KEBI Diaj IJAKAN H P jukan Gun HUKUM PI PERDAGA na Melengk M DE UN IDANA DA NGAN OR kapi Tugas Mencapai G SANOF NIM EPARTEM FAKU IVERSITA ALAM MEN RANG (HU
SKRIPSI
– tugas Da Gelar Sarja
Oleh :
FTA D.J GI
M : 090200
MEN HUKU ULTAS HU AS SUMAT MEDAN 2013 NANGGUL UMAN TRA an Memenu ana Hukum INTING 0145 UM PIDAN UKUM TERA UTA LANGI TI FFICKING
uhi Syarat – m
NA
ARA
INDAK PID
G)
– Syarat Un DANA
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING)
SKRIPSI
Diajukan Guna Melengkapi Tugas – tugas Dan Memenuhi Syarat – Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
SANOFTA D.J GINTING NIM : 090200145
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Disetujui Oleh :
Ketua Departemen Hukum Pidana
Dr. H. M. Hamdan SH, MH NIP. 195703261986011001
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Nurmalawaty, SH, M.Hum Alwan, SH, M.Hum
NIP. 196209071988112001 NIP. 196005201998021001
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan anugerahnya yang telah memberikan kekuatan dan kesehatan bagi penulis,
sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Dalam penyelesaian skripsi ini banyak
tantangan dan hambatan yang dihadapi, tetapi semua itu dapat diatasi berkat bantuan dan
motivasi dari berbagai pihak yang terkait. Sehingga skripsi ini dapat diselesaikan secara
efektif dan efisien sesuai dengan waktu yang telah direncanakan.
Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya
atas bimbingan dan kerja sama yang penulis terima selama ini kepada yang terhormat :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, beserta para pembantu Dekan dan seluruh
stafnya.
2. Bapak Dr. Hamdan, SH, MH, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana pada
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Nurmalawaty, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang telah
banyak membimbing dan memberika masukan – masukan terhadap materi
penulisan skripsi ini.
4. Bapak Alwan SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang juga telah
meluangkan waktu dan memberikan arahan kepada penulis sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini.
5. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
yang telah memberika ilmu pengetahuan kepada penulis selama menjalani
6. Orang tua yang tercinta Bapak R. Ginting dan Ibu R. Bangun yang juga turut
membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
7. Abang Philip Amsal Apriano Ginting, yang turut juga memberikan masukan
kepada penulis dalam menyelasikan skripsi ini.
8. Buat Abang dan Kakak tercinta yakni Eben Haezer Depari Bc.Ip, SH, M.H,
dan Thera Dita Ginting SH yang turut juga memberikan arahan dalam
menyelesaikan skripsi penulis.
9. Kepada Bapak Terenan Ginting Bc. IP, SH, MH, selaku Mantan Kepala
Kantor Wilayah Sumatera Utara Departemen Hukum dan HAM serta sebagai
Bapak Tua penulis yang juga telah memberikan arahan dan masukan kepada
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
10.Kepada teman – teman seperjuangan Supriyono, Agry, Marwan, Imam, dan
seluruh teman – teman di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,
khusunya stambuk 2009 yang telah banyak kontribusinya dalam membantu
penulis menyelesaikan skripsi ini.
11.Dan buat semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu terima kasih.
Penulis menyadari masih adanya kekurangan dalam skripsi ini, untuk itu dengan
segala kerendahan dan keterbukaan hati, penulis menerima komentar, kritik dan saran yang
bersifat membangun untuk kesempurnaan penulis tugas akhir ini.
Akhir kata penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat bermanfaat di kemudian
hari, Amin...
Medan, Oktober 2013
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...i
DAFTAR ISI...iii
DAFTAR TABEL...v
ABSTRAK...vii
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...1
B. Perumusan Masalah...13
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan...13
D. Keaslian Penulisan...14
E. Tinjauan Kepustakaan...15
1. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana...15
2. Pengertian Tindak Pidana...18
3. Pengertian Perdagangan Orang...24
F. Metode Penelitian...26
G. Sistematika Penulisan...28
BAB II. BENTUK – BENTUK, FAKTOR PENYEBAB DAN AKIBAT DARI TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING) A.Bentuk – Bentuk Tindak Pidana Perdagangan Orang...30
B. Faktor – Faktor Penyebab yang Melatarbelakangi Terjadinya Tindak Pidana Perdagangan Orang...39
C. Akibat – Akibat Yang Ditimbulkan dari Tindak Pidana Perdagangan Orang...52
BAB III. PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING) A. Pengaturan Hukum Internasional Mengenai Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking) ...54
B. Pengaturan Hukum Nasional Mengenai Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking) ...62
BAB IV KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING) A. Kebijakan Formulasi/Legislasi...82
C. Kebijakan Eksekusi/Administrasi...107
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ...114
B. Saran...116
DAFTAR TABEL
1. Konvensi – konvensi ILO untuk penanggulangan perdagangan
ABSTRAK
Perdagangan orang merupakan suatu perbuatan yang menyerupai perbudakan yang
melanggar harkat dan martabat manusia, yang bertentangan dengan tata hukum, merugikan
masyarakat dan antisosial yang terjadi baik dalam tingkat nasional dan internasional. Dengan
berkembangnya teknologi informasi, komunikasi dan transformasi maka modus kejahatan
perdagangan orang semakin canggih. Setiap korban perdagangan orang berhak mendapat
bantuan hukum berdasarkan ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku. Hak
atas korban meliputi memperoleh rehabilitasi baik fisik maupun psikis akibat perdagangan
orang, dan berhak diintegrasikan atau dikembalikan kepada lingkungan masyarakat
sekitarnya.
Tindak pidana perdagangan orang dirasakan sebagai ancaman bagi masyarakat,
bangsa dan negara, serta terhadap norma – norma kehidupan yang dilandasi penghormatan
hak asasi manusia. Selama ini penanganan perkara pidana terlalu berorientasi pada tersangka
atau terdakwa sementara hak – hak korban sering diabaikan. Oleh karena itu, perlu disadari
perlunya perlindungan hukum bagi korban khususnya korban perdagangan orang, maka
dikeluarkannya Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang yang mempunyai semangat perlindungan terhadap korban.
Kebijakan hukum pidana yang dilakukan meliputi aspek hukum pidana materill,
aspek hukum pidana formal, aspek hukum pelaksanaan pidana, dan melalui kebijakan
legislasi, kebijakan yudikasi dan kebijakan eksekusi serta melalui pembaruan
hukum/kriminalisasi dengan cara menemukan gagasan baru, regulasi dan revitalisasi terhadap
ABSTRAK
Perdagangan orang merupakan suatu perbuatan yang menyerupai perbudakan yang
melanggar harkat dan martabat manusia, yang bertentangan dengan tata hukum, merugikan
masyarakat dan antisosial yang terjadi baik dalam tingkat nasional dan internasional. Dengan
berkembangnya teknologi informasi, komunikasi dan transformasi maka modus kejahatan
perdagangan orang semakin canggih. Setiap korban perdagangan orang berhak mendapat
bantuan hukum berdasarkan ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku. Hak
atas korban meliputi memperoleh rehabilitasi baik fisik maupun psikis akibat perdagangan
orang, dan berhak diintegrasikan atau dikembalikan kepada lingkungan masyarakat
sekitarnya.
Tindak pidana perdagangan orang dirasakan sebagai ancaman bagi masyarakat,
bangsa dan negara, serta terhadap norma – norma kehidupan yang dilandasi penghormatan
hak asasi manusia. Selama ini penanganan perkara pidana terlalu berorientasi pada tersangka
atau terdakwa sementara hak – hak korban sering diabaikan. Oleh karena itu, perlu disadari
perlunya perlindungan hukum bagi korban khususnya korban perdagangan orang, maka
dikeluarkannya Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang yang mempunyai semangat perlindungan terhadap korban.
Kebijakan hukum pidana yang dilakukan meliputi aspek hukum pidana materill,
aspek hukum pidana formal, aspek hukum pelaksanaan pidana, dan melalui kebijakan
legislasi, kebijakan yudikasi dan kebijakan eksekusi serta melalui pembaruan
hukum/kriminalisasi dengan cara menemukan gagasan baru, regulasi dan revitalisasi terhadap
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan sejarah, perdagangan atau perbudakan telah ada dan berkembang sejak
ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu yang dimulai dengan adanya penaklukan atas suatu
kelompok oleh kelompok lainnya, kelompok yang paling kuat dan memiliki kekuasaan akan
menguasai kelompok yang lemah. Kepemilikan kekuasaan ekonomi dan politik menjadikan
sumber dan peluang untuk dapat berkembangnya perbudakan, sebagai akibat dari penaklukan
yang dibayar dengan suatu pengabdian yang mutlak.
