• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM MENANGGULANGI TINDAK

B. Kebijakan Aplikasi/Yudikasi

Kebijakan aplikasi yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Tahapan ini dinamakan juga tahapan yudikasi. Kebijakan aplikasi/yudikasi tidak terlepas dari sistem peradilan pidana (criminal justice system), yaitu suatu upaya masyarakat dalam menanggulangi kejahatan/tindak pidana. Kebijakan aplikasi/yudikasi berhubungan dengan proses penegak hukum dan bekerjanya hukum dalam masyarakat. Oleh karena itu, dalam mewujudkan criminal justice system, aparat penegak hukum ( polisi, jaksa dan haki ) harus dapat berkoordinasi dengan baik dalam melaksanakan tugas, selaras dan berwibawa, atau harus mengacu pada managemen criminal justice system.118

Berbicara tentang penerapan hukum pidana oleh aparat penegak hukum dalam tindak pidana perdagangan orang maka tidak terlepas dari penyelidikan dan penyidikan. Dimana proses penyelidikan dan penyidikan dalam perkara tindak pidana perdagangan orang dilakukan berdasarkan dari Undang – Undang Nomor 8 tentang Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kecuali ditentukan lain dalam Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Hal ini tercantum

       117

Ibid. 118

dalam pasal 28 Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang menyatakan bahwa :

“ penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana perdagangan orang dilakukan berdasarkan Hukum Acara Pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang – undang ini “.

Dalam Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, selain hukum pidana materiil dirumuskan juga hukum pidana formil pada Pasal 28 sampai dengan Pasal 42. Tahap penyelidikan, yaitu tindakan yang dilakukan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan. Adapun tahap penyidikan, yaitu tindakan untuk mencari serta mengumpulkan bukti untuk membuat terangnya tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangka. Kewenangan penyelidik dan penyidik ada di kepolisian.

Adapun kebijakan penyidikan tindak pidana perdagangan orang adalah sebagai berikut :

1. Perlindungan terhadap korban.

2. Mengungkapkan perbuatan pidana yang dilakukan pelaku dan orang yang lain yang terlibat dalam proses rekrutmen dan eksploitasi dari orang – orang di trafik dan menggulung organisasi ilegal dibelakangnya.

3. Menyita keuntungan yang diperoleh dari kejahatan. 4. Prevensi umum dan khusus.119

Perlakuan dan penanganan korban perdagangan orang terutama korban eksploitasi seksual, mensyaratkan keahlian khusus. Oleh karena itu, di setiap kantor polisi seharusnya tersedia jumlah petugas yang dilatih khususnya untuk menangani kasus perdagangan orang.

       119

Internasional Organization for Migration Mission in Indonesia, Pedoman untuk Penyidikan dan Penuntutan Tindak Pidana Trafficking dan Perlindungan terhadap Korban Selama Proses Penegakan Hukum, 2005, Hal 29.

Petugas – petugas ini adalah polisi yang memiliki ketrampilan sosial, pengetahuan tentang posisi dan permasalahan yang dihadapi korban serta terbiasa bekerja sama dengan lembaga – lembaga yang dapat menyediakan bantuan, pelayanan dan pendampingan korban baik lembaga swadaya masyarakat maupun instansi pemerintah. Petugas polisi yang tidak secara khusus dilatih menangani kasus – kasus perdagangan orang dan kemudian berhadapan dengan korban atau mereka yang diduga merupakan korban, karena korban hendak menyampaikan laporan perihal tindak pidana yang menimpanya, maka korban dirujuk kepada petugas khusus yang dilatih untuk itu. Hal tersebut menjadi penting untuk mencegah

reviktimisasi korban karena polisi penerima laporan atau penyidik yang kemudian ditunjuk tidak mengerti dan memahami kondisi korban tindak pidana perdagangan orang. Korban tindak pidana perdagangan orang sering mengalami ketakutan terhadap aparat penegak hukum karena korban juga melakukan sejumlah pelanggaran hukum berkaitan dengan terjadinya kejahatan yang menimpanya.120

