 3,1 335 2,9 Riau 71 24,1 3039 26,3 Jambi 17 5,8 835 7,2 Sumsel 25 8,5 1205 10,4 Bengkulu 7 2,4 290 2,5 Babel 3 1,0 137 1,2 Lampung 6 2,0 228 2,0 Sumatera 243 82,4 9743 84,2 Jabar 2 0,7 60 0,5 Jawa 2 0,7 60 0,5 Kalbar 13 4,4 520 4,5 Kalteng 7 2,4 258 2,5 Kalsel 4 1,5 140 1,2 Kaltim 8 2,7 250 2,2 Kalimantan 32 10,8 1195 10,3 Sulteng 4 1,4 120 1,0 Sulsel 6 2,0 210 1,8 Sulawesi 10 3,4 330 2,9 Papua 8 2,7 240 2,1 Total 295 100.00 11568 100.00 Sumber : BisInfocus, 2005

Dalam hal produksi maka Sumatera masih unggul dibandingkan dengan daerah lainnya, hal ini dapat dilihat dari jumlah PKS yang tersebar di beberapa propinsi di Sumatera. Kalimantan dengan kontribusi sebanyak 10,8% dari kapasitas nasional mulai mengembangkan industri kelapa sawitnya dengan melakukan ekspansi perkebunan kelapa sawit. Demikian juga dengan Sulawesi dan Papua, dengan tuntutan dan upaya yang sejalan untuk ekspansi area perkebunan kelapa sawit di daerah tersebut, maka daerah tersebut juga memiliki peluang besar dalam memperluas area kelapa sawitnya.

Gambar 4.3. Kontribusi Jumlah Pabrik Kelapa Sawit Berdasarkan Propinsi

Pengolahan Kelapa Sawit

Minyak sawit adalah bahan baku utama minyak goreng. Minyak sawit mengandung asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh yang ikatan molekulnya mudah dipisahkan dengan alkali, sehingga mudah dibentuk untuk berbagai keperluan, seperti pelumas dalam berbagai proses idustri dan untuk industri tekstil.

Tanaman Kelapa Sawit secara umum waktu tumbuh rata-rata 20 25 tahun. Pada tiga tahun pertama disebut sebagai kelapa sawit muda, hal ini dikarenakan kelapa sawit tersebut belum menghasilkan buah. Kelapa sawit mulai berbuah pada usia empat sampai enam tahun. Dan pada usia tujuh sampai sepuluh tahun disebut sebagi periode matang (the mature periode), dimana pada periode tersebut mulai menghasilkan buah tandan segar (Fresh Fruit Bunch). Tanaman kelapa sawit pada usia sebelas sampai dua puluh tahun mulai mengalami penurunan produksi buah tandan segar. Dan terkadang pada usia 20-25 tahun tanaman kelapa sawit mati.

8 2 .4 % 0 .7 %1 0 .8 % 3 .4 %

2 .7 %

Semua komponen buah sawit dapat dimanfaatkan secara maksimal. Buah sawit memiliki daging dan biji sawit (kernel), dimana daging sawit dapat diolah menjadi CPO (crude palm oil) sedangkan buah sawit diolah menjadi PK (kernel palm).

Ekstraksi CPO rata-rata 20 % sedangkan PK 2.5%. Sementara itu cangkang kelapa sawit dapat digunakan sebagai bahan bakar ketel uap. Minyak sawit dapat dipergunakan untuk bahan makanan dan industri melalui proses penyulingan, penjernihan dan penghilangan bau atau RBDPO (Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil). Disamping itu CPO dapat diuraikan untuk produksi minyak sawit padat (RBD Stearin) dan untuk produksi minyak sawit cair (RBD Olein). RBD Olein terutama dipergunakan untuk pembuatan minyak goreng. Sedangkan RBD Stearin terutama dipergunakan untuk margarin dan shortening, disamping untuk bahan baku industri sabun dan deterjen. Pemisahan CPO dan PK dapat menghasilkan oleokimia dasar yang terdiri dari asam lemak dan gliserol. Secara keseluruhan proses penyulingan minyak sawit tersebut dapat menghasilkan 73% olein, 21% stearin, 5% PFAD ( Palm Fatty Acid Distillate) dan 0.5% buangan.

4.2. Kebijakan

Menurut Amang (1996), Minyak sawit dikenal sebagai bahan mentah utama minyak dan lemak pangan yang digunakan untuk menghasilkan minyak goreng. Ditinjau dari segi pemenuhan gizi, peran minyak goreng adalah cukup penting karena minyak goreng merupakan sumber nabati utama. Hal ini ditunjukkan dari hasil SUSENAS 1993 yang menunjukkan bahwa 10 persen konsumsi kalori pangan berasal dari minyak goreng nabati dan lemak, khususnya minyak. Dari segi penghasil devisa, kelapa sawit memberikan sumbangan yang tidak sedikit dalam neraca perdagangan nasional.