Di benua Eropa khususnya Inggris, perbudakan diawali dengan adanya penaklukan
negara Inggris ke beberapa negara di luar benua Eropa. Kasus perbudakan pertama – tama
diketahui terjadi di masyarakat Sumeria, yang sekarang adalah Irak, lebih dari lima – ribu
tahun yang lalu. Perbudakan terjadi di masyarakat Cina, India, Afrika, Timur Tengah dan
Amerika. Perbudakan berkembang seiring dengan perkembangan perdagangan dengan
meningkatnya permintaan akan tenaga kerja untuk menghasilkan barang – barang keperluan
ekspor. Pada masa itu perbudakan merupakan keadaan umum yang wajar, yang dapat terjadi
terhadap siapapun dan kapanpun. Tidak banyak yang memandang perbudakan sebagai
praktik jahat atau tidak adil.1
Pada tahun 1300 – an orang kulit hitam Afrika dibeli atau ditangkap dari negara –
negara Arab di Afrika Utara, yang digunakan sebagai budak selama bertahun – tahun.
Menjelang tahun – tahun 1500 – an, Spanyol dan Portugal memiliki koloni – koloni di
Amerika. Orang – orang Eropa memperkerjakan orang Indian pribumi Amerika di
perkebunan luas dan di daerah pertambangan di koloni – koloni Amerika. Kebanyakan orang
Indian meninggal dunia karena terserang penyakit di Eropa dan karena perawatan yang tidak
1
memadai. Karena itu orang Spanyol dan Portugal mulai mendatangkan orang – orang dari
Afrika Barat sebagai budak. Prancis, Inggris, Belanda berbuat serupa di koloni – koloni
mereka di Amerika. Koloni – koloni Inggris di Amerika Utara menciptakan sistem ekonomi
pertanian yang tidak dapat bertahan hidup tanpa meggunakan budak sebagai tenaga kerja.
Banyak budak hidup di ladan pertanian yang luas / perkebunan, yang menghasilkan produk
pertanian penting untuk diperdagangkan oleh koloni. Setiap perkebunan, merupakan desa
kecil yang dimiliki oleh satu keluarga. Pemilik perkebunan besar dapat memiliki sampai 200
budak. Budak - budak itu bekerja di ladang pertanian, mereka bekerja berat dan dalam waktu
yang sangat lama.2
Undang – undang yang disahkan di koloni – koloni Ameria Selatan menyatakan ilegal
bagi budak untuk menikah, memiliki harta kekayaan, atau memperoleh kebebasan. Peraturan
itu juga tidak mengijinkan budak memperoleh pendidikan, bahkan untuk belajar membaca.
Namun ada pemilik budak yang membolehkan budak mereka memperoleh kebebasan.
Sekarang, kebanyakan orang di dunia mengutuk perbudakan. Demikian halnya pada awal
berdirinya negara Amerika. Banyak orang Amerika berpendapat bahwa perbudakan itu jahat,
namun diperlukan. Pada awal tahun 1700 – an memiliki budak merupakan hal yang biasa
dikalangan orang kaya, dan bukan suatu kejahatan.3
Adapun kampanye mengenai anti perbudakan dan perdagangan manusia dilakukan
pertama kali di daerah Eropa dan Amerika, yakni dengan melahirkan beberapa konvensi –
konvensi mengenai anti perbudakan dan eksploitasi tenaga kerja manusia, yang lama -
kelamaan kemudian berkembang ke negara – negara lainnya seperti di daerah Asia dan
Afrika, termasuk juga Indonesia.
Dalam sejarah bangsa Indonesia perdagangan orang pernah ada melalui perbudakan
dan penghambaan. Masa kerajaan – kerajaan di Jawa, perdagangan orang, yaitu perempuan
2
Jean Canu, ( sebagaimana dikutip oleh Henny Nuraeny, Tindak Pidana Perdagangan Orang, Jakarta : Sinar Grafika, 2011 ), Hal 351.
3
pada saat itu merupakan bagian pelengkap dari sistem pemerintahan feodal. Pada masa itu
konsep kekuasaan raja digambarkan sebagai kekuasaan yang sifatnya agung dan mulia.
Kekuasaan raja tindak terbatas, hal ini tercermin dari banyaknya selir yang dimilikinya.
Beberapa orang dari selir tersebut adalah putri bangsawan yang diserahkan kepada raja
sebagai tanda kesetiaan. Sebagian lainnya adalah persembahan dari kerajaan lain dan ada
juga selir yang berasal dari lingkungan masyarakat bawah yang dijual atau diserahkan oleh
keluarganya dengan maksud agar keluarga itu mempunyai ketertarikan dengan keluarga
istana, sehingga dapat meningkatkan statusnya. Perempuan yang dijadikan selir berasal dari
daerah tertentu. Sampai sekarang daerah – daerah tersebut masih merupakan legenda.4
Koentjoro mengidentifikasi ada 11 kabupaten di Jawa yang dalam sejarah terkenal
sebagai pemasok perempuan untuk kerajaan dan sampai sekarang daerah tersebut masih
terkenal sebagai pemasok perempuan untuk diperdagangkan, daerah tersebut adalah Jawa
Barat ( Indramayu, Karawang, Kuningan ), Jawa Tengah ( Pati, Jepara, Wonogiri ),Jawa
Timur ( Blitar, Banyuwangi, Lamongan ).5
Dalam Prositution In Colonial Java dalam DP Chandler and M.C Ricklefs bahwa
prostitusi di Indonesia mengalami puncaknya sekitar tahun 1811, yaitu pada saat
pembangunan jalan dri Anyer – Panarukan dan dilanjutka pembangunan jalan dan stasiun
kereta api oleh Daendles. Sekarang juga masih terjadi dimana lokalisasi prostitusi dekat
stasiun kereta api. Perkembangan prostitusi kedua adalah tahun 1870 ketika pemerintah
Belanda melakukan privatisasi perkebunan dan kulturstelsel.6
Sistem feodal tidak sepenuhnya menunjukkan keberadaan perdagangan orang seperti
yang dikenal dalam masyarakat modern ini, tetapi apa yang dilakukan pada masa itu telah
membentuk landasan bagi perkembangan perdagangan orang yang ada pada saat ini. Bentuk
4
Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang Di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2012, Hal 1. 5
Hull, Endang, Gavin Jones, Pelacuran di Indonesia, Cetakan Pertama, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1997 , Hal. 1 – 2.