Di dalam mempertimbangkan suatu keputusan agar melaporkan suatu kejadian yang dirasakan korban yang kemudian akan dilakukan penyidikan kemudian penuntutan, akan berdampak cukup berat bagi korban. Ini harus dipahami dan menjadi pertimbangan oleh korban. Oleh sebab itu, membutuhkan waktu yang cukup lama untuk memulihkan diri, sehingga pertimbangan dan pengambilan pilihan – pilihan hukum yang terbuka bagi korban. apabila korban membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengambil keputusan untuk melaporkan kasusnya kepada polisi dan/atau menjadi saksi, maka waktu yang dmikian harus diberikan. Dalam waktu lebih lama dapat memperbesar peluang terkumpulnya bukti – bukti dan kesaksian yang lebih kuat.

Adapun hak – hak yang dimiliki korban untuk mendapatkan informasi yakni antara lain :

       120

1. Tahapan – tahapan penanganan perkara pidana, peran serta posisi korban berkaitan dengan penanganan perkara pidana, khususnya berkenaan dengan hak dan kewajiban korban. Informasi demikian sebaiknya diberikan baik secara lisan maupun secara tertulis.

2. Kemungkinan untuk mendapatkan bantuan hukum secara cuma – cuma , misalnya oleh lembaga – lembaga swadaya masyarakat atau biro bantuan huku;

3. Perlindungan seperti apa yang dapat diharapkan korban dan jangkauan perlindungan tersebut. Informasi di sini akan mencakup upaya – upaya perlindungan yang tersedia selama persidangan bagi korban dan saksi serta kemungkinan melindungi privasi korban, termasuk perlindungan terhadap sorotan mass media;

4. Kemungkinan untuk mendapatkan infomasi tentang perkembangan penanganan perkara;

5. Upaya hukum yang tersedia untuk mengajukan gugatan ganti rugi dalam konteks perkara pidana atau pengajuan gugatan ganti rugi dihadapan hakim perdata;

6. Keputusan untuk menghentikan penyidikan atau penuntutan. Dalam hal demikian,polisi atau jaksa akan mengluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan atau Penuntutan).

Keterangan korban adalah bukti awal secara formal untuk memulai suatu proses pidana. Keterangan korban diproses secara profesional, dalam arti dengan kehati – hatian dan cermat. Laporan atau pengaduan yang dilakukan korban perdagangan orang tidak dapat begitu saja mencabut keterangannya dan menghentikan proses penyidikan atau penuntutan yang sudah dimulai, karena tindak pidana perdagangan orang merupakan ancaman terhadap

kepentingan umum. Jika penyidikan dihentikan, polisi harus memberika SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan atau Penuntutan) kepada korban. Jiwa korban keberatan atas dihentikannya penyidikan berdasarkan Pasal 77 (a) jo. Pasal 79 Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana, maka korban berhak mengajukan pra peradilan kepada ketua pengadilan negeri. Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutuskan keabsahan suatu penghentian penyidikan atau penuntutan. Jika polisi menghentikan penyidikan atau jaksa menghentikan penuntutan tanpa adanya SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan atau Penuntutan) atau polisi menolak menerbitkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan atau Penuntutan) namun sekaligus menghentikan penyidikan, maka terbuka peluang korban untuk mengajukan keberatan kepada atasan langsung dari petugas polisi yang bersangkutan. Jika setelah lewat jangka waktu tertentu situasi tidak berubah yaitu polisi tidak melanjutkan penyidikan dan tidak lupa menerbitkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan atau Penuntutan), maka korban dapat mengajuka praperadilan, meskipun tanpa adanya SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan atau Penuntutan).121

Jika keperluan untuk suatu penyidikan dapat merekam wawancara atau pemeriksaan atau pengambilan keterangan korban yang dilakukan oleh penyidik. Kecuali apabila korban merasa berkeberatan direkamnya kesaksian yang diberikan oleh korban. Dimungkinkan untuk diambilnya keterangan dibawah sumpah dari saksi korban maupun saksi – saksi lainnya. berdasarkan Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana, keterangan yang diberikan dibawah sumpah dianggap sama dengan keterangan yang disampaikan dihadapan persidangan.