Menurut BisInfocus (2005), Pertumbuhan volume ekspor minyak kelapa sawit Indonesia menunjukkan rata-rata 23% per tahun dalam kurun waktu satu dasawarsa

(1995-2004). Volume ekspor CPO meningkat dari 1,265 juta ton di tahun 1995 menjadi

8,66 juta ton di tahun 2004.

1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 0 2000000 4000000 6000000 8000000 10000000

Gambar 4.4. Perkembangan Volume Ekspor Minyak Kelapa Sawit (CPO) Indonesia

Gambar 4.4 menunjukkan adanya variasi peningkatan volume ekspor minyak kelapa sawit (CPO) pada kurun waktu 1995 hingga 2004. Walaupun sempat mengalami penurunan yaitu pada tahun 1998 namun setelah itu volume ekspor CPO terus bergerak walaupun lambat dan menunjukkan peningkatan yang signifikan hingga tahun 2002 tetapi tidak bertahan lama karena pada tahun 2003 tidak meningkat tajam, barulah pada tahun 2004 menunjukkan peningkatan volume ekspor lagi.

Adanya variasi pertumbuhan volume ekspor CPO diduga karena kebijakan pemerintah yang tidak konsisten dalam mendorong peningkatan ekspor kelapa sawit Indonesia. Diantara kebijakan tersebut yaitu pengenaan tarif pungutan ekspor yang cenderung menghambat perkembangan ekspor. Walaupun kebijakan tersebut dianggap mampu mengendalikan pasokan minyak goreng sawit dalam negeri.

Pemerintah menganggap bahwa peranan minyak goreng terhadap perekonomian cukup besar, terutama dalam rangka stabilisasi harga baik bagi produsen maupun bagi konsumen, maka berbagai kebijakan telah dibuat oleh pemerintah Republik Indonesia. Kebijakan tersebut terutama dibuat ketika terjadi gejolak harga minyak goreng.

Kebijakan periode Tahun 1969-1976

Masalah yang terjadi adalah mengenai tata niaga kopra yang menjadi bahan baku minyak goreng yang dominan pada saat itu. Kopra merupakan salah satu sumber devisa Negara yang cukup potensial dan menjadi sumber pendapatan bagi beberapa daerah seperti Sulawesi Tengah. Pada tahun 1960-an terjadi kemerosotan ekspor kopra yang sangat memprihatinkan, dan dalam beberapa tahun produksi kopra tidak mengalami kenaikan. Padahal permintaan akan minyak goreng terus meningkat. Terjadinya penurunan produksi kopra di Indonesia erat hubungannya dengan goncangan harga kopra di pasaran dunia yang berdampak negative pada pendapatan petani kopra dan produksinya. Pada saat itu petani kopra hanya menerima kurang dari 50 persen harga ekspor, yang menjadi penyebab diantaranya adalah :

1. Tidak ada kepastian usaha bagi para eksportir dan pengusaha akibat banyaknya campur tangan instansi dalam tata niaganya dan adanya pungutan resmi dan tidak resmi yang membuat biaya pemasaran menjadi membengkak.

2. Petani kopra tidak merasakan banyak manfaat dari koperasi kopra

3. Hilangnya kepercayaan luar negeri terhadap mutu dan kontinuitas pasokan kopra Indonesia yang disebabkan lemahnya koordinasi pemasaran dan pengapalan.

4. Penertiban dalam bidang pemasaran, pengapalan dan stabilisasi harga kopra, terutama pasar dalam negeri, belum dapat dilaksanakan dengan peraturan-peraturan yang ada.

Atas dasar permasalahan tersebut pemerintah pada tahun 1969 mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 67/1969 untuk mengkoordinasi pemasaran kopra. Instrumen yang diterapkan yaitu :

1. Harga kopra minimum sebagai harga patokan minimal di tingkat petani ditetapkan secara periodik.

2. Ditetapkan rayonisasi bagi pelaku tata niaga untuk menjamin keterturan tata niaga 3. Penentukan pelabuhan akumulasi ekspor kopra untuk menjamin kepastian

pengapalan danpeningkatan efisiensi penanganan

4. Dibentuk agen pemasaran di luar negeri untuk mengembalikan citra ekspor kopra Indonesia dan perdagangan kopra dikenakan sumbangan rehabilitasi kopra yang besarnya bervariasi antar daerah, hal ini dimaksudkan untuk peningkatan produksi dengan jalan mengadakan konvensi dengan para pelaksana tata niaga untuk menyumbangkan sebagian dari keuntungan untuk tujuan rehabilitasi produksi kopra.