6
perdagangan orang lebih terorganisir dan berkembang pesat pada periode penjajahan
Belanda. Kondisi tersebut terlihat dengan adanya sistem perbudakan tradisional dan
perseliran untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Eropa. Perdagangan orang berbentuk kerja
rodi dan menjual anak perempuan untuk mendapat imbalan materi dan kawin kontrak.7
Kini, perdagangan orang merupakan masalah yang menjadi perhatian luas di Asia
bahkan di seluruh dunia. Perdagangan orang terjadi tidak hanya menyangkut di dalam negara
Indonesia saja yaitu perdagangan orang antarpulau, tetapi juga perdagangan orang di luar
negara Indonesia dimana terjadi perdagangan orang ke negara – negara lain. Maraknya issue
perdagangan orang ini diawali dengan semakin meningkatnya pencari kerja baik laki – laki
maupun perempuan bahkan anak – anak untuk bermigrasi ke luar daerah sampai keluar
negeri guna mencari pekerjaan. Kurangnya pendidikan dan keterbatasan informasi yang
dimiliki menyebabkan mereka rentan terjebak dalam perdagangan orang. Berbagai penyebab
yang mendorong terjadi hal tersebut diatas, diantaranya yang paling dominan adalah faktor
kemiskinan, ketidaktersediaan lapangan pekerjaan, perubahan orientasi pembangunan dari
pertanian ke industri serta krisis ekonomi yang tidak berkesudahan.8
Kondisi ini tidak saja dialami oleh Indonesia. Laporan Survei Dunia IV tentang
perempuan dan Pembangunan menyebutkan bahwa banyak negara berkembang di Asia
seperti di Vietnam, Srilanka, Thailand, dan Filipina mengalami hal yang sama, sebagai akibat
ketidakpastian dan ketidakmampuan menghadapi persaingan bebas dari konsep liberalisme
ekonomi di era globalisasi yang mempunyai dampak cukup kompleks terutama terhadap
peningkatan peran dan kedudukan perempuan dalam bidang ekonomi baik tingkat nasional
maupun internasional. 9
Perdagangan perempuan dan anak mempunyai jaringan yang sangat luas. Praktik
perdagangan anak paling dominan berada di sektor jasa prostitusi, dimana kebanyakan
7
Farhana. Op Cit., Hal 2. 8
Ibid., Hal 4. 9
korbannya adalah anak – anak perempuan. Di Asia Tenggara, dalam beberapa tahun
belakangan ini sejumlah besar anak – anak dari Myanmar, Kamboja, Cina, Laos, telah
diperdagangkan dan dipaksa bekerja di dunia prostitusi Thailand. Baik anak laki – laki
maupun perempuan dari daerah pedalaman yang miskin, dibujuk oleh agen ( recuiters ) dan
pedagang profesional yang menjanjikan mereka pekerjaan yang baik atau layak di Thailand
yang kondisi ekonominya lebih baik. Anak – anak perempuan dari Myanmar dibawa ke
Thailand melalui berbagai pos ( tempat pemeriksaan ) perbatasan. Di Kamboja, mereka tiba
melalui sungai Mekong ke berbagai provinsi di Thailand bagian utara dan barat daya.10
Perdagangan orang yang mayoritas perempuan dan anak merupakan jenis perbudakan
pada era modern ini yang merupakan dampak krisis multi dimensional yang dialami
Indonesia. Dalam pemberitaan saat ini sudah dinyatakan sebagai masalah global yang serius
dan bahkan telah menjadi bisnis global yang telah memberikan keuntungan besar terhadap
pelaku. Dari waktu ke waktu praktik perdagangan orang semakin menunjukkan kualitas dan
kuantitasnya. Setiap tahun diperkirakan 2 ( dua ) juta manusia diperdagangkan dan sebagian
besarnya adalah perempuan dan anak.11 Tahun 2012, ILO Global Report on Forced Labour
memperkirakan hampir 2,5 juta orang dieksploitasi melalui perdagangan orang menjadi
buruh di seluruh dunia dan lebih dari setengahnya berada di wilayah Asia dan Pasifik dan 40
% adalah anak – anak.12
Masyarakat Internasional telah lama menaruh perhatian terhadap permasalahan
perdagangan orang ini. Perserikatan Bangsa - Bangsa, misalnya melalui konvensi tahun 1949
mengenai penghapusan perdagangan manusia dan eksploitasi pelacuran oleh pihak lain,
konvensi tahun 1979 mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan,
10
Chairul Bariah Mozasa, Aturan – Aturan Hukum Trafficking, Medan : USU Press, 2005, Hal 2. 11
Rachmad Syafaat, Dagang Manusia, Cetakan Pertama, Jakarta : Lappera Pustaka Utama, 2003, Hal 1.
12
konvensi tahun 1989 mengenai hak – hak anak. Berbagai organisasi Internasional seperti
IOM, ILO, UNICEF, dan UNESCO memberikan perhatian khusus pada masalah
perdagangan anak, pekerja anak yang biasanya berada pada kondisi pekerjaan eksploitatif,
seksual komersial.13
Dari laporan yang diterima Kementerian Pemberdayaan Perempuan berkaitan dengan
pelecehan, penipuan, pemerkosaan, dan kekerasan, di terdapat kurang lebih 1.079 TKI
perempuan dari Singapura melarikan diri atau melapor ke KBRI, 235 kasus bermasalah dari
Saudi Arabia, 219 TKI yang dipulangkan karena tidak sesuai dengan prosedur dan ketentuan
yang berlaku, masing – masing dari Kuwait, Kuala Lumpur, Brunei, Jordania, dan
Kolombia.14
Jika ditinjau dari aspek hukum, sindikat seperti perdagangan orang sudah masuk area
tindak pidana, perlakuan mereka orientasinya adalah bisnis, tanpa memikirkan bahwa
manusia merupakan mahluk ciptaan Tuhan yang perlu dilindungi dan mempunyai harga diri
sebagai pemangku hak dan kewajiban.
Saat sekarang ini perdagangan orang dianggap sama dengan perbudakan, yang
diartikan sebagai suatu kondisi seseorang yang berada di bawah kepemilikan orang lain.
Tindak pidana perdagangan orang juga dikatakan sebagai bentuk modern dari perbudakan
manusia, yang merupakan perbuatan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia.
Atas dasar itu, masalah tindak pidana perdagangan orang menjadi perhatian yang serius dari
beberapa negara termasuk pemerintah Indonesia. Alasan – alasan tersebut di atas, dilandasi
nilai – nilai luhur dan komitmen nasional dan internasional untuk melakukan pencegahan dan
penanggulangan sejak dini, dengan penindakan terhadap pelaku dan perlindungan terhadap
13
Chairul Bariah Mozasa, Loc. Cit. 14
korban, diperlukan adanya kerjasama nasional, regional dan universal, serta yang terpenting
adalah kebijakan hukum. 15
Kebijakan hukum perlu dilakukan khususnya dalam penanggulangan dan penegakan
hukum terhadap tindak pidana perdagangan orang agar hukum dapat berjalan secara efektif
dan sesuai dengan harapan. Menurut Mochtar Kusumaatmadja hukum tanpa kekuasaan
adalah angan – angan, sedangkan kekuasaan tanpa hukum adalah kezaliman.16
Menanggulangi perdagangan orang melalui produk hukum berupa undang – undang,
pada dasarnya merupakan salah satu wujud dari kebijakan penanggulangan kejahatan atau
bagian dari politik / kebijakan kriminal.
Adapun Sudarto memberikan suatu pengertian yang singkat tentang politik kriminal
yaitu ;
“ suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan “.17
Menurut Marc Ancel politik kriminal adalah ;
“ the rational organization of the control of crime by society “ ( suatu usaha yang
rasional untuk mengontrol kejahatan yang ada dalam masyarakat )18
Sarana penal policy (politik hukum pidana) menurut Ancel dalam Modern Criminal
Science adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk
memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi
pedoman, tidak hanya kepada pembuat undang – undang, tetapi juga kepada pengadilan yang
menerapkan undang – undang, juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan
pengadilan.19
15
Henny, Op.Cit., Hal 27. 16
Mochtar Kusumaatmaja, Konsep – Konsep Hukum dalam Pembangunan, Bandung, 2006. Hal 199. 17
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung : Alumni, 1981, Hal 113 – 114. 18
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung : Alumni, 1981, Hal 38. 19
Sedangkan dalam pengertian praktis, politik hukum pidana merupakan segala usaha
yang rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Usaha ini meliputi
pembentukan undang – undang, dan aktifitas aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim dan
petugas lembaga pemasyarakatan / pelaksana eksekusi), sesuai dengan tugas dan fungsinya
masing – masing. Pada akhirnya kebijakan hukum pidana tidak dapat berkerja sendiri, karena
berhubungan dengan penegak hukum baik perdata, hukum pidana maupun hukum
administrasi.20
Hal tersebut di atas merupakan bagian dari kebijakan sosial (social policy), yaitu
merupakan usaha rasional dari masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan
bagian dari kebijakan penegakkan hukum (law enforcement policy). Hal ini didasarkan pada
sistem peradilan pidana (Criminal Justice System), yang terdiri dari subsistem penyidikan,
subsistem penuntutan, subsistem peradilan, dan subsistem pemasyarakatan.
Selain itu usaha penanggulangan kejahatan melalui pembuatan undang – undang (
kebijakan legislasi ), pada hakikatnya merupakan bagian integral dari usaha perlindungan
masyarakat. Oleh karena itu kebijakan hukum pidana juga merupakan bagian integral dari
kebijakan sosial. Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang
rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan
masyarakat. Jadi dalam pengertian social policy sekaligus tercakup didalamnya social
welfare policy dan social defence policy.
Untuk dapat melaksanakan upaya – upaya pencegahan tindak pidana khususnya
tindak pidana perdagangan orang, maka harus disesuaikan dengan rencana pembangunan
hukum yang merupakan bagian dari pembangunan nasional. Hal ini sejalan dengan pendapat
Sudarto, bahwa apabila hukum pidana hendak dilibatkan dalam usaha mengatasi segi negatif
20
dari perkembangan masyrakat, hendaknya dilihat dalam hubungan keseluruhan politik hukum
kriminal (social defence planning) karena politik hukum kriminal merupakan bagian integral
dari rencana pembangunan nasional.21
Dalam hal ini pemerintah Indonesia turut meratifikasi protokol PBB dan Rencana
Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak yang disahkan pada
tanggal 30 Desember 2002 melalui Keputusan Presiden No.88 Tahun 2002. RAN tersebut
merupakan landasan dan pedoman bagi pemerintah dan masyarakat dalam melaksanakan
penghapusan perdagangan perempuan dan anak . Pengesahan RAN ditindaklanjuti dengan
pembentukan gugus tugas anti trafiking di Tingkat Nasional. Untuk menjamin terlaksananya
RAN di tingkat propinsi dan kabupaten / kota maka penetapan peraturan dan pembentukan
gugus tugas. Penetapan peraturan dan pembentukan gugus tugas ini dibuat berdasarkan
keputusan kepala daerah masing - masing, termasuk anggaran pembiayaannya .