       121

Berkaitan dengan alat bukti, menurut Pasal 29 Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang bahwa alat bukti selain sebagaimana ditentukan Undang – Undang Hukum Acara Pidana dapat pula berupa :

1. Informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau serupa dengan itu, dan;

2. Data, rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baikyang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tidak terbatas pada :

a. Tulisan, suara,atau gambar;

b. Peta, rancangan, foto atau sejenisnya; atau

c. Huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.

Dalam ketentuan Pasal 29 b bahwa data, rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, misalnya; data yang tersimpan di komputer, telepon atau peralatan elektronik lainnya atau catatan lainnya seperti :

1. Catatan rekening bank, catatan keuangan, catatan kredit atau utang, atau catatan transaksi yang terkait dengan seseorang atau korpoasi yang diduga terlibat didalam perkara tindak pidana perdagangan orang;

2. Catatan pergerakan, perjalanan, atau komunikasi oleh seseorang atau organisasi yang diduga terlibat di dalam tindak pidana menurut undang – undang ini;

3. Dokumen, penyataan tersumpah atau bukti – bukti lainnya yang didapatkan dari negara asing, yang mana Indonesia memiliki kerja sama dengan pihak yang berwenang negara tersebut sesuai dengan ketentuan dalam undang – undang yang berkaitan dengan bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana.

Dalam kasus tindak pidana perdagangan orang bahwa salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saj sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan satu alat bukti yang sah lainnya. Jika korban menghendaki ganti rugi, maka penyidik memberitahukan korban tentang tersedianya upaya hukum untuk menuntut ganti rugi dan/atau merujuk korban kepada lembaga atau organisasi yang dapat membantu korban mengajukan tuntutan ganti rugi. Awal pengumpulan informasi tentan kerugian yang diderita korban dan kesedian pelaku (tersangka atau terdakwa) untuk memberikan ganti rugi ada di tangan penyidik. Untuk itu, penyidik menyertakan atau melampirkannya dalam berita acara pemeriksaan (BAP), informasi yang berhubungan dengan kerugian materil maupun immateril yang diderita korban.122

Pada prinsipnya, penyidik membuka peluang bagi korban untuk memberikan semua bukti – bukti yang berkenaan dengan lingkup kerugian yang diderita korban kepada penyidik. Informasi ini ditambah ke dalam berita acara pemeriksaan (BAP) termasuk juga informasi tentang peluang atau pilihan ganti rugi oleh tersangka atau pelaku. Apabila korban telah menegaskan untuk menuntut ganti rugi dan/atau diberitahukan tentang perkembangan penanganan perkara setelah mengajukan laporan atau pengaduan, maka penyidik menyampaikan laporan perkembangan perkara sampai dengan penyerahan dan pelimpahan

       122

perkara ke penuntut umum. Sejak saat itu penuntut umum yang bertanggung jawab untuk menyampaikan informasi perkembangan perkara kepada korban.123

Dengan demikian, Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang tidak hanya mementingkan keamanan dan ketertiban negara dan masyarakat saja, tetapi ada keseimbangan antara kepentingan masyarakat, kedudukan pelaku dan korban mendapat perhatian dan pengaturan yang sama. Pelaku mendapat hukuman yang berupa pidana dan tindakan, sedangkan korban mendapat perlindungan. Penerapan persamaan kedudukan dalam hukum merupakan konsekuensi dari penghormatan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia. Ide ini sejalan dengan konsep

potential victims maupun actual victims, yaitu adanya keseimbangan/daad dader slachttoffer srrafrecht.