5. Koperasi kopra dipilih secara selektif dan didata oleh pemerintah daerah untuk menjaga harga tetap kompetitif.

6. Diperbolehkannya perdagangan kopra antar pulau jika harga kopra dalam negeri lebih tinggi dari harga dunia.

7. Dibentuk tim konsultasi daerah untuk kelancaran kerja BAPENGKO (Badan Pengurusan Kopra) dan diadakan pertemuan berkala.

Hasil kebijakan tersebut berdampak positif dan negatif. Diantara dampak positifnya dalah adanya jaminan kepastian usaha, campur tangan instansi pemerintah dalam BAPENGKO berkurang, membaiknya kepercayaan importir di luar negeri, akumulasi dan pengapalan kopra membaik dan cukup lancar dan sumbangan Rehabilitasi Kopra digunakan untuk menunjang sarana produksi kopra. Adapun dampak negatifnya adalah menyangkut dana sumbangan rehabilitasi kopra hanya 30 persen saja yang diserahkan ke BAPENGKO dan tidak jelas penggunaannya, akibatnya produksi merosot dan pendapatan petani juga berkurang, bahkan banyak terjadi pengalihan kebun kopra menjadi kopi dan coklat.

Kebijakan periode Tahun 1977-1985

Akibat dari gejolak harga kopra tahun 1977/1978 Indonesia mengalami kekurangan bahan baku minyak goreng. Minyak sawit semula hanya ditujukan untuk ekspor. Tapi perkembangan selanjutnya minyak sawit juga diarahkan untuk pasar dalam negeri, karena minyak sawit dapat mensubstitusi minyak kelapa dan pasar domestik mengalami kelangkaan kopra.

Maka pemerintah membuat kebijakan untuk mengatasi kekurangan pasokan bahan baku minyak goreng dan utnuk stabilisasi harga minyak goreng dalam negeri. Diantara kebijakan tersebut yaitu :

1. Pemasaran hasil produksi CPO dan minyak inti sawit diatur oleh pemerintah dan sebagian hasilnya diharuskan untuk dipasarkan di dalam negeri sebagai substitusi minyak kelapa.

2. Kebijaksanaan penetapan harga CPO dan stearin untuk industri dalam negeri

3. Perdagangan minyak kelapa dan minyak sawit serta derivatnya dibebaskan, baik untuk pasar dalam negeri maupun ekspor, artinya tidak ada lagi keharusan untuk penjualan di dalam negeri.

Hasil kebijakan tersebut memberi pengaruh langsung, diantaranya meningkatnya volume perdagangan dalam negeri mengikat namun pangsa luar negeri menjadi berkurang, dengan penetapan harga CPO maka harga CPO dalam negeri menjadil;ebih mahal dari pada harga CPO di pasar dunia sehingga menimbulkan kelesuan industri minyak goreng dalam negeri dan berpengaruh terhadap produsen kelapa sawit.

Kebijakan Periode Tahun 1984-1993

Pada tahun 1984 terjadi gejolak harga minyak goreng karena pasokan minyak goreng dalam negeri berkurang. Disamping kebijakan yang berlaku, pemerintah memandang perlu untuk membuat program stabilisasi harga. Pemerintah menugaskan BULOG (Badan Urusan Logistik) untuk mengadakan monitoring berbagai kegiatan yang berhubungan dengan minyak goreng, yaitu :

1. Mengawasi pengolahan bahan baku minyak goreng di pabrik kelapa sawit.

2. Mengawasi pengapalan CPO dan derivatnya daripusat-pusat produksi ke pabrik minyak goreng.

3. Mengawasi pendistribusian minyak goreng.

Dampak yang terjadi akibat kebijakan tersebut dirasa cukup positif, dimana gejolak harga dapat diredam dan variasi harga minyak goreng di dalam negeri relatif rendah.

Kebijakan Periode Tahun 1994

Masalah dimulai sejak tahun 1992 dimana ketika harga bahan pokok stabil namun harga minyak goreng justru meningkat. Hal ini sehubungan dengan kenaikan harga CPO yang cepat di luar negeri, sehingga membuat laju ekspor CPO dari Indonesia meningkat. Peningkatan tersebut mengakibatkan langkanya CPO di pasaran dalam negeri. Pemerintah kemudian menetapkan berbagai kebijakan untuk meredam harga minyak goreng dan menjamin pasokan untuk dalam negeri diantaranya :

1. Menetapkan pajak ekspor atas CPO dan hasil olahannya secara berkala. 2. Penumpukan cadangan penyangga CPO di dalam negeri oleh BULOG.

3. Impor CPO oleh BULOG jika penetapan pajak ekspor dan cadangan penyangga belum memadai.

Dampak kebijakan tersebut cukup positif dimana terjadi perlambatan laju inflasi dan gerakan kenaikan harga minyak goreng di dalm negeri dapat diperlambat relatif terhadap laju kenaikan harga minyak goreng di pasaran dunia.

Dokumen terkait