Dalam RAN diberikan 29 rujukan landasan hukum yang relevan sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku yang dapat dipakai dalam upaya menghapus trafiking,
antara lain: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP); Undang - Undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi
Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita; Undang - Undang
Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak; Undang - Undang Nomor 19 tahun 1999
tentang Pengesahan Konvensi ILO (International Labor Organisation) Nomor 105 mengenai
Penghapusan Kerja Paksa; Undang - Undang Nomor 1 tahun 2000 tentang Pengesahan
Konvesi ILO No.182 mengenai Pelanggaran dan Tindakan Segera Penghapusan
Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak; UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak dan rujukan-rujukan relevan lainnya.
21
Seiring dengan hal itu maka adapun gagasan tentang pencegahan, pemberantasan dan
penanganan perdagangan orang yang di buat oleh pemerintah Indonesia dalam menangani
tindak pidana perdagangan orang yakni dengan diundangkannya Undang – Undang Nomor
21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Undang –
Undang Nomor 14 Tahun 2009 tentang Pengesahan Protokol untuk Mencegah, Menindak dan
Menghukum Perdagangan Orang Terutama Perempuan dan Anak – Anak. Diundangkannya
undang – undang tersebut diatas melengkapi konvensi Perserikatan Bangsa - Bangsa (PBB)
untuk menentang tindak pidana trans – nasional yang terorganisir22.
Dari uraian – uraian diatas, mendorong penulis untuk mengetahui apakah kebijakan
hukum pidana dalam menanggulangi tindak pidana perdagangan orang sudah dilakukan dan
dilaksanakan dengan baik. Untuk itulah penulis membuat judul yang bertuliskan “ Kebijakan
Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Tindak Pidana Perdagangan Orang (Human
Trafficking) “.
B. Perumusan Masalah
Perdagangan orang atau Human Trafficking merupakan suatu bentuk pelanggaran
terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang dlindungi dalam ketentuan peraturan perundang –
undangan. Permasalahan ini tidak hanya merupakan orang - perorang saja, tetapi juga telah
menyentuh berbagai aspek yakni dari nasional bahkan internasional. Maka untuk itu
permasalahan - permasalahan ini perlu dirumuskan melalui pertanyaan - pertanyaan untuk
dibahas secara konkret dan menyeluruh. Adapun permasalahan yang dapat diajukan dalam
menyikapi masalah perdagangan orang (Human Trafficking) ini adalah :
22
Hatta, Tindak Pidana Perdagangan Orang Dalan Teori Dan Praktek, Yogyakarta : Liberty, 2012, Hal 6.
1. Bagaimana tindak pidana perdagangan orang (Human Trafficking) dilihat dari bentuk
- bentuk, faktor penyebab, dan akibatnya ?
2. Bagaimana pengaturan hukum tentang tindak pidana perdagangan orang (Human
Trafficking) ?
3. Bagaimana kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi tindak pidana
perdagangan orang (Human Trafficking) ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan
Berdasarkan dengan latar belakang dan pokok – pokok permasalahan, maka adapun
tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk :
a. Untuk mengetahui tentang tindak pidana perdagangan orang ( Human
Trafficking ) dilihat dari bentuk - bentuk, faktor penyebab, dan akibatnya.
b. Untuk mengetahui pengaturan hukum tentang tindak pidana perdagangan
orang ( Human Trafficking ).
c. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi tindak
pidana perdagangan orang ( Human Trafficking ).
2. Manfaat Penulisan
Adapun hasil penulisan dan studi yang dilakukan oleh penulis diharapkan dapat
memberikan manfaat untuk :
a. Memberikan informasi mengenai tindak pidana perdagangan orang ( Human
Trafficking ) dilihat dari bentuk - bentuk, faktor penyebab, dan akibatnya.
b. Memberikan informasi mengenai perngaturan tentang tindak pidana
perdagangan orang ( Human Trafficking ) yang berlaku secara nasional
c. Menambah pengetahuan yang jelas tentang kebijakan hukum pidana dalam
menanggulangi tindak pidana perdagangan orang ( Human Trafficking ).
D. Keaslian Penulisan
Adapun judul yang dipilih oleh penulis adalah “ Kebijakan Hukum Pidana Dalam
Menanggulangi Tindak Pidana Perdagangan Orang ( Human Trafficking ) “ , yang diajukan
oleh penulis dalam rangka untuk memenuhi suatu tugas serta syarat untuk memperoleh gelar
“ Sarjana Hukum “. Judul skripsi yang penulis akan buatkan ini belum pernah ditulis di
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Adapun penulisan skripsi ini berdasarkan
kepada referensi dari buku – buku, undang – undang, peraturan – peraturan , serta data – data
dari sumber – sumber lainnya. Penulisan skripsi ini berdasarkan atas hasil pemikiran penulis
sendiri dan belum ada orang lain yang membuatkannya, hal ini telah diperiksa oleh
perpustakaan hukum Universitas Sumatera Utara. Dengan demikian skripsi ini merupakan
sebuah karya asli yang berasal dari penulis dan dapat dipertanggung jawabkan keasliannya.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Kebijakan Hukum Pidana
Istilah “ kebijakan “ dalam tulisan ini diambil dari istilah “ policy “ ( Inggris ) atau “
politiek “ ( Belanda ) yang secara umum dapat diartikan sebagai prinsip – prinsip umum yang
berfungsi untuk mengarakan pemerintah dalam mengelola, mengatur, atau menyelesaikan
urusan – urusan publik, masalah – masalah masyarakat atau bidang – bidang penyusunan
peraturan perundang- udangan dan pengaplikasian hukum / peraturan, dengan satu tujuan (
umum ) yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat
( warga negara ). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah “ kebijakan hukum pidana
“ politik hukum pidana “ ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain “ penal policy
“, “ criminal law policy “ atau “ Strafrechtspolitiek “.23
Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum
maupun politik kriminal. Menurut Sudarto, “ Politik Hukum “ adalah :
a. Usaha untuk mewujudkan peraturan – peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan
situasi pada suatu saat.24
b. Kebijakan dari negara melalui badan – badan yang berwenang untuk menetapkan
peraturan – peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk
mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa
yang dicita – citakan.25
Bertolak dari pengertian demikian, Sudarto selanjutnya menyatakan bahwa
melaksanakan “ kebijakan hukum pidana “ berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai
hasil perundang – undangan pidana yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan
dan daya guna. Dalam kesempatan lain beliau menyatakan, bahwa melaksanakan “ kebijakan
hukum pidana “ berarti, “ usaha mewujudkan peraturan perundang – undangan pidana yang
sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa – masa yang akan
datang.26
Senada dengan pernyataan di atas, Solly Lubis juga menyatakan bahwa politik hukum
adalah ;
“ kebijaksanaan politik yang menentukan peraturan hukum apa yang seharusnya
berlaku mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara. “27
Mahfud M.D, juga memberikan defenisi politik hukum sebagai ;
23
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana ( Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru ),
Jakarta : Kencana, 2008. Hal 22. 24
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana...Op. Cit., Hal 159. 25
Sudarto, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, Bandung : Sinar Baru, 1983 , Hal 20. 26
Ibid.,Hal 93 dan 109. 27
“ kebijakan mengenai hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh
pemerintah “28
Hal ini juga mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi
hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembutaan dan
penegakan hukum itu. Dalam konteks ini hukum tidak bisa hanya dipandang sebagai pasal –
pasal yang bersifat imperatif, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam
kenyataannya bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan
materinya (pasal – pasal), maupun dalam penegakannya.
Sedangkan menurut Marc Ancel bahwa kebijakan hukum pidana atau “ penal policy “
dinyatakan sebagai “ suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan
peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik “. Dengan demikian yang dimaksud
dengan “ peraturan hukum positif “(the positive rules) dalam defenisi Marc Ancel itu jelas
adalah peraturan perundang – undangan hukum pidana. Dengan demikian istilah “ penal
policy “ menurut Marc Ancel adalah sama dengan istilah “ kebijakan atau politik hukum
pidana “.29
Menurut A. Mulder, “ Strafrechtspolitiek “ ialah garis kebijakan untuk menentukan :30
a. Seberapa jauh ketentuan – ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbaharui;
b. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;
c. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dana pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.