Selain itu juga dalam penerapan Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang memberikan sanksi bagi pejabat yang menyalahgunakan jabatan dan kewenangan dalam membuat kebijakan. Penerapan sanksi tersebut merupakan wujud bahwa setiap orang mempunyai kedudukan yang sama di muka hukum (equality before the law) apabila mereka melanggar hukum.

C. Kebijakan Eksekusi / Administrasi

Kebijakan eksekusi adalah kebijakan hukum dalam tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkret oleh aparat – aparat pelaksana pidana, dan tahap ini disebut juga tahap administrasi. Aparat pelaksana pidana dilakukan oleh Petugas Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS), bagi mereka yang telah dijatuhi hukuman (punishment) oleh Hakim.124

Petugas Lembaga Pemasyarakatan adalah pegawai yang melaksanakan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan, dimana para narapidana tersebut sudah diputus oleh pengadilan dan dinyatakan bersalah maupun masih dalam tahapan upaya hukum.

       123

Ibid.

124

Dalam bagian ini hakim dalam melakukan penerapan hukuman, dapat berupa suatu pemberian sanksi yakni misalnya sanksi pidana (penal) dan sanksi administrasi (non penal).

Kepada pemberian sanksi bagi pelaku tindak pidana perdagangan orang, hakim dapat menjurus kepada konsep hukum pembangunan dari Mochtar Kusumaatmadja, yaitu bersumber pada undang – undang, yurisprudensi, atau gabungan antara undang – undang dan yurisprudensi.

Apabila pelaku pelaku tindak pidana perdagangan orang akan dikenakan sanksi sesuai konsep hukum pembangunan, dapat merujuk pada Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007, atau pada yurisprudensi. Namun dalam sistem hukum di Indonesia, proses penegakan hukum lebih mengacu kepada asas legalitas, yaitu berdasarkan peraturan hukum tertulis (undang – undang). Demikian juga hakim di Indonesia, lebih sering menjatuhkan sanksi sesuai dengan aturan dalam Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.125

Adapun asas legalitas yang dimaksud diatas yaitu suatu perbuatan tidak dapat dihukum apabila belum ada ketentuan peraturan perundang – undangan yang ada sebelum perbuatan itu dilakukan. Sehingga hakim dalam menjatuhkan putusan dalam tindak pidana perdagangan orang hanya berdasarkan hukum yang berlaku yakni di dalam Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Mengingat modus tindak pidana perdagangan orang beragam dan kompleks sifatnya, Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang cenderung lebih melindungi korban dan saksi dibandingkan dengan pelaku seperti dalam Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana. Dalam Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang pelaku selain dikenakan sanksi berupa

       125

penal juga dapat dikenakan non penal. Demikian juga dengan korban, selain dilindungi secara hukum, juga secara sosial, yaitu dengan adanya ganti rugi berupa materi dan rehabilitasi, baik rehabilitasi sosial maupun kesehatan. Perlindungan terhadap saksi dan korban selain diatur dalam Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007 juga dalam Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006.126 Saksi dan/atau korban beserta keluarga yang mendapat ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya berhak mendapatkan perlindungan baik sebelum, selama, maupun sesudah proses pemeriksaan. Selain itu, korban dan ahli warisnya berhak mendapatkan restitusi dan rehabilitasi. Rehabilitasi bagi korban, meliputi rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan dan reintegrasi sosial dari pemerintah, yang mengalami penderitaan fisik dan psikis akibat tindak pidana perdagangan orang.127 Pelaksanaan penyelenggaraan pelayanan rehabilitasi tersebut di atas diserahkan pada pemerintah, bahkan pemerintah dan pemerintah daerah diwajibkan membentuk rumah perlindungan sosial atau pusat trauma (shelter).

Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang juga mewajibkan kepada pemerintah, pemerintah daerah dan seluruh komponen masyarakat untuk berusaha mencegah, merintangi, atau menggalkan secara langsung atau tidak langsung pada proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dipidan paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).128

Mengkaji Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang seperti diuraikan di atas, terlihat jelas adanya perubahan dan pembaruan dalam pengaturan tindak pidana perdagangan orang, yaitu merupakan hasil dari

       126

Mengenai perlindungan saksi, baca Undang – Undang 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. 

127

Lihat Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

128

kebijakan pemerintah dalam hukum pidana, yaitu merupakan tahapan eksekusi/administrasi. Pembaruan terlihat dari segi pemidanaan terhadap pelaku dan mereka yang terlibat dalam tindak pidana perdagangan orang, yang mendasarkan pada kesalahan yang telah dilakukan. Selain itu Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang merupakan perwujudan dari komitmen Indonesia untuk melaksanakan Protokol PBB pada tahun 2000 tentang mencegah, memberantas, dan menghukum tindak pidana perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak (Protokol Palermo) yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Selain itu, untuk meningkatkan efektivitas pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, pemerintah sudah mengeluarkan berbagai peraturan pelaksana, baik yang berupa peraturan pemerintah (PP), maupun peraturan hukum lainnya sampai ke peraturan daerah (perda). Semua peraturan hukum ini merupakan kebijakan hukum pidana, yang bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat dari tindak pidana perdagangan orang yang merupakan pelanggaran harkat dan martabat manusia.129

Dewasa ini hampir seluruh daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota sudah mempunyai peraturan daerah (perda) yang mengatur tentang tindak pidana perdagangan orang, terutama daerah – daerah yang menjadi sending area, atau termasuk pemasok, penerima dan daerah tujuan tindak pidana perdagangan Orang. Realita yang terjadi, walaupun Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang sudah menerapkan sanksi yang cukup berat dibandingkan dengan pengaturan dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana, namun tindak pidana perdagangan orang ini makin marak terjadi. Pengenaan sanksi yang lebih berat tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku, bahkan pelaku cenderung lebih berani melakukannya, karena tindak pidana perdagangan orang dianggap sebagai bisnis/usaha yang menguntungkan

       129

dari segi ekonomi. Selain itu, dari sisi penegakan hukum upaya yang dilakukan belum berjalan optimal. Kendala yang dihadapi aparat penegak hukum adalah sulitnya melacak tindak pidana perdagangan orang, karena dalam tindak pidana perdagangan orang kasusnya baru terungkap apabila ada pengaduan dari korban atau keluarganya.130

Untuk mengatasi tindak pidana perdagangan orang, maka upaya pencegahannya tidak dapat terlepas dari bekerjanya hukum dalam masyarakat, dan kepatuhan serta kesadaran hukum masyarakat, yang pada prinsipnya merupakan bagian dari politik kriminal. Komitmen dari pemerintah dalam pencegahan tindak pidana perdagangan orang telah diwujudkan dalam beberapa produk hukum yang merupakan pembaruan terhadap pembaruan tindak pidana perdagangan orang. Namun semua peraturan – peraturan ini dlam pelaksanaanya masih belum optimal dan maksiman. Karena sampai saat ini masih maraknya tindak pidana perdagangan orang. Hal ini membuktikan bahwa hukum belum bekerja sesuai dengan harapan. Pembaruan hukum biasanya diakhiri dengan diundangkannya suatu peraturan hukum. Setiap pembaruan hukum hendaknya didasarkan pada kebutuhan – kebutuhan masyarakat yang meliputi kebutuhan sosial, politik dan ekonomi. Namun dalam kenyataannya, hukum sering mengedepankan kepentingak politik dan ekonomi saja, tetapi dipisahkan dari kebutuhan sosial, sehingga dalam penegakan hukum tidak dapat berjalan optimal.pembaruan hukum harus lebih memperhatikan kepentingan sosial masyarakat, karena hukum diberlakukan untuk kehidupan bermasyarakat. Pembaruan hukum pidana merupaka hasil keputusan bersama dari berbagai kewenangan dalam negara yang bekerja bersama – sama dalam menanggulangi masalah pidana. Untuk itu, upaya menanggulangi kejahatan/tindak pidana tidak cukup dengan menggunakan sarana hukum, tetapi juga dapat melalui upaya - upaya sosial lainnya, seperti pendidikan, perbaikan taraf hidup anggota