Secara umum dari pendapat – pendapat di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa
kebijakan hukum pidana atau “ penal policy “ adalah suatu usaha – usaha yang dapat
dilakukan untuk menentukan kearah mana pemberlakuan hukum pidana Indonesia dimasa
yang akan datang dengan melihat penegakkannya dimasa sekarang.
2. Pengertian Tentang Tindak Pidana
28
Mahfud M.D, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta : LP3ES, 1989, Hal 1 – 2. 29
Barda Nawawi Arief, Op. Cit., Hal 23. 30
Dari berbagai literatur dapat diketahui, bahwa istilah tindak pidana hakikatnya
merupakan istilah yang berasal dari terjemahan kata strafbaar feit dalam bahasa Belanda.
Kata strafbaar feit kemudian diterjemahkan dalam berbagai terjemahan dalam bahasa
Indonesia. Beberapa kata yang digunakan untuk menterjemahkan kata strafbaar feit oleh
sarjana – sarjana Indonesia antara lain : tindak pidana, delict, perbuatan pidana.
Pembentuk undang – undang kita telah menggunakan perkataan “strafbaar feit“
untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai “tindak pidana “ di dalam Kitab Undang –
undang Hukum Pidana tanpa memberikan sesuatu penjelasan yang jelas mengenai apa yang
sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan “strafbaar feit“ tersebut.31
Perkataan “feit” itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu
kenyataan” atau “een gedeelte van de werkelijkheid”. Sedangkan “strafbaar” berarti “dapat
dihukum” hingga secara harafiah perkataan “strafbaar feit” itu dapat diterjemahkan sebagai
“sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”, yang sudah barang tentu tidak tepat,
oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah
manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan.32
Sementara dalam berbagai perundang – undangan sendiri digunakan berbagai istilah
untuk menunjuk pada pengertian kata strafbaar feit. Beberapa istilah yang digunakan dalam
undang – undang tersebut adalah :33
a. Peristiwa pidana, istilah ini antara lain digunakan dalam undang – undang
dasar sementara tahun 1950 khususnya dalam pasal 14.
b. Perbuatan pidana, istilah ini digunakan dalam Undang – Undang Nomor 1
Tahun 1951 tentang tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan
susunan, kekuasaan dan acara – acara pengadilan sipil.
31
P.A.F Lamintang, Dasar – Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997, hal 181.
32
Ibid.
33
c. Perbuatan – perbuatan yang dapat dihukum, istilah ini digunakan dalam
Undang – undang Darurat Nomor 2 Tahun 1951 tentang Perubahan
Ordonantie Tijdelijke Byzondere Strafbepalingen.
d. Hal yang diancam dengan hukum, istilah ini digunakan dalam Undang –
undang Darurat Nomor 16 tahun 1951 tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan.
e. Tindak Pidana, istilah ini digunakan dalam berbagai undang – undang
misalnya :
1) Undang – Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1953 Tentang Pemilihan
Umum.
2) Undang – Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1953 Tentang Pengusutan,
Penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi.
3) Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1964 tentang Kewajiban Kerja
Bakti Dalam Rangka Pemasyarakatannya bagi Terpidana karena
melakukan tindak pidana yang merupakan kejahatan.
Oleh karena itu menurut penulis, penggunaan berbagai dari istilah tersebut di atas
pada hakikatnya tidak menjadi sebuah persoalan, sepanjang dari penggunaannya disesuaikan
dengan konteksnya dan pemahaman maknanya.
Setelah diketahui berbagai istilah yang dapat digunakan untuk menunjuk pada istilah
strafbaar feit atau tindak pidana, berikut ini akan dibahas tentang tindak pidana. Sebagai
salah satu masalah yang esensial dalam hukum pidana, masalah tindak pidana perlu diberikan
penjelasan yang memadai. Penjelasan ini dirasa sangat urgen oleh karena penjelasan tentang
masalah ini akan memberikan pemahaman kapan suatu perbuatan dapat dikualifikasi sebagai
perbuatan/tindak pidana dan kapan tidak. Dengan demikian dapat diketahui dimana batas –
Untuk mendapatkan suatu gambaran yang lebih jelas mengenai tindak pidana
tersebut, dibawah ini akan dikemukakan beberapa pendapat ahli mengenai tindak pidana.
Menurut D. Simons, suatu tindak pidana adalah ;34
“tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan
sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh
undang – undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum“
Dengan batasan seperti ini, maka menurut Simons, untuk adanya suatu tindak pidana
harus dipenuhi unsur – unsur sebagai berikut :35
a. Perbuatan manusia, baik dalam arti perbuatan positif (berbuat) maupun perbuatan
negatif (tidak berbuat).
b. Diancam dengan pidana
c. Melawan hukum
d. Dilakukan dengan kesalahan
e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab.
Dengan penjelasan seperti ini maka tersimpul, bahwa keseluruhan syarat adanya
pidana telah melekat pada perbuatan pidana. Simons tidak memisahkan antara criminal act
dan criminal responbility. Apabila diikuti pendapat ini, maka apabila ada seseorang yang
melakukan pembunuhan eks Pasal 338 KUHP, tetapi kemudian ternyata orang yang
melakukan pembunuhan itu adalah orang yang tidak mampu bertanggung jawab, misalnya
oleh karena orang gila, maka dalam hal ini tidak dapat dikatakan telah terjadi tindak pidana.
Secara gampang bisa dijelaskan mengapa peristiwa itu tidak dapat disebut tindak pidana,
sebab unsur – unsur tindak pidananya tidak terpenuhi, yaitu unsur orang yang mampu
bertanggung jawab. Oleh karena itu tidak ada tindak pidana, maka juga tidak ada pidana.36
34
P.A.F Lamintang, Op.Cit., Hal 185. 35
Ibid.
36
Menurut J. Bauman, tindak pidana/ perbuatan adalah ;37
“ Perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan
kesalahan “.
Menurut Wiryono Prodjodikoro, yang dimaksud dengan tindak pidana adalah ;38
“ Suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana “.
Menurut E. Utrecht menerjemahkan strafbaar feit dengan istilah peristiwa pidana
yang sering juga disebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen atau doen
-positif atau melalaikan nalaten-negatif, maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan karena
perbuatan atau melalaikan itu). Peristiwa pidana merupakan ;39
“ Suatu peristiwa hukum (rechtfeit), yaitu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat
yang diatur oleh hukum “.
Tindakan semua unsur yang disinggung oleh suatu ketentuan pidana dijadikan unsur
yang mutlak dari peristiwa pidana. Hanya sebagian yang dapat dijadikan unsur – unsur
mutlak suatu tindak pidana. Yaitu perilaku manusia yang bertentangan dengan hukum (unsur
melawan hukum), oleh sebab itu dapat dijatuhi suatu hukuman dan adanya seorang pembuat
dalam arti kata bertanggung jawab.
Menurut Pompe, perkataan strafbaar feit atau tindak pidana secara teoritis dapat
dirumuskan sebagai suatu ;40
“Pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum yang dengan sengaja atau tidak
sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelakuk
itu adalah penting demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum“.
Sedangkan menurut Hazewinkel Suringa telah membuat suatu rumusan yang bersifat
umum dari “strafbaar feit” atau tindak pidana sebagai :41
37
P.A.F Lamintang, Op.Cit., Hal 106. 38
Ibid.
39
Hartanti Evi, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta : Sinar Grafika, 2005, Hal. 6. 40
“suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak didalam sesuatu pergaulan
hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana
dengan menggunakan sarana – sarana yang bersifat memaksa yang terdapat didalamnya”.
Namun menurut Van Hamel telah merumuskan “strafbaar feit” itu sebagai berikut :42
“suatu serangan atau suatu ancaman terhadap hak – hak orang lain”.
Berdasarkan beberapa pendapat para sarjana yang ada di atas, penulis berpendapat
bahwa tindak pidana tersebut adalah suatu perbuatan yang memiliki sifat melawan hukum
yang dilakukan oleh seseorang baik sengaja maupun tidak sengaja yang harus diberikan
sanksi terhadap pelanggarnya.
Berdasarkan pengertian – pengertian yang terdapat di atas, penulis dapat mengambil
suatu pemikiran bahwa tindak pidana yang dilakukan seseorang akan membawa akibat
hukum kepadanya yaitu berupa suatu penjatuhan hukuman pidana. Penjatuhan hukuman yang
dijatuhkan oleh hakim tersebut merupakan suatu proses pemidanaan. Adapun suatu
pemidanaan yang dilakukan kepada seseorang memiliki tujuan untuk memberikan suatu
penderitaan kepada seorang pelaku tindak pidana.
3. Pengertian Perdagangan Orang
Dengan diberlakukannya Undang – undang nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang rumusan mengenai perdagangan orang
(Human Trafficking) yang terdapat dalam Undang – undang ini menjadi rujukan utama, yakni
seperti yang terdapat dalam pasal 1 angka 1 mengatakan bahwa :
“perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi “
41
Berdasarkan Protokol Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Mencegah, Memberantas
dan Menghukum Perdagangan Manusia, khususnya Perempuan dan Anak (2000), suplemen
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Melawan Organisasi Kejahatan Lintas Batas,
memasukkan definisi perdagangan manusia sebagai berikut,
"Perdagangan Manusia adalah perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi termasuk pelayanan paksa, perbudakan atau praktek - praktek serupa perbudakan, perhambaan atau pengambilan organ tubuh”.
Sedangkan resolusi majelis umum PBB nomor 49/166 mendefenisikan istilah
perdagangan orang atau trafficking adalah :
“Trafficking is the illicit and clandestine movement of persons across national and international borders, largely from developing countries and some countries and some countries with economies in transition, with the end goal of forcing women and girl children into sexually or economically oppresive and exploitative situations for the profit of recruiters, traffickers, and crime syndicates, as well as other illegal activities related to trafficking, such as forced domestic Labour, false marriages, clandestine employment and false adoption“. (Perdagangan orang adalah suatu perkumpulan gelap oleh beberapa orang lintas nasional dan perbatasan internasional, sebagian besar berasal dari negara – negara berkembang dengan perubahan ekonominya, dengan tujuan akhir memaksa wanita dan anak – anak perempuan bekerja di bidang seksual dan penindasan ekonomis dan dalam keadaan eksploitasi untuk kepentingan agen, penyalur dan sindikat kejahatan, sebagaimana kegiatan illegal lainnya yang berhubungan dengan perdagangan seperti pembantu rumah tangga, perkawinan palsu, pekerjaan gelap dan adopsi ) .
Pengertian di atas tidak menekankan pada perekrutan dan pengiriman yang
menentukan suatu perbuatan tersebut adalah tindak pidana perdagangan orang, tetapi juga
kondisi eksploitatif terkait ke dalam mana orang diperdagangkan. Dari pengertian di tersebut
ada tiga unsur yang berbeda yang saling berkaitan satu sama lainnya, yaitu :
a. Tindakan atau perbuatan yang dilakukan, yaitu perekrutan, pengiriman,
pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang;
b. Cara, menggunakan ancaman atau penggunaan kekerasan, atau bentuk –
kekuasaan atau kedudukan rentan atau pemberian atau penerimaan
pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orang –
orang;
c. Tujuan atau maksud, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi mencakup setidak –
tidaknya eksplotiasi pelacuran dari orang lain atau bentuk – bentuk eksploitasi
seksuan lainnya, kerja paksa, perbudakan, penghambaan dan pengambilan
organ tubuh.
Sedangkan menurut Peraturan Daerah Sumatera Utara Nomor 6 Tahun 2004 Pasal 1
huruf o menyebutkan, bahwa ;
“perdagangan (Trafficking) Perempuan dan anak adalah tindak pidana atau perbuatan yang memenuhi salah satu atau lebih unsur-unsur perekrutan, pengiriman, penyerahterimaan, perempuan atau anak dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan, pemanfaatan posisi kerentanan, atau penjeratan hutang untuk tujuan dan atau berakibat mengeksploitasi perempuan dan anak”
F. Metode Penelitian
Dalam memperoleh suatu gambaran yang jelas tentang kebijakan hukum pidana
dalam menanggulangi tindak pidana perdagangan orang, maka penulis akan melakukan suatu
penelitian dengan metode :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
hukum normatif dan metode penelitian empiris. Metode penelitian hukum normatif disebut
juga penelitian hukum doktrinal. Dalam penelitian ini seringkali hukum dikonsepsikan
sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang – undangan ( law in book ) atau hukum
dikonsepsikan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan perilaku manusia yang
dianggap pantas. 43
2. Bahan Hukum
43
Adapun jenis data yang akan diperoleh dalam melengkapi dari penulisan skripsi ini
terdiri dari :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan – bahan
hukum primer terdiri dari perundang – undangan, catatan – catatan resmi atau risalah dalam
pembuatan perundang – undangan dan putusan – putusan hakim.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan dokumen – dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku – buku teks,
kamus – kamus hukum, jurnal – jurnal hukum, dan komentar – komentar atas putusan
pengadilan.
c. Bahan Hukum Tersier
Semua dokumen yang berisi konsep – konsep dan keterangan – keterangan yang
mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus, ensiklopedia dan
lain sebagainya.
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data – data yang akan diperoleh oleh penulis, maka penulis
menggunakan metode :
a. Penelitian Kepustakaan ( Library Research )
Penelitian kepustakaan adalah suatu metode pengumpulan data yang akan penulis
lakukan dengan cara menghimpun atau menelaah literatur – literatur, peraturan perundang –
undangan serta buku – buku yang memiliki relevansi dengan materi yang penulis bahas
dalam penulisan skripsi ini.
Data - data yang berkaitan dengan kebijakan hukum pidana dalam menagani tindak
pidana perdagangan orang seperti perundang – undangan, buku – buku, kliping – kliping,
serta media massa akan dikumpulkan kemudian akan di analisa sehingga mendapatkan
gambaran yang jelas tentang kebijakan hukum pidana dalam menagani tindak pidana
perdagangan orang.
G. Sistematika Penulisan Skripsi
Agar didapatkan hasil penyusunan skripsi yang baik dan berguna, penulis akan
membagi skripsi ini ke dalam 5 BAB dengan penguraian sebagai berikut :
BAB I : Berupa pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode,
sistematika penulisan.
BAB II : Penulisan akan memberikan uraian dan pembahasan mengenai apa yang
telah dirumuskan di dalam permasalahan yang telah di tulis yaitu tinjauan umum tentang
tindak pidana perdagangan orang dilihat dari bentuk - bentuk, faktor penyebab, dan akibat
dari tindak pidana perdagangan orang (Human Trafficking) .
BAB III : Dalam bab ini penulis akan menjelaskan bagaimana pengaturan hukum
tentang tindak pidana perdagangan orang (Human Trafficking) yang terdiri dari pengaturan
hukum internasional mengenai tindak pidana perdagangan orang dan pengaturan hukum
nasional mengenai tindak pidana perdagangan orang.
BAB IV : Bab ini penulis akan memberikan penjelasan tentang kebijakan hukum
pidana dalam menanggulangi tindak pidana perdagangan orang (Human Trafficking) yang
akan di uraikan menjadi beberapa bagian yakni kebijakan formulasi/legislasi, kebijakan
aplikasi/yudikasi, kebijakan eksekusi/administrasi.
BAB V : Dalam bab ini merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan
BAB II
BENTUK – BENTUK, FAKTOR PENYEBAB DAN AKIBAT DARI TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING)
A. Bentuk – Bentuk Tindak Pidana Perdagangan Orang
Ada beberapa bentuk tindak perdagangan orang yang harus diwaspadai, karena
terkadang masyarakat tidak sadar bahwa dirinya sudah menjadi korban dari perdagangan
orang. Adapun beberapa bentuk perdagangan manusia yang ditemukan di Indonesia yakni
antara lain :
1. Pekerja Migran
Pekerja migran adalah orang yang bermigrasi dari wilayah kelahirannya ke tempat
lain dan kemudian bekerja di tempat yang baru tersebut dalam jangka waktu relatif menetap.
Menurut Everet S. Lee dalam Muhadjir Darwin bahwa keputusan berpindah tempat tinggal
dari satu wilayah ke wilayah lain adalah konsekuensi dari perbedaan dalam nilai kefaedahan
antara daerah asal dan daerah tujuan. Perpindahan terjadi jika ada faktor pendorong dari
tempat asal dan faktor penarik dari tempat tujuan. 44
Pekerja migran mencakup sedikitnya dua tipe: pekerja migran internal dan pekerja
migran internasional. Pekerja migran internal berkaitan dengan urbanisasi, sedangkan pekerja
migran internasional tidak dapat dipisahkan dari globalisasi.45 Pekerja migran internal (dalam
negeri) adalah orang yang bermigrasi dari tempat asalnya untuk bekerja di tempat lain yang
masih termasuk dalam wilayah Indonesia. Karena perpindahan penduduk umumnya dari desa
ke kota (rural-to-urban migration), maka pekerja migran internal seringkali diidentikan
dengan “orang desa yang bekerja di kota.” Pekerja migran internasional (luar negeri) adalah
mereka yang meninggalkan tanah airnya untuk mengisi pekerjaan di negara lain. Di
44
Muhadjir Darwin, Pekerja Migran dan Seksualitas, Yogyakarta : Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University, 2003, Hal 3.