       130

masyarakat yang tergolong ‘ekonomi lemah’, mengurangi pengangguran, perbaikan lingkungan, dan strategi – strategi sosial lainnya.131

Demikian juga dengan penegakan hukum tindak pidana perdagangan orang, khususnya pencegahan dapat berjalan apabila semua komponen (masyarakat, pemerintah dan aparat penegak hukum), dapat melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai amanat undang - undang. Untuk itu, agar hukum dapat bekerja, menurut Lawrence Friedman harus dipenuhi syarat – syarat :

1. Aturan/undang – undang harus dapat dikomunikasikan kepada subjek yang diaturnya;

2. Subjek yang diaturnya mempunyai kemampuan untuk melaksanaka aturan/undang – undang tersebut;

3. Subjek harus mempunyai motivasi untuk melaksanakan aturan / undang – undang.132

Melihat dari pendapat yang diberikan oleh Lawrence Friedman di atas, maka penegakan hukum terlebih lagi dalam hal pencegahan harus memperhatikan bekerjanya hukum itu di dalam masyarakat, yaitu dengan memperhatikan kepentingan negara, kepentingan individu, kepentingan pelaku dan kepentingan korban. Suatu pembaruan hukum yakni sarana pengendali kehidupan bermasyarakat, dengan menyeimbangkan dan meyelaraskan berbagai kepentingan yang ada dalam masyarakat, atau sebagai sarana kontrol masyarakat, yang pada akhirnya akan memberikan perlindungan kepada individu dan masyarakat.

Ketentuan peraturan perundang - undangan tersebut merupakan suatu pembaruan hukum pidana dalam hal pengenaan sanksi dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang kesemuanya telah diarahkan agar dapat menjerat pelaku dari segala bentuk tindak pidana perdagangan orang yang bersifat kompleks, dan yang terlebih lagi dilakukan didalam skala nasional maupun skala internasional. Pembaruan tersebut merupakan usaha/kebijakan hukum pidana terhadap upaya pencegahan dan penegakan hukum tindak pidana perdagangan orang.

       131

Ibid., Hal 315 – 316. 132

Lawrence Friedman, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial ( The Legal System A Social Science Perspektif ), Penerjemah M. Khozin, Bandung : Nusa Media, 2009, Hal 56. 

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Bahwa saat ini bentuk – bentuk dari tindak pidana perdagangan orang banyak mengalami perkembangan yang sangat signifikan, dimana bentuk dari perdagangan orang yang paling mengerikan yakni implantasi organ, dimana organ tubuh seseorang diambil untuk diperjualbelikan di pasar internasional seperti ke daerah Malaysia, Belanda, Swedia, Prancis dan lain sebagainya. Hal ini merupakan perbuatan yang sangat tidak manusiawi lagi apabila dilihat masa sekarang yang sudah menjunjung tinggi hak asasi manusia. Begitu juga dengan banyaknya faktor - faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana perdagangan orang dan faktor utama dari tindakan perdagangan manusia (baik korban maupun pelaku) adalah faktor ekonomi. Faktor inilah yang paling banyak dialami yakni dari kesaksian para korban tindak pidana perdagangan orang yang mengatakan faktor keuanganganlah yang menyebabkan mereka akhirnya terjerumus kedalam tindak pidana perdagangan orang.

Dokumen terkait