45
Indonesia, pengertian ini menunjuk pada orang Indonesia yang bekerja di luar negeri atau
yang dikenal dengan istilah Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Karena persoalan TKI ini
seringkali menyentuh para buruh wanita yang menjadi pekerja kasar di luar negeri, TKI
biasanya diidentikan dengan Tenaga Kerja Wanita (TKW atau Nakerwan).
2. Pekerja Anak.
Perdagangan anak dapat diartikan sebagai segala bentuk tindakan dan percobaan
tindakan yang melibatkan perekrutan, transportasi baik di dalam maupun antar negara,
pembelian, penjualan, pengiriman, dan penerimaan anak dengan menggunakan tipu daya,
kekerasan, atau dengan pelibatan hutang untuk tujuan pemaksaan pekerjaan domestik,
pelayanan seksual, perbudakan, buruh ijon, atau segala kondisi perbudakan lain, baik anak
tersebut mendapatkan bayaran atau tidak, di dalam sebuah komunitas yang berbeda dengan
komunitas di mana anak tersebut tinggal ketika penipuan, kekerasan, atau pelibatan hutang
tersebut pertama kali terjadi. Namun tidak jarang perdagangan anak ini ditujukan pada
pasangan suami istri yang ingin mempunyai anak.
Pengertian pekerjaan terburuk untuk anak menurut Undang – undang Nomor 1 Tahun
2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan
Segera Penghapusan Bentuk – Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak di Indonesia secara
umum meliputi anak – anak yang dieksploitasi secara fisik maupun ekonomi yang antara lain
dalam bentuk berikut :
a. Anak – anak yang dilacurkan. b. Anak – anak yang di pertambangan.
c. Anak – anak yang bekerja sebagai penyelam mutiara. d. Anak – anak yang bekerja di sektor konstruksi. e. Anak – anak yang bekerja di jermal.
f. Anak – anak yang bekerja sebagai pemulung sampah.
g. Anak – anak yang dilibatkan dalam produksi dan kegiatan yang menggunakan bahan – bahan peledak.
h. Anak – anak yang bekerja di jalan.
i. Anak – anak yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. j. Anak – anak yang bekerja di Industri rumah tangga
l. Anak – anak yang bekerja pada penebangan, pengolahan dan pengangkutan kayu.
m. Anak – anak yang bekerja pada industri dan jenis kegiatan yang menggunakan bahan kimia yang berbahaya.46
Pemerintah menetapkan prioritas penghapusan untuk fase lima tahun pertama hanya
pada lima jenis pekerjaan terburuk untuk anak, yaitu anak – anak yang terlibat dalam
penjualan, produksi, dan pengedar narkotik (sale, production and trafficking drugs),
perdagangan anak (trafficking of children), pelacuran anak (children of protistution), anak –
anak yang bekerja sebagai nelayan di lepas pantai (child labour in off – shore fishing),
pertambangan (mining), dan anak – anak yang bekerja di industri sepatu (footwear).47
3. Kejahatan Prostitusi.
Secara harfiah, prostitusi berarti pertukaran hubungan seksual dengan uang atau
hadiah sebagai suatu transaksi perdagangan. Secara hukum, prostitusi didefinisikan sebagai
penjualan jasa seksual yang meliputi tindakan seksual tidak sebesar kopulasi dan hubungan
seksual. Pembayaran dapat dilakukan dalam bentuk uang atau modus lain kecuali untuk suatu
tindakan seksual timbal balik. Banyak yang merasa bahwa jenis definisi dengan penegakan
semua dukungan bahasa termasuk selektif hukum sesuai dengan keinginan dan angan-angan
dari badan penegak terkemuka untuk mengontrol mutlak perempuan. Prostitusi dibagi ke
dalam dua jenis, yaitu prostitusi di mana anak perempuan merupakan komoditi perdagangan
dan prostitusi di mana wanita dewasa sebagai komoditi perdagangan. Prostitusi anak dapat
diartikan sebagai tindakan mendapatkan atau menawarkan jasa seksual dari seorang anak
oleh seseorang atau kepada orang lainnya dengan imbalan uang atau imbalan lainnya.
Baik di luar negeri maupun di wilayah Indonesia. Dalam banyak kasus, perempuan
dan anak-anak dijanjikan bekerja sebagai buruh migran, pembantu rumah tangga, pekerja
restoran, penjaga toko, atau pekerjaan-pekerjaan tanpa keahlian tetapi kemudian dipaksa
46
Indonesia, Keputusan Presiden tentang Rencana Aksi Nasional ( RAN ) Penghapusan Bentuk – Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, Keppres No. 59 Tahun 2002, Lampiran Bab I.
47
bekerja pada industri seks saat mereka tiba di daerah tujuan. Dalam kasus lain, berapa
perempuan tahu bahwa mereka akan memasuki industri seks tetapi mereka ditipu dengan
kondisi-kondisi kerja dan mereka dikekang di bawah paksaan dan tidak diperbolehkan
menolak bekerja.
Sudah menjadi rahasia umum para perempuan yang bekerja di panti-panti pijat di
Indonesia dapat diminta memberikan layanan seks kepada para pelanggan mereka. Tidak
diketahui dengan jelas tentang kewajiban mereka untuk memenuhi permintaan tersebut,
apakah karena keterikatan mereka dengan tempat tersebut, atau karena kebutuhan akan
pendapatan tambahan.
Dalam kasus lokalisasi, tempat-tempat pelacuran lainnya, serta prostitusi di warung
penjual teh botol, ketika dipilih oleh seorang pelanggan, perempuan atau anak perempuan
tersebut harus memberikan pelayanan seks dengan pembayaran di tempat, atau di luar, seperti
di hotel, taman dan tempat terbuka. Ini adalah jenis prostitusi, yang mendorong cara
perekrutan perempuan dan anak perempuan melalui praktik trafiking, mengingat ini adalah
sebuah sumber pendapatan yang besar bagi mereka yang terlibat di dalam proses perekrutan,
pengangkutan, dan penampungan para perempuan dan anak perempuan yang didapatkan
untuk tujuan tersebut. Keuntungan besar, tidak seperti dalam kasus Pembantu Rumah
Tangga, timbul karena pemanfaatan berulang - ulang perempuan atau anak perempuan yang
diperdagangkan selama beberapa tahun untuk menghasilkan uang tunai secara terus -
menerus.
Ada dua negara yang dikenal sebagai tempat tujuan utama perdagangan orang untuk
eksploitasi seksual komersial. Kedua negara itu adalah Malaysia dan Jepang. Meskipun ada
banyak laporan yang mengatakan bahwa eksploitasi seksual juga terjadi di Singapura. Namun
a. Untuk tujuan Malaysia dan Singapura, korban direkrut dengan janji akan dipekerjakan
di tempat-tempat karaoke, sebagai penyanyi di rumah makan, pelayan, dan hostes atau
penghibur, atau bahkan dijanjikan sebagai Pembantu Rumah Tangga;
b. Untuk Jepang mereka dibawa dengan alasan sebagai duta seni budaya atau penari
tradisional, kemudian dipaksa untuk memberikan pelayanan seksual.
c. Perdagangan Anak Melalui Adopsi ( Pengangkatan Anak )
Keinginan untuk mempunyai anak adalah naluri manusiawi dan alamiah, tetapi
kadang naluri ini terbentur pada takdir ilahi, dimana kehendak mempunyai anak tidak
tercapai. Usaha yang dilakukan untuk memenuhi keinginan tersebut melalui adopsi atau
pengangkatan anak.48
Pengaturan tentang pengangkatan anak di Indonesia diatur di dalam Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1973 dan disempurnakan dengan SEMA RI Nomor 6
Tahun 1983. Isinya selain menetapkan pengangkatan yang langsung dilakukan antara orang
tua kandung dengan orang tua angkat, juga tentang pengangkatan anak yang dapat dilakukan
oleh WNI yang tidak terikat perkawinan yang sah / belum menikah dan juga mengatur tata
cara mengangkat anak, bahwa :
“ Untuk mengangkat anak harus terlebih dahulu mengajukan permohonan pengesahan / pengangkatan kepada Pengadilan Negeri tempat anak yang akan diangkat itu berada. Bentuk permohonan itu bisa secara lisan ataupun tertulis, dan diajukan ke Panitera Pengadilan Negeri tersebut. Permohonan diajukan dan ditandatangani oleh pemohon sendiri atau kuasanya, dengan dibubuhi material secukupnya dan dialamatkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal / domisili anak yang akan diangkat “.
Prosedur pengangkatan anak memang dilakukan secara ketat untuk melindungi hak –
hak anak yang diangkat dan mencegah berbagai pelanggaran dan kejahatan seperti
perdagangan anak. Ketidaktahuan prosedur ini menimbulkan persepsi dimasyarakat bahwa
mengadopsi anak itu mudah, sehingga sering kali masyarakat bertindak di luar hukum, maka
dapat terjadi tindak pidana perdagangan anak. Sering terjadi pengangkatan anak akan menjadi
48
masalah hukum, seperti kasus Tristan Dowse, korban perdagangan anak melalui
pengangkatan anak. Tristan nama aslinya adalah Erwin merupakan salah satu contoh
pengangkatan anak oleh warga negara asing yang disahkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan. Kasus penjualan bayi – bayi ke luar negeri yang dilakukan oleh Rosdiana, yang hasil
penyelidikan bahwa diduga telah melakukan penjualan bayi sebanyak 60 – 80 bayi yang
semuanya diserahkan kepada warga negara asing. Kasus sejenis banyak terjadi walaupun
belum diketahui di permukaan.49
d. Perbudakan Berkedok Pernikahan dan Pengantin Pesanan
Biasanya, praktik perbudakan berkedok pernikahan dan pengantin pesanan dilakukan
oleh pria warga negara asing dengan wanita warga negara Indonesia. Salah satu modus
operandi perdagangan orang yang lain adalah pengantin pesanan (mail border bride) yang
merupakan pernikahan paksa dimana pernikahannya diatur orang tua. Perkawinan pesanan ini
menjadi perdagangan orang apabila terjadi eksploitasi baik secara seksual maupun ekonomi
melalui penipuan, penyesengsaraan, penahanan dokumen, sehingga tidak dapat melepaskan
diri dari eksploitasi, serta ditutupnya akses informasi dan komunikasi dengan keluarga.50
Ada dua bentuk perdagangan melalui perkawinan, yaitu pertama, perkawinan
digunakan sebagai jalan penipuan untuk mengambil perempuan tersebut dan membawa ke
wilayah lain yang sangat asing, namun sesampai di wilayah tujuan perempuan tersebut
dimasukkan dalam prostitusi. Kedua, adalah perkawinan untuk memasukkan perempuan
kedalam rumah tangga untuk mengerjakan pekerjaan – pekerjaan domestik yang sangat
eksploitatif bentuknya. Fenomena pengantin pesanan ini banyak terjadi di masyarakat
keturunan Cina di Kalimantan Barat dengan para suami berasal dari Taiwan walaupun dari
Jawa Timur diberitakan telah terjadi beberapa kasus serupa.51
49
Republika.com, Jaringan Penjual Bayi Terbongkar, 1 Oktober 2013. 50
Farhana, Op.Cit., Hal 47. 51
Ada beberapa artikel di surat kabar yang mengangkat tentang pengantin pesanan.
Berdasarkan artikel – artikel tersebut dapat dilihat ruang lingkup dan pentingnya perdagangan
orang melalui pengantin pesanan diperhatikan, yaitu sebagai berikut :52
a. Pada tahun 1993, sebuah surat kabar di Singkawang menulis bahwa kira – kira 34.000 perempuan berusia 14 – 18 tahun dikirim ke Hongkong sebagai pengantin.
b. Pada tahun 1994 sebuah surat kabar lain menulis 25 perempuan dari Jawa Timur direkrut untuk dinikahi laki – laki Taiwan.
c. Pada tahun 2002 sebuah artikel melaporkan bahwa sejak 1987, 27.000 gadis Indonesia beretnis TiongHoa telah menikah dengan laki – laki Taiwan.
d. Pada tahun 2002 sebuah berita melaporkan bahwa data dari pemerintah Indonesia menunjukkan bahwa dalam waktu satu tahun antara 1993 sampai 1994, lebih dari 2.000 perempuan meninggalkan Singkawang untuk berangkat ke Taiwan. Apabila diasumsikan bahwa dalam setahun dilangsungkan lebih kurang 2.000 pernikahan, maka dengan angkat ini konsisten dengan angka 27.000 yang disebut di atas.
Data dari Pusat Studi Wanita Universitas Tanjung Pura, setiap tahun kira – kira 50
perempuan kembali ke Singkawang dari Taiwan telah mengalami kekerasan dan penipuan.
Akan tetapi, ini juga gejala gunung es karena masih banyak yang tidak terdata atau tidak mau
mengajukan pengaduan dan tidak dapat pulang. Kekerasan dan penipuan yang dilaporkan
bermacam – macam, yaitu dinikahkan dengan laki – laki jauh lebih tua, berlainan dengan
yang diberitahukan sebelumnya atau dengan laki – laki yang cacat mental atau fisik yang
parah, tidak dinikahkan secara sah yakni sebagai perempuan simpanan, menjadi pelayan
tanpa dibayar, bekerja di pabrik dan dipaksa bekerja di prostitusi.53
Banyak kasus yang melibatkan perempuan di bawah umur dan pemalsuan dokumen.
Kebanyakan pernikahan difasilitasi oleh calo setempat dan Singkawang, Kalimantan Barat
dengan upacara dilaksanakan di Indonesia. Dalam beberapa kasus, setibanya di Taiwan,
kewarganegaraan pengantin langsung diubah, terkadang tanpa sepengetahuannya, sehingga
jika ingin kembali ke Indonesia mengalami kesulitan.54
e. Implantasi Organ
52
Ruth Rosenberg, Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia. Jakarta : USAID, 2003, Hal 123 – 124.
53
Ibid., Hal 125. 54
Jakarta, Indonesia sudah dinyatakan sebagai kawasan potensial untuk perdagangan
anak dan perempuan. Sepanjang 2003 – 2004 ditemukan sedikitnya 80 kasus perdagangan
anak berkedok adopsi yang melibatkan jaringan dalam negeri.55 Dalam beberapa kasus
ditemukan adanya bayi yang belakangan diketahui di adopsi untuk diambil organ tubuhnya
dan sebagian besar bayi yang diadopsi tersebut dikirim ke sejumlah negara diantaranya ke
Singapura, Malaysia, Belanda, Swedia, dan Prancis. Hal ini diungkap mantan ketua Gugus
Tugas Penghapusan Perdagangan Anak dan Perempuan Kementerian Negara Pemberdayaan
Perempuan, Rachmat.56
B. Faktor – Faktor Penyebab yang Melatarbelakangi Terjadinya Tindak Pidana Perdagangan Orang ( Human Trafficking )
1. Faktor Ekonomi
Permasalahan ini sering sekali menjadi pemicu utama terjadinya kasus perdagangan
manusia. Tanggung jawab yang besar untuk menopang hidup keluarga, keperluan yang tidak
sedikit sehingga membutuhkan uang yang tidak sedikit pula, terlilit hutang yang sangat besar,
dan motif-motif lainnya yang dapat memicu terjadinya tindakan perdagangan manusia. Tidak
hanya itu, hasrat ingin cepat kaya juga mendorong seseorang untuk melakukan tindakan
tersebut.
Faktor ekonomi menjadi penyebab terjadinya perdagangan manusia yang
dilatarbelakangi kemiskinan dan lapangan kerja yang tidak ada atau tidak memadai dengan
besarnya jumlah penduduk, sehingga kedua hal inilah yang menyebabkan seseorang untuk
melakukan sesuatu, yaitu mencari pekerjaan meskipun haru keluar dari daerah asalnya
dengan resiko yang tidak sedikit. Menurut Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2008, bahwa
jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 37,7 juta jiwa termasuk 13,2 juta di daerah
perkotaan, dari 213 juta pendudukan Indonesia pada saat ini hidup di bawah garis kemiskinan
55
http :// www.sinarharapan.co.id/berita/0508/04/sh01.html, 3 Oktober 2013. 56
yang ditetapkan oleh pemerintah, dengan penghasilan kurang dari Rp.9000,00 perhari dan
pengangguran di Indonesia pun semakin meningkat jumlah per harinya.57
Kemiskinan yang begitu berat dan langkanya kesempatan kerja mendorong jutaan
penduduk Indonesia untuk melakukan migrasi di dalam dan ke luar negeri guna menemukan
cara agar dapat menhidupi diri mereka dan keluarga mereka sendiri. Daerah tempat tinggal